Read More >>"> Love Escape (Part 15. Pahlawanku) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love Escape
MENU
About Us  

Part 15. Pahlawanku

 

"Bukan gitu, Yah. Ada progress-nya kok. Udah ada penerbit yang mau nerbitin novel Luna. Ini Luna lagi ngedit.”

"Sekarang apa salahnya sih, kalau kamu sambil kerja kantoran!"

"Kantoran itu kerjanya seharian. Mana bisa Luna fokus nulis nanti!"

"Duh, kamu itu ngeyel banget sih! Sudah, pokoknya bulan depan kamu kerja aja di kantor temen Ayah!"

“Ayah kenapa sih selalu maksa? Cukup sampai kuliah dulu Luna bisa nurutin apa yang Ayah mau. Sekarang, semua terserah Luna, dong!"

"Kamu mau jadi gembel apa? Uang nggak punya, kerja nggak punya, usaha apalagi. Ditolongin, malah sombong!"

"Apaan sih?! Pokoknya Luna nggak mau kerja kantoran, atau ngikutin apapun apa yang Ayah mau!”

 

   Kubanting pintu kamarku. Emosiku naik, memuncak, lalu berubah menjadi bulir-bulir yang menetes di pelupuk mata. Kenapa aku selalu merasa sendiri. Sama seperti sekarang. Tidak ada yang bisa kujadikan tempat bersandar. Ini adalah kali ketiga aku dan ayahku berdebat. Dia kembali memaksakan kehendaknya. Agar aku bisa punya pekerjaan. My only one job that I've dream is being a writer. Udah. Titik. Kenapa dia nggak pernah bisa dukung apa yang aku mau sih. Hampir lima tahun aku bergerumul dengan fisika, matematika, mekanika, dan segala hitungannya di kampus dulu. Dan aku tidak suka itu! Cuma Nino alasanku semangat berangkat ke kampus waktu itu. Dan sekarang, Nino pun sudah pergi, dari hidupku.

Belum lagi kelas IPA yang dia wajibkan untuk kupilih sewaktu SMA Katanya, "Anak IPA itu keren lho, pintar-pintar." Bodo amat! Baru aku sadari, keren saja tidak cukup untuk membuatku bahagia. Ah, andai saja ada ibuku. Di anak-anak lain dengan orang tua lengkap, pasti akan dipeluk ibunya saat dia bertengkar dengan ayahnya. Setidaknya itu yang aku tahu dari sinetron. Selain IPA, dia juga suka bilang, "Bergaul itu sama anak-anak yang pintar, terkenal. Biar kamu kebawa, jangan sama yang kutu buku, culun gitu.” Ya Allah, bapak mana coba yang bisa bilang begitu. Kalo bukan bapak gue! Dan tololnya, aku pun mengikuti semua suruhannya. Tanpa mampu memilah. I told you, I was trying hard to be perfect for him. And he was my hero, indeed.

Ini sudah sekitar satu bulan aku tidak keluar rumah. Fokus mengetik naskah baru, seperti yang si Ibu-Ibu editor berambut pendek itu suruh. Jenuh? Pasti, lah. But I'll tell the world how's Aluna Sastiwijaya works! Tetiba ada sebuah pesan masuk.

 

"Luna, aku minta maaf ya. Bisa kita ketemu?" Pesan dari Nino? Seketika jantungku berdegup.

 

“Ada apa nih?"Bisa. Selasa depan, gimana?"

 

"After office hour ya. Tau Laberista yang di Senopati ga?"

 

"Tau. Tapi, ada apa ya?"

 

"Pengen ngobrol aja. Nanti juga kamu tau. See you ya!"

 

Rasanya udah berabad-abad aku tidak saling berkirim pesan dengannya. Kubaca ulang beberapa kali tek-tok-an pesan kita tadi. Kok murah banget ya gue, langsung main bilang bisa-bisa aja! Duh, nyesel kan. Ah, kebiasaan nih!

Tapi, bodo amat deh. Penasaran juga kenapa dia pake minta maaf segala. Mungkin dia baru sadar kalau selama ini dia salah telah melepaskanku. Apa dia mau minta rujuk? Hush! Jangan ge-er Luna. Memangnya, kamu sendiri masih ada perasaan kepadanya? Setelah puluhan caci maki kalian berdua. Setelah aksi saling bikin cemburu satu sama lain-yang walau itu terjadi karena tidak disengaja. Atau, kamu hanya penasaran? Oke, whatever! At least he showed the good will. Selasa, tiga hari lagi dari sekarang.

 

Waktu itu siang hari. Aku sedang makan siang di salah satu restoran di Bali. Hari itu adalah minggu pertamaku di kota ini. Aku sedang menulis buku pertamaku. Banyak ide yang muncul, tapi tidak satu katapun yang mampu kutuangkan di laptop ini. Aku lebih memilih melahap mie Amerikaku, yang orang-orang sebut sphageti. Aku sendirian di sini. Aku pergi kemari dengan satu tujuan, melarikan diri. Dari Jakarta, New York-nya Indonesia.

Aku melanjutkan tulisanku. Konsepnya sudah matang. Walau baru jalan setengah. Tapi akan segera kuselesaikan. Targetku bulan depan harus sudah selesai. Semoga nanti si Ibu editor itu masih ingat denganku walau sudah tidak bertemu sekitar dua bulan. Bodohnya aku, waktu itu kenapa aku tidak minta kontaknya saja. Ah, aku hanya terlalu senang saat si Ibu editor memberikan angin segar dalam komentarnya atas naskahku. Setidaknya, just make it quick! Terbit, lalu aku akan segera keluar dari rumah ini.

Keesokan paginya, rutinitasku hanya bangun, keluar kamar, sarapan, mandi, lalu masuk lagi ke kamar untuk menulis. Sampai jam makan siang tiba, aku keluar kamar lagi, malan siang, lalu masuk lagi, menulis lagi. Kalau lelah, aku tidur satu-dua jam di menjelang sore. Sekitar jam 5 sore, aku mandi, lalu makan malam, kemudian masuk kamar lagi. Semua kegiatan itu kulakukan setelah ayah berangkat kantor-dan sebelum dia pulang. Aku menghindari bertemu muka dengannya. Males aja gitu.

Aku sedang tidak memikirkan hal lain selain tulisanku. Dengan usaha keras aku mencoba tidak ambil pusing pada konflik dengan ayah. Atau, tentang pesan permintaan maaf dan ajakan ketemuan dari Nino semalam. Serta, biarlah hanya angin dan hujan membawa rinduku selalu kepada Charlie yang semenjak malam itu, tidak pernah lagi aktif handphone-nya. As I said, ketidakperdulianku, kembali akan menjadi pahlawanku, sepertinya.

***

 

Hari ini hari selasa. Laberista itu, cafe & lounge gitu-lah. Semua tempat di kawasan Senopati itu pasti tempat yang elite dan mahal. Tongkrongan baru Nino, mungkin. Aku agak malas berdandan. Aku hanya ingin memenuhi rasa penasaranku saja. Dress polkadot selutut yang dipadankan dengan sepatu kets putih dan tas selempang kecil andalanku menjadi OOTD ku malam ini. Dengan meminjam mobil ayah-Oh, come on! Walau sebel, tapi kenapa aku tidak bisa berhenti meminjam darinya. Keadaanya malam itu, agak malas ber-ba-bi-bu mencari alasan untuk pamit pada ayah mau kemana aku di jam setengah tujuh malam dengan dandanan seperti itu.

Oh ya, aku hampir 28 tahun, tapi karena masih tinggal di rumahnya, aku harus pamit padanya kemana pun aku keluar rumah. Aku bilang saja jujur mau ketemu Nino. Sepertinya Nino masih jadi mantan memantu favoritnya, dia lalu bilang. "Pakai aja mobil ayah." Karena kayaknya, enak juga nih, daripada harus lama nunggu-nunggu taksi online. Dan kemudian, sekarang aku sudah di jalan, melaju ke arah Laberista. Agak macet. Tapi, aku santai saja. Tidak sedeg-degan biasanya saat mau ketemu Nino.

 

"Aku sudah sampai nih. Kamu dimana?" Satu pesan masuk ke handphone-ku.

 

Kan, Nino sampai lebih dulu, dia akan menungguku. Sekelibat, ge-er boleh dong ya. Yap! Entah kenapa, jika dengan Nino, siapa yang duluan itu menjadi hal penting. Nggak tau, kayak, ada gengsi aja gitu buat mulai duluan.

 

"Di jalan. Lima belas menit lagi sampe."

 

Sesampainya di Laberista, seperti lounge-lounge lain di Senopati yang memiliki parkiran sempit, aku kesulitan mendapat parkir. Tapi sekilas aku sudah melihat Range Rover nya Nino bertengger di depan. Dia pasti Valet deh, makanya dapet parkirannya nyaman banget. Abang parkir akhirnya menyuruhku parkir agak jauh sedikit. Aku harus berjalan kaki sekitar limapuluh meter-an untuk masuk ke Laberista 

Setelah aku masuk. Mataku kayaknya mulai minus deh ini, suasana remang-remang di dalam Laberista membuatku tidak dapat melihat jelas setiap pengunjung di sana dari jarakku berdiri. Sekarang. Aku kesulitan mencari Nino.

 

"Sudah pesen Table, Mbak?" Tanya salah saeorang pelayan.

"Oh, nggak. Saya sudah janjian kok sama orang."

"Mmh, boleh tahu namanya? Siapa tahu sudah di reservasi."

"Oh, Nino." Aku serba kebanyakan Oh. Gagap suasana gini kan jadinya.

"Nino?" Tanya si pelayan tadi. Tampaknya nama yang kusebutkan tidak ada di dalam list.

"Gionino. Ada, mbak?"

"Oooh... Pak Gionino. Iya, mari silahkan ikut saya." Akhirnya, cukup sudah berbasa-basi di pintu masuk fancy resto ini. Dan aku sudah siap untuk pasang muka judes, sambil akan bilang, Ada apa ya, No? Hahahaha... I'll win! Setelah sukses membanjurnya dengan es kopi di coffee shop waktu itu. Lalu tetiba lamunan Itu terpecah sesaat ketika aku mendengar suara yang sangat kukenal. Aku mencari arah suara itu. Dan, Hap! melihat Nino dalam balutan kemeja hitam slim-fit yang-walau tertutup-tapi seolah bagiku-yang sudah pernah tidur dengannya- seperti nampak jelas otot-otot di bagian dada dan perutnya yang semakin jadi. Mungkin dia rajin ngegym lagi sekarang. Mana itu jambang dan bewok halus berjejer rapih membentuk barisan di pipi sampai dagunya. Aku melting! Rasanya aku baru saja bertemu dengan Adam Levine. Oh, wajah Nino ga sepanjang si vokalis Maroon Five itu sih. Tapi, tetep aja. Rada bikin aku minder, sekaligus turn on.

"Hai, Lun..." Dia berdiri menyapaku duluan saat melihat aku berjalan dengan si Mbak pelayan.

"Hai..." Jawabku semanis madu. Mungkin kata orang-orang, atau kata si Mbak pelayan tadi. Wah, ini pasangan yang sedang kencan romantis kali ya. Atau semacam, what a beautiful couple indeed. Tapi sayangnya mereka salah. Kita adalah, ex-beautiful couple! Bisa jadi nih, gelas, atau garpu di sini bisa melayang nanti kalau kita udah ribut. Terus mendadak aku teringat, adegan Mr & Ms Smith kan, yang tau-tau make love waktu abis lempar-lemparan pisau di dalam rumah. Oke! Stop Luna! Fokus ke Nino.

Aku duduk di hadapannya. Di kursi berwarna merah bermeja bundar. Beberapa detik kita tidak bicara. Hanya sesekali bertabrakan mata. Si Mbak, menuangkan minuman ke gelasku.

 

"So, ada apa ya, No?" Tanyaku judes. Melancarkan rencanaku tadi.

Dia tersenyum. Agak diluar dugaan dia nggak sejudes biasanya.

"Nggak, mmh... Ada dua hal sih yang mau aku sampein ke kamu." Mukaku merengut. Apalagi nih.

"Pertama. Yes, aku kangen kamu. Makanya aku pilih tempat ini. Kangen aja, pengen... Inget dulu-dulu waktu kita-yaa, you know... what I mean." Dia memutar-mutar jemarinya. Mengekspresikan maksud 'you know what I mean-nya.' Aku mengangguk paham. Bukannya ge-er, kali ini aku kok malah takut ya. Aneh banget aja gitu. Sudah kayak empat-lima tahun lalu, aku kenal Nino yang seperti sekarang ini. Take a girl into a fancy place, say something romantic. Itu dulu, dia banget. Masih inget kan cara Nino melamarku waktu itu?

"Terus, yang kedua?" Tanyaku.

"Kedua, aku mau minta maaf. Hmm, maksudku, ki-ta-ber-du-a saling mema-af-kan, gi-tu." Muka ramahnya mendadak berubah tegang. Ah, Nino, andai masih bisa kubelai wajahmu. Menenangkan ketegangan di wajah itu.

"Maaf buat apa, ya?"

Dia tertunduk sebentar. Mungkin dia bingung bagaimana cara menyampaikan maksudnya.

"Luna, kita sama-sama tau lah, kita pernah saling menyakiti satu sama lain, kan?" Tetiba kalimat itu terlontar lancar dari bibir tipisnya. Oh, can I have that one kiss, pliss?

Sekarang aku makin deg-degan. Nino tidak pernah bisa kutebak.

"I-iya. Maksud kamu, kamu-mau-kita-baikan? Atau... Apa sih?" Aku membaca arah pembicaraanya, tapi masih belum yakin.

"Nah, yap! Baikan, mema-afkan... Sama lah, ya... Walau kita sama-sama tau, kalau kita nggak mungkin lagi bersama." Kok sakit ya denger kalimatnya yang ini. Aku memang tidak tahu jelas persentasi perasaanku ke Nino saat ini. Sudah luntur, pasti. Tapi, mungkin masih ada, sedikit.

"Kenapa, No? Kenapa harus sekarang?"

 

Seketika handphone-nya berdering. Ia melihat ke layarnya. "Sebentar ya," ucapnya padaku. Aku mengangguk. Duh, sibuk banget sih kayaknya bapak satu ini. Dia tetap di kursinya, mengangkat telepon sambil menutup setengah mulutnya dan berpaling dari arahku.

 

"Iya."

"Iya udah kok."

"Ya nanti lagi, lah. Kasih aku waktu ya..."

"Iya sayang, besok ya..."

 

Dari baik-baik saja, aku jadi mulai panas. Pantesan gaya terima teleponnya begitu. 'Si Sayang' itu lagi. Deuh! Bisa-bisaan si Nino sayang-sayangan sama itu cewek, tapi masih ngajak baikan gue!

 

"Oke, sorry-sorry." Katanya setelah menutup telepon. Mukaku judes.

"Siapa, pacar baru kamu?" Nadaku sinis. Nah kan, aku bilang apa, we are ex-beautiful couple. Bentar lagi, kita pasti saling maki.

Dia tersenyum kecil. Lalu mengeluarkan kembali handphone dari sakunya, menaruhnya ke atas meja.

"Sampai mana kita tadi?" Katanya lagi. Aku tidak menjawab. Kubuang arah pandanganku ke samping. Aku Bete.

Kemudian dari ekor mataku, kulihat Nino menekan tombol shut down di handphone-nya. Sejekap, terlihat telepon gengamnya mati, gelap, di atas meja bundar ini. Aku mengembalikan pandanganku ke arahnya. Sesaat matanya tertuju pada handphone yang ia matikan, lalu sontak menatapku, tanpa kata. Tapi seolah bicara, "I'm yours, now!"

 

There's something about his manner which alwasy make me feel like this. Aku tahu, ini akan menjadi malam yang panjang.

***

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Hug Me Once
7948      1787     7     
Inspirational
Jika kalian mencari cerita berteman kisah cinta ala negeri dongeng, maaf, aku tidak bisa memberikannya. Tapi, jika kalian mencari cerita bertema keluarga, kalian bisa membaca cerita ini. Ini adalah kisah dimana kakak beradik yang tadinya saling menyayangi dapat berubah menjadi saling membenci hanya karena kesalahpahaman
Kristalia
5573      1492     4     
Fantasy
Seorang dwarf bernama Melnar Blacksteel di kejar-kejar oleh beberapa pasukan kerajaan setelah ketahuan mencuri sebuah kristal dari bangsawan yang sedang mereka kawal. Melnar kemudian berlari ke dalam hutan Arcana, tempat dimana Rasiel Abraham sedang menikmati waktu luangnya. Di dalam hutan, mereka berdua saling bertemu. Melnar yang sedang dalam pelarian pun meminta bantuan Rasiel untuk menyembuny...
Kisah yang Kita Tahu
5187      1464     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
Pensil Kayu
335      218     1     
Romance
Kata orang cinta adalah perjuangan, sama seperti Fito yang diharuskan untuk menjadi penulis buku best seller. Fito tidak memiliki bakat atau pun kemampuan dalam menulis cerita, ia harus berhadapan dengan rival rivalnya yang telah mempublikasikan puluhan buku best seller mereka, belum lagi dengan editornya. Ia hanya bisa berpegang teguh dengan teori pensil kayu nya, terkadang Fito harus me...
Anything For You
2995      1206     4     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
Dialogue
8507      1751     1     
Romance
Dear Zahra, Taukah kamu rasanya cinta pada pandangan pertama? Persis senikmat menyesapi secangkir kopi saat hujan, bagiku! Ah, tak usah terlalu dipikirkan. Bahkan sampai bertanya-tanya seperti itu wajahnya. Karena sesungguhnya jatuh cinta, mengabaikan segala logika. With love, Abu (Cikarang, April 2007) Kadang, memang cinta datang di saat yang kurang tepat, atau bahkan pada orang yang...
Ingatan
7652      1862     2     
Romance
Kisah ini dimulai dari seorang gadis perempuan yang menemui takdirnya. Ia kecelakaan sebelum sempat bertemu seseorang. Hidupnya terombang-ambing diantara dua waktu. Jiwanya mencari sedang raganya terbujur kaku. Hingga suatu hari elektrokardiogram itu berbunyi sangat nyaring bentuknya sudah menjadi garis yang lurus. Beralih dari cerita tersebut, di masa depan seorang laki-laki berseragam SMA menj...
Thantophobia
1224      698     2     
Romance
Semua orang tidak suka kata perpisahan. Semua orang tidak suka kata kehilangan. Apalagi kehilangan orang yang disayangi. Begitu banyak orang-orang berharga yang ditakdirkan untuk berperan dalam kehidupan Seraphine. Semakin berpengaruh orang-orang itu, semakin ia merasa takut kehilangan mereka. Keluarga, kerabat, bahkan musuh telah memberi pelajaran hidup yang berarti bagi Seraphine.
unREDAMANCY
7410      1755     6     
Romance
Bagi Ran, Dai adalah semestanya. Ran menyukai Dai. Ran ingin Dai tahu. Simple. Celakanya, waktu tak pernah berpihak pada Ran. Ini membingungkan. Ran tak pernah berpikir akan mengalami cinta sendirian begini. Semacam ingin bersama tapi dianya nggak cinta. Semacam ingin memaksa tapi nggak punya kuasa. Semacam terluka tapi ingin melihatnya bahagia. Ini yang namanya bunuh dir...
Sang Penulis
9116      2017     4     
Mystery
Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat menggambarkan sebuah kejadian di masa depan. Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Dan tak ada juga yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat merusak kehidupan seseorang. Tapi, yang paling tak disangka-sangka adalah penulis tulisan itu sendiri dan alasan mengapa ia menuliskan tulisan i...