13. Jangan Menangis, Bella
13 // Jangan Menangis, Bella
"Bangun!" teriak mama di pagi hari.
Ara terbangun sambil memegangi kepalanya.
"Apa yang terjadi pada lantai teras rumah ini?! Kotor sekali. Apalagi dikotori oleh darah kotor sepertimu." Mama terlihat sangat marah. Padahal, hanya beberapa tetes darah yang ada di lantai.
Ara mencoba untuk berdiri.
Mama menendang tulang kering Ara. "Jangan coba-coba untuk berdiri. Walaupun kamu lebih tinggi dariku, jangan berani-beraninya berdiri di hadapanku. Itu tampak seperti kamu merendahkan orang yang ada di depanmu," bentak mama. Papa muncul di belakangnya.
Kerah baju Ara ditarik dan alhasil, tubuh Ara terseret mengikuti arah mama membawanya. Mereka sampai di depan toilet. Mama melemparnya ke dalamnya.
"Jangan harap bisa kabur dari tempat itu. Kalau bisa, kamu akan berakhir di sana." Mama mengunci pintu toilet dari luar. Toilet lantai dasar memang dimaksudkan sebagai penjara bagi orang yang biasa dihukum, Ara.
Ara menatap kegelapan yang ada di depannya. Lampu toilet tidak dinyalakan oleh mama. Kini, dia harus bertahan hidup di dalam kegelapan.
"Jangan mati di dalam," kata papa.
Di wajah Ara terukir senyuman.
"Karena kalau kamu mati, kami yang akan dituntut."
Senyuman itu berubah menjadi geraman.
????????????
"Aku yakin di sekitar sini ada lampu darurat," kata Ara pada dirinya sendiri. "Gotcha."
Klik
"Lumayan. Sekarang, di mana kotak p3k yang biasa disimpan di sini?" Ara mencari ke seluruh sudut ruangan. Dia tahu mamanya menyembunyikan kotak p3k agar dia tidak bisa mengobati luka yang dibuat sang mama.
"Seharusnya ada di sekitar sini." Ara meraba dinding toilet yang dingin. Ditekannya dinding itu yang membuat sebuah papan bergerak terbuka. Ara mencoba mengambil sesuatu yang ada di balik papan yang telah bersembunyi dengan baik selama ini.
"Apa ini?" Wajah Ara terlihat sumringah. Dia menemukan sesuatu. "Kunci? Kunci apa ini? Lebih mirip kunci sebuah diari menurutku."
Ara membuang kunci yang ditemukannya ke tempat sampah. Dia mulai mencari lagi.
"Dapat." Ara kembali menekan dinding yang membuat sebuah lubang terlihat. "Akhirnya kudapat juga kotak ini."
Ara tersenyum senang. Kepalanya mulai berputar kembali. Sepertinya darahnya berkurang drastis, apalagi saat ini dia berada dalam ruangan terkunci dengan suhu yang sangat dingin.
"Aku mulai merasa sikap mama mulai melunak padaku. Apa yang terjadi? Bahkan tendangannya barusan tidak membuat kakiku seperti ingin patah. Apa dia kehilangan kekuatannya? Atau dia memang sedang dalam tahap baik?" Ara membalut lukanya dengan perban. Dia menemukan sebuah selimut tua yang masih bisa dipakainya. Dia mengelarnya di lantai toilet yang kering dan mulai tidur.
????????????
"Aku yang jadi? Yah, aku payah di permainan seperti ini," kata seorang anak berumur empat tahun dengan perilaku lucunya. "Kak Ara jangan jauh-jauh. Nanti Bella susah ketemunya."
"Ayo, mulai hitung." Ara terkikik melihat adik kembarnya yang akhirnya sembuh.
"Satu, dua, tiga—setelah tiga ada apa, ya? Hm, satu, dua, tiga, satu, dua, tiga, satu—" hitung Bella.
Ara berlari ke lantai dasar. Dicarinya tempat paling tepat untuk bersembunyi. Toilet. Dia masuk dan bersembunyi di belakang pintu. Beberapa menit dia menunggu, Bella belum saja menemukannya.
"Kak Ara! Di mana, sih? Jangan hilang, dong." Bella mulai terisak. "Huwaaa!"
Ara berlari menghampiri Bella sampai tersandung dan terguling di hadapan Bella.
"Kamu kenapa, Bella?" tanya Ara.
"Kenapa susah banget tempatnya? Bella kira Kak Ara hilang. Bella takut." Dia mulai menangis lagi.
Ara mengelus kepalanya. "Kak Ara tidak akan hilang. Kak Ara janji tidak akan membuat Bella takut lagi. Oke? Jangan menangis, Bella." Ara memeluknya.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella