“Aku kan bakalan ikut main.” Jawab Rangga enteng.
Dias tiba-tiba mencengkram kuat tangan Jean dan terus menatap Rangga. Jean mengerti kenapa Dias tiba-tiba seperti itu. Ia pasti merasa gerogi karena ia berpikir akan berpasangan dengan Rangga yang merupakan mantan pacarnya. Jean segera melepaskan genggaman tangan Dias. Ia memalingkan pandangannya pada Dion yang sedang berdiskusi dengan temannya.
“Aku udah ngebayangin gerakan apa aja yang bakalan ditampilin. Coba kamu hubungin grup yang lainnya.”
“Maksud kakak pemain lainnya?”
“Ya iyalah, bukannya ada dua grup?”
“Gak ada, kak. Mereka pada keluar dan cuman kita yang kesisa.”
“Aduh nambah susah, nih.” Rangga berpikir sejenak. “Kalo gitu kita diskusiin dulu sama pemain musik karena ini kan drama musikal, yuk.” Rangga berdiri dan pergi menuju kelompok pemusik dan yang lainnya ikut dengan Rangga.
Jean duduk di dekat Dion seperti tadi. Jean tersenyum pada Dion saat mereka saling bertatapan. Rangga menerobos kepada Jean. Jean melirik Rangga yang duduk di sampingnya.
“Oke, maaf nih ganggu. Gini kita kekurangan pemain dan aku udah berpikir jika kita gak usah pake dialog and dramanya tuh full sama musik, kalian sanggup gak?”
“Aduh, itu kan durasinya lumayan, kak.”
“Kita pake yang udah ada aja. Jadi kalian ada jedanya. Gimana?”
“Itu artinya kita yang bener-bener bakalan cape?” ucap Jean sambil berpikir.
“Ya kepaksa, kita kekurangan pemain. Lagi pula gak bener-bener dari awal sampe akhir, alias giliran.”
“Kayaknya kita harus ngomong sama pak Agam, deh. Dan kita juga gak bisa cuma ngomong kayak gini aja, kita bener-bener harus rapat raksasa sekarang juga. Kita bener-bener harus nyusun skenario yang lengkap kalo kayak gini rasanya bakalan lebih lama deh, kak.”
“Hah, satu minggu.” Ucap Rangga agak berbisik.
“Kalo gitu gue susul pak Agam dulu, ya?” Jean berdiri dan pergi.
Rangga mengangguk. Ia menompang kepalanya yang benar-benar pusing dengan semua hal dadakan ini. Ketika ia menunduk sesekali ia melirik Dion yang berada tidak jauh darinya. Ia menatap Dion dengan tatapan tidak ramah.
'Dion apa yang kau inginkan dari Jean? Apa kau ingin memilikinya? Sayang, gue gak mau ngasih lo kesempatan itu. Lagi pula Jean gak akan tahan sama lo. Ini bagian gue dan gak kan gue kasih ke orang lain. Jean udah gue tembak dan bentar lagi di bakalan nerima gue.' Batin Rangga.
>>>>><<<<<
“Haduh, cape juga, ya.” Rangga menyandarkan punggungnya pada diding dan menatap langit-langit gedung.
Jean hanya tersenyum pada Rangga dan membereskan bukunya ke dalam tas.
“Salah siapa ngomong sanggup?”
Rangga menatap Jean yang duduk di sampingnya. “Asal ada kamu semua ini jadi ringan.”
Jean menatap Rangga malas dan menghadap pada Rangga. “Dan karena itu juga aku jadi ikut sibuk, ikut cape.”
Jean berdiri dan memakai tasnya. Rangga berdiri dengan malas. Jean berjalan mendahului Rangga menuju pintu keluar.
Jean berhenti di tengah jalan. Ia mengeluarkan handphonenya. Ibu kos? Mata Jean langsung membulat. Ia tahu jika ibu kos akan marah padanya karena pulang malam.
“Halo, bu.” Ucap Jean lemah lembut.
“…”
“Iya, saya lagi di jalan, bu.”
“…”
“Habis latihan di gedung, bu.”
“…”
“Iya, bu. Iya.”
Jean menurunkan handphonenya dari telinga dan memasukkannya ke dalam tas. Ia mempercepat jalannya dan segera keluar dari dalam gedung.