Jaka pergi setelah mengucapkan kata itu. Dia melangkah meninggalkan Arum yang masih terduduk di kursi. Saat itu hujan salju mulai turun lagi. Suasana juga sudah semakin larut dan dingin. Angin juga berhembus cukup kuat. Jaka yang tidak terbiasa dengan hawa dingin sudah benar-benar ingin segera kembali ke apartement. Begitu juga luka hatinya turut membuat dia benar-benar ingin kembali pulang ke Kongo.
“Jakaaa.....” Arum meneriaki Jaka yang berjalan pergi.
Jaka tidak menoleh. Arum segera mengambil sepeda dan mengejar jaka.
“Jak....kau marah?”
“Sudah ku bilang aku tidak bisa marah padamu.”
“Kau kecewa?”
“kau bahagia?” Jaka bertanya kembali.
Arum diam.
“Jika kau bahagia, aku juga bahagia. Apalagi yang lebih indah dari melihatmu bahagia.” jaka menggeleng. “Melihatmu bahagia cukup untuk kebahagiaanku juga.” Jaka menepuk-nepuk lembut pipi Arum yang chubby.
“Jak maafkan aku.”
Entah mengapa Arum seolah merasa bersalah tanpa alasan yang jelas. Padahal mereka sudah lama putus. Arum merasa seolah dia telah berkhianat. Padahal Jaka bisa menerima itu walau sakit.
“Kau mau pulang?” tanya arum.
“Untuk apa?” jaka masih bingung.
“Ya pulang ke Kongo.”
“Kau mengusirku?” Jaka menghentikan langkahnya.
Arumpun menggeleng.
“Aku bukan pria dalam drama yang sakit hati lalu pergi.” jaka tertawa. “Bila aku tak bisa mendapatkanmu kembali bukan berarti kita bukan teman. Kecuali kau yang menolakku untuk menjadi teman.”
Arum menggeleng dan tersenyum.
“Teman.” jaka mengangsurkan tangannya.
“Teman.” balas Arum menerima uluran tangan Jaka.
“Jadi kita ngapain sekarang?” tanya Arum.
“Pulang.” jawab Jaka.
Arumpun mengikuti ajakan Jaka dan seperti sebelumnya. Jaka membonceng Arum lagi dengan sepeda untuk pulang menuju apartement.
Setelah beberapa menit. Akhirnya mereka tiba di apartement dan mulai masuk mengingat hawa semakin dingin.
“Kau tidur sofa.” kata Arum.
Jaka melepas jaketnya dan segera berbaring di atas sofa.
Setelah diam beberapa saat. Jaka kemudian teringat lagi pria bule bernama william itu. Cukup sakit melihat kenyataan yang ada. Namun dia tetap mencoba biasa karena pada dasarnya Jaka adalah cowok easy going.
“Rum....”
“Hmmmh....” jawab arum di balik selimutnya.
“Apa sebaiknya aku tinggal di hotel saja. Aku takut pacarmu cemburu.”
“Dia tidak tahu.” jawab Arum agak malas menjawabnya.
“Kalau tahu dia juga tidak akan cemburu. Dia pria santai.”
“Kau yakin?”
“Tidurlah, sudah malam. Besok lagi.”
Jakapun diam. Dia tahu Arum sudah capek seharian mengurusinya ini itu. Sementara Jaka tidak bisa tidur karena memikirkan harapannya yang telah pupus itu.
Malam menjadi hening, sunyi tak berarti. Semua cita-cita yang dia rajut sekejap sirna karena badai topan yang datang tiba-tiba. Berulang kali dia memutar balikkan pikirannya agar dia bisa tenang dengan segala rasa kecewa yang menerpa.
Tidur Jaka mulai tidak tenang hingga pagi datang menjelang.
#####
“Bangun.....” suara Arum membangunkan Jaka yang masih tertidur.
“susu hangat untukmu.” imbuh Arum.
Dengan mata mengerjap dia mencoba bangun dari tidur. Jendela kamar arum sudah terbuka lebar. Sinar matahari menyisip masuk menghangatkan sudut-sudut kamar dari dinginnya salju di luar.
“Mandilah. Kita akan keluar.” kata Arum.
“Kau tidak kuliah?” tanya Jaka.
“Aku izin.”
“Izin apa?”
“Sakit.”
“Sejak kapan kau pandai berbohong?”
“Sejak lama.” jawab arum tersenyum. “Ayo.” ajak Arum.
Jakapun bergegas mandi dan segera ganti baju untuk memenuhi ajakan Arum. Merekapun berdua keluar menaiki bus di Belanda menuju Giethoorn.
“Kemana kita?”
“Giethoorn.”
Tak banyak tanya lagi. Jaka hanya mengikuti apa kata Arum.
Sesampainya di sana hanya tumpukan salju yang terlihat meskipun tidak banyak.
“Tempat apa ini?” Jaka bertanya penasaran.
“Ini adalah tempat seperti negeri dongeng.”
“Apa kau ingin membuat sebuah cerita bersamaku.” Jaka memandang Arum dengan hangat. “Tapi sayang kau sudah menjadi milik William.”
Arum hanya tersenyum saja.
“Ikut aku.” Arum mengajak Jaka melangkah menuju sebuah tempat penyewaan perahu.
“Hallo....” sapa Arum pada seorang penjaga tiket.
“Oh hallo....can i help you?” tanya penjaga tiket.
“geef me een kanaalticket?” (berikan aku tiket peminjaman perahu kanal)
“Natuurlijk.” (tentu)
Jaka bingung dengan obrolan itu.
“Kau bisa bahasa belanda?” tanya jaka.
“Sedikit.”
Jaka tersenyum. Lalu turut mengikuti langkah Arum. Mereka berdua menaiki kanal menyusuri sungai yang masih belum membeku akibat musim dingin.
“Apa tujuanmu mengajakku kesini?” tanya Jaka.
“Aku hanya ingin menunjukkanmu tempat indah ini.”
“William.” Jaka kembali menyinggung soal William.
Arum kembali diam ketika mendengar nama itu. Seolah dia tidak ingin membahasnya.
“Kita nikmati saja hari ini sebelum kamu kembali ke Kongo.” Arum mengalihkan.
“Andai suatu hari aku tak pernah ada di dunia ini. Apa reaksimu?” Jaka bertanya seolah besok dia akan mati.
“Jangan katakan padaku tentang kepergian. Aku tidak suka mendengar itu.”
“Tapi kau harus bisa menerima itu. Sekarang aku bersamamu. Besok aku harus kembali ke Kongo.”
“Hati-hati.” kata Arum dingin.
“Kenapa jadi serius gini ah.” Jaka berseloroh lagi. “Hari ini aku akan menjadi guide mu.” Jaka tersenyum. Arumpun tersenyum. “Lihat itu bebek.....” menunjuk seekor bebek yang berenang.
“Bukan iguana.” jawab Arum dingin.
“Gak masalah kalau iguananya kamu.” balas Jaka.
“Trus?”
“Biar aku jadi serangganya.”
“Trus aku makan deh.”
“Biar kamu kenyang.”
“Mati dong kamu.”
“Aku sudah mati rasa sejak lama.” kata Jaka. “Pria sejati berani mati demi membuat bahagia wanitanya.”
“Sok dramatis.” Arum mencibir.
“Yang penting kamu suka.”
#####
Sehari berlalu begitu saja. Malam juga berjalan menuju pagi. Masa cuti Jaka akan segera habis. Dia bersiap-siap untuk pergi ke Bandara. SeKali lagi Arum mengantarkan Jaka menuju Bandara.
“Jaga dirimu baik-baik. Selamat tinggal semoga kau bahagia.” Jaka menyentuh pipi Arum dengan tatapan mata berkaca-kaca. “Aku pergi rum.” imbuh Jaka seraya melangkah meninggalkan Arum.
Arum terdiam membisu. Dia terus memandang Jaka yang semakin jauh darinya. Hatinya bergejolak. Dia benar-benar berat melepaskan Jaka. Semua kenangan manis bersama Jaka selalu menari-nari dikepalanya bagai film-film yang diputar kembali.
Arum tak lagi bisa menahan perasaannya selama ini. Rindu yang dirasakannya begitu manis hingga membuatnya terus ingin merasakan lagi dan lagi rindu itu. Walau hanya beberapa goresan tangan Jaka atau apa yang diberikan Jaka padanya itu selalu membuat semakin manis rindu yang dia rasakan.
Bloooom....
Rasa itu meledak. Arum benar-benar kalap. Dia berlari mengejar Jaka yang sudah semakin jauh. Arum berlari mencegat Jaka.
Nafas Arum memburu seperti hendak terputus saja.
“Jak.....kumohon tunggu aku.”
“Apa maksudmu?”
“Sampai jumpa kembali di indonesia.”
Jaka terkejut dan sedikit tidak mengerti maksud Arum.
“Jak.....tidak ada rasa semanis rindu.”
“Kau merindukanku?”
“Aku tidak ingin menjadi manusia munafik. Aku tidak ingin mengulang kesalahan yang sama. Biarpun rindu itu manis akan tetapi membohongi perasaan jauh lebih pahit.”
Jaka tersenyum memandangi Arum. Dia perlahan mengambil sesuatu dari kantong celana jeansnya.
“Aku datang kesini sebenarnya hanya untuk menyampaikan ini padamu.” Jaka mengambil tangan Arum yang menggantung percuma. Perlahan Jaka menyelipkan sebuah cin-cin di jari Arum.
“Secara tidak resmi. Aku melamarmu. Maukah menjadi istriku?” Jaka memandang Arum dengan rona bahagia. Berharap mendapat jawaban yang membuatnya puas.
“Jaka.....kau membuatku menangis.” Arum menitihkan air matanya.
“Sudah....calon ibu persit. Jaga dirimu baik-baik. Sampai jumpa di indonesia.”
######
1 Tahun telah berlalu. Jaka dan Arum kembali ke indonesia. Seperti janjinya dia akan menikahi Arum. Pada tahun 2005 mereka menikah dan pada tahun 2006 menerka di karuniai seorang putera.
“Lihat dia sepertimu.” kata Arum saat berada di dalam rumah dinasnya di malang.
“Dia penerusku. Anak yang akan memperjuangkan cita-citaku.”
“Asal bukan pembuat onar.”
“Kau juga pernah menjadi pembuat onar.” celetuk Jaka.
#####