30. Lucky
30 // Lucky
"Maaf," kata Fabian setelah mereka telah keluar dari perpustakaan.
"Maaf kenapa?"
"Sudah memperlakukanmu seenaknya. Seharusnya aku tidak mengusap kepalamu atau menyisir rambutmu." Fabian tertunduk.
"Tidak apa-apa. Aku tidak masalah." Ara tersenyum. Fabian tersenyum pula. "Kantin? Aku yang traktir."
"Ayo."
Langkah kaki mereka mengarah pada sebuah ruangan yang besar yang bernama kantin. Dari jauh, mereka dapat melihat dua manusia yang sedang bercakap-cakap.
"Clara. Aku baru pertama kali melihatnya seceria ini," ucap Fabian, "kalau dia berada di dekat Ervin, sudah pasti dia bersinar."
"Ya, kau benar. Menurutmu, apakah sekarang waktunya aku meminta maaf?" tanya Ara meminta pendapat Fabian.
Fabian mengangguk. "Lebih cepat lebih baik."
????????????
"Kau mengganggu," kata Clara, "ada apa? Kalau hal itu tidak penting, mending tidak usah."
"Maaf, Clara. Aku salah." Mata Ara terlinang air mata. "Seharusnya aku tidak berkata demikian."
Clara memutar bola matanya. Matanya juga mulai berair. "Ini salahku, Ra. Seharusnya aku diam saja ketika nada bicaramu meninggi. Aku seharusnya sudah tahu kondisi pikiranmu seperti apa. Maafkan aku."
Ara memeluk Clara. "Kita jangan bertengkar karena masalah sepele lagi, ya." Clara mengangguk.
Seperti inilah persahabatan mereka berdua. Terkadang memang diselipi emosi dan pertengkaran. Namun untungnya mereka berhasil menyelesaikannya baik-baik dan menjadi lebih dekat daripada sebelumnya.
"Aku masih mau bertanya tentang peti yang kau bilang itu," kata Clara.
"Oh, jadi begini—" Ara menceritakan segalanya pada Clara.
????????????
Sejak sepuluh menit yang lalu, bel penanda pulang sekolah telah berbunyi. Entah apa yang dilakukan Ara dan Clara sehingga belum turun sejak tadi. Fabian menyenderkan badannya pada motor yang dimilikinya. "Di mana dia? Kenapa belum turun juga?"
Dari kejauhan, dilihatnya Ara bercakap-cakap dengan Clara. Sepertinya masalah mereka sudah selesai, begitu kata pikiran Fabian.
"Ara," panggil Fabian, "mau kuantar pulang?"
"Tidak usah." Ara menggeleng. "Aku bisa pulang sendiri."
"Ayolah."
"Tidak, terima kasih." Ara berbalik dan berjalan pulang menuju rumahnya.
Fabian menghela napas. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Belakangan ini dia terus merasa nyaman bersama Ara.
"Sepertinya hari ini rencanamu gagal," kata Ervin yang sedari tadi duduk di atas motor Fabian.
"Kenapa kamu tidak pakai mobilmu sendiri?"
"Aku sedang malas mengendarai mobil," kata Ervin singkat.
Tiba-tiba terpikir olehnya sesuatu. "Saat itu, tubuh Ara penuh dengan goresan pisau. Clara menduga itu karena preman jalanan." Tubuhnya langsung bangkit berdiri dan melajukan motornya mengikuti Ara.
????????????
Ara bersenandung kecil. Rasanya senang sudah kembali bersahabat dengan Clara.
"Hai, ingat aku?"
Ara menoleh dan mendapati orang yang saat itu mengacungkan pistol padanya. Kakinya mulai lemas.
"Sepertinya kamu ingat. Aku senang sekali. Sekarang beritahu aku, di mana kamu tinggal? Apakah kamu kenal seseorang dengan nama Mirza? Wajahmu terlihat tidak asing. Seharusnya kamu tahu." Orang yang menyeramkan itu berjalan mendekati Ara sambil mengelus senjata yang dipegangnya. Orang itu menggunakan pakaian serba hitam serta masker yang menutupi wajahnya. "Jawab aku."
Ara menggeleng. Dia benar-benar tidak tahu siapa itu Mirza. Siapa orang ini sehingga memiliki dendam padanya?
"Jangan bercanda." Orang itu mencekik Ara. "Beritahu atau mati."
"Aku benar-benar tidak tahu."
"Oh, begitukah? Tampaknya sebuah tembakan di kepala tidak jadi masalah." Diarahkannya pistol itu pada kepala Ara. "Jawab atau kutembak."
Ara menjerit ketakutan.
"Diam, bodoh." Orang itu menatap Ara dengan tatapan membunuh. "Sepertinya membunuhmu di sini tidak apa-apa."
Uhuk
Siapa pun, tolong aku.
Brak
Orang yang menyeramkan itu menoleh. Sebuah batu bata mengenai kepalanya hingga berdarah. "Wah, siapa ini?"
"Jauhkan tanganmu darinya."
"Coba saja kalau bisa." Orang itu tersenyum meremehkan.
Orang yang baru saja datang meninju di bagian ulu hati serta menendang kepala orang yang mencekik Ara. Alhasil, tubuh Ara bebas dari cekramannya.
"Kukira kamu hanya bergaya saja. Rupanya benar-benar bisa bela diri." Diacungkannya pistol itu pada orang yang baru datang. "Matilah kau."
Dari jauh terdengar suara sirine polisi.
"Sial." Orang itu melarikan diri.
Ara membuka matanya dengan susah payah. Sepertinya dia mengenali orang ini.
"Ervin?"
????????????
"Dari mana saja kamu?" Suara yang tidak asing lagi membentaknya kencang. "Pulang sama cowok, dua lagi. Dasar murahan. Apakah salah satunya pacar Bella?!"
Ara terdiam.
"Iya, ma," isak Bella.
Mama melempar sebilah pisau ke arah Ara. Untungnya hanya menggores bagian pipinya. "Kamu macam-macam lagi dengan milik Bella, saya tidak segan menghabisi nyawamu."
Ara menunduk. Darahnya mulai menetes. Dia berjalan masuk ke gudang. Seperti yang ia ketahui, tidak mungkin mama mengizinkannya tidur di kamar.
????????????
Ara mengobati wajahnya yang berdarah. Setelah itu selesai, dia berbaring. Dilihatnya diari dan album foto itu. Teringat olehnya akan kunci yang dia temukan di kamar mandi. Saat dia terkurung dalam kamar mandi yang gelap dan dingin.
Ara merutuki kebodohannya. "Kalau saja aku tidak langsung membuangnya. Pasti sekarang aku sudah membuka dua benda ini." Dia menendang udara dengan kesal.
Tiba-tiba muncullah wajah Ervin dalam benaknya. "Ngomong-ngomong, dia tahu dari mana aku ada di tempat itu? Dan setahuku ada Fabian. Kenapa Fabian tidak ikut membantu?" Kepalanya mulai sakit ketika memikirkan itu. "Tapi sebenarnya aku sangat beruntung mereka ada di tempat itu. Kupikir aku akan mati hari ini."
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella