29. Pertengkaran
29 // Pertengkaran
Degup jantung Ara terdengar jelas seiring berjalannya langkah kakinya ke kelas. Rasa penasaran akan peti tua itu sudah raib, digantikan dengan penasaran pada diari dan album foto itu.
"Jadi, apa yang terjadi padamu kemarin?" tanya Clara saat Ara sudah mencapai bangkunya. "ditilik dari ekspresimu, pasti ada hal mengejutkan yang tidak dapat kamu percayai."
Ara cemberut. "Sok tahu."
Clara terkekeh. Tebakannya benar.
"Kemarin aku berhasil memecahkan sebuah pertanyaan dalam kepalaku. Tapi ternyata kau tidak mendapatkan jawaban apapun." Ara menghela napas kesal.
"Tentang apa?"
"Kamu jangan pura-pura tidak tahu. Aku kan pernah cerita." Emosi Ara mulai tersulutkan api.
"Kamu belum pernah cerita."
"Kamu yang pikun, kali."
"Serius."
"Aku juga serius."
"Dasar berisik, mulut itu dipakai baik-baik. Jangan teriak. Masalahnya sebesar apa sampai kamu membentakku?" Clara mulai emosi.
"Hah, itu masalahnya. Kamu tidak tahu apa-apa tapi sok tahu. Memangnya kamu siapa, hah? Tidak ada gunanya aku beritahu kamu. Orang pikun mah begitu."
Mata Clara membesar.
"Stop!" teriak seorang murid laki-laki di kelas Ara dan Clara. Tempat duduknya berada tepat di sebelah mereka. "Jangan berantem, dong. Nanti kalau guru masuk, kalian kena tegur. Apalagi kamu kan ketua kelasnya, Ra."
"Hehe," tawa Ara. Lalu dia melihat Clara mendelik padanya. Kita selesaikan sehabis sekolah, begitulah kata yang keluar dari matanya.
Laki-laki itu merasa berjasa dan tersenyum sendiri sambil memasukkan tangan ke kantong celana. Tanpa diketahui orang lain, dirinya sedang tersipu malu sehabis berbicara dengan orang yang disukainya.
????????????
"Apakah keadaannya begitu parah sehingga kami diam-diaman seperti ini?" pikir Ara. Muncullah sebuah rasa bersalah. "Sepertinya aku terlalu kasar pada Clara. Aku harus minta maaf."
Bruk
Ara menabrak seseorang yang ada di depannya.
"Sepertinya kita bertabrakan lagi," kata Fabian dengan senyum canggung.
"Ya, sepertinya begitu."
Timbullah keheningan antara mereka berdua.
"Hm, sepertinya kita tidak perlu seperti ini," ucap Ara.
"Apa maksudmu?"
"Kita bisa menjadi teman, kan? Karena ini sangatlah canggung."
"Ya, tentu saja."
????????????
"Bella, aku melihat Kak Fabian bersama kakak kembarmu. Apakah dia selingkuh?" tanya seorang teman Bella.
"Oh, tidak mungkin Kak Fabian selingkuh dariku."
"Oh, ya? Tapi kan bisa saja." Teman Bella terlihat khawatir.
"Aku sangat percaya pada Kak Fabian. Dia tidak akan melakukan hal itu." Bella tersenyum manis. Temannya pergi. "Apa, sampah itu berusaha mengambil kepunyaanku? Ini tidak dapat dibiarkan," katanya dalam hati.
????????????
"Pelajaran macam apa ini? Kenapa tidak ada yang masuk ke dalam otakku? Ada apa dengan diriku?" Rasanya hampir gila jika kita mengetahui kalau kepintaran kita merosot. Apalagi untuk Ara. Sejak tadi Clara sibuk mencatat dan mengacuhkannya. Mau ke mana lagi dia bertanya?
Mulutnya komat-kamit, rambutnya berantakan, wajahnya pucat, ada lingkaran hitam di bawah matanya. Lengkap sudah. Orang yang lewat akan mengira Ara kehilangan kewarasannya.
Bruk
Ara kembali menabrak Fabian. Fabian terkejut melihat keadaan Ara. Ara mengangkat sebelah tangannya, mengucapkan kalau dia baik-baik saja.
"Sepertinya kamu menghadapi kesulitan. Ayo aku ajari." Fabian menarik tangan Ara. Dibawanya Ara ke ruang favoritnya, perpustakaan. "Mana yang kamu tidak bisa?"
Ara menunjukkan buku cetak serta catatannya. Selama pelajaran, Ara hanya sibuk mencatat. Tidak didengarnya penjelasan guru. Hanya mencatat.
"Ah, ini memang sulit. Wajar saja seseorang yang pintar sepertimu bisa bingung." Fabian membolak-balikkan halaman buku Ara dan mulai menjelaskan.
"Oh, seperti itu."
"Coba kamu kerjakan soal ini," perintah Fabian. Ara menerimanya dan mulai mengerjakan. Fabian menatap Ara sambil tersenyum. Dia berdiri dan meninggalkan Ara. Sesaat kemudian, dia kembali dengan sebuah sisir di tangannya.
"Aku sudah selesai," seru Ara. Fabian berhenti tepat di belakang Ara dan mulai menyisir rambutnya. Ara benar-benar terkejut atas perlakuan Fabian.
"Apa kamu ada masalah dengan Clara?" tanya Fabian.
"Ehm, bisa dibilang begitu. Tapi sepertinya ini kesalahanku." Ara tertunduk. Rasa bersalahnya kembali.
"Aku juga pernah dibenci Clara. Sampai sekarang pun aku masih merasa bersalah. Kamu tahu, Clara tidak pernah marah atas hal sepele," kata Fabian. "Apapun yang kamu lakukan, yang membuatnya marah, itu pasti berkenaan dengan keluarganya, orang yang disayanginya, dan harga dirinya."
"Sepertinya aku sudah menyinggung harga dirinya." Ara mulai murung.
"Jangan terlarut dalam kesedihan. Clara bukanlah pendendam asal kamu meminta maaf dengan segera." Kali ini Fabian sudah duduk di depan Ara. Fabian tersenyum sehingga Ara salah tingkah.
"Iya," katanya sambil mengatur napas serta wajahnya yang hampir meledak.
Fabian mengusap kepala Ara dengan penuh kasih sayang. "Semoga berhasil."
Cekrek
????????????
"Gila. Kalian sudah lihat belum foto yang dikirim di grup?"
"Belum, memangnya kenapa?"
"Kak Fabian mengusap kepala Kak Ara." Suasana kelas mulai gaduh.
"Apa? Apa mungkin dia salah orang?" tanya seseorang.
"Tidak mungkin. Seharusnya Kak Fabian sangat mengenali Bella. Mereka kan pacaran."
"Jangan-jangan dia selingkuh."
Tiba-tiba mereka terdiam dan menoleh ke belakang. Dilihatnya Bella yang sedang tersenyum getir menatap layar ponselnya.
"Bella, kamu tidak apa-apa, kan?" Seisi kelas langsung mendekati mejanya.
"Aku tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa. A—aku ..." Ucapannya terpotong oleh tangisannya. Dalam hati dia sudah menetapkan suatu hal.
"Mulai hari ini, kita memulai perang, Kak," katanya dalam hati.
????????????
@silviagina makasih sudah mampir dan baca ceritaku ini :)
Comment on chapter 1. Ara & Bella