Part 12. Aku Rindu
"Eh, beneran ini gue nggak apa-apa ama Ical?" Sore ini aku ikut Gina menjemput Ical di bandara.
"Yaelah, lo kayak sama siapa aja sih." Pesawat Ical landing jam tujuh-an malam. Sekarang, kita berada di dalam Tol Sedyatmo di jam setengah enam-an sore.
Kita menunggu di terminal 3. Masih sekitar satu jam lagi Ical baru akan landing. Aku dan Gina memutuskan untuk ngemil di J.CO.
"Lo mau nggak gue kenalin ama temenya Ical, oriental-oriental gitu lah, tapi tajir?" Aku menyunggingkan senyum sambil melahap Oreologi.
"Emang, gue segitu keliatan matrenya yak, Gin?"
"Hahaha.. Ya nggak juga sih. Cuma, gue kan lagi promo nih, ya pasti gue kasih tau kelebihannya dong."
"Nggak, lah. Males gue dicomblang-comblangin gitu. Dari dulu nggak pernah juga."
"Serius? Cakep lho. Yaa kali aja, lo dari yg jawa-jawa manis, lanjut ke Bule, terus mau nyoba yang oriental gitu sekarang?"
"GILA LO! Temen lo sendiri lo anggep barang uji coba apa!"
"HAHAHA... Ya abiis, makanya lo move on dong! Udah, lupain Nino. Eh, terus, kalau lo ama Si Charlie itu, jadi beneran cuma "Three Months Stands" gitu, ya?"
"Yaa... Maunya gue sih nggak, Gin. Beberapa waktu lalu dia pernah telepon gue sih..."
"Terus?"
"Duh, gimana, ya. Gue kayak trauma gitu. Lagian Bule, gue nggak pernah punya pengalaman juga sebelumnya, kan. Tapi, it just feels different. Apa yah..." Aku menggantungkan kalimat.
"Apaan sih? Lo mau ngomong apa?"
"Jadi gini, anehnya, gue itu nyaman banget ama dia. Bahkan, dari hari pertama ketemu. Gue percaya aja gitu, dia nganter gue pulang jalan kaki, berdua."
"Ya, teruus??"
"Dia bilang waktu di telepon, bakal nunggu gue balik lagi ke sana. Gue sih seneng dengernya. Tapi terus gue mikir lagi, impossible nggak, sih? Kita nggak pernah ketemuan lagi, teleponan juga cuma sekali. Dan dia bakal nunggu gue, dalam waktu yang nggak pasti. Nggak masuk akal sih, kalau kata gue.”
"Gini ya, Lun. Gue tahu sih, hidup lo nggak mudah. Tapi, coba deh, sekali-kali percaya sama perasaan lo. Percaya sama insting lo. Yang gue tahu sih. Love is about trust. Lo tau kenapa lo ama Nino bubar jalan?"
"Mmh, gue cemburan, dan Nino nggak peka."
"Bukan, tolol! Lo berdua itu sama-sama nggak punya trust. Lo nggak percaya kalau Nino setia sama lo. Nino, nggak percaya kalau lo segitu cintanya sama dia! Udah, titik.”
“Kok lo kayak cenayang, sih? Sok tau lo!”
“Dih, ck!”
“Kalau omongan lo bener, dari sisi belah mana Nino bisa nggak percaya kalau gue cinta banget ama dia? Gue selalu nungguin dia pulang kerja, selarut apa pun. Gue belajar masak buat dia, gue-‘
“Tapi lo posesif, kan?”
“Ya abis dia suka nggak ngasih kabar!”
“Nah, ya itu! Tapi dia selalu pulang ke rumah, kan? Ke posesif-an lo, adalah cara yang mungkin Nino nggak suka. Itu jadi nutup mata dia, atas semua usaha lo ke dia. Paham nggak? Mungkin Nino sukanya di bebasin, dia tau kemana dia akan pulang, yaitu ke lo. Kayak dulu lo pacaran, Nino kan yang lebih sering minta balikan? See?”
Aku diam. Gina kok jadi jago gini sih.
“Gitu, ya, Gin?” Dia mengangguk sambil mencaplok potongan terakhir donat greentea.
“Nah, Ical udah landing, nih.” Kata Gina sesaat setelah dia melihat ke arah handphone-nya.
Aku menyesap coklat panasku sambil bengong ke arah yang nggak jelas. Aku sedih mendadak. Aku menyesal mendadak. Aku menyalahkan, mendadak. Aku bego mendadak.
“Lun!” Ical mengagetkanku. Aku menengok seketika.
“Bengong aje lo!”
***
Ini udah jam sepuluh malam di Jakarta. Kalimat Gina, “Love is about trust” jadi terngiang melulu di kepala. Otakku berputar acak. Mata berat, tapi tidak bisa dipejamkan lelap. Kemudian, kupencet beberapa tombol di handphone. Jantungku berdegup. Campur aduk. Beberapa kali nada sambung kudengar. Tapi tak kunjung diangkat. Tetiba,
“Halo...” Suara berat terdengar di seberang sana.
“Hai... udah tidur, ya? Sorry...”
Suara berat itu kemudian terjeda, diam sebentar. Lalu dia bilang, “Haii... It’s you?”
“Iya. “
“Kenapa? You good?”
Aku lalu gantian diam.
“Hallo... Luna? You there?”
