Part 8. Cemburu
Tanggal 25. Tepat di hari kepulanganku ke Jakarta.
Ah, berat sekali rasanya kubuka mata ini. Bukan, bukan karena masih ngantuk. Aku sudah tidur hampir tujuh jam malam tadi, sudah cukup. I just, I guess, I'm in love with Bali. Sedari jam tujuh pagi tadi aku sudah kedap-kedip di atas kasur. Sempat terpikir untuk batal pulang, meloncat ke rumah Charlie, menelepon Ayah, dan bilang bahwa aku akan menetap saja di Bali. Tapi, tidak! Ide itu terlalu gila! Terlalu ekstrem. Aku, tidak segila itu.
Sekarang di jam delapan lewat sepuluh. aku sudah siap di kursi kayu ruang tamu dengan dua koper besar, dan satu tas selempang kecil berlogo dua huruf C saling mengait. Kata si pemilik rumah, kuncinya bawa saja dulu. Dia punya kunci cadangan dan percaya padakku tidak akan menyalahgunakan kunci rumahnya tersebut.
Aku mengenakan celana jeans hitam, sepatu kets putih, dan atasan tank top abu-abu berbahan chiffon yang kututupi dengan cardigan berwarna biru donker. Aku berharap tidak ada yang mengetuk pintu rumah, sehingga aku punya alasan untuk tidak terbang kembali ke Jakarta. Supaya, misalnya saat Ayah menelepon, "Luna, kok kamu ga sampe-sampe rumah, sih?" Aku bisa menjawab santai, "Luna mundur pulangnya, Yah. Kemarin Nino janji mau jemput, tapi nggak ada kabar, keburu ketinggalan pesawat. Mau beli lagi penerbangan selanjutnya, udah pada penuh semua." Lalu, HAP! Aku bisa ke rumah Charlie dan menghabiskan satu-dua malam lagi di rumahnya.
TOK TOK TOK!
Ah! Tuh kan, baru aja ngayal dia ga dateng! Eh, malah dateng. Aku membukakan pintu. Benar saja, Nino ada di hadapanku. Nggak tahu ya, kayaknya, dia lagi nggak seganteng biasanya deh. Kayak, biasa aja gitu. Padahal, rambutnya tetep kelihatan basah seperti biasa. Mengenakan kemeja flanel hijau kotak-kotak yang kancingnya dibiarkan terbuka dengan dalaman kaos hitam polos. Bobotnya juga sepertinya tidak naik atau pun turun. Tapi, nggak tahu, kelihatannya nggak se-fresh biasanya aja.
"Hai." Ucapnya datar. Aku hanya membalasnya dengan senyum. Aku langsung menggiring kedua koperku keluar rumah. Setelah kusapu pandangan sekali lagi ke seisi rumah, meyakinkan kalau, gas sudah dicabut, gorden sudah ditutup semua, air sudah dimatikan, aku pun lalu mengunci pintu.
Nino membantu membawakan salah satu koperku. Rumah kontrakanku yang berlokasi di gang, membuat mobil Nino tidak bisa masuk sampai ke depan rumah. Alhasil, kita perlu berjalan sekitar limapuluh meter untuk sampai ke mobil dan memasukan barang-barangku di bagasi.
Aku dan Nino pun langsung meluncur ke Bandara. Karena jam sudah menunjukan pukul 08.35. Di jalan, aku hanya diam saja. Tidak ada pertanyaan atau bahan obrolan yang menurutku ingin kulontarkan. "Oiya, udah aku check in-in, ya." kata Nino, memotong lamunanku seraya menatap jalanan Bali. Menatap Sunset Road, jalanan di mana aku dan Charlie sering lewati. "Iya. Makasih ya." Jawabku singkat.
Sesekali aku memergoki Nino sedang melirik ke arahku. Tapi tidak kugubris. Mataku terus kulemparkan ke jalan, sampai mobil berhenti di parkiran Bandara Ngurah Rai.
"Halo Pak, Iya, saya sudah di parkiran. Saya tunggu di mobil ya, Pak." Tidak lama seorang bapak-bapak datang ke arah mobil kami. Kulihat Nino memberikan kunci mobil kepadanya. Mobilnya kan, mobil sewaan. Karena memang Nino tidak punya sanak keluarga di Bali. Sama sepert aku. Aku lalu ikut keluar mobil dan menurunkan koper.
Aku dan Nino langsung menuju gedung bandara. Memasuki security check, menunjukan bukti check-in ke counter, memasukan bagasi, dan langsung dipersilahkan untuk masuk ruang tunggu karena akan segera boarding. Tepatnya, aku lebih sering mengikuti ke mana langkah Nino berjalan.
"Kamu kemarin kemana, Lun?" Tanya Nino di ruang tunggu. Seketika aku teringat lima missed call di handphone-ku semalam dari Nino.
"Di rumah aja. Oiya, kamu telepon ya, kenapa?"
"Nggak. Cuma mau ngingetin aja, jam delapan tadi aku mau jemput. Takut kamu lupa."
"Oh."
"Lun,"
"No," Kita berdua tabrakan ngomong.
"Kamu dulu aja." Kata Nino.
"Mmh, nggak sih, cuma mau nanya, kamu lagi sakit?"
Muka Nino berubah kaget. "Nggak! Kenapa emang?"
"Ooh, nggak, kayaknya, kamu pucet aja." Duh, kok aku malah masih care gini sih. Nino tidak berekspresi. "Kamu tadi mau ngomong apa?" Aku langsung saja balik tanya.
"Eh? Eee... Nggak kok. Nggak jadi." Tuh kan, Nino aneh deh.
Satu jam kemudian, kita berdua sudah berada di atas pesawat. Aku mencoba memejamkan mata. Malas dengan moment awkward, krik-krik, duduk sebelahan sama mantan suami, yang-apalagi, lagi agak aneh aja hari ini.
"EHEM!" Kudengar Nino berdeham. Oh. Mungkin dia lagi batuk kali, makanya mukanya agak pucat. Aku membuka mata sedikit, mengintip dari sudut mataku, apa dia baik-baik saja. Mungkin dia perlu kupanggilkan pramugari untuk diambilkan minuman atau, sesuatu lainnya. Tapi dari sudut mataku, aku malah menangkap Nino yang sedang bengong. Kepo, dari cuma ngintip, aku kemudian membuka mata, melirik ke arahnya. Tetiba dia menyadarinya, dan dia balik melihatku. Aku cuma bisa kedip-kedip, terus membuang pandangan ke arah bawah. Ah, kepergok, kan.
"Kamu yakin kita mau cerai aja, Lun?" Makjleb! Aku langsung deg-degan. Tiba-tiba Nino berucap seperti itu.
"Kenapa kamu nanya kayak gitu?"
"Mmh, nggak apa-apa sih. Cuma, kadang, aku suka ragu aja sama keputusan kita. Tapi, kalau... Kalau kamu udah nggak ada rasa lagi. Yaa... Aku bisa apa."
Kok Nino gitu ya ngomongnya. Sejujurnya, aku bingung, maksudnya dia itu apa sih. Mau ngajak balikan? Apa malah mau ngomporin biar cepet-cepet pisah?
Cari aman, aku diam saja. Mengembalikan arah padanganku ke depan. Ke punggung kursi penumpang di depanku. Sesaat kita berdua terdiam. Aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di hati Nino.
"Selamat yah..." Kata Nino lagi seketika.
Ya ampun, selamat apalagi nih orang. "Selamat buat apa ya?" jawabku jadi agak emosi. Ya, kesel aja gitu. Ngomong setengah-setengah. Dengan pemilihan kata yang, rasanya selalu memojokanku.
"Ooh... Jadi, sekarang seleranya yang import nih?" Sumpah, nadanya sinis. Nyebelin abis!
"No, aku nggak mau ribut di pesawat ya!" Tumben-tumbenin sih, aku bisa balik marah menatap mata Nino dengan spontan seperti ini. Aku melihat ekspresi kaget di wajahnya.
Dia lalu diam. Gantian, dia memalingkan wajahnya dariku sekarang. Mulutnya mengatup, seperti ingin mencaci tapi ditahan. Aku pun ikut memalingkan wajahku darinya.
Tetiba, "AKU, LIHAT KAMU PELUK-PELUKAN! CIUM-CIUMAN DI HARD ROCK, SAMA ITU BULE, SEMALEM!" Emosi Nino kayaknya udah lebih dulu mencuat ketimbang aku. Walau tidak teriak, tapi nada tingginya yang berada sangat dekat dengan telingaku, cukup menganggu.
Menahan loncatan emosiku sendiri yang juga berantakan, mendadak ada gejolak di dalam perutku. Saking kagetnya, aku balik menatapnya, nafasku naik turun. Tapi tidak sepatah kata pun mampu kuucapkan
"Gila juga ya kamu! Belom setaun lho kita proses cerai! Surat-surat juga baru kelar kemaren. Udah bisa cium-ciuman sama cowok laen!"
"Kamu tahu dari mana!" jawabku ketus tidak terima.
"Nggak usah tanya aku tahu dari mana! Aku lihat langsung, kok! Kamu pikir kenapa semalem aku nelepon kamu berkali-kali, HAH!"
