DARI awal, Narendra Waradana tahu ini tidak mudah.
Ia tahu apa konsekuensi dari pilihannya, hal-hal buruk yang ia timbulkan, apa yang mungkin ia hancurkan—hanya karena keputusannya untuk menjalin hubungan dengan gadis itu. Mantan kekasihnya, Alexa.
Naren tahu dengan pasti Anthony—kakak laki-laki Alexa—tidak akan membuatnya tidur nyenyak karena Naren berpacaran dengan adiknya, saudara kembarnya sendiri tidak bereaksi baik ketika tahu Naren punya hal lain untuk diprioritaskan, lalu ada sekumpulan gadis yang ngakunya tidak terima dengan hubungan romansanya, dan berbagai hal lain yang mungkin sudah membuat Alexa sendiri sakit kepala sejak berstatus sebagai pacarnya.
Ini hubungan serius pertamanya, gadis itu adalah gadis pertama yang sungguh-sungguh Naren suka di usianya yang baru menginjak enam belas tahun, lalu kenapa harus serunyam ini pada hubungan sepasang remaja yang masih duduk di bangku sekolah?
Dari awal ia tahu, dari awal ia tahu dan ia tetap memilih ini.
Tetap nekat seakan ada sesuatu yang bisa ia ubah. Siapa yang ia bercandai, eh? Anthony punya cara-caranya sendiri untuk memastikan adiknya segera bubar jalan dengan Naren, dan walau awalnya Naren menolak menyerah semudah itu, lama kelamaan ia pikir rasanya ini semua mulai melelahkan.
Karena ia seperti sedang berjuang sendirian.
Ia dan Alexa jarang bertemu. Mereka berbeda sekolah, Naren di SMA Apollo sementara Alexa di SMA Rajendra. Tiap kali bertemu pun mereka akan selalu bertengkar ketika ia menyinggung-nyinggung soal Anthony. Ini bukan kompetisi, tetapi Naren selalu merasa sebagai pihak yang kalah.
Ia sebagai laki-laki juga punya harga diri.
Jadi harusnya pun tidak mengejutkan ketika akhirnya Alexa minta putus darinya, ia semudah itu mengiyakan.
“Aku nggak mau bikin kamu susah lagi, Ren. Kita selalu bertengkar tiap ketemu, dan aku tahu kamu juga udah capek sama semua ini. Kayaknya... lebih baik kita pisah aja.”
Itu bahkan tidak lagi mengejutkan, Naren sudah tahu bahwa pada satu titik mereka pasti akan melakukan pembicaraan ini. Salah satu di antara mereka berdua pasti akan menyebutkan kata itu. Karena sudah lelah, karena sudah tidak sanggup lagi bertahan, karena melepaskan rasanya mungkin akan lebih melegakan dibanding menjalani hubungan yang hanya mencekik keduanya ini.
Tidak perlu terkejut, bukan? Ini hal yang sejak hari pertama ia ketahui akan terjadi cepat atau lambat.
Tetapi bukan berarti tidak menyakitkan.
Naren saat itu hanya bisa mengatupkan mulutnya, hendak membuka, tetapi kemudian ia tutup lagi. Sentuhan tangan Alexa di pipinya terasa begitu dingin, tidak ada lagi kehangatan yang tersisa. Mungkin itu salahnya, Alexa banyak menderita karena hubungan ini. Mungkin itu salahnya, harusnya ketika tahu ada begitu banyak hal yang menentang mereka berdua sebaiknya ia tidak perlu nekat untuk tetap maju.
Melepaskan jauh lebih mudah, kan?
“Itu yang kamu mau?”
“Itu yang terbaik untuk kita.”
Jawaban itu terdengar melegakan sekaligus menyakitkan di saat bersamaan. Lega, karena rasanya ini adalah jalan pintas dari semua keruwetan yang ada, dengan ini rasanya mereka berdua sama-sama terbebas dari beban berat. Tetapi menyakitkan sekali mengetahui bahwa ternyata hanya sampai ini saja batasnya. Dan siapa yang bisa disalahkan jika sudah begitu?
Naren tertawa pelan, ia tidak tahu kenapa tawa itu keluar, tetapi situasi ini pun dari awal sudah ganjil baginya. “Yeah, kurasa juga lebih baik begitu.”
Lebih baik kita berpisah sekarang juga sebelum kita berakhir saling membenci karena berada terlalu lama dalam hubungan yang tidak lagi membuat kita bahagia.
Kakinya melangkah menuju pintu keluar apartemen Alexa. Naren tidak berbalik sama sekali untuk memandang cinta pertamanya terakhir kalinya. Sesuatu dalam dirinya tengah remuk dan menengok ke belakang tidak akan menyembuhkan apa pun.