1. Kesiangan
***
Kring...kring...kring...
"BACOT, WOI!!! GAK TAU GUE LAGI MIMPIIN MANU RIOS, YA?!"
Kring...kring...kring...
Caca yang sedang bergumul dengan selimut tebalnya itu mengerang kesal karena jam weker yang terus berbunyi dan menghancurkan mimpi indahnya bersama cogan.
Cewek itu berdecak kesal, ia meraba-raba jam sialan itu di nakasnya dan mematikannya. Matanya yang setengah terbuka itu menatap jam dengan sedikit buram.
"Masih setengah tujuh, kok!" Kesalnya. Lalu, meletakkan jam weker itu dengan kasar sehingga menimbulkan suara bantingan.
Ia kembali meringkuk dalam selimutnya. Dan...
"APA?!! SETENGAH TUJUH?!!"
Kembali terbangun.
"ANJIR, GUE KESIANGAN!!!" Teriaknya panik.
Caca langsung menyingkap selimut tebalnya dan langsung berlari kecil mengambil handuk yang tergantung di dekat kamar mandi---terletak di kamarnya.
Ia langsung memasuki kamar mandi dan menatap pantulan dirinya yang berantakan dengan muka bantal di cermin yang ada di sana.
Ia mengacak-acak rambutnya dengan sebal. "Pokoknya ini semua salahnya Manu Rios. Kenapa juga tuh cogan dateng ke mimpi gue??!" Katanya ngomong sendiri. Caca mengambil sikat gigi dan pastanya. "Kan, guenya jadi keenakan."
Caca menyikat giginya dengan cepat. Setelah selesai, ia membasuh wajahnya yang menurutnya penuh dengan iler. Ia meringis kecil. "Jijik banget gue."
Cewek itu juga menggosok-gosok matanya agar tak terlihat sipit karena habis bangun tidur. "Mandi, gak, ya?" Gumamnya. "Gak deh. Kagak mandi juga gue tetep cantik dan imut macam boneka chucky."
Sedetik kemudian ia mengerjap dan menatap pantulan wajahnya dengan cengo. Ada yang salah dengan perkataannya.
"Eh? kok boneka hantu itu sih. Maksud gue tuh macam boneka barbie." Ralatnya. Caca berdecak kesal. "Tuh, kan, gue jadi lola. Fix ini mah salahnya si Manu Rios!"
"Pokoknya gue gak mau tau, si Manu Rios harus tanggung jawab karna dia gue jadi kesiangan." Katanya seraya menunjuk-nunjuk pantulan wajahnya dengan telunjuknya. Ia mengusap dagunya dramatis dan menatap pantulan wajahnya dengan serius. "Kalo perlu si Manu Rios kudu ngawinin gue."
Begitulah, Caca. Cewek berambut panjang itu terkadang suka ngoceh tak jelas dan tak berfaedah. Caca juga apa adanya, saking apa adanya tuh anak kalo ulang tahun cuma minta kado permen Yupi sebungkus. Jadi, maklumi saja. Dia udah dari pabriknya kayak gitu.
Setelah sibuk dengan urusan 'bersih-bersih badan' hingga selesai dan memutuskan untuk tidak mandi. Caca pun keluar kamar dengan cepat dan mengambil seragam yang sudah ia setrika mati-matinan. Gak, kok. Itu berlebihan.
Memakai seragam dengan terburu-buru. Menaburkan bedak bayi ke wajahnya. Lalu, menyisir rambutnya yang kali ini dibiarkan tergerai. Bagi Caca itu sudah lebih dari cukup. Sekarang, cewek itu mengambil sepatu hitam yang terletak di dekat lemari baju. Lalu, keluar kamar dan berlari tergesa-gesa menuju dapur.
Saat ingin melewati kamar sebelah, terjadilah...
Brakk
Insiden tabrakan antar kakak-adik.
"ADUH, PANTAT SEKSI GUE!" Caca mengaduh seraya mengusap pantatnya yang jatuh dengan tidak elitnya ke lantai.
Bersamaan dengan itu, Saga yang tadi keluar tiba-tiba juga mengusap jidatnya---yang entah bagaimana menyosor ke dinding.
Saga menggeram kesal."ARGH! JIDAT GUE TERNODAI DEBU DINDING, NJIR!" Cowok lebih tua dua tahun dari Caca itu berdecak dan menatap adiknya itu dengan sinis. "GUE GAK MAU TAU, LO HARUS MINTA MAAF SAMA JIDAT GUE!"
"EH, LO JANGAN TERIAK-TERIAK JUGA, KELESS!!!" Balas Caca yang mulai bangun dari duduknya. "INI RUMAH BUKAN HUTAN, SAGARA MALIK ZOE!!!"
"EH, LO JUGA TERIAK-TERIAK, SALSA MELIKA ZOE!!!" Kini, adu teriak pun di mulai. Sepasang kakak beradik ini tak pernah lepas dari yang namanya pertengkaran. Bahkan, masalah kecil pun akan dibesar-besarkan oleh mereka.
"TAPI, KAN LO TADI--"
"DIAAAMMMM!!!"
Boom
Sebuah teriakan melengking langsung memasuki indra telinga kedua insan itu, sontak keduanya menutup telinga serapat mungkin mencegah congek keluar dari tempatnya.
Teriakan melengking dan menggelegar itu milik wanita paruh baya yang berdiri di lantai satu, mendongak ke atas menatap kedua anaknya sambil berkacak pinggang.Dia Marissa, Mama dari Saga dan Caca.
"KALIAN UDAH TELAT, MALAH NYIA-NYIAIN WAKTU PAKE ADU TERIAK!" Teriak Marisa menatap kedua anaknya yang kini turun menuju lantai satu seraya menunduk dalam.
Benar kata orang, sekencang apapun suara anak yang adu mulut, tetap kalah sama suara ibu yang tengah marah.
"Kok, pada diem?" Tanya Marisa.
Lah, nih emak-emak tadi nyuruh diam, sekarang malah nanyain kenapa diam. Maunya apa, sih?
"Kan, Mama tadi yang nyuruh." Saga angkat suara.
"Maksud mama, kenapa kalian cuma diem di sini. Gak sekolah?"
Tepukan jidat bersamaan dari Saga dan Caca pun memecah keheningan mereka. Mata mereka melotot kompak.
"OH, IYA! KITA TELAT!!!"
***
Saga melajukan motornya dengan kecepatan di atas rata-rata, membelah jalanan dari kota sibuk itu. Lima menit lagi gerbang akan di tutup. Di belakang Saga, Caca yang duduk sambil meremas tas kakaknya itu terus berteriak menyuruh Saga agar cepat.
"CEPAT, BANG!" Teriak Caca di samping telinga Saga yang membuat cowok itu meringis. "GAS TEROSS! JANGAN KASIH KENDOR!"
"Ca, lo kagak usah teriak-teriak juga kali!" Saga mendengus kesal. Padahal, tanpa di teriaki begitu pun ia akan melajukan motornya dengan cepat. Lebih cepat dari yang Caca bayangkan malah.
"Gue nyemangatin lo, Bang." Ucapnya sambil nyengir.
"Lo bukannya nyemangatin, malah malu-maluin, Dodol!" Kesal Saga. Caca pun mencibir. Benar saja, beberapa orang yang mereka lewati melirik aneh pada mereka---sepasang kakak beradik berseragam SMA.
Satu menit lagi gerbang di tutup, untung saja gerbang SMA Garuda sudah di depan mata. Saga semakin mempercepat motornya dengan memutar gas penuh.
Semakin cepat. Cepat. Cepat...
"YUHUUU!!! AKHIRNYA!!!" Teriak Caca. Mereka berhasil melewati gerbang dengan rasa bangga karena hari ini mereka tidak akan telat dan tidak terkena hukuman.
Sampai parkiran.
"Kok, sepi?" Gumam Saga.
"Huhh, bangga gue punya abang yang bawa motor kayak pembalap Valentino Rossi!" Seru Caca seraya melepas helm. Ia tersenyum-senyum sendiri, lalu turun dari motor besar warna merah milik Saga.
"Ca,"
"Pokoknya, gue mau daftarin lo jadi pembalap deh kalo nanti-nanti lo kayak gini, hehe."
"Ca!"
"Bang Saga, pokoknya jangan khawatir. Gue bakal dukung lo sepenuhnya buat jadi pembalap. Kalo bisa, lo kalahin tuh si Mar--"
"CA!"
Saga mendengus kesal. Sedari tadi ia memanggil adiknya itu, namun tidak dihiraukan dan malah ngoceh sendiri. Benar-benar nih anak!
"Apa?" Tanya Caca polos. Ia bersiap melangkah meninggalkan Saga yang masih duduk di atas motornya.
Saga memutar bola matanya malas. "Lo gak liat atau emang lo gak sadar kalo parkiran sekarang sepi?"
Caca mengerjap. Ia menatap ke sekitarnya dengan heran. Parkiran benar-benar sepi tanpa penghuni, kecuali mereka sendiri. Caca mengambil ponselnya di tas dan memeriksa sesuatu. Matanya langsung melebar dengan mulut terbuka.
"BANG SAGA!"
"A--apa Ca?" Tanya Saga jadi panik karena reaksi Caca yang histeris.
"HARI INI TANGGAL MERAH, BANG!"
***
Hufftt
"Ck, lo bisa diam gak sih!?" Saga kesal sekali sedari tadi ia mendengar adiknya menghela napas berat. "Berisik tau, gak?!"
Caca mencibir, lalu turun dari motor Saga dan meninggalkannya begitu saja memasuki rumah.
Saga tau adiknya itu masih jengkel karena ternyata hari ini adalah tanggal merah. Tapi, ia lebih jengkel karena sikap adiknya yang terlalu berlebihan. Harusnya tuh anak senang, dong, hari ini tanggal merah yang artinya bisa santai di rumah tanpa adanya 'ceramah' dari para guru pengajar.
Saga memasuki rumahnya mengikuti langkah adiknya yang gontai.
Saat menginjakkan kakinya di bangunan bergaya tropical ini. Ia melihat Desi---Sang Mama---menatap kedatangannya mereka dengan bingung.
"Kok, pada balik?" Kata Desi seraya menutup katalog toples yang sampai sekarang digemari ibu-ibu---sebut saja tupperware . Wanita berumur kepala empat itu berdiri dari duduknya dan menghampiri Saga dan Caca. "Gak jadi sekolah? Gak dibolehin masuk sama satpam?"
Wajah Caca murung. "Mama lupa atau emang gak tau sih?"
Dahi Desi mengernyit. Ia menatap kedua anaknya bergantian. Lalu, menatap Saga lagi dengan tatapan bertanya. "Kenapa, Bang?"
"Hari ini tanggal merah, Ma."
Huftt
"HAHAHA," Ibunya tergelak setelah menahan tawa mendengar jawaban anak lelakinya. "Iya, ya. Mama kok lupa, ya."
Desi menepuk-nepuk bahu Caca yang mendengus kesal, ia berusaha menahan tawanya. Apalagi tadi pagi ia melihat kepanikan kedua anaknya itu. Sungguh lucu sekali.
Saga melangkah menuju ruang keluarga yang terletak berdampingan dengan ruang tamu, hanya dinding tanpa pintu yang menjadi sekatnya, meninggalkan mamanya yang sekarang masih terlihat berusaha menahan tawa.
Saga meletakkan tasnya di sofa berwarna abu-abu gelap. Lalu, mengambil remote tv yang terletak di atas meja. Cowok berhidung mancung serta beralis tebal itu menyalakan tv dan mengganti chanel yang menampilkan acara musik.
Baru saja ia menikmati lagu 'Teman Bahagia' yang dibawakan oleh Jaz, televisi berganti chanel menjadi acara masak-masak. Menyebalkan!
Saga menatap si pelaku yan mengganti chanel tv itu, adiknya sendiri Salsa Melika Zoe. Caca mendudukkan dirinya di sofa dengan raut santai tanpa mempedulikan tatapan Saga. Jika mereka adalah tokoh kartun, pasti kepala Saga sudah mengeluarkan asap.
Tanpa aba-aba, Saga merebut kembali remote tv dan mengganti chanel menjadi acara musik.
Caca geram, "Bang!"
"Apa?!" Tanya Saga sewot tanpa mengalihkan pandangannya pada tv.
"Kenapa diganti chanelnya?" Tanya Caca dengan nada tinggi. "Gue mau nonton yang tadi!"
Saga menoleh ada Caca, lalu cowok itu menyeringai. "Sejak kapan lo suka acara masak-masak?"
Mata Caca melebar. Ia baru sadar sekarang. Sejak kapan ia suka acara masak-masak?
Caca kehilangan kata-katanya. Ia tau ia tidak bisa mengelak lagi. Saga tetaplah Saga. Cowok itu akan kekeuh dengan apa yang ia inginkan. Saga menatap Caca dengan alis terangkat sebelah, menunggu jawaban dari adiknya itu.
"Sejak kapan?" Ulang Saga.
Caca bungkam. Mulutnya terkatup rapat membentuk garis lurus. Matanya memicing tajam.
Saga terkekeh sinis. "Jangan coba ngelak, Ca, kalo lo itu masih takut sama yanh namanya musik."
"Lo gak tau apa-apa!"
"Apa yang gue gak tau?"Tanya Saga cepat.
Caca mendengus kesal. Ia berdiri kasar, mengambil tasnya di sofa lalu menenteng membawanya pergi meninggalkan Saga yang menatap sendu adiknya itu.
"Harusnya lo gak sepengecut itu, Ca."
***