.....
Aku terpaksa mengesampingkan rencanaku untuk mencari kado yang akan kuberikan kepada Jia hanya untuk mengintai seorang cewek di depan sana. Itu Selena, dengan seenak jidatnya tengah bermesraan dengan seorang cowok yang tak kukenali.
Bagaimana mungkin dia seperti itu di belakang Paijo?
Playgirl.
Ternyata, tak salah jika aku menaruh kebencian padanya.
Aku mengeluarkan ponselku dan mulai merekamnya. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Aku ingin Paijo tahu, kalau cewek yang selama ini dicintainya ternyata tak setia.
Aku tidak mengerti terhadap pola pikir Selena. Bagaimana bisa dia dengan santainya bermesraan dengan cowok lain di dalam mal sebesar ini? Apa tidak terlintas di pikirannya, bagaimana jika seandainya ketahuan olehku atau keluargaku, begitu? Terlebih lagi jika ketahuan Paijo. Ada di mana cowok itu sekarang?
Aku menghentikan kegiatan merekamku. Lalu, dengan kesal aku berjalan menghampiri Selena. "Ekhem," aku berdeham begitu tiba di dekatnya.
Aku lihat si Selena terkejut. Matanya terbuka lebar. Tak percaya bisa melihatku berada di sini. "E-eh, Luthfi. Apa ... yang kamu lakukan di sini?"
Menonton konser.
Ini tempat umum. Siapa pun berhak berada di tempat ini. Kecuali napi.
"Dia siapa?" Aku tak menjawab pertanyaannya, dan malah menunjuk seorang cowok berambut gondrong yang berdiri di sebelahnya.
"Ng ... dia ...." Selena menggantungkan ucapannya. Aku tahu, dia sekarang tengah menyusun kalimat yang logis yang akan digunakannya sebagai alasan.
"Aku pacarnya Selena." Tanpa perlu berlama-lama menunggu jawaban Selena, cowok itu menjawab sendiri pertanyaan yang kulontarkan ke Selena tadi.
Aku mengernyit. Pacar? Aku tidak begitu terkejut mendengarnya. Sebab, gerak-gerik keduanya tadi –waktu kuintai– tampak jelas sekali kalau mereka bukan hanya sekadar teman saja.
Aku melihat Selena yang terkejut dengan jawaban cowok itu. "Ng ... itu ... Luthfi, please. Aku bisa jelasin."
Aku menatap Selena datar. Lalu, aku mencoba menelepon Paijo.
"L-Luthfi, aku mohon. Aku bisa jelasin."
Masuk. Panggilanku diangkat oleh Paijo.
"Halo, lo di mana sekarang?" tanyaku.
"Di Bandung. Kenapa? Aku ada acara dengan teman-teman kuliahku."
"Enggak. Cuman nanya aja. Ngomong-ngomong, lo sekarang tahu, nggak, Selena ada di mana?"
Selena meraih tangan kiriku, memohon-mohon agar aku tidak melaporkan perbuatannya itu ke Paijo. Namun, aku segera menepis tangannya.
"Dia tadi bilang kalau dia ingin pergi jalan-jalan sama temennya. Ada apa, sih? Tumben banget kamu nanyain Selena."
"Ng ... entar aja, deh, kalau lo udah pulang baru gue cerita."
"Oke."
Panggilan dengan Paijo pun kuakhiri. Lalu, kembali kutatap Selena datar. Cewek itu masih saja menatapku dengan tatapan memohon.
"Ada yang bisa jelasin apa maksud ini semua?" Cowok berperawakan tidak terlalu tinggi yang sedari tadi hanya diam itu mulai bersuara. Jadi, aku atau Selena yang akan menjelaskannya sekarang?
"I-itu ...." Lagi-lagi, Selena menggantungkan ucapannya.
Aku maju selangkah, lalu berdiri tepat di hadapan cowok yang ngakunya sebagai pacar Selena tersebut. "Asal Kakak tahu, pacar dia," aku menunjuk Selena, "bukan cuma Kakak saja." Aku lalu melangkah pergi meninggalkan keduanya. Niatku datang ke sini adalah untuk mencari syal. Maka dari itu, aku akan merealisasikan niatku tersebut.
Aku tidak peduli dengan Selena yang mungkin saja sekarang tengah sibuk menjelaskan kepada 'selingkuhan'-nya itu.
~dear you~
"Sori, Rey, gue tadi nggak jadi mampir ke rumah elo," ucapku kepada Reyhan di seberang telepon.
"Tsk, padahal gue udah nunggu lo di rumah. Gue sampai relain nggak pergi ke warnet."
"Gue tadi habis ngeciduk orang, mangkanya nggak jadi ke rumah lo."
"Apa? Ngeciduk? Siapa yang lo ciduk, Luth?" Sepertinya Reyhan penasaran.
