25
Sejak saat itu aku makin tak bisa lepas dari Kenand, sejak saat itu pula aku tak pernah menjumpai bahkan melihat Kak Mimin di sekolah ataupun sekitarnya. Aku tak menanyakan hal itu pada Kenand, aku menganggapnya sebagai sesuatu yang baik kalau kami kebetulan selalu berada pada sudut yang berbeda sehingga tidak melihat satu sama lain.
"Terakhir nih, semangat!" Kenand mengepalkan tangan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, memang hari ini adalah hari terakhir UTS dan kami telah melewati mata pelajaran pertama, sisa satu mata pelajaran terakhir yaitu seni budaya yang memang sangat pas sebagai penutup.
"Setelah ini libur belajar dulu ah tiga hari," ujarku, "udah hampir meledak nih kepala."
"Lalu?"
"Kok lalu?" tanyaku bingung.
"Liburan kemana?"
"Ya nggak kemana-mana lah, tidur aja di rumah."
"Setelah ini mau kemana?"
"Mau pulang lah, makan terus tidur."
"Nggak mau kemana dulu gitu?"
"Emangnya mau kemana?"
"Terserah."
"Kok terserah?"
"Terserah kamu aja."
Kami berbincang sambil berjalan menuju ke ruangan kami.
"Pemancingan ikan?" usulku asal.
"Nggak suka mancing."
"Futsal?"
"Sama siapa?"
"Basket?"
"Nggak punya bola."
"Karaoke."
"Nggak suka nyanyi."
Dan ini berlanjut hingga kami tiba di depan ruang kelas kami.
"Kamu yang laki kenapa kamu yang terserah-terserah?" Aku memukul pelan lengannya dengan gulungan kertas di tanganku.
Kenand tertawa.
"Yah ketawa!"
"Memangnya laki-laki nggak boleh jawab terserah gitu?"
"Yaudah boleh, tapi aku nggak mau kamu jawab terserah. Pilih aja deh kamu maunya kemana."
"Oke, tapi nggak boleh nolak ya?"
Aku mengangguk setuju.
.
Disinilah kami berakhir, berada di antrian super panjang untuk mendapat sebuah tiket film superhero yang diinginkan Kenand. Entah saat kami sampai di depan loket apakah masih tersedia atau tidak, pokoknya kalau sampai tidak kebagian tiket aku akan memaksa Kenand untuk ganti film lainnya yang masih tersedia, aku tak mau pulang malam hanya demi menunggu film superhero itu yang satu, dua atau tiga tahun lagi juga akan ditayangkan di layar kaca.
"Pegel, Nand," keluhku setelah kami berdiri menunggu cukup lama.
"Sabar, sabar, kalau ramai berarti filmnya benar bagus."
"Harusnya tadi kamu aja yang antri, aku duduk sambil ngemil popcorn."
"Berani emang jauh dari aku?" ejeknya.
"Kenapa harus takut?"
"Biasanya juga..."
"Maju, maju!" Aku mendorong punggung Kenand karena yang antri di depan kami sudah maju dan kami telah berada di barisan paling depan. Syukurlah.
Pengumuman bahwa pintu ruangan teater kami telah dibuka terdengar beberapa detik usai kami mendapatkan tiket, pas sekali.
"Mau langsung masuk?" tanya Kenand.
"Beli popcorn sama minum dulu ya," pintaku. Akan bosan sekali pastinya menonton film yang tidak kau sukai tanpa ditemani camilan maupun minuman.
"Aku beliin."
"Nggak perlu," cegahku, "kamu kan sudah bayar tiketnya, popcorn sama minumannya gantian aku."
Tak enak kan kalau semua Kenand yang bayar, apalagi hubungan kami kan hanya teman.
Eh.
Memang kami teman kan? Bukan hanya teman.
"Jadi nggak?" Aku sedikit tersentak olehnya.
"Ah, iya, jadi. Kamu mau apa?"
"Sweet popcorn sama es cokelat."
Aku membeli dua bucket popcorn dan dua gelas es cokelat untuk kami dan langsung masuk ke ruang teater sebelum terlambat, kan nggak asyik kalau kelewat opening-nya.
Karena mendapatkan tiket di detik-detik terakhir maka pilihan seat-nya pun sudah tidak banyak, dan satu-satunya yang masih tersisa dua bersebelahan adalah di barisan kedua dari depan. Bagus. Leherku mungkin akan sakit setelah ini.
Kami duduk dengan nyaman sambil ngemil popcorn sementara iklan film-film lainnya diputar dan tiba-tiba Kenand berbisik padaku, dekat sekali, "sering nonton berdua sama Kak Elios?"
"Penting ya?"
"Penting."
"Kamu sendiri?"
"Apa?"
"Seberapa sering nonton berdua Kak Mimin?"
Ia membenarkan posisi duduknya. "Yah, balik nanya."
Dan pembicaraan soal itu tidak berlanjut karena film kemudian dimulai dan Kenand terlalu fokus pada layar di depan kami.
Memangnya ada apa ya Kenand bertanya seperti itu? Hmm, akunya nih yang jadi nggak fokus.
***