Part 20. Love Escape
Dua bulan yang lalu.
Aku setengah berlari lalu meloncat ke arahnya. Bodo amat dengan apa yang ada di sekelilingnya. Sekitar limabelas menit lalu aku baru saja memandangi tempat ini, yang seperti sebuah museum bagiku, bersejarah. Aku sudah menahan degup jantungku sedari sekitar dua jam lalu di dalam pesawat agar tidak sampai terdengar keluar. Seketika kuteriakan namanya setelah lima menit aku melihat punggungnya, meyakinkan diriku, bahwa itu benar-benar dia.
Aku tidak sedih, tapi entah kenapa air mata ini bergelantungan di ujung mata. Mendengar namanya dipanggil dengan lantang, dia menengok kaget. Belum seratus delapan puluh derajat ia lurus melihatku, aku sudah menemplok di badannya. Dia gelagapan. Tidak ada yang berubah sama sekali darinya. Rambutnya masih ikal dengan warna yang sama, hidungnya masih lebih mancung dariku, bibirnya masih tipis dan tidak lebar.
"LUNA??" Katanya juga dengan lantang. Aku langsung menciumnya di atas gendongannya. Ini rindu menahun yang kutahan. Rindu yang selalu kucoba abaikan. Dia tidak banyak membalas ciumanku, dia lebih banyak tertawa dan tersenyum.
"God, damn! I missed you!" kataku. Aku berhenti menghujaninya dengan ciuman. Kemudian memperhatikan wajahnya, masih tetap digendongannya. Beratku yang naik dua kilo, kayaknya sih nggak ada efek apa-apa baginya. Dia lalu menurunkanku dari gendonganya perlahan. Dengan senyuman yang masih lebar, setengah tertawa aku mulai memperhatikan sekeliling. Dan, owh crap! Aku melihat seorang wanita Bule yang sedang memandangiku dengan pandangan aneh, campur kaget.
Pliss, jangan bilang ini pacarnya. Pacar barunya. Oh bukan, mungkin saja ini pacar lamanya. Aku kan sudah hampir dua tahun tidak bertemu dengannya. Sepersekian detik, teringat Charlie yang tidak banyak membalas ciumanku tadi. Senyumku mulai pudar. Aku melirik ke arah Bule kesayanganku, atau-kalau ini betul pacarnya, berarti statusnya akan berubah jadi, mantan Bule kesayangan.
"Kenalin, ini Jessica, my sister." Sister? Katanya adiknya sudah lama meninggal gara-gara kanker payudara.
"Sister? Bukannya, adik kamu...?"
"Owh... Ya, elder sister." Dia menyadari kebingunganku.
Aku menghela nafas. Lega. Eh, belum tentu. Sebelum pikiran negatif itu kembali datang, aku bersalaman dengan Jessica.
"Aluna... nice to meet you. Sorry, I don't know if you..."
"It's okay! I knew you. He talked alot about you. Nice to see you too, Luna." Ini sekeluarga si Charlie emang ramah-ramah kali, ya. Nggak ada lagi muka aneh dan kaget yang kulihat dari wajah Jessica.
"Hei, gimana ceritanya kamu bisa kembali ke sini?" kata Charlie. Walau aku belum bisa memastikan statusnya masih single atau tidak, sekarang, tapi aku senang melihat muka si Bule itu sumringah, antusias bertemu denganku. Ya, you know, aku belum tahu kan, kenapa handphone-nya bisa nggak aktif lagi.
"It's a long-long story."
"Kamu udah makan siang?"
Aku menggeleng. "Makan, yuk!"
Aku mengangguk girang. "Let's go!"
Dia kemudian berjalan keluar toko rotinya. "Eh bentar, aku belum check in. Itu koperku." Nyengir aku menunjukan hampir empat koper warna warni bertengger di depan pintu masuk toko rotinya.
"Banyak banget? Lagi ada project nulis lagi?" Karena hanya tiga bulan saja waktu itu, aku sudah membawa dua koper.
Aku menggeleng. "Taro di rumahku dulu aja, ya." kemudian dia dengan sigap membawa koper-koperku ke rumahnya.
Tidak sampai setengah jam kita sudah sampai di kafe langganan dulu. Di pinggir Kuta. Masih inget kan, kalau dulu kita suka menghabiskan waktu di pinggir Kuta. Rasanya kayak dejavu banget.
Aku makan dengan lahap. Tahu kenapa berat badanku bisa naik. Aku, kalau sedang senang, makannya banyak. Charlie tidak banyak menyentuh mac n cheesse-nya. Sedangkan aku sudah hampir mengabiskan satu porsi Agilo Olio. Aku tahu, dia sering memperhatikanku.
"Oh iya, handphone kamu rusak, ya?"
"Nggak, kok." Dia kaget.
"Kok mati?"
"Ini, nyala." Dia merogoh saku celananya dan menunjukannya padaku.
"Kenapa ganti nomor?"
"Aku nggak ganti nomor. Nomor Indonesiaku selalu yang itu."
Aku menghentikan kunyahan Agilo Olioku yang tinggal satu suap lagi. Ada sebuah keanehan yang belum kumengerti di sini.
"Impossible. Aku telepon kamu itu selalu mailbox."
"Kapan kamu telepon aku? Hari ini?"
"Nggak sih... Tiga-empat bulan yang lalu."
"Oooh... It was christmas. Aku balik ke Melbourne. Aku baru sekitar sebulan lalu balik ke Bali lagi. Terus sekalian kakakku ikut, katanya mau liburan."
"Ooh..." Aku manggut-manggut.
Aneh deh, rasanya banyak yang ingin aku ceritakan, aku tanyakan padanya. Banyak sekali yang ingin aku obrolkan dengannya. Tapi, siang ini, sedari di sekuter besarnya, kita lebih banyak saling diam. Dia juga tidak banyak bertanya padaku. Mmh, tapi Charlie emang nggak bawel sih. Dulu-dulu, biasanya memang aku yang akan dengan sendirinya bercerita.
Kita lebih banyak tersenyum satu sama lain. Rasanya kita kayak sama-sama mau bilang, "I dont't know what I'm going to to say. But I just want to hug you a lot." Tapi, kata-kata itu tidak keluar, hanya tertahan di ujung lidah dan bertransformasi menjadi sebuah senyuman lebar-setengah tertawa setiap kali kita bertabrak pandang.
Akhirnya sore itu dia ikut mengantarku dengan taksi ke hotel. "Biasa, cewek, kenapa suka banget bawa barang banyak?" Katanya sambil melihatku membongkar salah satu koperku di kamar.
"What?"
"Kakakku juga gitu. Katanya cuma satu bulan, tapi dia bawa satu koper besar." Lanjutnya.
"Ooh..." kataku. Lalu aku lalu berjalan menghampirinya yang sedang duduk di pinggir kasur hotel bintang tiga yang kusinggahi.
"I'm gonna stay here, Charlie." Baru sadar, berdiri dihadapannya yang sedang duduk kayaknya menjadi posisi favoritku. Karena membuatku bisa full zoom in wajahnya. Membuat tinggi kita hampir sama.
"What??" Dia mengernyitkam dahinya.
"Here. I have a gift for you." Aku menyembulkan lenganku yang kusembunyikan dibalik pinggang.
"Novel kamu??"
Aku menggangguk. Dia tersenyum, manis sekali. "Aku baca nanti di rumah, ya."
Lalu tetiba degup jantung itu muncul kembali. Dia menarik pinggangku perlahan. Membuatku yang sudah berada di hadapannya, kini bersentuhan badan dengannya.
"What do you mean by 'staying here'?" Tanyanya pelan di depan wajahku.
Aku menahan senyum. Semoga ini akan menjadi kabar baik untuknya. Bukan malah sebaliknya-kalau dia sudah tidak single lagi.
