"Jaka....bangun,sudah jam 6." teriak ibu Jaka dari luar pintu kamarnya.
Mendengar suara ibunya dia terbangun. Masih dengan mata sayup-sayup dia beranjak bangun. Dia bergegas mandi dan siap-siap untuk sarapan pagi yang memang sudah menjadi aktivitasnya sehari-hari. Sampai di meja makan dia melihat wajah Akbar yang tertunduk lesu. Masih setengah mabuk.
Jaka hanya diam tanpa sepatah kata apapun walau jika hanya sekedar bertanya keadaan kakaknya.
"Akbar. Kamu istirahat saja dulu. Keadaanmu masih belum stabil." ibunya mencoba memberikan saran dengan lembut.
Bukan jawaban malah Akbar berdiri dan membanting kursinya.
Braakkkk....
Akbar membanting kursi sampai ibunya kaget. Jaka hanya diam melihat sikap Akbar yang sekejap membuat moodnya berubah menjadi buruk untuk memulai aktivitas paginya.
"Sudah Jak. Jangan di ladeni. Ibu gak mau ada keributan lagi seperti tadi malam."
"Dia boleh membenciku. Tapi dia tidak seharusnya bersikap kasar seperti itu pada ibu."
"Terimakasih jak, kamu sudah mau mengerti ibumu ini. Ibu memang salah dulu terlalu obsesi dengan karir ibu."
"Siapa yang gak mau jadi orang hebat dan terkenal. Munafik kalau ada orang yang gak mau menjadi seperti itu." Jaka menimpali dengan nada dingin.
"Kamu hari ini mau naik angkot lagi jak?"
"Untuk hari ini tidak. Jaka pergi dulu bu," Jaka mulai bangkit dari duduknya. Mencium tangan ibunya dan pergi ke sekolah.
Hari itu sedikit mendung. Suasana jalanan terasa lembab. Jaka mengendarai motor CBnya dengan hati-hati menuju ke sekolahnya. Saat melintas di jalan yang hampir sampai di sekolahnya. Jaka melihat joni yang berdiri sendirian.
"Kau ngapain di sini?" tanya Jaka penasaran yang tumben Joni gak bawa motor.
"Motor ku bocor ban bos jadi aku mau naik angkot."
Mendengar itu. Jaka berbaik hati memberikan tumpangan pada Joni.
"Naiklah," Joni mulai naik.
Jaka menancapkan gas motornya.
"Bos. Aku mau tanya soal hilangnya bos saat tawuran dua hari yang lalu. Aku sempet lihat bos bawa orang yang sudah bos tutupin pakai jaket jeans milik bos. Kalau boleh tahu siapa dia?"
Jaka menelan ludah. Dia akan sangat malu jika ketahuan mulai mengenal cewek oleh anggota gengnya.
"Kau salah lihat Jon," Balas Jaka agak gelagapan.
"Aku harap dia bukan cewek," Joni memberi warning.
"Kenapa memangnya??"
"Kalau itu terjadi. Komunitas geng kita akan mundur jauh. Cewek selalu punya pengaruh besar. Kalau bos jatuh cinta sama cewek sudah pasti bos lebih memilih cewek itu daripada kita. Makanya aku gak suka sama cewek. Mereka hanya menarik kita keluar dari lingkungan pertemanan yang sudah terbangun lebih dulu."
Jaka tersenyum tipis. Bahkan dia sudah mulai berfikir akan keluar dari lingkungan gelapnya itu.
"Bos jangan jatuh cinta dulu. Nanti saja kalau sudah lulus SMA."
"Kau tampaknya yang jatuh cinta padaku Jon," Jaka tersenyum.
"G-gak g-gitu juga bos," Joni gagap.
°°°°°
Sore itu. Sepulang sekolah. Jaka berjalan keluar tanpa Joni. Biasanya dia yang selalu bersama Joni. Kini justru mereka jarang sekali bersama. Joni sudah merasa Jaka mulai berubah. Sebagai seorang pendiri dan pemimpin geng dia justru menunjukkan hilangnya loyalitas antar anggota. Dia tidak lagi bertanggung akan segala rencana yang telah di buat bersama. Joni merasa tidak nyaman dengan perubahan Jaka yang di tandai dengan hilangnya dia saat pertempuran dua hari yang lalu.
Joni terlihat celingukan mencari Jaka untuk sekedar memberitahukan bahwa sekarang akan ada kumpul bersama anggota geng untuk membicarakan tentang pertempuran yang sudah usai dua hari yang lalu.
"Kau cari bos Jaka?" tanya salah seorang anggota geng mereka.
"Iya. Kau lihat dia."
"Tadi bos keluar duluan."
Tidak biasa Jaka pulang lebih cepat. Biasanya dia hanya akan duduk-duduk dulu di warung untuk menghisap rokok bersama kawan-kawannya sekaligus bercanda dan ngobrol bersama. Semua anggota gengnya mulai resah atas perubahan pemimpinnya. Perubahan itu sangat membahayakan kelanjutan komunitas yang sudah terbangun hampir dua tahun.
Jaka tak peduli dengan keresahan para anggota gengnya itu. Bahkan kabar angin tentang perubahannya mulai ramai sampai ketelinga hampir seluruh anggota gengnya se malang kota. Jaka hanya mengikuti apa yang dia rasa dan dia mau.
Sampai di sebuah sekolah pinggiran kota dia berhenti. Sekolah itu adalah sekolah Arum. Sejenak jaka terdiam menunggu Arum keluar.
Berselang sekitar 10 menit Arum keluar. Dia berjalan berdua dengan temannya hendak pulang dengan mencegat angkot.
Melihat Arum dia menacap gas motornya membarengi Arum.
"Bolehkah aku mengantarmu pulang?"
Arum terkesiap melihat Jaka yang datang tanpa di undang.
"Jaka, sejak kapan kamu di sini?"
"Sudah se abad," Jaka tersenyum tipis.
Arum balas tersenyum.
"Aku antarkan kamu pulang."
"Aku harus mengajar les dulu," jawab Arum yang sebenarnya adalah penolakan akan kehadiran Jaka.
"Kalau begitu biar aku mengantarkanmu ke tempat mengajar." Jaka menatap Arum tajam.
Arum saling pandang dengan temannya. Beberapa temannya yang lain juga memandang kehadiran Jaka yang menemui Arum. Sangat istimewa di tahun 1997 ada seorang anak SMA yang sudah mengendarai motor. Maklum sangat jarang di zaman itu orang yang memiliki kendaraan bermotor kecuali mereka dari keluarga kaya raya. Kendaraan bermotor terkesan mahal dan barang yang mewah.
"Jaka. Terimakasih. Gak usah repot-repot. Aku bisa kesana sendiri. Lagian aku bakal pulang larut malam."
Jaka merasa penolakan itu sebagai tembok pembatas yang sangat keras. Dia tahu Arum sudah memiliki kekasih. Mungkin itu alasan Arum tidak ingin terlalu dekat dengan Jaka.
"Baiklah," kata Jaka bernada kecewa.
Jaka pergi meninggalkan Arum. Meski dia tidak sepenuhnya pergi menjauh. Dia hanya bersembunyi agar Arum tidak melihatnya. Jaka hanya melihat arum dari kejauhan secara diam-diam.
Arum sudah mulai menaiki angkot. Jaka kembali mengikuti Arum. Entah mengapa Jaka selalu penasaran dengan apa yang di kerjakan oleh Arum. Gadis itu sangat penuh rahasia.
Jaka berhenti saat melihat Arum keluar dari angkot. Dia terus membuntuti Arum sampai tibalah arum di tempat sebuah bimbingan belajar milik orang-orang cina.
Jaka terus menunggu Arum sampai hampir pukul 7 malam. Gadis belia itu tampak lelah dan duduk agak mengantuk. Malam itu Arum tak membawa jaket yang membuatnya kedinginan. Dia duduk merenung, saking lelahnya dia mulai memejamkan mata sesaat.
Jaka datang. Dia menutupi tubuh Arum dengan jaket jeans biru miliknya. Lalu dia pergi.
Sekitar pukul 8 malam Jaka sampai dirumah. Saat itu Joni sudah berada di rumahnya menunggu kedatangan Jaka. Dia duduk di kursi dan terkejut melihat kedatangan Jaka yang masih memakai seragam putih abu-abu.
"Bos, jam segini kenapa baru pulang. Masih pakai seragam pula." Joni mengejar Jaka yang tanpa peduli dengan kedatangan Joni dan mulai masuk kamar. Jonipun mengikuti terus langkah Jaka.
"Kau sudah macam kekasihku saja mencercaku dengan pertanyaan konyol seperti itu. Apa yang aneh dariku pulang masih menggunakan seragam lengkap." Ujar jaka seraya melemparkan tasnya ke atas kasur.
"Biasanya kan kalau pulang malam. Bos sama aku. Nah sejak tadi aku mencari-cari bos tapi gak ketemu. Memangnya bos kemana?"
"Aku ada urusan," jawab Jaka dingin.
Joni hanya terdiam. Dia merasa ada sesuatu yang ganjil dari pemimpin gengnya itu. Sangat tidak biasa dia kemana-mana sendiri. Biasanya Jaka akan mengajak asisten pribadinya itu jika ada urusan yang penting.
Di bagian lain Arum terus memikirkan jaket siapa yang sudah membalutnya dalam dinginnya kota malang saat itu. Di dalam angkot dia berusaha menebak-nebak siapa yang sudah berbaik hati padanya memberikan jaket mahal untuk menyelimuti tubuhnya. Sementara Jaka terus memikirkan Arum selama semalaman.
"Arum," batinnya berseru lirih.