BAB XXIII
Mr. Black bilang padaku bahwa identitas para pengedar sudah diketahui semua. Selasa minggu depan, Mr. Black dan teman-temannya akan mengintai bagaimana proses transaksi berlangsung agar identitas para pelanggan juga terbongkar.
*
Hari ini?rabu pagi, aku dan Mr. Black sudah berjanji untuk bertemu dengan Gunawan, salah seorang teman Mr. Black. Seperti biasa aku mengetuk kamar Mr. Black, Angga masih tertidur pulas sehingga aku hanya pergi dengan Mr. Black, kami tidak ingin membuat Gunawan menunggu. Pertemuan berlangsung di bar lantai 10 apartemen, Gunawan sudah datang. Bar disini sangat elegan, bernuansa modern. Aneh rasanya bila kami bertemu disini pagi-pagi karena bar disini pasti lebih cantik pada malam hari.
“Senang berjumpa denganmu, Black.” sapa Gunawan. “dan kau nona?”
“Clara.” kataku sambil menjabat tangannya.
“Baiklah nona Clara, kau bisa memanggilku Gunawan.”
Aku dan Mr. Black duduk di sofa. Gunawan mengeluarkan map plastik berisi tumpukan kertas. Ia menyerahkan salah satu kertas itu kepadaku.
1. Ariq-Afghan; Teknik Geologi
2. Dimas-Tangi; Teknik Mesin
3. Riechard-Diyon; Teknik Elektro
4. Ilham-Luthfi; Matematika
5. Anam-Abdul; Kimia
.
.
20. Arkan-Dicky; Kedokteran
“Itu adalah 20 nama para pengedar di setiap jurusan,” kata Gunawan. “dibelakangnya sudah kusertakan foto dan identitas lengkapnya.” Gunawan memberiku beberapa kertas lagi. “Ini identitas para pelanggannya. Totalnya ada 93 orang, paling banyak dari teknik mesin?sekitar 10 orang. Transaksi narkoba di lingkungan kampus bagiku sangat ceroboh, mungkin karena lengah juga pengawasannya. Ada yang menyeludupkannya dalam makanan kalengan, coklat, bungkus rokok, buku, dan sebagainya. Tempatnya juga bervariasi, dari toilet, perpustakaan, gudang, dan bahkan terang-terangan di tempat umum.”
Aku membalik ke halaman berikutnya. “Menakjubkan, kalian hanya membutuhkan 2 hari untuk melakukan semua ini?” tanyaku.
“Lebih tepatnya satu hari selesai, pertemuannya saja yang sedikit lama.” kata Gunawan sedikit sombong. “Ini semua juga berkat Black. Bukan begitu?”
Mr. Black buang muka. Kali ini bukan karena kesal tapi tersipu malu oleh pujian Gunawan.
Gunawan menambahkan. “Nah, nona Clara. Langkah apa yang berikutnya anda ambil?”
“Aku belum memikirkannya, mungkin Mr. Black bisa membantu.” jawabku.
“Ancam. surat.” kata Mr. Black.
Aku dan Gunawan langsung tersenyum mendengar ide dari Mr Black.
“Kau memang cemerlang dari dulu, Black!” kata Gunawan.
“Benar, kita bisa mulai dari pelanggannya. Kita bisa mengirimnya satu per satu surat kaleng berisi ancaman. Hal itu akan membuat mereka jera.” tambahku.
“Serahkan saja padaku dan Black, Nona Clara tidak perlu khawatir. Anggota-anggotaku yang akan mengurusnya. Kalau begitu sampai disini dulu mungkin? Aku akan mengabari kalian jika hal yang mendesak.”
Kami bertiga bangkit dan berpisah. Aku dan Mr. Black kembali ke lantai 7.
*
Aku dan Mr. Black berpisah di lorong. baru saja aku mengganti pakaianku tiba-tiba Mr. Black kembali ke kamarku.
“Hanif.”
“Ada apa dengannya?” tanyaku.
“Hilang.”
“Bocah itu selalu saja mencari masalah.” dengusku geram.
“Aku cari.” kata Mr. Black. “Hanif.”
Mr. Black keluar untuk mencari Hanif sementara aku menunggu disini. Jam sudah menunjukkan pukul 8 pagi, tapi hanif tidak kunjung datang. Beberapa saat kemudian terdengar suara pintu terbuka, Hanif kembali. Ia mengenakan jaket dan celana pendek, dan tidak memakai masker.
“Kau darimana saja! bukankah sudah kubilang kau tak boleh kemana-mana? gara-gara kau Mr. Black harus repot-repot mencarimu.”
“Eh, aku..” kata hanif terbata-bata.
“dan dimana maskermu? jangan bilang kau keluar tanpa menutup wajahmu?” aku tidak dapat mengontrol amarahku. “Bagaimana jika ada yang menyadari keberadaanmu? bagaimana jika kau tertangkap? bagaimana..”
Omelanku disela Hanif. “Tenanglah! aku hanya melakukan lari pagi. Lagipula tidak banyak orang yang berkeliaran di taman kota, dan aku tetap memakai masker ketika diluar. Kau ini bersumbu pendek.”
“Terserahlah! aku tidak mau menolongmu jika kau tertangkap.”
Kami berdua diselimuti keheningan. Aku berusaha mengendalikan diriku.
“Maaf.” suara tipis itu keluar dari mulut Hanif. “Maafkan aku, itu semua salahku. Aku.. Aku hanya bosan terus disini, menonton televisi sepanjang hari dan tidak berbuat apa-apa. Aku merasa seperti sampah.”
Aku terenyuh mendengar kata-katanya. Selama ini aku hampir sibuk dengan diriku sendiri dan tidak pernah memedulikan perasaan orang lain. Aku selalu merasa benar dan mau menang sendiri.
Aku jadi merasa bersalah..
“Dengar, aku juga salah. tidak ada gunanya berdebat lagi. bagaimana jika kau ku ajak pergi menonton bioskop malam ini sebagai permintaan maafku.” ajakku.
“Serius!? Aku tentu mau!” kata Hanif menerima ajakanku.
“Tapi kau harus ingat untuk selalu memakai masker.”
“Ya! aku akan memakainya.”
“Baiklah, aku harus mengabari Mr. Black dulu bahwa kau sudah kembali.” kataku sambil berjalan meninggalkan kamar Mr. Black.
“Kasihan pak tua itu.”
“Sebaiknya kau harus meminta maaf padanya juga.” saranku. tapi hanif tidak mendengarnya karena terlalu senang.
*
“Lah, kau ikut dengan kami pak tua?” tanya Hanif.
“Mr. Black akan ikut dengan kita, tidak masalah kan?” jawabku
Walaupun Hanif tidak bilang apa-apa tapi aku yakin ia sedikit kecewa. Mr. Black sendiri mengacuhkannya dan mulai menyetir menuju mal. Kami sampai dan langsung menuju ke bioskop untuk mengantri membeli tiket.
“Nif, kau ingin menonton apa?” kataku sambil melihat-lihat judul film.
“Aku mengikut saja.”
“Mr. Black ada saran?”
“Tidak.”
“Bagaimana kalau kita menonton film horror?” tawarku kepada mereka.
Mereka berdua tidak menjawab, aku menganggapnya sebagai tanda setuju.
“Silahkan, mau menonton film apa?” tanya petugas bioskop yang berjaga.
“Silent hill, mba. 3 orang”
“Jam berapa?”
“Jam 7.”
“Wah, maaf mba tiket untuk jam 7 sudah habis. kalau mau film akan diputar lagi jam 9.”
Aku melirik mereka berdua, lagi-lagi tidak ada jawaban. sepertinya mereka tidak keberatan.
“Jam 9 aja mba.”
Aku membayarnya dan kami bertiga keluar dari bioskop.
“Sekarang kita pergi kemana? filmnya masih lama.” tanyaku.
“Bagaimana kalau kita main ke timezone?” kata hanif. “Aku dulu sering kesana ketika masih kecil.”
“Ide bagus!”
Kami membeli beberapa koin untuk bermain. Permainan yang pertama kita singgahi adalah melempar bola basket. Kami bertiga berlomba untuk mendapat poin tertinggi. Aku kalah pada babak pertama, sementara hanif dan Mr.Black terlihat sengit. Cara hanif melempar bola halus sekali dan tembakannya sangat akurat. Permainan dimenangkan oleh hanif dengan 150 poin, selisih 20 poin dengan Mr. Black.
“Itu hampir saja pak tua! tapi kau butuh waktu 100 tahun lagi untuk mengalahkanku.” ejek Hanif.
Mr. Black sekali lagi membuang mukanya. Aku senang mereka berdua sudah mulai akrab. Kami beralih pada permainan berikutnya, yaitu mesin capit boneka. Kami bertiga berkali-kali mencoba, namun tidak satupun ada boneka yang terambil. Mr. Black mencoba untuk yang terakhir kalinya dan berhasil! sebuah boneka harimau putih. Senyum menghiasi wajahnya?sepertinya ia bangga karena telah mengalahkan hanif dalam permainan ini.
“Keberuntungan pemula.” sindir hanif. Hanif sendiri tidak mau kalah dan terus mencoba sampai koinnya habis. Ia ingin membeli koin baru tapi aku menahannya karena sebentar lagi film akan dimulai. Sebelum masuk ke auditorium, kami menyempatkan membeli popcorn dan minuman dingin. Mr. Black duduk diantara aku dan Hanif, lampu dimatikan dan film mulai diputar. Baru setengah jam menonton, Hanif sudah berkali-kali berteriak ketakutan seperti penonton lainnya. Mr. Black pun juga tidak dapat menyembunyikan rasa takutnya dibalik kacamata hitamnya itu, aku dapat melihat lehernya bergidik. Ternyata ini alasan mereka terdiam ketika kutanyai kesudian mereka menonton film horor. Film telah usai, Aku menertawai mereka berdua yang terlihat pucat dan berkeringat. Sebelum kami turun ke parkiran, aku mengajak mereka bertiga untuk berfoto di photo booth. Mr. Black sangat kaku didepan kamera dan Angga tidak dapat mengontrol mimik wajahnya, tapi foto itu terlihat bagus. Kami segera pulang karena malam sudah sangat larut.
Hari ini sangat menyenangkan..
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))