Part 5. We Are Not a Couple. We Are a Lover
"Aku lagi di Bali sampai akhir bulan. Nanti kalau sudah di Jakarta, aku kabari."
Baru kubalas pesan dari Nino siang ini, saat otaku lebih jernih, saat hatiku sedang bahagia, saat aku berada di bawah selimut bersama Charlie. We don't call us as a couple. We're just, a lover. Kutaruh kembali handphone ke meja di sebelah kasur pelan-pelan. Posisiku yang tertiban lengan Charlie membuatku tidak bisa banyak bergerak. Lalu, "Morniing..." ucapnya dengan mata masih tertutup.
Kusingkirkan lenganya, lalu kumiringkan badanku condong ke arahnya. "It’s a noon, Honey!" Dia cuma tersenyum saja. Lalu melirik ke arah jam dinding yang sudah menunjuk angka sebelas. Ia langsung duduk, akan turun dari kasur.
"Kamu mau ke mana?" cegahku.
"Aku harus ke toko. Today is a payday. Nggak semua dari mereka aku transfer."
"Sebentaaar lagiii doong... Bisa setelah makan siang, kan?" rengekku. Bersama Charlie aku bebas manja, bebas merengek, bebas memaksa.
"I can't, Luna. We even never know, what if they want to use it for lunch." jawabnya tegas, lalu memajukan bibirnya sampai menyentuh bibirku. Mengecup selintas lalu berjalan ke kamar mandi.
Setelah selesai cuci muka-gosok gigi, kami pun pergi ke toko, menaiki big scooter miliknya. Oowh... kenapa sih, harus di dua minggu terakhir Charlie baru menyatakan perasaannya padaku. Membuatku jadi tidak mau pulang ke Jakarta kan jadinya. Kupeluk erat punggungnya dari jok belakang. Tubuhnya yang besar seolah terasa melindungiku dari terpaan angin jalanan nan kencang dan panas. Dengan sikapnya yang selalu ada, to the point, dan gaya santai ala Bulenya, Charlie benar-benar membuatku nyaman. Mmh, jangan tanya tentang hubunganku dengan Charlie akan dibawa kemana ya, karena... I really have no idea!
Minggu depan aku sudah harus pulang ke Jakarta. Mencetak tulisanku lalu mengirimnya ke penerbit. Itu sudah menjadi rencana matang di otakku. Sembari Charlie mengurus urusannya di dalam toko, aku memilih menunggunya di motor. Mengecek-ngecek handphone, tampaknya tidak ada balasan dari Nino. Oiya, apakah Charlie tau kalau aku janda? Yaiyalah, for God sake! I told him everything. Dia tahu Nino itu adalah mantan suamiku. Dia juga tau, betapa complicated-nya hubunganku dengan Nino dulu.
Aku minta langsung diantar pulang ke rumah sore itu. Hidup di Bali itu, sumpah, enak banget! Bebas. Mau nggak mandi seharian, mau ke warteg pakai celana pendek, mau lo ketawa atau nangis sendiri di mana pun juga, nggak ada orang yang sinis. Kayak sore ini, mmh... terkahir kali aku mandi itu, semalam, bareng Charlie, dirumahnya. Ups! Kenapa? Kenapa? Sirik ya, apa kaget? Come on, ini 2017 dan di Bali gitu loh-mumpung janda juga-eh, single maksudnya.
Charlie membeli rumah semi toko di daerah Seminyak. Depannya toko, belakangnya rumahnya. Sama-sama sekitar berukuran 6x6. Tanah seluas 84 meter perseginya seolah dibagi dua. Aku suka pada Charlie, aku nyaman bersama Charlie, and so he does, then nothing gonna be a big deal. Setelah mengantarku pulang. Ia pun kembali ke rumahnya. "See you soon, Sweety." kecupnya.
***
Pagi ini sehabis sarapan, aku berjalan kaki mengambil laundry karena berniat mulai menyicil untuk packing. Jaraknya paling cuma seratus meter dari rumah. Di Bali, kemana-mana, untuk jarak yang dekat aku sering berjalan kaki. Kalau jauh, aku biasanya pake ojek atau taksi online. Atau minta antar Charlie jika dia sedang senggang. Lagipula, aku hanya beredar di sekitar Bali Selatan. Seketika handphone-ku berdering sesaat sebelum aku Sempat membuka kunci pintu rumah.
"Kamu dimana?"
"Kan aku udah bilang, aku lagi di Bali."
"Iya tau. Di Bali mananya? Denpasar? Ubud? Atau... Bedugul, mungkin?
"Seminyak." jawabku kesal. Tumben dia bawel sekali.
"Oh, Aku juga lagi di Swiss-Bell Kuta, nih. Ketemuan yuk!"
Keresek laundry-anku seketika jatuh. Ngapain si Nino pake ke Bali segala!
Habis jalan seratus meter bawa-bawa sekeresek besar laundry-an, rencananya aku hanya akan tidur-tiduran, nonton TV, sambil menyicil packing. Ini adalah hari mager seduniaku.
Tapi dua jam kemudian, kuseruput ice coffee-ku. Aku sudah ada di toko kue Charlie sambil ngemil Strawberry Cream Cheese Danish, duduk sendirian di salah satu mejanya. Charlie sendiri masih sibuk di dapurnya. Kegelisahanku tentang kedatangan Nino membuat perutku tidak terasa lapar. Membuatku hanya memasukan kue-kue berukuran kecil di jam makan siang-menurutku sih segitu kecil ya. Aku merasa perlu menceritakan kabar ini pada Charlie.
"Hai... Sorry..." Charlie akhirnya keluar juga dari tempat pertapaanya, dapur, masih dengan celemek putih dan jemari yg penuh bekas tepung.
Aku tersenyum. Menunjukan aku baik-baik saja selama menunggunya.
"Mau makan siang?" tanyanya. Ia tahu, aku suka makan.
Aku menggeleng.
"You sure?"
Aku mengangguk.
Laki-laki itu lalu mengangkat kedua alisnya sambil manggut-manggut. "Wait a minute." katanya sambil berlalu kembali ke arah belakang.
Tidak sampai lima menit ia kembali lagi ke mejaku tanpa celemek dengan jemari yang lebih bersih. Duduk tepat di hadapanku.
"So, what happened?" tanyanya spontan. Duh, ini cowok baru hampir tiga bulan aku kenal, kok udah tau aja ya kalau something happened.
"Nino sekarang lagi di Bali." kataku. Aku tidak pernah basa basi pada Charlie.
"Wow!"
"Wow?"
"Is that a good, or bad news for you?"
"Definitely bad!"
"Dari kapan?"
"Nggak tau, tadi dia telepon aku. Katanya lagi ada kerjaan di sini."
"Wait, did he know you're here?"
"Ooh, aku lupa bilang ya, beberapa hari kemarin dia memang kirim pesan, mau ketemu aku, katanya mau ururs surat-surat."
Charlie manggut-manggut. Tapi aku tidak tahu apa arti dari ekspresinya.
"So, what should I do?" tanyaku
"Lho, kenapa tanya aku. Ini semua urursan kamu. Semua full hak kamu."
Aku gantian diam. Kita berdua jadi sama-sama diam.
Kemudian tak lama kurasakan jemari Charlie, mengambil jemariku yang tertangkup di meja.
"Mau aku antar buat ketemu Nino?"
"Do you mind?"
***
Kita janjian jam dua siang di restoran Sushi di Beachwalk. Aku dan Charlie datang lebih awal karena memang ingin makan siang terlebih dahulu. Setengah porsi kulahap sushiku, aku melihat Nino memasuki restoran. Dia sendirian. Mengenakan Polo Shirt berwarna hitam, warna kesukaannya, yang dipadukan dengan celana Levis biru tua. Rambut hitamnyanya masih lurus dan selau tampak basah. Pas dengan warna kulitnya yang kecoklatan. Duh, dia masih ganteng aja. Ya iyalah, hampir enam bulan nggak ketemu, memanganya perubahan apa yang signifikan. Ya kali, enam bulan bisa merubah bentuk fisik seseorang, kalau enam tahun, mungkin.
Sambil melepas sunglasses hitamnya, ia terlihat menjelaskan sesuatu ke mbak-mbak waitress, matanya mencari-cari sesorang yang dikenalnya, yaitu aku. Charlie masih sibuk dengan seporsi Bento nya. Sedangkan aku? Menundukan kepala, pura-pura sibuk juga dengan Ebi Maki Roll-ku.
"Luna." sapanya kaku.
"Eh! Nino..." jawabku pura-pura kaget.
Charlie melihat ke arah Nino, lalu menebarkan senyumannya. Nino kemudian duduk di hadapanku.
"Temen kamu?" tanyanya.
"Iya. Kenalin ini Charlie. Charlie, ini Nino." Semoga Charlie bukan tipe Bule pencemburu. Tak perlulah ya aku menyebutkan status mereka masing-masing. Ya masa aku harus bilang, "Kenalin ini Charlie pacar baruku. Ini Nino mantan suamiku." Awkward banget deh.
Sekarang mereka berdua bersalaman. Lalu tetiba si mbak waitress datang
"Mau pesan sekarang, Pak?"
"Oh iya, boleh. Mmh, Salmon Sashimi aja satu sama Ocha dingin, ya."
"Baik, pak."
"Mana, katanya ada surat-surat yang perlu aku urus?" tanyaku ke Nino, to the Point.
"Eh iya, ketinggalan di mobil..."
"Ambil aja sekarang."
Selintas kulihat ekspresinya berubah.
"Tar aja lah, capek bolak balik."
"Surat apa lagi ya memangnya?"
"Ooh, itu, kamu cuma tinggal tanda tangan gono gini aja."
"Oh."
Ya iyalah pasti cuma tinggal tanda tangan. Orang aku nggak punya harta apa-apa buat di gono-ginikan sama Nino. Harusnya, definisi harta itu nggak melulu yang berbentuk fisik atau material. Kalau saja seutas rasa itu adalah sebuah investasi, maka itulah gono-giniku yang sebenarnya dengan Nino.
Ingat kan aku pernah cerita kalau Nino itu ambil jurusan Hukum sewaktu di perkuliahan dulu? Iya, dia sekarang bekerja di Law Firm milik salah satu pengacara mahal Indonesia. Yang wajahnya sering muncul di televisi. Pengacara yang seringnya berdiri di sebelah para artis, yang membantu si artis menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para wartawan iseng. Yang kadang juga terlibat cinta dengan si artis itu sendiri. Suka aku membayangkan dunianya, mungkin sepuluh-duapuluh tahun lagi, ia akan berada di posisi bosnya tersebut.
Dan aku? hanya perempuan tak kasat mata yang pernah jatuh cinta padanya. Jadi, kasus perceraian kita ini, tentu saja hanya hal remeh dari bagian pekerjaanya. Jauh lebih simpel ketimbang perceraian para artis atau masalah perhutangan pejabat. cuma sebuah kasus perpisahan kedua insan yang sudah tidak mau bersama lagi.
Kami bertiga terdiam. Aku benci sebenarnya kondisi saling diam seperti ini. Walau sebenarnya, mungkin diam adalah cara terbaik di saat seperti ini.
"Lagi ada kerjaan di Bali?" suara Charlie mendadak terdengar renyah di telinga. Menyontakan bola mata Nino yang tadi sedang tertunduk memakan sashiminya.
"Eeeh... Iya." Nino mengangguk dengan mulut mengunyah.
"You speak bahasa??" tanya Nino balik agak kaget.
"Yap! untuk sehari-hari, iya."
"So, kalian berdua? Baru kenal?"
Duh si Nino pake kepo segala lagi.
"Iya. Kita kenal wak-"
"Waktu satu minggu aku di Bali. He is a good friend." potongku. Nino manggut-manggut.
Sekarang semua makanan kita sudah habis dan aku mulai bingung, seperti apakah hari ini akan berkakhir.
"Lun, abis ini kamu mau kemana?" kata Nino.
"Nggak ada." jawabaku.
"Temenin aku keliling-keliling, ya."
Aku bingung mau jawab apa. Lalu Nino melihat spontan ke arah Charlie, "Is it okay?"
Raut muka Charlie berubah kaget. Ia langsung melihat ke arahku, "Up to you, Honey."
Duh mampus, pake panggil Honey segala lagi si Charlie. Bukan maksudku untuk tidak mengakui Charlie di hadapan Nino. Tapi, aku hanya tidak mau dipandang buruk oleh mantan suamiku. Itu saja. Kenapa begitu? Oh, you don't even know about him! Aku tidak mau melihat ekspresi Nino, semoga dia tidak mendengar panggilan sayang Charlie tadi.
"Mmh, oke. Tapi nggak lama, ya." Kataku memandang Charlie sambil mengangguk kecil, semoga Charlie paham kode 'minta pengertian' yang kulemparkan padanya.
Kita bertiga lalu berpisah di depan restoran. Aku mengikuti Nino ke arah mobilnya yang di parkir di pinggir pantai. Setelah kulambaikan tangan dan secuil senyum, kulihat Charlie berbalik badan dengan wajah kecutnya meninggalkan Mall.
Nino menyewa mobil selama ia di Bali. Setelah kami masuk ke dalam mobil, ia kemudian mengambil map dari jok belakang.
"Ini." katanya menyodorkan beberapa lembar kertas yang dibendel jadi satu. Kubaca selintas isi surat itu lalu kucari kolom yang bertuliskan namaku, Aluna Sastiwijaya. Lalu menandatanganinya.
"Nih." kuberikan kembali map tersebut ke Nino.
"Terus, kamu mau keliling kemana?” Nino tidak menjawab. Aku hanya berdoa, semoga kita tidak kembali bertengkar.
"Kamu pulang tanggal berapa?" Ia malah bertanya balik.
"25."
"Kamu disini dari kapan?"
"Tiga bulan yang lalu, No. Aku lagi nyari inspirasi buat nulis novel." Padahal, alasan sebenarnya adalah, aku pengen lupain kamu, sembari aku nulis novel.
"Ooh... Aku kira cuma seminggu-dua minggu buat liburan doang."
"Terus, kamu tinggal dimana?" lanjutnya bertanya.
"Aku ngontrak rumah di sekitar sini."
"Yuk! aku anter kamu pulang."
"Lah, katanya mau keliling-keliling?"
Kemudian Nino melajukan mobilnya sesuai perintahku, mengarah ke rumahku.
***