Aku masih diam. Aku tidak tahu mau bicara apa, tepatnya.
“Luna? Are you okay?” Lalu terdengar suara kresek-kresek diselingi suara menguap.
“Yap, I’m okay. Aku cuma mau denger suara KFC kamu.” Suaranya itu berat, tapi empuk. Kayak ayam KFC, gede, tapi kriuk.
Dia tertawa kecil. “I miss you too, Luna.” Jawabnya lirih. Kenapa sama Charlie semuanya teras lebih mudah. Kenapa aku tidak perlu meluluhkan gengsiku untuk bilang kangen duluan, tapi dia sudah paham kalau aku merindukannya. Kenapa dia mau mengangkat telepon di malam-malam seperti ini tanpa alasan ngantuk.
Aku lalu diam lagi.
“You can’t sleep?”
“He’em”
Dua detik kita sama-sama diam. Lalu kudengar dia menghela nafas. “Mau ngobrol?”
Sesaat aku menahan nafasku yang tetiba malah terasa memberat. “Mau.”
Lalu kudengar suara kucuran air. “Kamu lagi apa?”
“Pipis. Cuci muka.”
Aku menahan tawa.
“How is your day?”
“Biasa aja.”
“Udah?”
“Udah apa?”
“Pipis sama cuci mukanya?”
“Oh, udah.”
Aku tidak tahu sampai jam berapa tepatnya kita lalu mengobrol di telepon. Aku cerita soal ayahku, soal Gina, soal tulisanku. Dia cerita soal toko kuenya, soal perkembangan beberapa tempat wisata di Bali, soal resep kue baru yang mau dia coba buat besok.
“Kamu yakin mau masukin pisang?”
“Iya. Lagi jadi trend kayaknya banana, kan?”
“Terus mau kamu namain apa nanti?
“Belum tau, Minipie, Banana pie, or... I don’t know....”
“Minipie? Minion? Banana-Ba-Banana?” Aku mempraktekan suara tokoh kuning kecil berkacamata bulat itu.
“Hahaha....”
“Hahaha...”
***
Aku bangun siang keesokannya dengan tangan kiri yang masih menggenggam handphone.
“Lunaa! Nih, ada paket lagi!” Teriakan Ayah membangunkanku di jam delapan pagi sebelum dia berangkat ke kantor.
Aku membuka pintu kamar. Melangkah keluar, ke arah teras dengan baju kusut, mata setengah melek. Mengambil amplop coklat itu lagi di kursi depan. Ayah sedang pakai sepatu melirikku.
“Hari ini kamu kemana?”
“Belum tau.”
“Ngelamar kerja, gih.”
Aku tidak menjawab.
“Nggak semua yang kamu suka itu bisa terwujud, Luna.” Seraya berdiri, dia berucap.
Gantian aku yang melirik ke arahnya sekarang. Hidup bagai roller-coaster bagiku. Semalam bisa saja aku sedang berada di puncak rindu, mendengar suara si Bule itu. Pagi ini, mendadak aku merasa sedang di puncak keterpurukan, dengan kalimat ayah yang seolah menyadarkanku, bahwa aku hanya seorang wanita, janda, tanpa pekerjaan, dan tidak pernah memiliki apa diinginkannya.
Aku masuk ke dalam rumah. Menghempaskan badan ke kasur. Mendadak segumpal rasa marah menyeruak ke dalam dada. Otaku lebih bisa merencanakan sesuatu ketimbang hatiku yang masih mentok tidak tahu bagaimanna cara menyelesaikan amarah ini. Aku kembali mengambil laptop. Melanjutkannya mengedit naskahku agar menjadi lebih baik lagi. Aku juga membuka beberapa info tentang penerbit-penerbit lainnya yang mungkin saja masih bisa kukirimi naskahku. Atau, aku akan menulis naskah baru lagi jika diperlukan.
Tapi sampai hampir pukul sebelas, menuju makan siang. Kepala ini malah pusing. Tidur larut malam, bangun dadakan, denger ceramah Ayah-yang walau cuma satu kalimat tapi rasanya really ruin my day. Belom lagi perut keroncongan yang minta diisi sama nasi goreng si Mbak. Akhirnya aku memutuskan untuk keluar kamar, mandi, lalu makan. Habis itu, siang-siang bengong di depan TV, sendirian. Mikir.
Mikir semua kalimat-kalimat Gina, kalimat-kalimat Ayah, kalimat-kalimat Nino dulu, kalimat-kalimat Si Charlie. Aku sedang bego banget kali ya hari ini. Semuanya terputar rapih di otak, tapi tidak ada satu pun solusi atau hikmah yang bisa kudapat. Aku masih tidak tahu aku salah di sebelah mana, hingga sampai merasa di titik sesesak ini. Trust, cari kerja, posesif, banana, bola-bola billiard, suasana bandara, janda, kesepian, bau ayam KFC, dan masih banyak lagi. Semua situ melintas kusut di kepalaku.
Tahu kan kenapa aku suka menulis. Ya begitu, banyak sekali isi di kepalaku. Agar tidak meledak, aku harus mengeluarkannya. Agar tidak gila, aku harus membaginya. Dan aku lebih memilih membaginya ke sebuah benda mati, laptop, atau kertas dan pena. Ketimbang dengan mahluk sesama, manusa. Teman.
***