Ningsih gadis Jogjakarta
-----------------------------------------
Kalau membicarakan Jogjakarta tidak pernah akan ada habisnya. Jogja tempat yang penuh banyak kenangan indah, pantai, pasar, pemandangan, tempat wisata semua selalu dibungkus dalam satu keindahan.
Aku Ningsih Ningrum, teman-teman memanggilku Ningsih. Lulusan SMA di Jogja. Lahir sampai sebesar ini cuma tinggal bersama bapak dan ibu di Jogjakarta.
Bapak bekerja sebagai guru dan ibu hanya ibu rumah tangga biasa. Kami dua bersaudara, adikku bernama Aris Singgasana masih duduk di bangku SMP.
Ya, kami keluarga kecil, bahagia, sederhana dan santun. Setelah lulus dari SMA, aku bekerja sebagai guru tari di sekolah tempat bapak mengajar. Pekerjaan ini sangat membuatku semangat dan senang. Selain guru tari usaha lain adalah menerima jahitan baju sekolah.
Pokoknya kehidupan kami menyenangkan setiap harinya. Tiada kesedihan.
Sampai suatu ketika, ketentraman ini terusik ketika ibu sudah banyak ditanya tetangga desa "Kapan Ningsih menikah Bu Retno?"
Nama ibuku terkenalnya Bu Retno, semua orang sudah pada tau Bu Retno istri Pak guru Syaiful. Heeemmm pertanyaan demi pertanyaan mengalir begitu saja. Awalnya ibu cuma tersenyum, menjawab hanya iya dan tidak tapi lama-lama gerah juga.
Sampai hal itupun dibahas diruang makan saat santai.
"belum ada calon yang bisa dikenalkan ke bapak ya nduk?"
Menjawab pertanyaan ini harus singkat padat dan jelas biar bapak tidak bertanya untuk kesekian kalinya.
"Belum pak, masih fokus kerja pak tidak ada waktu berfikir tentang hal itu bapakku yang ganteng," rayuku sambil meringis.
"Ya bapak ini dikenalkan dong, kepingin ngajak ngobrol sama calon mantu loh."
"Idih bapak alay," jawabku sambil tertawa.
Suasana seperti ini pasti aku rindukan nanti kalau sudah memutuskan untuk menikah.
***************************************
Pagi yang berembun
Pagi ini bergegas aku menuju stasiun, karena ada beberapa guru tari dari luar Jogja akan berkunjung ke tempat latihan kami menari. Ada acara beberapa hari lagi para wisatawan asing berwisata ke Jogja yang di suguhi tari-tarian Jawa.
Seru dan suatu kebanggaan menyambut acara tersebut.
Sedikit kupercepat langkah supaya tidak terlambat menjemput mereka. Dan karena kecerobohan itu, tak sengaja tersenggol salah seorang lelaki di stasiun.
"Waduh, buku yang dibawa dia berantakan semua. Kopernya juga terjatuh bersamaan dengan orangnya. Waah bisa kena semprot ini," ucapku lirih dalam hati.
"Maaf, maaf mas saya terburu-buru," bicara basa-basi biar tidak kena amuk lelaki itu.
"OOO, tidak apa-apa mbak saya yang salah jalan tanpa melihat kanan kiri lempeng saja."
Alhamdulillah, orangnya baik. Seraya sambil memungut buku-buku yang berserakan, ucapan maaf ini melantun terus.
Perkenalan saat itu mulai membuat sesuatu yang beda. Hati rasanya berdegup kencang, keringat tak henti-hentinya mengalir di kening. Mungkin wajah ini berubah jadi merah keunguan atau justru agak merah muda, malu.
Lelaki itu menyodorkan tangannya tapi tidak denganku. Karena kata bapak wanita jangan murah harus jual mahal.
"Iya, maaf mas."
"Nama saya Gunawan Genta Buana, dari Jakarta. Mbak namanya siapa?" tanya lelaki itu.
"Maaf mas kata bapak, kalau belum mengenal orang apalagi ditempat umum tidak boleh berkata apa-apa."
Wanita yang menjaga adat ketimurannya, yang dididik tentang adab dan akhlak dari bapaknya, seperti ini yang harus tetap diajarkan pada anak-anak perempuan/gadis jaman sekarang.
"Iya mbak saya faham, baiklah. Semoga kita berjodoh."
Kata-kata itu mengagetkanku, menusuk langsung ke ulu hati. Seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya tepat mengenai hati.
"Maaf mas saya buru-buru ya, sekali lagi maaf."
Kutinggalkan lelaki itu tanpa berkata banyak. Sambil mencuri-curi pandang, senyumnya merontokkan jiwa. Benar saja kalau Jogja pagi ini berembun, seperti hatiku yang sedang menikmati tetesan embun itu.
Akankah ucapan Genta "semoga kita berjodoh" akan menjadi kenyataan?