"Sekitar empat bulan lalu novelku terbit. Laris, dan sekarang sedang akan launching versi inggrisnya. Itu yang aku kasih kamu, english version already. The first copy. Annd... Sooo, on that moment, I was thinking about you-actually, I was thinking about you everyday. Than I realize..." Jantungku makin berdegup. Rasanya kok kayak mau nembak cowok gini yah. Come on, lo udah mau tigapuluh, Luna! Masih aja saltingan.
Charlie mendengarkanku dengan seksama. Dia menuggu jeda dari kalimatku tadi.
"I realized, that I... " Aku melemparkan pandangan ke sekeliling kamar. Mencari kata-kata yang paling tepat, karena aku tidak pernah berlatih untuk mengutarakan perasaan ini di hadapannya.
"I love you, Charlie. I just want to stay beside you!" Aku mengernyitkan dahi, mengatur nafas. Pernah tahu rasa lega yang, rasanya seperti sampai agak ngilu? Ya, rasanya seperti itu, orgasme dalam definisi perasaan.
Dia masih bengong. Please say something. Tapi plis, jangan bilang kalau kamu udah punya pacar dan menolakku untuk tinggal di sini.
"You sure??" Dia pake nanya segala lagi, ah!
"Iya lah! Kenapa? Kamu udah punya pacar?" Nggak tahan, akhirnya kukeluarkan juga pertanyaan yang mengganjal sedari tadi siang.
"Wow! Oh, nggak. I told you, I'll be here waiting for you. But, I never thought it will be a happy ending. I mean, I thought you just... gone." Dia mengangkat bahunya dan menggeleng kecil.
Gantian aku yang diam sekarang. "I guessed, I don't have any idea to clear my mind about you. But now, I don't know... you just come here, for me. It is a tragedic, Luna! HAHAHA..." suara renyah tawa itu, ah, akhirnya bisa kudengar lagi. Aku sudah lupa kapan terakhir kali aku mendengarnya. Aku tidak mengikutinya tertawa. Air mata itu kembali menggantung. It feels really-really release. Aku menarik badannya ke dekapanku. Aku meneteskan air di ujung mataku. Memejamkan mata dan memeluknya erat sekali.
Dia sadar aku menangis. "Hei, why are you crying? Something wrong? With your dad? Or...?"
"Nggak kok. He is fine. I just, I thought I lost you too. Semenjak telepon kamu mailbox, aku pikir, aku sudah kehilangan kamu. Dan, tiga bulan dulu awal kita kenal itu. That just kind of our 'three months stand'."
Dia membelai rambutku. "Never, Luna." Dia menggeleng. Menarik kepalaku, lalu menempelkan bibirnya ke bibirku. Rasa manis itu rasanya masih terasa. Tidak ada yang berubah dari kecupannya. Kita sekarang sedang sama-sama melepas rindu. Aku tidak pernah habis pikir, bagaimana bisa dia bertahan dua tahun, tanpa rutin menghubungiku, tapi tetap bisa mencintaiku.
Dari sekedar bersentuhan, bibir kita sekarang menjadi saling tarik menarik, semakin lama semakin dalam... dan cepat. Dia menarik tubuhku, membuatku mengangkat satu persatu kakiku naik duduk di atas pahanya. Kita saling berhadapan. Dari tanpa suara, semakin bersuara. Jemariku sudah sedari tadi bermain di belakang rambutnya. Jemarinya pun sudah sedari tadi bermain dibelakang punggungku.
Irama maju mundur tidak lagi hanya sebatas bibir kita. Dia mengangkat kaosku. Meninggalkan pemandangan tubuhku dibalut bra hitam. Kemudian kudorong dia ke depan. Ia terjatuh di atas kasur, di bawah badanku. Kutarik kaosnya ke atas, dia membantuku dengan mengangkat kedua tangannya. Charlie tidak se-atletis Nino. Tapi rambut halus berwarna pirang yang tumbuh di dadanya, membuat sensasi tersendiri bagiku saat bersentuhan langsung dengan dadaku. Kemudian dia membuka kait di punggungku. Aku menyibakan rambut sepundaku ke samping kiri. I'm topless. And so he is. You know what we're going to do.
Bercinta dengan Charlie, si Bule, kata sebagian orang berbeda jika dibandingkan dengan pria-pria satu negaraku. Tapi menurutku, sama saja. Frekuensi Bule ini tidak berlebihan, sama saja dengan pengalaman-pengalamanku sebelumnya. Dari segi gaya juga, tidak se-ekstrim seperti di film-film yang pernah kutonton waktu sekolah dulu. Hanya saja, durasinya lebih lama. Bisa dua kali lebih lama ketimbang saat aku melakukannya dengan Nino dulu.
Make you feel amazing, you can get multiple orgasm in one round, when you usually get once-or twice.
Malam itu, aku hanya berdoa, Tuhan, aku hanya ingin bersamanya.
***
Hari ini.
It was a noon. I had lunch in one of cozy restaurant in this town. That was my first week in Bali. I was writing my first book, got stuck on my idea and mind. Ate some American noodle that they called sphagetti. I have no one here. Just went on purpose, escape. From the New York of Indonesia, Jakarta.
No one doesn't know about Bali. And indeed, I had really fresh air in here. Rent a house, walking a lot in a less polution and woke up with every sunrise smelled. I finished my lunch, and had no something to write. I closed my laptop and going to paid. I walked to the cashier table and I saw a man standing beside me, suddenly.
"Hai..." He said. I don't know, did I wore something wrong? I guessed nothing was wrong with the blue jeans short pants, white tank top covered with loose square shirt. Or, did I leave my wallet in the table? But I saw it right here in my little sling bag.
"Do I know you?" I answered.
"Oh, not yet." He seemed a little shock with my question.
"I am Charlie." He through his word.
Heard that name, made me got a little wierd and turn to say, "Sorry, but I'm not an angel." I didn't know, I just felt such in the Charlie's Angel movie.
He laughed unexpectedly. The sound of his laughed reminds me to the KFC's chicken, crunchy. Then I smiled to him.
"Where do you go?" He asked.
"Go home."
"May I take you home?"
I already paid my lunch. I Smiled to him, again. "Sorry, but I prefer walked." I said.
"Then we walked." He forced.
Is he a criminal? At a glance of my mind. But I didn't know, I just trusted him. At the first time we met.
Aku tahu dia sedang membaca halaman akhir itu. Dia melirik sesekali dan tersenyum ke arahku yang sedang duduk di hadapannya dengan laptop di hadapanku. Ini hampir pukul setengah enam pagi. Matahari baru menggeliat menampakan dirinya. Aku menyeruput kopi pagiku.
"Aku lari dulu ya." Katanya setelah menutup bukuku yang selesai dia baca. Sudah seminggu ini dia rutin jogging di pagi hari. Berat badannya naik tiga kilo setelah hampir setiap hari memakan masakanku. Dia tidak mau jadi Bule tua kegendutan, katanya.
Sekitar hampir dua bulan aku tinggal satu rumah dengan Charlie. Bangun dan tidur bersama. We are definitely a couple now. Hasil royalti bukuku kugunakan untuk meng-invest rumah di kota ini juga-yang rencananya akan kukontrakan ke orang. I just wanna grow old with him in this town. Dan sekarang, aku sedang menulis novel keduaku. Ada beberapa tawaran menulis skrip dan cerpen yang datang padaku juga. I'm walking on my dream.
Dari teras rumahnnya aku memandangi punggungnya yang perlahan menjauh di balik jaket putihnya. Kulihat cover bertuliskan 'Love Escape' di meja sebelah kopiku, bukuku yang baru saja selesai dibacanya. Oh iya, nggak tahu kenapa Bu Widi mendadak merubah 'Sweet jadi ‘Love' di waktu-waktu terkahir sebelum dicetak.
And, Oh, don't you dare to judge me! Aku dan Charlie punya rencana. Kita sudah membahasnya. Jangan pikir kita hanya sekedar berzinah, kumpul kebo, samenleven, or whatever. Apakah kita menikah? Pindah agama? Mmh, kasih tahu nggak yaa...
***
TAMAT