BAB 3 MERENUNG
Ah, rasanya tidak ada lagi yang harus ku perbuat untuk menemukan romantisme love. Kadang aku ingin sekali seperti romeo dan juliet, dari masing-masing keluarga yang tidak sejalan. Tetap saja, keduanya ditakdirkan menjadi sepasang kekasih yang beruntung sekali. Aku selalu memimpikanya, bagaimana jika dengan Cinderella. Sang pangeran, akhirnya berhasil menemukan kekasih dalam mimpinya sepanjang malam. Takdir. Ku rasa, semuanya karena disuratkan dalam takdir yang sudah dibuat oleh Tuhan di Surga.
Dua tahun silam, pengalaman itu masih bernaung-naung dibenakku. Semua yang dilakukan oleh lelaki tak berkelas itu membuatku semakin takut untuk memulainya lagi. Terlebih, sikap wanita yang tidak berkelas itu juga semakin menjadi-jadi dibuatnya. Ku dengar, setelah lulus dari SMA Widya Atmaja. Tidak lama mereka menjalin hubungan, mantan sahabatku dilarikan di Rumah Sakit karena gempar ingin bunuh diri tidak terima diputuskan oleh lelaki tidak berkelas itu. Ah, cinta memang sangat rumit sekali. Tapi, tetap saja aku masih membenci keduanya.
Aku berfikir dua kali lagi, bukan hanya itu saja yang membuatku geram memikirkan masalah hubungan asmara, setelah masalah itu aku menjadi wanita yang over protextif. Tidak mau menjalin hubungan lagi. Titik. Aku sangat takut untuk memulainya, aku selalu bermimpi jika masalah yang sama yang harus aku dapatkan lagi. Tunggu, ada satu hal yang membuatku berubah. Ada hal lain yang membuat kalian harus tahu dengan sebuah perasaan, di tengah-tengah keterpurukanku ini. Selang beberapa bulan, ada yang ganjal. Aku terbawa suasana lagi. Semua kecemasanku hilang, aku ingin bermain lagi dalam melodi cinta. Dalam dua tahun silam, rasa itu membukaku lagi. Aku benar-benar dibuatnya gila asmara.
“Mama ... aku harus pergi bersama Karin, ada kunjungan ke rumah teman lama,” ucapku keras agar mama mendengarkan celotehanku.
Mama lagi-lagi mengernyit, memastikan apa yang ku katakan memiliki bukti kebenaran yang kuat. Aku segera menghampiri mamaku, lalu aku mengecup tanganya dengan lembut. Memeluknya dengan erat. Mama membalas pelukanku dengan kehangatan khas seorang Ibu.
“Ma ... ada yang harus ku katakan sebelum Karin menjemputku, “aku memulainya.
“Ah, kau ini. Ayo coba ceritakan kepada mama, jangan pernah ada yang di sembunyikan dari mama, apapun itu.” balas Erlin sembari merangkul putri tunggalnya.
“MMmmmm ... Ma, pokoknya setelah aku lulus SMA ini, aku ingin melanjutkan sekolah di luar negeri,”
Mama tersenyum simpul. Itu artinya, ia memiliki jawaban ya. Ia tidak menjawab, namun merangkulku lebih erat lagi.
“Apapun yang kau mau, mama akan memberi jalan untukmu sayang.” ucap Erlin mengecup kening putri manjanya dengan lembut.
“Tiiinn.. Tinnnn ...Tiinn..” Bunyi klakson membuyarkan kemesraan kami berdua. Karin sudah tiba dihalaman rumahku, ah. Kenapa harus cepat sampai, aku masih sangat merindukan kasih sayang dari Mamaku.
“Sudahlah, Karin sudah datang. Kau harus cepat menemuinya, jangan lupa telpon Papa untuk mengabari. Kau sendiri yang harus bilang,”
Aku memeluk Mamaku sangat erat. Sekali lagi. Tetap saja, aku selalu merindukan wanita malaikatku yang selalu menyupport-ku. Raut wajahnya yang semakin menua membuatku takut jika berlama-lama aku terus menyusahkanya.
“Baiklah, Ma. Nanti ku telpon lagi,”
**********
“Apa kau bilang?” ucapku terkejut mendengar pengakuan Dilla Aryana. Dilla menutup bibir mungilku yang sempat berteriak sengit. Lalu aku mengatur nafasku pelan dan tenang kembali.
Karin beringsutan, mata tajamnya tak henti memelototiku dengan kesengitan. Suaraku terlalu menggemparkan seisi ruang keluarga Dilla. Aku lagi lagi merunduk, mulutku membungkam. Aku pasrah saja.
“Ah kau ini. Bukankah kau juga rindu dengan Charlie? Jangan sok terkejut, aku tau jalan ceritamu waktu SMP,” Dilla menambahkan.
Charlie Brawl. Bagaimana Dilla mengundangnya? Hanya untuk temu kangen biasa-biasa saja. Sekedar melepas rindu dan membuat reuni kecil untuk mengobati kangen kami. Di bagian mana aku yang tidak terkejut? Tentu. Aku akan terkejut dengan Charlie. Apapun itu, aku pasti akan gerogi ketika bertemu nantinya. Bagaimana tidak, aku sudah menolak pengakuanya selama tiga kali berturut-turut dan itu menyebalkan bagiku untuk mengingatnya kembali.
“Hai,” teriak seseorang memanggil ke arahku dengan nada manja agar aku berbalik ke arahnya.
Aku memasang muka datar-datar saja. Aku peduli, jika aku memasang muka menggemaskan dia akan maju satu langkah lagi di depanku. Ia tersenyum kepadaku lalu berjalan dengan tergesa-gesa menghampiriku.
“Alice? Kau ini kemana aja, aku udah mencarimu ke seantero sekolahan tapi aku tidak melihat batang hidungmu, ternyata kau bersembunyi di sini.” ucap Charlie basa-basi.
“Apa yang kau inginkan, aku sedang tidak punya waktu hanya untuk mendengarkan basa-basimu ...” balasku datar sembari memasang raut muka cuek.
Charlie menghela nafas panjangnya, lalu mengeluarkanya pelan. Dia menatapku tanpa berkedip. Kedua tanganya menarik kedua lenganku, aku menolak. Pelan-pelan ku lepas genggaman yang membuatku muak.
“Aku tidak bisa melupakanmu,”
Aku tidak terkejut lagi. Dia bahkan mengucapkanya sempat berulang kali, berkali-kali dan masih membuat otakku terganggu dengan keberadaanya. Charlie tidak pernah menyerah sedikitpun untuk mendapatkan hatiku.
Aku menunduk, lalu mencoba menatap mata sipitnya.”Ayolah, kita adalah teman masa kecil. Bukankah kita harus melanjutkan persahabatan kita dimasa yang akan mendatang selanjutnya, aku juga tidak bisa melupakanmu. Tapi, aku bilang seperti ini sebagai temanmu. Aku masih menganggapmu sebagai seorang teman. Jadi, jangan pernah lagi membuang-buang waktumu untuk berdebat denganku. Aku minta maaf.”
Charlie terdiam, tak menjawab. Badanya melemas seperti otot-ototnya kehilangan daya, tubuhnya memutar balik dan menghilang dari pandanganku. Aku sempat merasa kasihan padanya.
“Tiiinn ... tiiinn ... tiiinnnnn ....” bunyi klakson dari luar bersahut-sahutan tak jelas. Bunyi itu berasal dari luar rumah Dilla. Dilla segera berlari keluar lalu sempat menyapa kedatangan para lelaki yang memenuhi parkir garasi samping rumahnya.
Karin membuyarkan lamunan singkatku. Aku sedikit gelagapan karena gerogi dengan kedatangan Charlie. Dengan kesal aku membuntuti Karin yang ikut memastikan siapa tamu dari Dilla. Oh tidak, aku benar-benar menyesali menghadiri acara temu kangen ini. Charlie benar-benar datang bersama teman-temanya. Dan, aku mengenal salah satu teman Charlie. Bukan Charlie lagi yang mengejutkanku, tapi ada hal lain yang membuatku benar-benar sangat gerogi dan salah tingkah.
“Kalian benar-benar anak nakal, pindahkan motor kalian di garasi rumahku. Bukanya di rumah tetanggaku,” ucap Dilla kesal dengan kelakuan mereka.
Tubuhku panas dingin, ingin sekali memberontak. Tapi, aku benar-benar penasaran dengan salah satu lelaki yang bersama Charlie. Ah, aku pernah mengenalnya. Tapi, memoriku hanya terpenuhi dengan dua manusia yang membuatku kesal semasa dulu. Ku dengar, Dilla sudah mempersiapkan para lelaki itu masuk ke dalam rumahnya. Karin ikut masuk bersama mereka, aku membuntutinya lagi.
“Ah, ternyata rumahmu di sini.” ucap Charlie membuka percakapan temu kangen ini sembari menatap ke arahku.
Aku memasang muka datar lagi. Lalu mencari ponselku di dalam tas yang masih berada di kamar Dilla. Ah, aku meninggalkanya di dalam sana. Sebelum aku bergabung dengan mereka, aku cepat-cepat melangkahkan kedua kakiku untuk menaiki tangga kamar Dilla dan mengunci diriku di dalam kamarnya.
“Hei, kau!” ucap salah satu teman Charlie seperti memanggil ke arahku. Aku tidak berbalik.
“Alice?” ucap Charlie ganti memanggilku.
Aku merutuki diriku dengan kesal, lalu aku berbalik pelan dan memasang muka yang sangat manis untuk membuka temu kangen ini.
“Ya? Apa salah satu dari kalian barusan memanggil namaku? Kalian tau, memanggil nama seseorang tidak harus dengan berteriak bukan. Apalagi kau, kau juga tidak mengenalku. Haruskah kau memanggilku dengan nada yang sangat kasar, kau ini menduduki kelas berapa? Apa kau lebih tua dariku? Ahh, kau kasar sekali,” balasku panjang lebar sembari menunjuk laki-laki disebelah Charlie.
“Oooh kau ini Alice? Jadi sekarang kau seperti ini, ahh kau sangat beda ketika masih menduduki bangku SD waktu itu,” celotehnya sembari mengejekku.
Karin dan Dilla saling tatap mata satu sama lain, mereka tidak mengerti apa yang barusan kami bicarakan. Aku menatap mata lelaki sok itu, aku berfikir sejenak. Apakah aku mengenalnya?
“Maaf, aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan. Mungkin, kau salah bicara dengan orang yang kamu anggap kenal itu.” balasku semakin geram.
“Ha-ha-ha-ha .... kau benar-benar sangat berubah seratus persen, mungkin inilah yang membuat Charlie tergila-gila padamu,”
Pipiku memerah ketika dia membalas ucapanku. Semuanya tampak mempermainkanku. Dan, Charlie benar-benar kelewatan. Bagaimana bisa aku yang dijadikan korban dalam pertemuan ini? Lalu Dilla dan Karin bahkan menggeleng-gelengkan kepalanya secara bersamaan. Aku benar-benar kesal denganya.
“Apa kau tidak mengenalku?” lelaki bermata sedikit sipit itu membalasku lagi.
Keningku mengerut, mata bulatku menatap tajam ke arahnya. Ah, kenapa aku harus mencoba mengingatnya. Dia terlihat masih menatapku. Entah, itu tatapan memancing emosiku atau benar-benar berharap aku mencoba mengingatnya. Tapi, sedikitpun aku belum menemukan jawaban yang tepat. Charlie terlihat tidak yakin dengan keberadaanya dan takut membuat semuanya menjadi berlebihan.
“Dia teman satu kelas kita dulu. Namanya Robin Brown, mungkin kau memang tidak mengenalnya. Tapi kami masih mengenalmu,” Rama mencairkan suasana.
Degg. Degg. Degg. Jantungku berdebar. Pipiku memerah. Mataku melebar, dan aku sempat tidak mempercayainya. Robin Brown? Ya, kami memang satu kelas semasa Sekolah Dasar dulu. Tapi, dia juga berubah drastis menjadi lelaki yang sempurna. Bentuk tubuhnya padat dan tinggi badanya semakin bertambah. Bagaimana aku bisa mengenalnya? Hanya saja dia sangat menyebalkan.
“Ahhh,, jadi kau. Sepertinya baru kali ini kau berbicara denganku ya?” aku membalas Robin dengan nada rendah.
“Aku benar-benar tidak mempercayainya, Alice yang ku lihat enam tahun lalu benar-benar sangat berbeda dengan yang ku lihat hari ini, pantas saja Charlie sangat menyukaimu.” Robin mencoba membuatku membalas ucapanya lagi. Charlie hanya terdiam sembari mengalihkan perhatian di sekeliling sekitar.
“Jadi, bagaimana dengan kelasmu di sana?” Dilla mengalihkan pembicaraan lain kepada Robin dan Charlie mengenai sekolahnya.
“Ahh, semua tugas yang diberikan benar-benar membuatku sangat gila, kami selalu tidak mempunyai waktu untuk tidur bahkan hanya semalam saja,” balas Robin mengungkapkan kekesalanya. Aku mendengar pembicaraan mereka. Ku tatap Robin Brown sekilas, dan ia membuatku salah tingkah.
Charlie diam-diam memperhatikanku, sesekali aku bertatapan secara bersamaan denganya. Ya, enam tahun aku tidak mengingat nama Robin Brown lagi. Aku tidak mengingatnya, karena dia terlalu sibuk dengan teman-temanya semasa dulu. Bagaimana mungkin, kami bertemu lagi? Aku membuang fikiran itu jauh-jauh. Ini hanya sebuah kebetulan yang tidak disengaja. Ya, tidak pernah disengaja. Aku memutuskan agar tidak bertemu denganya lagi.
Waktu itu aku hampir tidak pernah mengenalnya. Robin Brown, bukanlah orang yang ku ingat sepenuhnya walau kita satu kelas. Dan, Charlie sedikitpun tidak pernah menyinggung namanya. Ahh, apa yang ku pikirkan tentangnya. Dia bahkan sedang asyik membahas pacar barunya bersama teman-teman yang kelihatanya satu kelas denganya.
“Terus apa yang kau lakukan dengan pacarmu?” ucap Charlie bertanya singkat kepada Robin.
Robin Brown lagi-lagi melirik ke arahku ketika aku berjalan menuruni tangga dari kamar Dilla. Ku dengar sebuah suara-suara berisik dengan nada-nada bersahut-sahutan mengumpul menjadi satu. Saling bicara tentang apa yang sedang tidak ku ketahui, ku dengar mereka berbisik tentang diriku. Aku benar-benar menahan kesabaran untuk beberapa saat.
Robin tidak menjawab pertanyaan dari Charlie, ia mengalihkan pembicaraan dengan membicarakanku dengan asyiknya. Walau aku pura-pura tidak tahu, telingaku benar-benar menangkap semua hal yang mereka bicarakan.
“Ah, hari ini bukankah kita ada acara lain?” ucap Edward teman sebangku Robin mengingatkan untuk menyudahi pembicaraan gemerisik itu.
“Ah, ya. Kau benar sekali. Bukankah kita harus menyelesaikanya hari ini, mari kita secepatnya bergegas.” Robin berdiri lalu berpamitan dengan Dilla.
Charlie mengernyit, lalu manggut-manggut saja dengan apa yang dikatakan Robin barusan. “Dill, temu kangen tahun ini benar-benar mengesankan. Ku harap di hari berikutnya kita bisa merayakanya kembali,” ucap Robin sembari tersenyum ke arahku. Aku mengalihkan pandanganya dengan berbicara kepada Dilla.
“O, iya Dill. Kami juga ada acara kondangan hari ini, ku rasa temu kangen ini adalah sebuah kejutan kecil.” Aku menutup pembicaraan lalu meraih tas ku dan keluar dari pintu rumah Dilla.
“Bagaimana bisa kau pulang secepat itu, Alice? Kau tidak boleh pulang dulu, aku mesti memberitahumu sesuatu,”
Karin gelagapan dengan tingkah sahabatnya yang super aneh hari ini. Sementara Charlie dan Robin saling tersenyum lalu keduanya keluar dan menaiki motor masing-masing. Dengan gesit mereka berbondong-bodong meninggalkan kediaman dilla.
@yurriansan Thanks kak sudah dibaca. Ikuti terus ya tiap episode nya
Comment on chapter 1