9
Daripada terus-terusan sakit hati dan menjadi pikiran yang ujung-ujungnya mengganggu belajarku aku memutuskan untuk berhenti berkomunikasi dengan demigod-ku sementara waktu setelah semalam aku menelponnya meminta agar kami berangkat ke sekolah sendiri-sendiri saja mulai pagi ini. Aku ingin kami - atau lebih tepatnya aku - fokus pada pelajaran terlebih dahulu. Jadilah pagi ini aku bersiap lebih awal dan meninggalkan rumah sepuluh menit lebih pagi dari biasanya karena aku rencananya akan naik angkutan umum. Ini pertama kalinya untukku karena Sekolah Menengah Pertamaku hanya beberapa puluh meter dari rumah dan hanya perlu berjalan kaki saja untuk mencapainya.
Sesampainya di ujung gang aku menoleh ke kanan kiri, tidak adakah temanku satu sekolah yang juga sedang menunggu angkutan umum atau bus disini?
Aku berjalan perlahan ke arah sekolah, sembari menunggu daripada hanya diam saja.
"Thia, Athia!" Aku menoleh ke arah sumber suara, tidak ada siapapun, hanya ada sebatang pohon tua yang besar.
Kembali aku lanjut berjalan cepat. Herannya, di jam-jam ramai seperti ini tak satupun ada angkutan umum atau bus yang menuju ke arah sekolah lewat, tak ada sama sekali. Baru setelah gedung sekolah sudah terlihat ada satu yang lewat berjalan pelan-pelan sembari sang sopir menawari untuk menumpang, kalau sudah dekat lebih baik sekalian jalan saja.
Alhasil aku tiba di sekolah dalam keadaan bermandikan keringat untuk pertama kalinya dalam sejarah. Lelah dan haus, setelah meletakkan ranselku yang berat di kelas aku segera menuju ke kantin guna membeli minuman dingin.
"Pelan pelan aja, Thi, nggak ada yang mau ngrebut minuman kamu," ucap Tata teman sekelasku yang kebetulan juga di kantin minum es susu bersamaku.
"Hehehe..."
"Darimana emang sampe kehausan gitu?"
"Dari rumah lah."
"Lari?"
"Jalan."
"Loh. Kok jalan?"
"Karena nggak bisa terbang."
"Yang biasa nganterin dimana?"
"Emang biasa dianterin?"
"Ya kan sama anu."
"Anu apaan?"
"Anu itu."
"Ambigu."
"Kakel itu loh, pacar kamu."
Aku melempar dengan tepat gelas plastik kosong di tanganku ke tempat sampah. "Ssst... Ini sekolah, jangan ngomongin pacar."
"Iyadeh iya, emangnya kenapa kok nggak bareng hari ini?"
"Kasian aja dia kan rumahnya nggak searah sama rumahku, jadi harus berangkat pagi-pagi jemput aku dulu."
"Oh begitu...."
"Iya begitu."
"Emang rumah kamu dimana?"
*
"Pulangnya sendiri-sendiri juga?" tanya Tata saat jam pelajaran telah usai.
"Iya, sendiri, kenapa?"
"Nggak bareng Kenand aja? Rumah kalian searah."
"Masa?" Aku bahkan tak tahu jika rumahku dan Kenand searah, kami tak pernah membicarakan soal dimana kami tinggal sebelumnya.
"Emang iya?" Kenand yang sudah terlebih dahulu berjalan mendahului kami menghentikan langkahnya dan menoleh.
"Iya kan," Tata yang menjawab.
Dengan Tata yang ngeyel kalau rumahku dan Kenand searah akhirnya kamipun pulang bersama, lebih tepatnya aku menumpang Kenand pulang.
"Ah, iya, bener Tata, kalau lewat sini memang jadi searah," ucap Kenand saat kami tengah berada di perjalanan dan telah dekat dengan rumahku.
"Lebih dekat juga kan?"
"Iya ternyata. Payah banget ya aku dari kecil hidup disini tapi nggak tahu jalan-jalan kecil, jalan protokol mulu lewatnya."
"Nah, kan kalau gini sambil menyelam minum air, jaraknya lebih dekat hemat waktu, bisa nebeng-in aku juga."
"Iya deh. Besok pagi mau bareng juga?" tanyanya.
Aku mengangguk, entah terlihat atau tidak olehnya lewat kaca spion.
***