πππ
Aku mengernyit bingung saat menemukan sebuah amplop berwarna merah muda di laci mejaku saat aku berniat ingin menyimpan buku cetak Matematika di sana. Apa ini sebuah surat cinta? Pasalnya, di sampulnya terdapat sebuah goresan tinta yang berbentuk hati. Oh, ayolah … ini sudah tahun 2k18, sudah tidak zaman lagi yang namanya mengirim surat cinta seperti ini. Ini bukan lagi zaman di mana ayah dan ibu kalian masih remaja.
Aku kemudian membuka amplop tersebut. Dan, benar dugaanku kalau isinya adalah surat cinta.
βββ
Untuk : Luthfia Fitri
Aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa aku menyukaimu.
Sekian.
Dari : Aku, Orang yang Menyukaimu
βββ
Aku mendengus begitu selesai membacanya. Sungguh menggelikan. Sepertinya si pengirim terlalu sering menonton film dan sinetron tentang cinta. Jadinya, ya, begitu. Mencoba puitis, namun gagal.
“Mona, lo tahu nggak, siapa yang ngirim nih surat?” Aku bertanya kepada Mona yang tengah sibuk dengan kamus Indonesia-Inggris di tangannya.
Mona mengangkat bahunya tanda tak tahu. “Nggak tahu. Bukannya lo yang lebih dulu sampai kelas, ya, daripada gue?”
“Ah, iya. Gue lupa.”
Aku menghela napas. Aku tidak hafal dengan pemilik tulisan tangan yang berhasil menyusun kalimat singkat ini. Tulisannya indah. Setahuku, tidak ada siswa yang tulisannya seperti ini di kelasku. Mungkin dia siswa dari kelas lain.
Aku melipat kembali surat tersebut, dan memasukkannya ke dalam amplop. Persetan dengan siapa pengirimnya, aku penasaran omong-omong. Aku lalu berjalan keluar dari kelas, menuju kelas sebelah.
“Jeremy!” Aku memanggil Jeremy yang berjalan memasuki kelasnya.
Jeremy berhenti di hadapanku. “Ada apa?” tanyanya.
Aku membuka amplop yang kupegang, dan memperlihatkan isinya kepada Jeremy. “Lo tahu tulisan tangan ini, nggak?” tanyaku.
Cowok berperawakan tinggi itu mengernyit. Lalu, dia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, ya, ya.”
“Lo tahu, nggak?” tanyaku sekali lagi.
“Tahu,” jawabnya enteng. Dia kemudian menunjuk seorang cowok berkacamata yang duduk di bangku depan paling pinggir. “Tuh, orangnya.”
Aku mendengus melihatnya. Ternyata pelakunya adalah cowok itu. Namanya Arya, cowok introvert yang katanya anti sosial. “Oke, makasih, Jer.”
“Sama-sama.”
Aku lalu memasuki kelas XII IPA 2. Berjalan menghampiri Arya. “Arya,” panggilku.
Arya yang sedang asyik mencoret-coret bukunya pun mendongak. “Ya?” sahutnya.
Aku lalu memperlihatkan amplop tadi kepada Arya. “Ini ulah elo, ‘kan?” tuduhku.
“I-itu ….” Arya menggantungkan ucapannya.
“Gue bener, ‘kan?” Aku mengangkat sebelah alisku.
“I-iya.”
“Aku mendengus. “Kenapa lo lakuin ini, hah?” tanyaku.
“Karena gue suka sama elo, Luth,” jawab Arya.
“Tapi nggak pakai surat-suratan kayak gini juga kali, Ar. Malu-maluin tahu,” kesalku.
“Sori, Luth.” Arya menundukkan kepalanya. Tak berani menatapku.
Aku menghela napas pendek. “Jangan suka sama gue. Gue nggak pantas buat lo,” ucapku. “Masih banyak, kok, cewek di luaran sama yang jauh lebih baik daripada gue. Gue mohon, jangan ngirimin beginian lagi ke gue.” Aku lalu melangkah pergi. Mengabaikan bisik-bisik yang mulai memasuki gendang telingaku.
Aku tidak tahu, bagaimana ceritanya Arya bisa memiliki perasaan suka padaku. Aku tidak dekat dengannya. Dia juga tipikal cowok yang pendiam. Ya, itulah hati. Sulit diprediksi ke mana akan berlabuh.
~dear you~
“Dari mana, Luth?” tanya Maya begitu melihatku kembali.
“Habis ngeciduk orang,” jawabku.
“Hah? Siapa?” Maya mengernyit bingung.
“Secret admirer-nya Luthfi, tuh!” Mona tiba-tiba saja menyahut. “Siapa, Luth, yang udah ngirimin lo surat cinta?” tanyanya kemudian.
“Arya,” jawabku singkat, padat, dan sangat jelas.
“Apa? Arya? Seriusan lo?!” teriak Maya heboh.
Aku menelungkupkan kepalaku ke atas meja. “Gue selalu serius, May.”
“Bagaimana bisa?”
“Halah, nggak usah heran. Sekarang tuh hati nggak bisa ditebak. Kayak Pak Arman tuh contohnya. Bagaimana bisa menikah sama Bu Ana yang lebih tua lima tahun darinya coba?”
“Betul juga, tuh.”
Aku menghela napas panjang. Kini, rasa penasaranku sudah hilang. Tak ada lagi gunanya memikirkan itu. Yang paling penting sekarang adalah bagaimana caranya menikmati waktu yang masih tersisa sebelum bel masuk berbunyi.
~dear you~
“Kamu dari mana saja, Luth? Kenapa pulang telat?”
“Biasa, Ma. Main dulu sama teman.”
“Abangmu tadi jemput kamu. Tapi temanmu bilang kamunya sudah pulang.”
Aku langsung menghentikan kegiatan makanku begitu mendengar penuturan Mama. “Luthfi, ‘kan, sudah bilang sama Mama, kalau Luthfi udah nggak mau lagi diantar-jemput.”
“Tapi, Luth. Mama Cuma nggak mau kamu kenapa-napa. Mama nggak mau kalau kejadian yang menimpa Dinda menimpamu juga.”
“Ma!” Aku meninggikan volume suaraku. “Jangan samain Luthfi dengan Dinda! Nasib kami jelas beda.” Aku kemudian mengambil minum, lalu bangkit dari duduk, dan melangkah pergi. Selalunya seperti itu. Apa tidak ada topik lain yang bisa dibahas selain itu?
Aku terisak di dalam kamar. Entah kenapa aku semakin membenci kehidupanku yang sekarang. “Gara-gara elo, Din … gue jadi kayak gini. Ini semua salah elo, Din.”
Aku hanya bisa menyalahkan Dinda untuk saat ini. Aku tidak peduli dia mendengarnya atau tidak, yang jelas gara-gara dia aku menjadi seperti ini.
Mama dan Papa tidak pernah tahu, bagaimana attitude Dinda semasa hidupnya. Yang mereka tahu hanyalah sosok Dinda yang selalu juara kelas. Mereka hanya melihat kebaikannya saja, tanpa tahu bagaimana keburukkannya.
~dear you~
Aktivitas yang kini masuk ke dalam daftar hal yang kubenci adalah makan bersama keluarga. Catat baik-baik. Makan bersama keluarga. Aktivitas yang seharusnya bisa membuatku kenyang, kini berubah menjadi sesuatu yang mampu mengubah mood baikku menjadi buruk.
Pagi ini, aku berangkat ke sekolah tanpa mampir dulu ke ruang makan. Aku sengaja melakukannya. Orang-orang yang ada di sana selalu membahas mengenai topik yang paling ingin aku hindari. Tak masalah, aku bisa sarapan di sekolah.
“Good morning, Luthfi cantik!” sapa Maya begitu melihatku memasuki ruang kelas.
“Juga,” balasku singkat, lalu menjatuhkan diri ke kursi.
“Kusut amat. Lagi galau, ya?” Maya dengan tidak sopannya mencolek daguku.
“Enggak.”
“Habis tuh?”
“Ikut gue ke kantin, yuk!” Aku bangkit dari duduk dan menarik paksa tangan Maya.
“Ngapain?”
“Sarapan.”
“Ayo!”
Maya memang paling gampang kalau diajak ke kantin. Cewek itu langsung setuju saja, tanpa sedikit pun menolak.
“Emangnya lo tadi nggak sarapan, Luth?” tanya Maya saat kami masih berada di selasar kelas.
“Enggak,” jawabku.
“Tumben.”
“Lagi males aja sarapan di rumah.”
Maya mengangguk-anggukkan kepalanya.
~dear you~
Hei, Angin ….
Ajari aku bagaimana caranya menikmati hidup ….
~dear you~
“PECAHKAN SAJA GELASNYA BIAR RAMAI!”
Aku langsung menutup kedua telingaku dan menggeleng-gelengkan kepala saat mendengar suara bass yang menggema di ruangan berukuran 5×5 M2 ini. Itu adalah suara Andrew, salah satu teman sekelasku. Dia akan mengikuti lomba membaca puisi tingkat nasional, mewakili SMA Nusantara.
“BIAR MENGADUH SAM–”
“Stop! Stop! Eh, Andrew! Lo itu mau baca puisi apa mau demo, sih? Gitu amat,” protes Maya.
Aku, Maya, Mona, dan Reinald berperan sebagai komentator di sini. Menilai seberapa layak seorang Andrew Atmanegara ditunjuk untuk mewakili sekolah.
“Pakai irama, dong!” ucap Mona.
“Heran deh gue. Bagaimana bisa Bu Tina nunjuk elo?” kata Maya.
“Sini, gue contohin.” Aku merebut paksa kertas yang tengah dipegang oleh Andrew. Mencoba mempraktikkan bagaimana cara membaca puisi yang baik dan penuh penjiwaan.
“Emang lo bisa baca puisi, Luth?” Reinald mulai meragukan kemampuanku.
“Lo lihat aja entar,” sahutku. Aku pun beranjak berdiri, dan mulai membaca puisi ciptaan Rangga di film AADC itu.
Kulari ke hutan, kemudian menyanyiku.
Kulari ke pantai, kemudian teriakku.
Sepi-sepi dan sendiri.
Aku benci.
Aku ingin binger.
Aku ingin di pasar.
Bosan aku dengan penat,
Seperti berjelaga jika kusendiri.
Pecahkan saja gelasnya biar ramai
Biar mengaduh sampai gaduh.
Ada malaikat menyulam jaring laba-laba di tembok keratin putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya,
Biar terdera
Atau aku harus lari ke hutan lalu belok ke pantai?
Prok! Prok! Prok!
Suara tepukan tangan berhasil masuk ke indra pendengaranku begitu aku selesai membaca puisi tersebut. Oke, sepertinya caraku membaca puisi cukup baik.
“Itu baru yang namanya membaca puisi. Nggak kayak lo tadi,” tutur Mona sambil menunjuk-nunjuk wajah Andrew.
“Kenapa, sih, bukan lo aja, Luth, yang ikut lomba? ‘Kan, lo lebih bagus daripada Andrew,” tanya Reinald.
“Enggak. Gue suka nervous kalau tampil di depan orang banyak. Nggak pede-an,” jawabku. Aku lalu mengembalikan kertas yang kurampas tadi kepada Andrew. “Nih, lo pasti bisa.”
“Kok gue jadi nggak yakin, ya.” Andrew mulai pesimis.
“Lo jangan pesimis dong, Ndrew. Apa gunanya ada kata belajar dalam KBBI kalau nggak lo manfaatin?” Aku mencoba memberikan semangat kepada Andrew. “Lo pasti bisa. Manfaatin kata belajar itu, jangan hanya lo jadikan pajangan di KBBI doang.”
“Woah … sejak kapan lo jadi bijak kayak gini, Luth?” celetuk Maya.
“Sejak negara api belum menyerang,” jawabku ngawur. “Ya udah. Belajar lagi, gih. Keburu sore entar.”
Andrew pun mulai membaca puisinya kembali. Kali ini tidak seperti percobaan yang pertama tadi. Sekarang jadi lebih enak untuk didengar. Tidak seperti orang yang sedang demo.
Aku baru pulang ke rumah sekitar jam lima sore. Aku tadi sudah mengirimi Mama SMS. Jadi, jika aku nanti mendapat ceramah lagi, aku akan protes.
.
.
.
TBC
Asique π
Comment on chapter Awal PertemuanGak bisa naik motor tapi minta motor wkwkw Luthfi memang dan best lah