.....
"Spada! Yuhu! I'm coming! Eh, Luthfi!" Mona berjalan menghampiriku sembari berteriak heboh. Ini masih pagi, dan keributan sudah mulai terdengar di dalam ruang kelasku. Mona-lah pelakunya. "Lo tahu, nggak?"
"Enggak?"
"Ih, Luthfi ... gue belum selesai bicara tahu."
"Oh."
"Entar Andrew mau nraktir kita makan di kantin."
"Eh? Emangnya dia menang?"
"Ish, lo nggak baca SMS yang gue kirimin semalam, ya?"
Aku menggeleng. "Nggak ada SMS dari elo, tuh."
"Eh? Seriusan lo?"
"Serius. Pulsa lo habis mungkin."
"Ah, enggak. Gue kemarin SMS Maya masih bisa, tuh."
"Coba lo cek lagi, deh."
Mona pun menuruti perintahku. Cewek itu mengecek pulsa di ponselnya. "Lo bener, Luth. Pulsa gue habis."
"Tuh, kan."
Mona pun menyunggingkan bibir ke bawah. Cemberut. Seakan-akan cewek itu ingin menangis. "Padahal gue baru beli kemarin. Udah habis aja," tuturnya dengan nada yang dibuat-buat agar terdengar menyedihkan.
"Beli lagi sana. Yang banyak sekalian," perintahku. "Ngomong-ngomong, si Andrew dapat juara berapa, sih?" tanyaku kemudian. Karena setahuku, kalau cowok itu dapat juara, baru dia akan mentraktir kami. Itu yang diucapkan oleh Maya kemarin.
"Alhamdulillah masuk lima besar, Luth. Tepatnya, sih, juara harapan I. Lumayan, kan? Yes, entar dapat makanan gratis," jawab Mona.
"Oh." Aku hanya ber-oh ria. Sudah bisa ditebak kalau bakalan seperti itu. Sangat tidak mungkin dalam waktu yang menurutku lumayan mepet, sekolah kami bisa masuk tiga besar.
~dear you~
Jia tampak antusias melihat kedatanganku. Cewek itu tersenyum lebar menyambutku. Aku balas tersenyum, lalu memeluknya.
"Kakak datang sendirian?" tanya Jia setelah pelukan kami berakhir.
Aku mengangguk sebagai balasan.
"Kak Rayyan nggak ikut?"
"Enggak. Aku sengaja datang ke sini sendirian." Aku lalu menyerahkan paper bag yang berisi syal yang kubeli kemarin untuknya. "Oh, ya, ini kado ulang tahunmu. Maaf telat."
Jia tampak semringah. Dia menerima barang pemberianku tersebut dengan senang hati. "Makasih banyak, Kak. Aku suka."
"Sama-sama. Syukurlah kalau kamu suka." Aku kemudian mengernyit bingung saat melihat Jia yang tiba-tiba saja menampilkan wajah sedih. "K-kamu kenapa, Jia? Apa ... ada yang mengusik pikiranmu?" tanyaku cemas.
Jia menundukkan kepalanya sendu. Lalu, dia menghela napas pendek. "Aku bosen berada di sini, Kak. Aku ingin bebas seperti anak-anak seusiaku. Aku ingin liburan, jalan-jalan ke mal, main sama teman-teman seusiaku, mencoba pakaian yang lagi ngetren, selfie-selfie, pergi ke sekolah, dan apa pun itu yang biasa dilakukan oleh anak seusiaku."
Aku terenyuh. Lalu, kutepuk pundaknya pelan. Kurasakan tubuhnya yang bergetar.
"Aku sangat bosan berada di sini. Nggak bisa menikmati suasana luar dengan bebas, tiap hari harus menelan pahitnya obat, yang kupakai hanya pakaian rumah sakit, hiks. Kenapa Tuhan nggak cepat-cepat ngambil nyawaku aja, Kak? Kenapa?" Jia mulai terisak. Aku pun langsung memeluknya. Tak terasa air mataku pun ikut menetes. Aku ingin menghiburnya. Namun, tak bisa. Aku tak memiliki bakat itu.
"Aku benci dengan hidupku, Kak ...," tutur Jia. "Apa Tuhan udah nggak sayang padaku? Kenapa Tuhan melakukan ini padaku?"
"Hush, kamu nggak boleh bicara seperti itu. Tuhan sangat menyayangi Jia. Mangkanya Tuhan memberikan cobaan yang berat kepada Jia, agar Jia selalu mengingat Tuhan. Yang harus Jia tahu, Tuhan nggak akan memberikan cobaan di luar batas kemampuan manusia. Kakak yakin, Jia pasti bisa melalui ini semua."
"Enggak, Kak. Aku nggak bisa melalui ini semua. Aku udah nggak bisa sembuh. Umurku udah nggak lama lagi ...."
Aku semakin terisak dibuatnya. Ya, sekarang semuanya bergantung kuasa Tuhan. Dokter bisa saja memvonis berapa lama seseorang yang sudah dalam keadaan kritis bisa hidup. Namun, tetaplah Tuhan yang menentukan semuanya. Manusia tak pernah tahu, kapan malaikat Izrail akan mencabut nyawanya.
Satu jam kemudian, aku sudah tak mendengar suara tangisan Jia lagi. Cewek itu tertidur. Dia mungkin kelelahan. Sisa-sisa air mata bahkan masih membekas di permukaan pipinya.
Aku menghela napas panjang, lalu menatap wajah damai yang tampak pucat itu sendu. Merasa iba dengan apa yang dialaminya saat ini. Aku bahkan tidak bisa membayangkan seandainya apa yang dialaminya itu terjadi padaku. Tidak, tidak. Aku tidak ingin membayangkannya. Itu sangat menyedihkan.
Tanganku kemudian terulur untuk menyentuh jemari tangannya yang kurus. "Semangat, Jia. Aku tahu, kamu cewek yang kuat. Rencana Tuhan pasti jauh lebih indah," ucapku pelan. Aku lalu beranjak dari dudukku, dan mulai melangkah keluar dari ruangan yang selalu didominasi oleh obat-obatan ini.
"Rayyan?" Keningku lantas berkerut saat tak sengaja melihat sekilas seseorang yang lewat di sana, di sisi kiriku, begitu aku baru saja menutup pintu. Aku pun berlari menghampirinya, namun yang kudapatkan hanyalah beberapa pasien rumah sakit dan keluarganya yang sedang berlalu-lalang.
Tidak. Mataku tidak rabun. Aku sangat yakin, kalau itu tadi Rayyan. Tapi, apa yang dilakukannya di sini? Menjenguk Jia? Tapi, dia memakai pakaian yang sama dengan pasien di sini. Aku jadi bingung.
Ah, mungkin aku salah lihat. Itu pasti bukan Rayyan. Buktinya, dia tidak ada di sini sekarang. Mungkin hanya seseorang yang mirip dengannya saja. Aku pun mengabaikannya, dan beranjak untuk pulang.
~dear you~
"Kamu di mana, Luth? Kenapa jam segini belum pulang?"
"Ini, lagi di rumahnya Rey, Ma."
"Kalau di situ, ya, sudah. Mama nggak khawatir. Tapi, kamu nggak bohong, kan?"
"Mama kalau nggak percaya, nih, bisa ngomong langsung sama Rey." Aku mengulurkan ponselku ke Reyhan yang sedang asyik dengan ponselnya. "Rey, ngomong gih sama Mama," perintahku padanya.
Rey mendongak, lalu mendekatkan mulutnya ke ponselku. "Halo, Tante! Ini Reyhan si cowok ganteng yang sedang bicara sama Tante," ucapnya menggelikkan.
Aku lalu menjauhkan ponselku dari mulut Reyhan, dan mendekatkannya ke telingaku. "Mama denger sendiri, kan? Luthfi nggak mungkin berbohong, Ma."
"Ya sudah kalau begitu. Jangan pulang kesorean," pesan Mama.
"Iya, Ma."
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Obrolanku dengan Mama pun berakhir. Aku lalu menghempaskan tubuhku ke atas sofa tepat di sebelah Reyhan. Kemudian kulirik apa yang sementara ditatap serius oleh sepupuku itu. Tsk, ternyata dia hanya meng-scroll beranda Facebook-nya. Tanpa adanya tulisan angka di menu pesan atau pun notifikasi. "Sepi amat FB lo, Rey," tuturku.
"Kayak FB lo ramai aja, Luth," balasnya, dan seratus persen benar.
"Ramai, dong. Ramai sama status-status alay maksudnya."
Reyhan mendengus. "Orang jualan online juga, noh, banyak."
"Yah. Itu namanya manfaatin sosial media buat hal yang positif. Daripada status alay, bukannya lebih bagus jualan online, ya? Lebih berfaedah."
"Iya juga, sih." Reyhan lalu beralih menatapku. "Oh, ya, Luth. Bukannya lo dateng kemari buat cerita ke gue mengenai lo yang ngeciduk orang kemarin, ya?" tanyanya.
"Ah, iya. Hampir aja lupa."
Reyhan menaruh ponselnya ke atas meja, lalu menatapku serius. "Cepat cerita. Gue penasaran, nih."
"Gue kemarin ngeciduk si Selena. Dan, dia udah resmi putus sama Paijo."
"Hah? Seriusan lo?" Reyhan tampak terkejut mendengarnya.
"Seriuslah."
"Gimana ceritanya?"
"Cewek itu selingkuh."
"Apa?!" teriak Reyhan heboh.
"Woles, woi!"
Aku kemudian mengotak-atik ponselku, mencari video Selena yang sedang berselingkuh. "Nih, buktinya," ucapku setelah menemukannya, dan memperlihatkannya ke Reyhan.
Reyhan pun mulai menonton video tersebut. Keningnya tampak mengkerut. "Tsk, nggak patut dicontoh." Dia lalu menatapku serius. "Dari mana lo dapet nih video?" tanyanya.
"Kan, gue udah bilang kalau gue kemarin ngeciduk orang. Ya, itu. Gue sendiri yang ngerekam tuh video. Gue lihat dengan mata kepala gue sendiri," jelasku.
"Ini di mal, kan?"
"Iya."
"Ngapain lo di mal?"
"Ngamen. Ya shopping-lah."
Reyhan mendengus. "Dasar cewek."
Aku menggerutu kesal mendengarnya. Bukankah cewek memang seperti itu? Suka berbelanja. Lagi pula, aku ke mal hanya untuk membeli syal buat Jia. Dan, beruntung bisa melihat kelakuan Selena yang menyimpang itu kemarin.
"Terus, lo lapor ke Bang Fadli, gitu?"
"Ya iyalah. Mana mungkin gue nyembunyiin kelakuan buruk Selena itu dari abang gue sendiri? Dari awal mereka pacaran pun, gue udah nggak suka sama tuh cewek. Dan, gue bersyukur banget bisa ngelihat kelakuannya itu." Aku tersenyum senang. Bayangkan saja jika apa yang kalian ekspektasikan selama ini menjadi kenyataan. Sangat membahagiakan, bukan?
Biarpun hubunganku sama Paijo tidak akur, setidaknya aku masih memiliki rasa kasih sayang padanya. Jika tidak, mungkin aku akan diam saja melihat kelakuan Selena itu. Dan, Paijo tak akan pernah tahu bagaimana pacar yang kini sudah menjadi mantannya itu.
"Jadi, lo senang gitu ngelihat Bang Fadli putus sama si Selena?"
"Iya, dong. Lagian, nih, ya. Gue akan menjadi orang pertama yang nggak ngerestuin kalau seandainya mereka sampai ke pelaminan."
Ya, anggap saja aku adalah adik yang kejam. Bagaimana seandainya aku yang berada di posisinya Paijo? Ya, sudah pasti aku tidak akan berpacaran sama cewek kayak Selena.
"Jahat amat, lo."
"Biarin."
"Nggak mau ngerayain, nih?" Reyhan mengangkat sebelah alisnya.
"Hah? Maksud lo?" tanyaku tak paham.
"Atas putusnya Bang Fadli dan Selena. Ya ... lo nraktir-nraktir gue gitu."
"Tsk, mau lo."
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah