Kehidupan itu sebuah takdir. Buruk atau baik tergantung dari sisi mana dan bagaimana kita sebagai manusia memandangnya. Sang Bani
______
Ben berdecih kesal begitu melihat Angka menyelesaikan tulisan di mejanya. Meja yang bahkan sudah penuh oleh kata-kata sederhana nan bermakna tokoh-tokoh hebat. Ben hanya mengakui hebat untuk kata-kata yang dikutip dari tokoh-tokoh hebat yang terkenal, sedangkan Ben akan mencibir sembari menggerutu saat melihat kata-kata itu berasal dari otak sahabatnya dengan nama Sang Bani sebagai pemanis.
"Berhentilah memenuhi meja dengan kalimat tidak bergunamu itu." Ben merebut paksa bolpoin di genggaman Angka, kemudian menyelipkannya di telinga.
"Aku memiliki kabar bagus." Angka terlihat biasa saja mendengarnya, masih memasang wajah datarnya tanpa ekspresi berarti, lain lagi dengan Kiran yang langsung menoleh dan mengabaikan Sayap-Sayap Patah di pangkuannya.
"Kabar bagus apa, Ben?" Ben mendengkus kesal mendengar pertanyaan Kiran, suara cempreng Kiran membuat telinganya terasa berdenging.
"Kudengar ada guru baru di sekolah ini, menggantikan tugas Pak Martha yang sedang sakit." Ben memang penggerutu yang baik, namun Ben adalah sumber informasi bagi Kiran dan Angka.
Lingkaran persahabatan mereka yang terlalu membulat membuat mereka terkadang terlihat tidak peduli dengan keadaan sekitar, bahkan untuk informasi yang menyebar di seluruh pelosok sekolah.
"Pak Martha sakit?" Ben mengangguk, dia juga mendengar kabar soal kenapa guru konseling sekolah mereka mendadak sakit, kabar yang membuatnya merasa sedih.
"Dia kecelakaan kemarin, cukup parah dan butuh perawatan yang lama." Kiran menutup mulutnya karena terkejut kemudian menghela napas lesu.
"Padahal beliau mudah untuk memberiku izin saat aku terlambat." Ben tertawa terpingkal mendengarnya, Kiran adalah satu-satunya siswa perempuan yang berada di barisan siswa yang terlambat dan Ben akhirnya tahu kenapa Kiran selalu lolos dari hukuman Pak Martha.
"Berharap saja, semoga pengganti Pak Martha lebih lembek, bukankah begitu Ka?" Angka hanya mengangkat bahunya, tidak terlalu termakan oleh berita yang disampaikan Ben.
"Aku tidak peduli, siapapun dia tidak ada yang bisa melarang keinginanku."
Jawaban itu tentu saja membuat Ben dan Kiran saling berpandangan dengan tatapan sendu. Angka tidak pernah mendengarkan siapapun, mereka tahu betul itu karena mereka juga merasakan bagaimana sulitnya berteman dengan seorang Angka yang terkenal dengan penggambaran kejam , jahat dan dingin. Angka hanya akan mendengarkan orang-orang yang memberikannya cinta dan kasih sayang tulus. Itu bahkan membutuhkan waktu yang lama, karena kepercayaan untuk janji tetap tinggal pernah dikhianati begitu kejam. Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mendengar kalimat terakhir Angka .
"Kalau begitu, aku akan membuatmu bertekuk lutut sepenuhnya kepadaku, Angkara."
______
Ben dan Kiran lebih mendekatkan telinga mereka ke pintu ruangan konseling. Angka dipanggil guru konseling baru itu membuat Ben dan Kiran mengikuti dan ingin tahu apa yang terjadi dengan Angka. Di dalam Angka hanya duduk menatap datar wanita asing yang mengaku sebagai guru konseling sementara sekolah mereka.
"Angkara."
Tangan Angka mengepal begitu mendengar itu, matanya langsung menajam menatap guru wanita di depannya.
"Lebih dari limapuluh persen absen kamu terisi oleh alfa, kamu membolos begitu banyak setiap semester. Tidak pernah memperhatikan guru saat pelajaran dan memilih tidur, dan memiliki banyak riwayat membolos saat jam pelajaran." Guru wanita itu menghentikan kalimatnya, kemudian menatap tajam kepada Angka yang masih betah menatapnya tajam.
"Saya heran kenapa sekolah tidak mengeluarkanmu dari sini, dan kenapa pak tua itu tidak memberimu hukuman agar kamu jera dan berhenti bersikap seenaknya di sekolah." Angka tidak menjawab, tangannya yang mengepal kuat mulai lecet dan berdarah karena kuku-kukunya.
"Bu Sandra yang terhormat, atas dasar apa Anda berkata seperti itu dan atas dasar apa Anda memanggil saya dengan nama terkutuk itu?!" Angka berteriak tepat di depan guru wanita tersebut, tangannya yang tadinya mengepal menggebrak meja yang berlapis kaca itu dengan kuat, membuat tangannya terluka dan kacanya retak.
"Angkara!"
"Berhenti memanggilku seperti itu! dan berhenti mencampuri urusanku!"
"Kamu benar-benar tidak tahu aturan!"
"Apa masalahnya! Aku adalah aturan!"
"Saya ingin bertemu dengan orang tuamu!"
"Bertemulah di akhirat!"
Angka menendang meja kuat-kuat membuat meja itu jatuh dan kacanya yang sudah retak hancur dan pecah. Guru wanita itu refleks mundur saat melihat Angka semakin tidak terkendali. Ben dan Kiran yang mendengar suara gaduh langsung membuka pintu dan mata mereka membola saat melihat Angka yang melangkah mendekat ke arah dimana guru wanita tersebut berada dan nyaris saja mencekik guru wanita bernama Sandra tersebut kalau Ben dan Kiran tidak bergegas mencegahnya. Mereka tahu apa yang membuat Angka menjadi semarah dan seliar itu, saat nama lengkapnya disebut di saat itulah Angka akan menjadi iblis pemarah yang buta dan tuli.
"Bani, hentikan."
Ben dan Kiran juga sangat tahu apa yang akan membuat iblis yang terlanjur menguasai Angka pergi. Memanggil Angka dengan sapaan Bani. Amarahnya belum menghilang, namun Angka tidak akan buta dan tuli lagi dan saat seperti ini yang bisa mereka lakukan adalah membiarkan Angka tenang dan sendiri. Membiarkan Angka membuka pintu dan menutupnya keras-keras, Angka mengerikan saat marah. Ben dan Kiran susah payah menemukan keping demi keping kehidupan Angka yang misteri dan sampai saat ini kepingan itu belumlah lengkap.
"Angka akan lupa apa yang terjadi hari ini, Anda melakukan kesalahan fatal di pertemuan pertama, sayang sekali. Kami harap Anda tidak mengulanginya lagi."
Ben menarik lengan Kiran begitu menyelesaikan kalimatnya, meninggalkan Sandra yang membeku di tempatnya, tangannya juga mengepal kuat menatap ke arah meja kerja barunya yang sudah berantakan.
"Angkara. Akan kusebut nama itu hingga kamu ingat dosa yang kamu lakukan." Sandra datang membawa sebuah dendam masa lalu yang tak termaafkan.
_______
Ben dan Kiran saling berpandangan sejenak saat berniat memasuki halaman rumah Angka hingga samar mereka melihat keberadaan Pak Andi yang duduk termenung di teras. Pintu juga terbuka dan sedang ramai anak-anak yang tengah membaca dan bergelung nyaman dengan bantal-bantal lucu.
"Bani ada di kamarnya, sedang tidur." Itu adalah suara Pak Andi yang kemudian membuat Kiran dan Ben menghela napas lega. Rasa khawatir itu langsung sirna saat mendengar suara parau Angka yang menyapa mereka. Tangan yang terluka itu sudah terperban sempurna, membuat Ben dan Kiran berulang kali mengucapkan syukur.
"Tumben kalian berdua datang?" Kiran dan Ben hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu.
"Kami merindukan rumahmu." Angka hanya tersenyum mendengarnya kemudian memilih untuk pergi ke kamar mandi sebentar.
"Dia terlihat lebih baik daripada tadi."
"Memangnya, apa yang terjadi?"
"Ada guru baru yang menyebut nama lengkapnya dan dia mendadak berubah menjadi iblis." Pak Andi mengangguk-angguk kemudian menarik napas panjang.
"Karena sudah ada kalian, saya pamit pulang dulu, putri saya menunggu di rumah." Ben dan Kiran mengangguk kemudian memilih memasuki ruangan dan berbaur dengan keasyikan anak-anak yang sedang membaca.
Angka yang melihat itu tersenyum tipis.
_______
"Bagaimana bisa kamu mempertahankan siswa seperti Angka di sekolah itu,kak!" Sandra dengan mudah masuk sekolah itu karena kepala sekolahnya adalah Sang Kakak dan saat sampai di rumah Sandra harus mempertanyakan hal ini kepada kakaknya.
"Ini baru hari pertamamu dan kenapa kamu sudah mengeluh tentang aset berharga sekolah?"
"Aset? Apa maksudmu? Dia bahkan tidak terlihat memiliki teman."
"Dia memilikinya, namanya Kiran dan Ben. Aku mohon jangan usik ketenangannya."
"Kakak tahu betul kan siapa dia?"
"Aku tahu. Tapi, tanpa Angka sekolah itu tidak ada apa-apanya."
"Dia lebih terlihat seperti orang gila, Kak!"
"Dia seperti itu karena kau menyebut nama lengkapnya."
"Itu bukan dosa!"
"Tapi, memberinya nama seperti itu adalah sebuah dosa. Pembicaraan berakhir, dan aku memohon dengan sangat kepadamu untuk tidak mengusik ketenangannya."
Sandra menggeleng, mengepalkan tangannya lebih kuat lagi, tidak terima pembicaraan terputus begitu saja. Andre -kakaknya- harus mendengarkannya, mendengarkan bahwa Angka bukanlah manusia normal.
"Sandra, aku mengatakan ini demi kebaikanmu. Kita tahu betul siapa dia, dan tolong biarkan dia berada dalam kehidupannya yang sekarang." Sandra tidak menjawab, namun tangannya mengepal begitu kuat.
"Angkara. Akan kubunuh sikap angkuhmu."
-Angkara-