Loading...
Logo TinLit
Read Story - Letter hopes
MENU
About Us  

Kalau mereka ingin bahagia, aku hanya ingin bisa terus diberi kesempatan untuk berharap. karena tanpa harapan mungkin aku tak bisa bahagia.

                                                                                                          ***

Mimpi indah itu bagaikan suatu harapan yang selalu diharapkan menjadi kenyataan, dan saat ini aku seakan dihadapkan oleh salah satu mimpi indah yang aku miliki sejak beberapa tahun silam.

Bayangan saat aku masih tinggal di desa bersama nenek melintas dengan begitu cepat memenuhi memori dikepalaku seakan sebuah monitor menampilkan kisah-kisah yang pernah aku lewati.

“Nama kamu siapa?” seorang anak laki-laki menghampiri aku yang sedang duduk di ayunan taman sekolah.

“Aku Ana. Kamu siapa?”

“Aku temen kamu. Mulai sekarang kita temenan ya” ia tersenyum dan memelukku.Hadir lagi kenangan saat aku menanyakan namanya

“Nama kamu siapa sih, kok aku gak boleh tau”

“Suatu saat nanti kamu bakal aku kasih tau kok” ucapnya tersenyum dan menggengam tanganku. Kilas-likas memori itu tak berhenti dan terus muncul dalam kepalaku

“Ana ayo kita ke kebun” seorang anak laki-laki menarik lenganku dan membawaku pergi

“Aku belum izin sama nenek”

“Gapapa aku udah bilang mau main sama kamu kok”. Aku dan anak laki-laki itu bermain dan tertawa bersama, kami menghabiskan waktu yang cukup lama di kebun tersebut.

“Kalo aku pergi, kamu nangis gak?” tanya nya.

“Emangnya kamu mau pergi?” aku bertanya dengan mata yang berkaca-kaca.

“Eh...enggak kok enggak. Jangan nangis” ia memelukku.

“Jangan pergi”

Aku tersentak saat Reyn menyentuh bahuku dan saat itu pula mataku bertemu dengan mata dari sosok lelaki yang aku yakini teman Reyn.
Aku masih bingung mengapa kenangan-kenangan itu kembali muncul dalam ingatanku setelah sekian lama. 

Setelah kepergiannya yang meninggalkanku tanpa kabar aku selalu mencari keberadaannya, karena terakhir nenek mengatakan jika ia harus pergi untuk berobat keluar negri, dan sejak saat itulah aku menutup diri dari orang-orang di sekitarku hingga pada akhirnya aku pindah ke kota dan menempati rumahku kini dengan kedua orangtuaku dan bertemu dengan Reyn dan bersahabat dengan nya.

Lama menatap mata lelaki yang saat ini sedang duduk dan berbalik sambil melihat kearahku menyadarkan aku bahwa mata tersebut sama persis dengan mata anak kecil yang muncul dalam ingatanku. Mata yang dulu selalu menghangatkanku dan membuatku merasa terlindungi. Tapi aku tak ingin terlalu berharap karena dari dulu aku sama sekali tidak dapat menemukan keberadaanya meskipun sudah menyuruh beberapa orang kepercayaan papa .
“El, kamu kenapa sih?” tanya Reyn

“Eh.. gapapa kok tiba-tiba aja inget masa kecil” ucapku kearah Reyn sanbil menunjukkan senyumanku

“Kok bisa?”

“Entahlah, sepertinya ada orang yang ngingetin aku sama masa kecil itu” ucapku sambil melirik kearah teman Reyn.

“Ada-ada aja kamu” Reyn geleng-geleng kepala sambil merangkulku kearah meja makan.

“Oiya… kenallin ini temen aku namanya..”

“Gue Dio” . Cowok yang merupakan teman Reyn itu memotong perkataan Reyn dan mengenalkan dirinya sendiri.

“Eliana” Ucapku

Dio terus saja menatapku dan hal itu sukses membuatku merasa tidak nyaman karena tatapan itu terus menghadirkan kenangan-kenangan kecilku.

Reyn yang sadar dengan ketidaknyamananku pun angkat bicara.

“Yo biasa aja dong natapnya, nanti loe suka lagi” Dio hanya membalas perkataan Reyn dengan senyum sinis dan aku yang melihatnya hanya dapat tersenyum menutupi kesedihanku akan respon yang ditunjukkan Dio.

“Kayaknya gue harus pergi” ucap Dio tiba-tiba setelah memeriksa ponselnya

“Cepet amat, kenapa? Pacar loe nyariin” Aku cukup tersentak saat mendengar perkataan Reyn, tapi aku buru-buru menghalau pemikiranku dan membuat benteng pertahanan agar bisa mengalihkan pikiranku dari cowok yang bernama Dio ini.

“Terserah loe deh mau bilang apa” Reyn pun tertawa mendengar ucapan Dio yang terdengar kesal.
Aku menatap kearah dio dan ia sama sekali tak menoleh kearahku, ia justru langsung pergi saja sedangan Reyn masih saja tertawa.

“Apa sih Reyn. Emang ada yang lucu?” tanyaku karena Reyn yang tak henti-hentinya tertawa

“Engak kok. Udah kamu makan dulu sotonya. Aku mau nyusul si Dio kedepan bentar” aku pun hanya mengangguk dan Reyn berlari mengejar kepergian dio.

Aku menghabiskan waktu yang cukup lama berada di rumah Reyn dan kami membahas beberapa hal mengenai rencana liburan kami nanti.
Waktu tak pernah terasa lama ketika bersama orang yang kita sayangi dan percayai,  itulah hal yang aku rasakan jika sedang bersama Reyn. Dan aku selalu berharap bisa terus merasakan perasaan seperti ini.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags