Part 2. The Ending Has Coming
Dari outline yang kubuat, tulisanku tinggal tiga bab lagi akan rampung. Yang biasanya akan diisi oleh si penulis dengan adegan drama-drama-rada-tragis-gitu. Rencananya nanti akan kukirim ke satu-dua penerbit, yang sebelumnya tentu saja sudah kuselidiki tentang gaya tulisan dan genre buku-buku terbitannya. Aku memang belum pernah menerbitkan buku, tapi sebagai penlulis freelance, sedikit banyak aku tahu teori untuk menerbitkan sebuah buku. Sekitar delapan sampai sepuluh artikelku tayang di beberapa dua situs online langgananku. Tiga berupa cerpen, lima lainnya adalah artikel tentang Bali tentunya. And that's what I do for living here. Tapi aku sangat ingin menerbitkan sebah novel, yang bestseller, tentu.
Kembali ke teman bule satuku ini, Charlie. Sudah tujuh minggu aku berada di Bali. Artinya, sudah enam minggu aku mengenalnya. Aku bertemu dengan Charlie tepat di satu mingguku tinggal di sini, di salah satu restoran. Baru seminggu di Bali uangku masih tebal, masih bisa makan di restoran, bergaya macam orang yang sedang berlibur, tapi sekarang, jangan ditanya, makan nasi bungkus saja udah bahagia. Dia menegurku tiba-tiba waktu itu, menyebutkan namanya-yang secara spontan, membuatku tertawa sekaligus menjawab. "Sorry, but I'm not an Angel." Yeah, tahu film Charlie's Angle, kan? Sekali mendengar namanya, bukan vokalis band lokal yang kuingat, melainkan malah adegan sapaan Cameron Diaz dengan nada menggoda, "Hallo, Charlie..."
"Luna, seberapa sering kamu melihat sunset seperti ini?"
"Not often." Mataku memandang lurus ke arah laut. Sore ini aku dan Charlie sedang duduk dipinggir Kuta, memandangi matahari terbenam.
"Every sunset, it reminds me to my sister. She struggled from her breast cancer. Till' I know, she were happy in heaven now." ucapnya, menunjukan telunjuknya ke arah lengkung matahari di ujung pandangan.
Aku kaget mendengar kalimatnya, dan hanya bisa diam memandangi laki-laki berkaos tanpa lengan itu. Charlie yang kukenal selama satu setengah bulan ini adalah, Charlie si pendengar setia, Charlie si positive thinking dan Charlie si tim penggembiraku. I just have no idea that he lost someone. Lalu laki-laki itu menengok ke arahku. Mendapatiku yang sedang melihatnya simpatik. Dia tersenyum, "It's okay."
Inget kan, aku pernah bilang it is impossible kalau Charlie bisa suka padaku? Dan, tau kan, sekarang itu suasana sunset dipinggir pantai terasa begitu menghanyutkan? Damn, All such an ironic! Mungkin tiupan angin sore begitu keras menerpa pipiku, sehingga membuatku refleks menyandarkan pipi dipundaknya dan mengusap bahunya yang lebar. "Ya, everything will be okay." ucapku lirih. Tetiba ironi itu datang kembali, segelenyar hangat merambat ke dalam tubuhku. Ada degup kecil di dalam dada ketika aku bersentuhan dengan tubuhnya.
Terus, tau kan, kalau buat Bule yang biasa hidup bebas, sebuah pelukan seperti ini tidak akan terasa spesial. Lalu seketika cepat-cepat kuangkat pipiku dari bahunya. Dan, benar saja, gesture dan ekspresi Charlie datar. Matanya masih tetap lurus menatap cakrawala. Huft, untung saja, untung dia tidak sadar dengan apa yang kurasakan barusan. Hush-hush Pergi! Aku sedang tidak ingin bermain-main dengan perasaan. Buru-buru kutepis rasa hangat sesaat tadi.
“Kamu itu kayak ubur-ubur, deh.” Entah kenapa sekilas pikiran itu muncul sesaat setelah kuangakt kepalaku dari bahunya.
“Ubur-ubur?”
“Jellyfish, itu ubur-ubur.”
Dia mengernyitkan dahinya.
“Kamu kayak ubur-ubur, karena kamu begitu transparan.”
“HAHAHA... But I’m wearing a clothes right now.”
“You are so smooth and transparent.” Gantian, aku menjawab sambil menatap lurus ke cakrawala.
“Aku bisa langsung melihat kamu itu orangnya seperti apa, tanpa banyak bingung,” lanjutku. Aku tidak tahu pasti kemana arah pandangannya saat ini. Tapi dari ekor mataku, aku melihat dia menengok ke arahku.
“Kamu pernah punya pacar, or spouse?” Spontan hal itu juga terlintas di kepalaku.
“Pernah.”
“So, what happened?”
“Dulu, waktu masih di Melbourne. Selama di Bali sih, belum ada.”
“Terus?”
“Percintaanku nggak serumit kamu, Luna. Yaa, karena aku memilih ingin buka usaha. Dan, sebelumnya aku sudah pernah ke Bali, then I guessed I fell in love with this city. then she wanted to broke up. Sudah, gitu aja.”
“Yakin, gitu doang?”
“Yes!”
“Kamu nggak patah hati?”
“Mmmh... Mungkin waktu itu aku masih terlalu fokus, too excited go through my hobby. I don’t know, it might hurt for a while, tapi setelah berminggu-minggu aku stay di sini, buka toko, bikin marketing, that hurt, feelings, it slowly disappeared.” Aku mendengarkannya sekali lagi. His life is simple, itu yang bikin dia jadi kayak ubur-ubur, mungkin. Atau, memang dia ahli membuat segalanya sesimple pemikirannya. Sesaat aku diam, dia diam. Aku memikirkan tentang bagaimana dia bisa segampang itu melupakan seseorang. Sedangkan dia diam, aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.
"Kapan kamu akan balik ke Jakarta?" Tetiba dia bertanya.
"Mungkin akhir bulan depan. Pas dengan habisnya masa kontrak rumahku."
"You'll never comeback again?"
Aku mengangkat kedua bahuku.
Dia melengos. "Dengan kata lain, kita akan berpisah dalam satu setengah bulan ke depan?" tanyanya.
"Yap! Maybe."
Dia kembali mengarahkan matanya padaku. Owh, seperti melihat mata kucing yang sedang minta dikasih makan. What a sweet Charlie. Karena, tau kan, cewek itu selalu butuh tempat curhat, tempat ia membuang semua uneg-uneg-yang bagaikan sampah, agar bisa kembali tersenyum manis nan tegar di depan semua orang keesokan harinya. Nah, there he is, Charlie! Aku adalah tipikal orang yang bisa memiliki banyak teman, namun minim sahabat. I don't know, kadang suka ada penyesalan saja jika setelah curhat panjang lebar, tapi yang bersangkutan malah nggak bisa memberi masukan yang solutif. Tapi Charlie, he makes me release.
"Owh, what?" kataku menanggapi mata kucingnya.
Dia diam saja. Mata kucing itu masih ada.
"Don't say you're gonna miss me!"
"Hahaha... I just want to say it!"
"Hey... Listen, It's been such a greatfull to have a friend like you. I will never forget you. I Promise." kuajungkan dua jari padanya.
"Me too." Mata kami saling menatap.
"Kenapa sih? What's wrong?" Karena mata kucing itu belum juga beranjak dari tatapannya padaku.
"Luna, just give me a chance."
"For?"
"I'll make the best and the most beautiful cake, for the farewell."
"Come on! You don't need to do this."
"Pleeaasseee...." Mata kucing itu sekarang berubah menjadi mata hamster yang pengen banget ditabok.
"Oke."
Siang ini aku mampir ke toko kue Charlie, membeli dua-tiga cake untuk teman menulisku nanti malam. Kali ini aku datang tanpa memberi tahu Charlie terlebih dahulu. Dan benar saja, dia sedang tidak ada di tokonya. Mungkin dia sedang hang out dengan teman-temannya yang lain. FYI, walau Charlie bukan tipe orang yang banyak bicara, tapi dia memiliki banyak teman dan sahabat. Ada yang sama-sama berasal dari Australia, ada yang orang Bali asli, ada juga yang bermata sipit oriental. Aku mengetahuinya karena waktu itu ia pernah mengajaku menghadiri pesta ulang tahun salah satu temannya. Dan dari beberapa temannya yang kerap mampir ke toko saat kami kebetulan sedang mengobrol di sana. Dia tidak pernah mengenalkanku secara spesifik ke teman-temannya. Tapi dia selalu lebih fokus mengobrol padaku ketimbang temannya.
Kuberikan uang seratus ribuan ke kasir. "Seperti biasa, buat mbak Luna, free," kata Bli Ketut si penjaga kasir.
"Udah, ini buat Bli saja. Mumpung Charlie nggak ada."
"Nggak mbak, makasih." ucapnya teguh pada pendirian. Baiklah, kumasukan kembali uangnya ke dalam dompet.
"Charlie kemana, Bli?"
"Katanya belanja bahan. Ndak tahu itu, padahal bahan di dapur masih banyak."
"Ooh..." aku manggut-manggut saja karena sama sekali tidak mengerti tentang per-kue-an. Setelah membeli kue, akupun langsung pulang. Berniat sekuat tenaga, dengan kekuatan bulan, akan merampungkan tulisan yang tinggal satu bab lagi. The ending has coming! Kuucapkan tegas dalam hati, mirip gaya Jon Snow yang sedang memimpin rapat dengan pasukannya di Game of Throne season 7. Oh, I really love that serial!
Penulis ceritanya hebat banget, dimana tidak ada satu orang tokohpun yang sia-sia dibuat, walau itu hanya seorang tukang batu di season 1-yang baru terungkap di season 7, bahwa dia adalah seorang anak haram dari salah satu bekas raja yang jahat. Tujuh season, Mak! That’s all you need just to tell people who is he, fungsi tokoh si tukang batu, Gendry.
DRET DRET! DRET DRET!
Seketika ada pesan masuk di handphone-ku.
"Aku mau urus surat-surat. Kapan bisa ketemu?”
Nino?
***