"Besok aja, deh, kalau gue ke rumah lo baru gue cerita."
"Ish, lo mah gitu. Nggak asyik."
"Biarin."
Tok! Tok! Tok!
Aku mendengar pintu kamarku diketuk.
"Luthfi!"
Itu suara Paijo.
"Eh, Rey. Udah dulu, ya. Ada PR yang harus gue kerjain, nih. Assalamualaikum!"
"Waalaikumsa–"
Belum sempat Reyhan menyelesaikan salamnya, aku sudah menyentuh ikon "akhiri" pada layar ponsel. "Iya! Masuk aja! Nggak dikunci, kok!" seruku kemudian.
Ceklek
Pintu pun terbuka, dan tampaklah Paijo di sana. Dia lalu berjalan menghampiriku. "Aku penasaran dengan apa yang kamu maksud di telepon tadi," ucapnya.
"Oh, itu." Aku lalu meng-scroll layar ponselku. Mencari menu "file manager", di mana bukti akurat tentang perselingkuhan si Selena berada. Setelah ketemu, aku pun menyerahkan ponselku kepada Paijo. "Nih! Terserah lo percaya apa enggak, itu hak elo."
Paijo menerima ponselku, dan mulai menonton rekaman video tersebut. Keningnya tampak berkerut. Aku yakin, dalam hati dia pasti terkejut melihatnya.
"Itu bukan editan. Gue emang melihatnya dengan mata kepala gue sendiri. Gue ngasih lihat ke elo, karena gue peduli sama lo. Gue nggak pengin lo salah memilih cewek buat masa depan lo. Ya, gue emang nggak suka sama Selena. Tapi, gue nggak akan memanipulasi apa pun itu yang memang pada dasarnya sudah menjadi fakta. Sekarang, terserah elo. Lo percaya atau nggak, gue nggak peduli. Yang jelas, gue udah mencoba ngasih tahu ke elo tentang ini. Lo juga bisa tanya langsung ke Selena tentang hal ini. Jika dia nggak ngaku, berarti dia udah menambah volume dosanya."
Paijo bergeming. Entah dia menyimak ucapanku atau tidak, aku tidak tahu. Terserah dia. Keputusan ada di tangannya. Mau dia percaya atau tidak padaku, aku tak peduli. "Sebaiknya sekarang lo telepon Selena, deh, agar lo tahu mana yang benar," kataku, lalu melangkah pergi keluar dari kamar menuju dapur.
Kuharap Paijo tidak terjerat omongannya si Selena. Biar bagaimanapun, cowok itu tetaplah kakak kandungku.
~dear you~
Aku berhenti di depan kamarku saat aku tak sengaja mendengar suara Paijo yang marah-marah di dalam sana. Dia pasti sedang berbicara dengan Selena di telepon.
"Kita putus!"
Dan, dua kata itu berhasil membuatku tertegun.
"Gue paling nggak suka sama cewek yang hobinya itu selingkuh kayak elo!"
Aku yakin, kalau Paijo saat ini tengah marah besar. Dia mulai memakai "lo-gue", bukan lagi "aku-kamu" seperti biasa. Itu adalah salah satu kebiasaannya yang sudah aku hafal di luar kepala.
Aku masih enggan untuk masuk ke dalam kamarku. Sesekali aku menyeruput minuman dingin yang aku bawa tadi dari dapur. Aku kini seperti sedang menonton film tanpa gambar. Dengan Paijo sebagai pemeran utamanya.
"Jangan hubungi gue lagi. Gue muak sama lo!"
Mampus. Aku tersenyum puas begitu tahu kalau hubungan antara Paijo dan Selena benar-benar sudah berakhir sekarang. Bukannya aku jahat, justru Paijo harus berterima kasih padaku nanti. Karenaku, dia menjadi tahu seperti apa itu Selena.
Setelah sudah tidak kudengar lagi suara Paijo di dalam, aku pun meyakinkan diri untuk memutar knop pintu kamarku. Di dalam sana, kulihat Paijo tengah duduk di atas ranjang sambil mengacak rambutnya frustrasi. Kentara sekali kekesalan dalam dirinya.
Aku lalu berjalan mendekatinya. "Intinya, sih, lo nggak bisa menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Sama seperti lo yang menilai Rayyan hanya dari asal sekolahnya saja. Lain kali, lebih berhati-hati lagi kalau milih cewek. Jangan sampai lo diselingkuhin," ucapku, berlagak menasihati. Ada sedikit ejekan di dalamnya.
Paijo menatapku datar. Lalu, dia bangkit dari duduknya dan melenggang pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tak ada ucapan terima kasih yang aku dapatkan setelah aku berhasil membuka aib si Selena.
"Nggak usah galau berlama-lama! Cewek di dunia ini nggak cuma satu! Move on!" teriakku.
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah