BAB X
Jaringan narkoba yang ada di kampus ternyata tidak sesederhana yang aku kira?bahkan bisa dibilang sangat sistematis. Kami harus berkumpul di salah satu gudang yang berada di daerah industri. Barang bawaan seperti telepon genggam, alat tulis, dan kartu identitas disita untuk sementara. Pemeriksaan sangat ketat untuk menghindari adanya kebocoran. Tugas-tugas diberikan oleh perantara?identitas para ketua disembunyikan dari anggota. Kami dipanggil satu per satu berdasarkan jurusan kami dan mereka(perantara) akan memberikan barang yang akan kami edarkan dan siapa saja orang yang memesannya. Pesanannya pun bermacam-macam?Ganja,Putaw,Kokain,Sabu-sabu,Ekstasi,Morfin, dan masih banyak lagi.
Saat Aku dan Ghifari perjalanan kembali ke kampus, aku memeriksa daftar nama orang-orang yang memesan barang haram tersebut. Rio 02, Mamat 02, Rudi 02, Choirul 03. Mereka semua berasal dari jurusan fisika.
“Kau saja yang mengantarnya ya?” kata Ghifari. “Aku hari ini ada praktikum sampai sore. Kau kan baru mahasiswa tingkat dua, bebannya belum sebanyak diriku. Lakukan saja sesuai instruksi perantara tadi.”
“Tapi aku tidak tahu dimana loker mereka.” Aku harus menaruh barang pesanan mereka di loker kampus melalui lubang ventilasinya.
“Mereka itu pelanggan tetap sejak dulu. Loker Rio,Mamat, dan Rudi berada di lantai 2 dekat toilet wanita, Loker Choirul di lantai 3 di samping kelas F-303?berhati-hatilah karena disana cukup ramai.”
Aku mengalah. Kami tiba di kampus dan aku langsung menuju lokerku untuk menyimpan barang tersebut. Aku menghadiri kelas perkuliahan Mekanika I. Setelah kelas dibubarkan aku kembali menuju lokerku dan mulai mengirimkan pesanan sesuai loker mereka masing-masing. Pekerjaanku telah selesai. Aku tiba-tiba teringat Wanda. Wanita yang mengecup pipiku beberapa waktu lalu.
Aku ingin menemuinya..
Aku tidak tahu cara menghubungi Wanda. Kami juga belum pernah bertukar nomor telepon. Pertemuan kami sebelum-sebelumnya memang tidak pernah direncanakan. Aku ingat bahwa dia merupakan mahasiswi jurusan biologi. Walaupun kami satu fakultas namun gedung setiap jurusan dipisah. Gedung fisika dan gedung biologi terletak lumayan jauh?mungkin sekitar satu kilo. Aku segera berangkat kesana dengan berjalan kaki. Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit sampai akhirnya aku tiba disana. Gedung biologi tersusun atas 3 lantai. Bangunan ini baru selesai direnovasi ketika aku masih menjadi mahasiswa baru. Rancangannya sangat modern?tidak seperti bangunan gedung fisika yang masih mempertahankan rancangan kuno. Aku duduk menunggu di selasar depan gedung, berharap bahwa wanda akan berjalan di sekitar situ. Aku terus memperhatikan keadaan sekitar. Jam menunjukkan pukul 12 siang. Orang-orang berlalu lalang keluar-masuk gedung menjalani aktivitasnya seperti biasa. Terlihat mahasiswa yang sedang berlari-lari menuju kelas?sepertinya ia terlambat, pesuruh yang sedang mengepel lantai, penjaga gedung yang sedang membaca koran, dan dua orang dewasa yang terlihat seperti dosen sedang berdiskusi sambil berjalan keluar gedung. Suara tapak sepatu dan obrolan orang-orang mengisi keheningan gedung. Tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa Wanda akan lewat. Aku kembali melihat jam dinding dan waktu baru berjalan 5 menit. Aku menyilangkan tanganku?pertanda bahwa aku sudah bosan. Aku harus lebih bersabar lagi. Mungkin saja Wanda baru saja masuk kelas perkuliahan atau Ia sedang dalam perjalanan menuju kelas. Pikiranku melayang pada sore itu, di stadion softball. Aku masih ingat jelas bau harum rambutnya, suara kekanak-kanakannya, lesung pipitnya saat ia tertawa, dan kecup basah bibirnya di pipiku. Peristiwa itu terus saja memenuhi pikiranku seakan-akan sudah terpatri sekian lama. Waktu terus saja berjalan?Ia tidak sesabar diriku yang menunggu kedatangan Wanda. Aku mendengar ada yang menyebut namaku dari kejauhan. Aku menoleh dan melihat seseorang sedang melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Aku segera mengetahui siapa dirinya ketika ia mendekat.
“Hanif! Apa yang kau lakukan disini?” kata Angga keheranan.
“Eh, aku, aku sedang..” kataku gugup. Aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak bisa bilang kepadanya bahwa aku sedang menunggu Wanda.
“Sudahlah jujur saja. Kau sedang menunggu seorang wanita kan?” katanya menggodaku. “Tuhkan benar apa kataku! ternyata temanku ini sudah dewasa rupanya.” Ia mencekikku dengan lengannya?kelihatannya ia begitu gemas.
Aku tidak memberikan perlawanan.
“Siapa dia? mengapa kau tidak pernah memberitahuku?.” ia menggerutu
“Bukan siapa-siapa” jawabku ketus. Aku tidak dapat menyembunyikan rasa maluku.
“Kurasa ia tidak akan datang, Eh? Aku sengaja tidak menyapamu sebelum masuk kelas tadi.” kata Angga
Aku melirik jam sekilas?pukul 3 sore. Aku menunggu terlalu lama. Sebaiknya aku pulang saja, mungkin Wanda tidak ada kelas hari ini. Aku bisa mencobanya besok.
“Kasihan sahabatku yang satu ini. Nah, ayo kutraktir kau Kebab karena kesialanmu hari ini.” Angga terus saja menggodaku.
Aku bangikit dan memutuskan untuk pergi. Penantianku hari ini belum berbuah manis.
“Hei, tunggu aku!.” Kata Angga sambil menyusulku.
"Aku tidak pernah menghisap apapun selain udara"
Comment on chapter BAB IIOke, mungkin kalimat itu bakal nempel dikepalaku sampai besok :))