Bertahun-tahun telah berlalu. Kini telah memasuki ramaianya orde baru. Gejolak-gejolak tentang permintaan presiden soeharto turun dari jabatannya ramai muncul di sana-sini. Demo mahasiswa semakin tak beraturan. Saat itu Arum masih seorang Mahasiswa. Apalah, dia ikut andil dalam demo besar-besaran itu di jakarta.
“Turunkan soeharto...turunkan...turunkan.”
Teriakan demi teriakan bersahutan sana-sini. Arum dengan sombong berdiri di depan. Dia salah satu mahasiswa yang suka berorasi. Sungguh sangat berbeda dengan Arum yang dulu. Seorang yang benci kerusuhan.
“Ayo,kita semangat melakukan ini demi kemajuan bangsa.”
Teriak arum keras untuk menjadi provokator teman-temannya.
Semua polisi dan tentara bersatu padu saat itu untuk menjaga keamanan di jakarta. Tepatnya saat demo sedang terjadi.
Entah itu jodoh atau bukan. Pada saat yang sama Jaka sedang ada di sana. Berjaga untuk mengamankan kerusuhan. Ya,Kini Jaka bukan lagi pembuat onar tapi dia adalah seorang tentara yang mengabdikan diirnya untuk negara. Jaka telah menjadi kopasus semenjak lulus SMA. Dia sempat berpindah sekolah karena kasus ramai saat itu.
Suara teriakan seorang gadis yang berorasi terngiang di telinga Jaka. Suara itu memang sangat tidak asing. Di tengah-tengah kerumunan. Jaka mencoba menelusuri suara itu.
Firasatnya benar. Arum telah berdiri di depan kelompoknya dengan berterikan keras melalui speaker yang dibawanya.
Dengan segera Jaka menghampiri Arum.
“Arum.” panggil Jaka.
Sesaat Arum menghentikan orasinya.
“Kau.”
“Apa yang kamu lakukan Arum?”
Entah mengapa. Rasa senang dan tidak nyaman bercampur menjadi satu. Arum merasa senang telah bertemu Jaka kembali dan entah mengapa dia tidak nyaman harus bertemu dengan keadaan seperti ity.
“Pergi dari sini.” teriak Jaka.
“Aku tidak akan pergi.” balas Arum dengan keteguhannya.
Dia tetap sama. Seorang yang teguh tapi bedanya dia sekarang seorang mahasiswa dan Jaka adalah tentara. Keadaan saat itu sangat kacau yaitu mengalami kebimbangan status paham yang akan di anut oleh negara.
Dor...dor... Tembakan demi tembakan di lepaskan oleh petugas. Karena pada saat itu kericuhan tidak lagi bisa dikendalikan.
Jaka bergegas menarik Arum dan membawanya pergi.
Sampai di sebuah pohon palem yang beridir kokoh di pinggir jalan. Jaka berteriak mendorong Arum.
“Pergi, cepaaaaaat....”
Arum masih panik memandang Jaka sambil berlari menjauh.
Arumpun ingat lagi saat-saat ajak menyelamatkannya dari kericuhan di Malang akibat tawuran antar SMA. Arum ingat betul Jaka memayunginya dengan jaket jeans khas milik jaka. Kini terjadi hal yang sama Jaka memeluknya dengan memayungkan tubuhnya karena terjadi tembakan-tembakan mengerikan berdesing di udara. Brdanya bukan jaka yang membuat onar tapi justru dialah pembuat onar.
Wajah Jaka masih saja terbayang di benak Arum sembari dia berlari menyelamatkan diri dan kembali pulang ke rumah kontrakannya.
#####
“Kau tak apa?” tanya salah seorang teman perempuan Arum yang bernama Alea.
Tangan Arum terluka seidkit akibat benturan saat berlarian dan jatuh.
“Achh... Sudahlah.”
Alea mengobati tangan Arum yang terluka.
“Siapa laki-laki tadi. Mengapa dia mengenalmu?”
“Dia masa laluku.”
“Tentara yang pro soeharto.” celetuk Alea.
“Ach sudahlah.” kata Arum mengalihkan.
“Apa dia pacarmu dulu?”
“Dia jongsoku.” balas Arum tersenyum.
Arum lalu berdiri mengambil handuk untuk segera mandi.
“Sombong kali punya jongos se tampan dia.” balas Alea menyindir tertawa.
“Bukan Arum namanya kalau gak bisa jadi tuan puteri terhormat.”
Entah mengapa. Sejak kejadian itu Arum berubah dan sangat berubah dari ssebelumnya yang lembut dan berwibawa. Kini dia jadi Arum yang sok jagoan, sombong, dan anarkis.
#####
Jaka telah kembali kebatalyonnya. Dia duduk termenung memikirkan pertemuan tak sengaja tadi. Dia merasakan heran melihat Arum berubah drastis dari yang dulu. Seorang Arum yang lembut dan benci keonaran justru kini menjadi mahasiwa yang pandai berorasi tanpa logikanya dan membuat onar tanpa etika.
Jaka ingat betul jika Arum salah satu mahasiwa dijakarta. Dia ingat jas alamamater yang di pakai Arum. Demi rasa penasarannya. Di hari minggu Jaka berusaha datang ke kampus tempat Arum menjadi mahasiswa.
Sampai disana sepi. Karena kebetulan hari minggu. Jaka mondar mandir berharap menemui Arum. Dia berusaha bertnaya-tanya akan keberadaan Arum pada beberapa mahasiswa yang lalu lalang.
Pucuk di cinta, ulampun tiba. Jaka bertemu teman Arum dan mengantarkannya bertemu Arum. Saat itu Arum sedang berada di perpustakaan untuk mencari sebuah buku yang penting demi menunjang orasinya.
Saat Arum keluar dari pintu perpustakaan. Jaka sudah duduk menunggunya di kursi gasebo depan perpustakaan. Tampak teman Arum memberitahukan bahwa Arum sudah keluar.
“Itu dia.” kata teman Arum pada Jaka.
Arum terkejut dengan kedatangan Jaka. Perlahan dia menghampiri Jaka.
“Kau.” katanya canggung.
Jaka hanya memandang Arum yang penampilannya agak tomboy. Memakai celana jeans, jaket jeans, dengan rambut panjang di kuncir kw atas.
“Arum. Apa kabar?” sapa Jaka.
“Kenapa kau tahu aku kuliah di sini?”
“Bukan Jaka kalau tidak tahu segalanya.”
“Kau tetap sama.”
“Apanya?”
“Menyebalkan.” balas Arum ketus.
“Kau yang berubah rum.”
“Tuntutan peran.”
“Apa?” jaka tak mengertu maksud arum.
“Ya, karena aku seorang mahasiswa dan aku harus menegakkan kebenaran.”
“Benar atau salah hanya Allah yang berhak menilai. Yang kau lakukan belum tentu benar rum.”
“Kau pikir kau benar?”
“Aku hanya menjalankan tugasku.” balas Jaka tegas.
“Semua aparat sudah melukai kami. Banyak dari kami yang mati karena ulah kalian.”
“Rum, apa pertemuan kita harus di mulai dengan perdebatan.”
“Aku suka berdebat.” jawab Arum menyebalkan.
“Aku tidak suka berdebat.”
“Tentara suka menggunakan otot bukan perdebatan.”
“Rum, tolong jangan bicara seperti itu.”
“Oke” Arum diam.
“Aku merindukanmu rum.” kata Jaka serius.
“Aku membencimu.”
“Apa salahku? Karena aku seorang tentara? Benarkan?”
“Aku benci pembohong.”
“Maafkan aku rum. Bukan maksudku seperti itu.”
“Lalu?”
Arum memandang jaka.
“Lupakan masa lalu. Kumohon, aku sudah berubah sekarang.”
“Sayang. Perubahanmu tak sejalan denganku.”
“Kumohon hentikan keteguhanmu untuk berorasi lagi. Aku sungguh tidak ingin melihatmu terluka rum.”
“Apa pedulimu? Aku sudah terluka sejak lama.”
“Apa kau terluka karenaku?”
Arum memandang Jaka sinis.
“Pergi.” Arum mendorong Jaka menjauh darinya.
“Arum.. ..” jaka berteriak memanggil Arum yang meninggalkannya.
Jaka sungguh tak berdaya. Dia hanya diam menyaksikan Arum menjauh darinya.
Entah mengapa pertemuan yang pertama sejak perginya dia harus dalam keadaan yang bertolak belakang dengan prinsipnya. Arum berubah itu yang ada dalam pikiran jaka.