Tepat dua bulan Jaka mengenal Arum. Bahkan terkadang diam-diam mengintip untuk sekedar melihat Arum dari jarak yang tidak diketahui Arum. Jaka sungguh tidak punya nyali untuk menemui Arum dengan berbagai macam alasan. Pertama karena perjanjian di dalam komunitasnya. Kedua Jaka takut Arum menjadi sasaran empuk musuh-musuhnnya. Ketiga Arum sudah memiliki kekasih. Ke empat si Jaka takut Arum menolaknya lagi seperti saat itu.
Rindu dalam diri Jaka sudah semakin menumpuk. Memang menjadi hal aneh untuk seorang jaka. Selama ini banyak gadis-gadis di sekolahnya yang jatuh hati padanya. Namun, satupun ia tidak pernah mengenal gadis-gadis itu, dan sangat tidak biasa lagi jika dia terkesan langsung jatuh hati pada Arum. Saat mengetahui ada gadis yang memperhatikannya meski hanya sepele yaitu mengobati lukanya hasil bertempur walaupun Arum tidak pernah mengenalnya. Biasanya yang terjadi, jika ada hal seperti itu. Kebanyakan cewek akan milih menyingkir darinya saat tahu dalam keadaan yang tidak wajar dan lebih akan membiarkannya dalam keadaan terluka.
Jaka memang sudah gila. Dia jatuh cinta untuk pertama kalinya dan merasakan rasa semanis rindu dalam hatinya. Kini dia mulai memberanikan diri menemui Arum sepulang sekolah. Jaka mencoba menemui Arum meski hatinya bertabuhan seperti genderang perang yang menggetarkan setiap sel-sel darahnya yang mengalir menuju jantungnya. Antara maju dan mundur.
Di balik sebuah pohon besar. Jaka menunggu Arum keluar dari sekolahnya. Maklum di tahun 1997 tidak ada ponsel yang bisa dengan mudah menjadi alat untuk para pemuda mendekati wanita yang di taksir. Tahun itu adalah tahun yang segalanya serba dipenuhi rasa penasaran saat seseorang mulai merasakan jatuh cinta. Rasa penasaran gadisnya sedang apa? Atau sekedar bertanya-tanya sendiri sudahkan dia makan atau tidur?
Rasa penasaran itu muncul setiap hari dalam pikiran Jaka. Sampai terjawablah rasa penasaran Jaka. Pucuk di cinta ulampun tiba. Gadis belia yang sudah membuat Jaka kecanduan akan parasnya muncul dari balik pintu keluar sekolahnya. Arum mulai keluar. Saat hendak di hampiri Jaka. Arum di tarik oleh seorang remaja cowok yang sama saat di kontes melukis waktu itu. Dia membentak-bentak Arum seperti saat itu. Menarik-narik tangan arum, lalu mendorong-dorong tubuh Arum.
Jaka berang. Gadis yang ditaksirnya mendapat perlakuan kasar dari cowok lain. Bergegas dia menemui Arum. Dia mulai menstarter sepeda motornya dan menancapkan gas untuk menghampiri Arum.
Jaka berhenti sesampainya di depan Arum. Dia memarkirkan sepeda CBnya dan melangkah menemui Arum. Jaka menarik tangan cowok remaja yang hendak memukul Arum.
"Kau lagi," kata Jaka tegas.
Cowok itu mendongak melihat Jaka. Air mukanya berubah pucat saat tahu Jaka adalah cowok yang menghajarnya waktu itu.
"Sudah kubilang, jangan kasar sama cewek. Ini kedua kalinya aku melihatmu berbuat kasar pada Arum. Jika ketiga kalinya aku melihatnya lagi. Akan kupatahkan tanganmu." ujar Jaka penuh ancaman.
Cowok itu. Seketika lari terbirit-birit. Jaka mengulum senyum melihat cowok remaja banci itu.
"Jaka, kapan tiba di sini?"
"Sudah seabad yang lalu," jawab Jaka berseloroh.
"Tetep saja bercanda," Arum tersenyum.
"Ayo kuantarkan pergi kerja," kata Jaka. "Jangan menolak, ku mohon." Jaka mulai memaksa.
Arum mengiyakan. Meski entah mungkin karena terpaksa dan sungkan pada Jaka yang sudah jauh-jauh menemuinya. Kemudian mereka mulai berjalan menuju tempat kerja Arum.
Roda motor Jaka meluncur dengan santai di jalanan lengang kota malang.
Jaka berdahem. Dia canggung ingin memulai bicara. "A-arum," panggilnya gelagapan.
"Iya Jak."
"Kau masih pacaran dengan cowok tadi?"
Arum tertawa. "Udah enggak Jak. Dia kasar, buat apa aku terusin."
"Syukurlah," kata Jaka.
"Ada apa memangnya?"
"Berarti, aku punya kesempatan untuk memacarimu."
Arum terdiam sejenak mendengar perkataan Jaka.
"Kita baru kenal Jak. Kaupun belum kenal aku."
"Cinta tidak mengenal ruang dan waktu. Tidak mengenal seberapa lama atau seberapa singkat kau mengenalnya. Cinta adalah perasaan. Rasa yang tidak mungkin bisa kau tolak saat sudah merasuki batinmu."
Arum tersenyum. "Kau pandai berkata-kata juga ternyata."
Jaka hanya tersenyum simpul. Dia merasakan kesenangan luar biasa saat bersama Arum. Jaka sesaat ingat masalah rumit gengsternya. Rasa sadar mulai menghantam isi kepalanya. Dia telah salah membuat perjanjian itu saat pertama kali mendirikan komunitasnya. Perjanjian konyol untuk tidak boleh jatuh cinta sampai lulus SMA. Tanpa dia sadari, dia merasakan cinta itu lebih menghujam keras daripada janji itu sendiri. Seolah berusaha menarik dirinya keluar dari lingkungan penuh duri itu. Jaka semakin takzim dibuat olehnya.
Berselang kemudian mereka sampai di tempat Arum mengajar les. Merasa menjadi cowok sejati. Dia terus menunggui Arum yang sedang bekerja. Sekitar dua jam Arum mengajar di sana. Lalu saat keluar Jaka melanjutkan tugasnya mengantar Arum pulang. Namun, sebelumnya mereka berdua makan sebentar di warung pinggiran jalan. Mereka berdua berhenti di sebuah warung sate madura yang terkenal di daerah malang.
"Makan yang banyak rum," kata Jaka. "Kamu kenapa datang ke tempatku?" tanya Arum.
"Sengaja ingin bertemu denganmu."
"Ibumu gak tanya kamu pulang malem-malem."
"Bukan cowok namanya kalau gak pulang larut malem." tandas Jaka dengan mulut penuh nasi.
Arum tersenyum mendengar itu.
Jaka masih terus menikmati menyantap sate ayam madura kesukaannya itu. Saat Jaka fokus makan. Tiba-tiba fokusnya terpecah tatkala mendengar suara Joni sedang memesan sate. Jaka menoleh.
Benar. Telinganya tak pernah salah. Secepat mungkin jaka bersembunyi di bawah kolong meja. Arum terkejut.
"Kamu ngapain Jak?"
Jaka meletakkan jari di bibirnya.
"Ssssst.... Diam."
Arum tahu. Pasti ada sesuatu sedang terjadi. Dia melanjutkan lagi menikmati makan sate. Sambil pura-pura tidak tahu.
Berselang kemudian Joni pergi dan akhirnya Jaka kembali muncul kepermukaan.
"Ada apa jak. Apa ada sesuatu?"
"T-tadi ada orang gila yang biasanya gangguin aku." ujar jaka terpatah-patah.
"Mana?"
"Udah pergi."
Arum mengendikkan bahunya. Merasa ada yang aneh dalam diri Jaka.
Setelah selesai makan. Mereka kembali meneruskan perjalanan pulang kerumah Arum. Sesampainya di gang. Arum meminta Jaka agar tidak mengantarkannya sampai rumah.
"Biarkan aku mengantarkanmu sampai rumah rum," jaka mencoba membujuk.
"Jangan Jak, sampai sini saja. Terimakasih sudah mengantarkanku."
Jaka hanya diam. Dia tak kuasa lagi memaksa kehendak Arum. Meski sebenarnya hatinya sangat ingin mengantarkan Arum sampai rumahnya dan memastikannya selamat sampai tempat tujuan. Bah...jaka sudah mulai berlebihan. Cowok preman itu sudah mulai jadi dungu.
Jaka hanya manggut saja menyetujui permintaan Arum. Jaka masih terus melihat Arum masuk ke dalam gang.
"Arum," jaka memanggil lagi.
Arum menoleh. "Apa?"
Jaka hanya menggeleng dan tersenyum. Cukup penutup akhir dari pertemuannya hari itu bersama Arum adalah melihat wajah Arum dengan sebuah senyuman melengkung sempurna bak bulan sabit.