Ia duduk bersandar pada pohon yang rindang sore ini, matanya terpejam menikmati setiap hembusan angin yang menggerak-gerakkan jilbab merah mudanya kesana kemari. Sesekali ia menghembuskan nafas berat. Setitik air mata jatuh dari pelupuk matanya, dengan kasar ia menghapus air mata yang membasahi pipi mulusnya. Namun, naluri wanita tidak bisa membuat dirinya dengan mudah mengendalikan kesedihan dengan menyembunyikan air mata. Akhirnya ia terisak, pandangan matanya pun sudah terhalangi oleh air mata yang menggenang yang jika ia mengedip sekali saja pasti akan meluruh.
Walaupun matanya terpejam, derap langkah kaki yang mulai mendekat tetap terdengar oleh pendengaran gadis itu, ia sudah menebak pasti kakak sepupu laki-lakinya itu akan menjemputnya untuk pulang. Hal ini sudah biasa terjadi, padahal ia sudah sering kali mewanti-wanti untuk tidak dijemput. Ia pasti akan pulang dengan sendirinya jika hari memang sudah mulai gelap.
“Ayo pulang sekarang, Rima.” ucap Kak Haidar; kakak sepupu gadis yang dipanggil Rima itu saat sudah berdiri tepat di hadapan Rima.
Rima membuka matanya, “Sebentar lagi ya, Kak,” ia tersenyum tipis, sangat tipis, kemudian memejamkan matanya kembali.
“Kakak tahu bagaimana perasaanmu, tapi kita sebagai manusia bisa apa? Maut itu sudah menjadi rencana Yang Maha Kuasa, Rim. Ikhlaskanlah.” Kak Haidar mendudukan dirinya di sebelah Rima, ditatapnya wajah adik sepupu kesayangannya itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan.
“Aku tahu kak. Aku juga sedang mengikhlaskan kepergian ayah.” Setitik air mata kembali jatuh, namun dibiarkannya mengalir begitu saja, tapi bibirnya teteap tersenyum.
“Kakak juga tahu tidak mudah mengikhlaskan kepergian ayahmu itu. Tapi tidak seharusnya kamu seperti ini, Rim, ayahmu pasti sudah tenang disana. Jangan biarkan dia sedih dengan melihatmu seperti ini. Bangkitlah kembali, jadilah Rima yang seperti dulu.” Kak Haidar menepuk bahu Rima, berusaha mennguatkan.
***
Seminggu yang lalu ayah Rima dikabarkan meninggal dunia, kabar yang sangat mengejutkan sebab ayahnya meninggal karena kecelakaan maut saat hendak pergi ke pabrik tempatnya bekerja dan Rima diberi kabar saat berada di dalam kelas, ya, ia sedang berada di sekolah saat itu. Padahal sebelum berangkat Rima masih sempat sarapan bersama, bercakap-cakap, ayah yang bertanya pada Rima bagaimana tidurnya semalam, apa Rima sudah menyelesaikan PR hari itu, dan tak lupa mengingatkan Rima untuk minum susu. Hal sederhana di setiap pagi itu pasti akan selalu dirindukan oleh Rima.
Malam yang semakin larut kian mencekam, rasa kesepian mulai Rima rasakan. Ia sendirian di kamar, padahal di rumah itu masih ramai oleh kerabatnya yang masih singgah. Meski sudah seminggu semenjak meninggalnya sang ayah tapi kesedihan masih tercokol di dalam hatinya. Rima ingin ikhlas, ia ingin mencoba berdamai dengan takdir Tuhan yang kali ini memilukan. Padahal saat kecil ia pun pernah merasakan bagaimana rasanya saat ibunya meninggal, tapi mungkin karena saat itu ia masih kecil jadi belum begitu mengerti, tapi sekarang ia sangat paham bagaimana rasanya. Sekarang ia sendirian, tak beribu, tak berayah.
Pintu kamar diketuk pelan, buru-buru Rima menghapus air matanya.
"Rima ini tante," suara dari luar terdengar.
"Iya, tan, masuk aja pintunya engga Rima kunci, kok,"
aih sedihnya :(
Comment on chapter Kepergian Ayah