Poselnya berdering keras. Rangga menelponnya. Ia berpikir sejenak. Jean melihat kembali poselnya dan mengangkat telepon dari Rangga.
“Iya, halo kak. Pulang aja kak. Gak usah ngantar aku,” Tolak Jean langsung ketika mengangkat telepon.
“E, kok gitu. Kakak udah bangun pagi banget buat jemput kamu.”
“Iya, maaf kak. Please banget kak aku beneran gak mau dianter.”
“Ada apa sih?”
“Pulang aja, kak.”
“Kalo kamu gak ngasih alasan, aku nerobos masuk, nih.”
“Ya, udah deh. Jangan di depan gerbang juga kali, agak jauhan.”
“Ada apa sih? Kakak beneran masuk nih.”
“Lo nantang banget, sih.”
“Jean kok ngomongnya gitu sih?”
“Pergi aja, kak.”
“Ya udah. Kalo gitu kamu punya utang jalan sama aku seharian. Bye.”
Rangga mematikan teleponnya. Jean menghela nafasnya dan menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur lipat. Wajahnya terlihat cemas.
Kak? Kenapa kamu maksain diri? Hati kita bukan benda, kak. Kakak gak bisa maksain diri kakak buat suka sama aku. Kakak juga gak bisa maksain aku kayak gini, walaupun rasa itu masih ada.
Poselnya kembali berdering. Jean kembali bangkit. Ia segera mengecek siapa yang meneleponnya kali ini. Ia takut jika Rangga masih bersikeras mengantarnya. Ternyata manejer tempatnya bekerja menelponnya. Jean segera menarik nafas lega dan segera mengangkat teleponnya.
>>>>><<<<<
Jean mengorek isi katung sakunya. Ia mencari kunci pintu kosannya. Dengan tubuh setengah basah ia terus mencari kunci itu dengan tubuh yang menggigil kedinginan.
Setelah mengambrak-abrik isi tas miliknya, ia berhasil menemukan kunci kosannya. Ia segera mendorong daun pintu kosan karena tak tahan lagi menghadapi dinginnya udara diluar. Tangannya langsung mencari handuk untuk mengeringkan tubuhnya.
“Siapa?” Tanya Jean saat daun pintu kosannya di ketuk keras.
“Uci,” Jawab orang itu agak berteriak. Jean segera membukakan pintu. “Waw, lo basah kuyup.”
“Ada apa?”
“Nih,” Uci menyodorkan sebuah katung plastik pada Jean.
“Awas kalo sop ayam lagi,” Jean mengambil kantung plastik itu dari tangan Uci.
“Ih, itu mah cuma becanda.”
“Air sopnya banyak isinya cuma wortel sepotong,” Sindir Jean.
“Udah dibilangin itu mah cuma becanda.”
“Iya, iya. Sensitif banget lo. Makasih,” Jean menutup pintu.
“E.. tunggu dulu,” Uci mendorong daun pintu Jean agar kembali terbuka.
“Apa lagi?”
“Tapi pagi gue liat ada cowok di depan,” Uci melamun mengingat-ingat hal tadi pagi. Jean menelan ludahnya. “Mukanya boleh juga. Dan keliatannya tu cowok kesel banget, deh. Lo tau gak tu cowok?”
Uci melirik Jean “Ah, keliatan. Lo pasti kenal,” Tebak Uci agak berteriak. Jean segera menarik Uci masuk kedalam kosannya. Ia segera menutup pintu.
“Acie..”
“Gue emang kenal, tapi gak cie juga kali.”
“Emangnya tu cowok siapa?”
“Kak Rangga,” Jean meletakkan kantung plastik dari Uci tadi di atas meja kecil miliknya.
“Oh, itu…,” ucap Uci setengah berteriak. Jean segera menutup mulut Uci.
“Lo bisa gak ngomong pelan-pelan?” Uci mengangguk. Jean melepaskan tangannya.
“Bukannya lo itu pernah deket?” Bisik Uci.
“Uci, gak bisik-bisik juga kali,” Jean membuka daun pintu lemarinya.
“Bukannya lo itu pernah deket?” ulang Uci.
“Iya,” Jawab Jean tenang.
“Come back?”
“Gak, temenan doang kok,”
“Tapi..,” Uci agak berpikir.
“Udah, tolong beliin gue obat sakit kepala,” Jean memberika Uci selembar uang.
“Oke,” Uci pegi keluar dari kamar kosan Jean dan melupakan apa yang berusaha ia pikirkan tadi.
~
Oleh Luthfita