Aku benar-benar merasa terpojok. Semua yang Nino tuduhkan itu benar. Aku, yang selama ini merasa paling tersakiti oleh Nino. Aku yang merasa paling dibuang karena perceraian kita. Sekarang rasanya malah seperti terbalik. Seperti aku yang sedang menyakiti Nino.
"Kenapa? Kamu cemburu?" Dengan dagu yang kunaikan, mata yang kupicingkan aku bertanya mantap. Gila gila! Dapet kekuatan dari Bulan mana ini, sampai bisa menimpali Nino setegas itu. Kalau apa yang Nino bilang itu benar, memang sih, aku belum pernah melihat Nino berciuman dengan perempuan lain, seperti Nino melihatku berciuman dengan Charlie. Tapi, sejujurnya, Nino sering cipika-cipiki-rangkulan-terus-pegang pinggang, sama cewek lain. Atas nama klien katanya. Tapi, waktu itu, kalau Nino sudah bilang, "Itu cuma klien, titik!" Aku punya bukti apa. Sebenarnya, aku juga dulu sering cemburu padanya.
Nino tidak menjawab pertanyaanku. Seketika perintah memasang seat belt, menegakan sandaran kursi terdengar di pengeras suara. Tanda pesawat segera landing. Kita sama-sama berbenah posisi duduk. Dan secara tidak langsung, membuat obrolan kita tadi berakhir gantung.
Setelah pesawat landing sempurna dan para penumpang dipersilahkan turun. Aku pun langsung berjalan buru-buru keluar pesawat. Mencari tempat conveyor bagasiku keluar. Sekitar lima meter aku melihat conveyor itu, tanganku terasa tertarik kebelakang cukup kencang. Untung aku tidak jatuh.
"ASAL KAMU TAHU YA, LUN! AKU, KE BALI ITU CUMA KARENA MAU KETEMU SAMA KAMU!" Nino seketika terlihat di depanku. Setengah teriak berucap di depan wajahku.
Kaget, campur terharu. Pengen banget rasanya jawab, "Really?" dengan ekspresi terharu. Tapi sayang, satu kata itu pun tidak bisa keluar dari mulutku.
"IYA, AKU CEMBURU! IYA, AKU KAGEN KAMU! PUAS KAMU?!” Nino nelanjutkan ucapannya. Mulutku mulai menganga, ada seuntai kalimat yang sedang kususun sambil terus mengatur nafas.
"Kenapa sih, kamu baru bilang itu sekarang?" Ekspresiku melemah.
Nino kembali mengatupkan mulutnya. Kenapa sih, kayaknya kalau aku menjawab, selalu malah bikin dia makin emosi.
"YA, SEHARUSNYA KAMU PAHAM DONG!" Jawabnya sambil menggosok-gosokkan rambutnya sendiri.
Aku melepaskan tanganku dari genggamannya, "No, kita itu nggak bisa ngelanjutin hubungan, kalau satu sama lain cuma berharap bisa paham sendiri-sendiri." Nadaku melemah. Kita itu sama-sama gengsian. Tapi dia lebih gengsi. Dan dia, selalu emosi saat segala sesuatu tidak berjalan seperti yang dia harapkan.
"Oh, yaudah kalau gitu! Tinggal satu sidang lagi. Aku bakal buat Hakim ketok palu. KITA FIX CERAI!"
What?? Aku speechless. Did I made us apart?? Perasaan itu seketika menyeruak panas di relung hatiku. Aku, adalah orang yang tidak pernah menginginkan perceraian ini terjadi. Kalau kalian ingat, Nino lah yang pertama kali berucap, "Kita cerai saja." Hampir satu tahun lalu, malam-malam, di rumahnya, saat kita habis bertengkar soal kopi. Lalu, yang aku tahu, dia tidak pulang lagi. Sampai surat cerai pertama datang ke rumahku via pos.
Lalu Nino berlalu dariku. Kulihat dia berjalan ke arah pintu otomatis di gerbang kedatangan. Semi percaya nggak percaya, dia sepertinya sudah ditunggu di depan pintu oleh seseorang. Wanita itu berambut lurus sebahu, belah tengah, mengenakan dress hitam simpel selutut, dengan tas kecil yang digengam oleh jari-jarinya. Nino menghampirinya. Sekilas mirip denganku, body tipis-tipis, kulit kuning langsat dan tidak terlalu tinggi.
Dari belakang, kulihat mereka cipika-cipiki-pelukan, dan berjalan ke arah parkiran sambil Nino memeluk pinggang wanita itu. Aku lalu berpikir keras, mengingat seluruh anggota keluarga Nino. Tapi, tidak satu nama pun yang kuingat memiliki postur seperti wanita itu. Mataku panas. Pandanganku tiba-tiba berbayang. Ada bulir-bulir hangat di sudut mata.
Aku menyeka kelopak mataku sendiri.
***