.....
"Kamu nggak masalah, kan, kalau aku ajak ke sini?"
Aku menggeleng. "Nggak masalah, kok. Lagian, aku tadi sudah SMS Mamaku."
Aku dan Rayyan kini berada di sebuah rumah sakit khusus kanker. Jika kalian penggemar drama Korea, kalian pasti pernah menonton drama Andante. Ya, rumah sakit ini tidak jauh beda dengan rumah sakit atau yang sering disebut hospice di drama tersebut.
Ah, kalian mungkin tahu Rumah Sakit Dharmais yang berlokasi di Jl. Letjen S.Parman Kav 84-86, Jakarta Barat. Seperti itulah rumah sakit ini. Di mana, pasien sudah tidak dapat disembuhkan lagi atau tidak bisa lagi dilakukan pengobatan.
Bukan tanpa alasan Rayyan mengajakku kemari. Cowok itu ingin memberikan hadiah kepada kenalannya yang sedang berulang tahun dan dirawat di rumah sakit ini.
Rayyan menyunggingkan senyum tipis. Lalu, dia merangkul bahuku. "Makasih, ya," tuturnya.
"Sama-sama," balasku. "Tapi, nggak masalah, kan, kalau aku nggak bawa apa-apa?"
"Hanya melihat ada orang yang mengunjunginya saja dia sudah sangat senang." Rayyan tersenyum miris.
Tak lama kemudian, kami pun tiba di depan sebuah kamar rawat. Berada di tempat ini seketika mengingatkanku akan kematian. Semua manusia yang ada di bumi ini pasti akan mati.
"Ini ruangan tempat temanku dirawat. Ayo, masuk." Rayyan memutar knop pintu perlahan. Tampaklah seorang cewek yang sedang duduk di atas ranjang sambil memeluk sebuah boneka beruang berwarna krem. "Jia!" panggil Rayyan. Kami lalu melangkah menghampiri cewek tersebut.
"Kak Rayyan!" sahut cewek yang bernama Jia itu antusias. Dia dan Rayyan lalu berpelukan.
"Selamat ulang tahun," ucap Rayyan. Dia melepaskan pelukannya, lalu memberikan hadiah yang dipegangnya sedari tadi kepada Jia.
"Wah, makasih, Kak." Cewek bermata sayu itu tersenyum lebar. Wajah pucatnya tak menjadi halangan untuk membuatnya terlihat bahagia.
"Oh, ya. Kenalin, ini Luthfi, teman Kakak." Rayyan memperkenalkan diriku kepada Jia.
Aku mengulurkan tanganku. "Hai, aku Luthfi."
Jia membalas uluran tanganku. "Hai juga. Aku Jia." Dia tersenyum.
~dear you~
Banyak pelajaran yang aku dapatkan setelah pertemuanku dengan Jia. Cewek bermata almond itu cukup tegar menghadapi cobaan yang tengah menimpanya. Saat di ruang rawat Jia tadi, aku tidak bertanya dan tidak ada yang mau membahas mengenai penyakit yang tengah diidap oleh Jia.
Aku dan Rayyan kini tengah duduk-duduk di taman rumah sakit. Masih enggan rasanya untuk pulang sekarang.
"Jia mengidap kanker darah, stadium akhir," ujar Rayyan. "Kedua orangtuanya sudah lama meninggal dunia."
Aku terenyuh. Tak tahu mesti berkata apa.
"Aku bertemu dengannya dua bulan yang lalu. Saat Mama pertama kali mengajakku ke rumah sakit ini. Mama dulu sering datang ke sini, sebagai sukarelawan." Rayyan lalu menghela napas. "Jia cantik, ya."
"A-ah, iya." Aku agak terkejut mendengarnya. "Ng ... kamu suka, ya, sama dia?" tanyaku.
Rayyan tersenyum kecil. "Ya, aku menyukainya."
"Ya?"
"Tapi nggak sebagai lawan jenis. Dia sudah kuanggap sebagai adikku sendiri. Aku menyukai bagaimana dia tersenyum di tengah kondisi kesehatannya yang semakin lama kian memburuk."
"Kamu sepertinya deket banget sama dia."
"Ya, kamu benar. Dia banyak bercerita padaku. Tentang keluarganya, sekolahnya dulu, bahkan tentang cinta pertamanya juga."
Entah kenapa dadaku tiba-tiba saja terasa sesak.
"Kadang aku menyalahkan Tuhan, kenapa memberikan takdir yang begitu menyedihkan untuk Jia. Bodohnya aku. Aku salah, ya. Nggak seharusnya aku begitu."
"Rencana Tuhan jauh lebih indah, Ray."
"Ya, kamu benar. Tuhan sayang banget sama Jia."
Aku melihat mata Rayyan yang mulai berair. Tak masalah, kan, kalau cowok menangis?
"Ray ...." Aku menepuk-nepuk pundak Rayyan.
"Luth, seandainya Jia itu aku, apa yang akan kamu lakukan sebagai temanku?"
Aku menggeleng. Aku tidak bisa membayangkan seandainya apa yang dialami oleh Jia terjadi pada Rayyan. Itu sangat ... ah, sudahlah. Aku tidak ingin membayangkannya. "Aku nggak tahu."
"Apa kamu akan bersikap seperti aku juga?" tanya Rayyan.
"Iya. Dan, mungkin saja akan lebih dari itu."
Rayyan mengernyit. "Maksudmu?"
"Ya ... mungkin aku akan mengunjungimu setiap hari."
"Kamu serius?"
"T-tentu saja."
"Aku nggak yakin."
"Y-ya? K-kenapa nggak yakin?"
"Ah, lupakan." Rayyan lalu bangkit dari duduknya. "Ayo pulang. Sudah sore. Aku nggak ingin kamu nanti dimarahi orangtuamu gara-gara pulang telat."
"Ah ... ayo." Aku pun bangkit dari dudukku. Kami lalu melangkah pergi.
"Luthfi," panggil Rayyan tiba-tiba.
"Ya," sahutku.
"Makasih sudah mau menjadi temanku."
"Hah?" Aku tercengang. Bingung terhadap apa yang baru saja diucapkan Rayyan tersebut. Apa dia benar-benar tidak memiliki teman selain diriku?
Rayyan hanya tersenyum. Dan, itu membuatku semakin bingung saja.
~dear you~
"Lo masih marah, Luth, sama gue?"
"Emangnya sejak kapan gue marah sama lo?"
"Sejak beberapa hari yang lalu. Waktu lo dateng ke rumah gue. Ngadu kalau nyokap lo nggak mau beliin lo motor."
"Gue nggak marah tuh."
"Serius lo?"
"Serius."
"Terus, kenapa lo jadi jarang main ke rumah gue?"
"Ah ... lo kangen, ya, sama gue?"
"Menurut lo?"
"Ya udah. Gue besok pulang sekolah mampir, deh ...."
"Oke. Gue tunggu."
Aku tersenyum simpul begitu obrolanku dengan Reyhan via telepon berakhir. Aku memang sempat marah padanya saat itu, sebab dia tidak memihakku. Dia malah menceramahiku dan membahas tentang Dinda.
Oh, ya. Setelah aku berjumpa dengan Jia tadi, rasanya aku juga harus memberikannya kado. Ini bukan perintah dari siapa-siapa, melainkan inisiatifku sendiri. Aku juga ingin berteman baik dengannya, seperti Rayyan yang juga berteman baik dengannya. Bahkan, sudah menganggapnya seperti saudara sendiri.
Tapi, masalahnya aku tidak tahu apa yang disukai oleh Jia. Aku juga tidak tahu kado apa yang diberikan oleh Rayyan kepada cewek itu tadi. Mungkinkah sebuah boneka?
Boneka, alat make up, pakaian, perhiasan, sepatu, tas, aksesori ....
Itu adalah segelintir benda yang paling disukai oleh para cewek. Ah, aku jadi bingung.
Syal.
Ya, mungkin itu adalah benda terbaik yang bisa kuberikan kepada Jia.
Oke, baiklah. Besok aku akan membelinya.
Kuharap kamu menyukainya, Jia.
~dear you~
"Andrew, semangat! Lo pasti bisa! Buat bangga kami dan juga nama sekolah!" Mona berseru sembari melepas kepergian Andrew yang akan mengikuti lomba membaca puisi. "Ingat! Doa gue selalu menyertai elo!"
"Kalau lo menang, jangan lupa traktirannya. Oke?!" Ini Maya. Apa tidak terbalik, ya? Harusnya dia yang mentraktir Andrew.
Aku melihat Andrew mengangkat jempol tangannya. Lalu, dia masuk ke dalam bus yang akan membawanya dan para perwakilan sekolah –dalam cabang lomba lain– menuju SMA Delapan, tempat mereka akan melangsungkan perlombaan.
Aku, Mona, Maya, dan teman-teman sekelasku tidak bisa ikut menjadi supporter. Alasannya, ya, karena nanti akan ada ulangan harian Fisika. Padahal, kami sudah merayu Pak Dharma (guru Fisika) agar ulangan hariannya ditunda sampai minggu depan saja. Tapi, ya, karena Pak Dharma yang memang pada dasarnya sudah dicap sebagai guru killer dari zaman megalitikum, jadinya susah untuk meluluhkan hatinya.
"Luth, gue pengin banget lihat si Andrew," Maya mulai merengek.
"Gue juga, Luth," Mona ikut-ikutan.
Aku menghela napas panjang. "Cobalah untuk menerima nasib kalian sebagai penghuni kelas XII IPA 1 dengan lapang dada," ucapku, lalu beranjak pergi menuju ruang kelas.
"Luthfi!" teriak Mona yang sepertinya tak terima terhadap apa yang baru saja aku ucapkan. Lalu, dia berlari menyusulku. Maya pun demikian.
"Tapi, gue tadi sudah berpesan ke Mr. Johnny agar merekam aksi Andrew," tutur Mona.
"Hah? Mr. Johnny? Berani amat lo," kaget Maya.
"Ya, seenggaknya Mr. Johnny lebih baik daripada Pak Dharma."
Ya, Mona benar. Mr. Johnny memang lebih pengertian daripada Pak Dharma. Mr. Johnny adalah guru Bahasa Inggris. Beliau ikut mengantar para murid yang akan mengikuti lomba.
TBC
Asique 😍
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah