BAB 2
Sebuah Keputusan
Matahari mulai muncul ketika Aku masih bermimpi di Istana Langit. Hamparan awan-awan putih kian berwarna-warni yang ku lihat. Mereka mulai mengacuhkan permata-permata yang sebenarnya sangat suci, kini semuanya lenyap di telan hidup-hidup oleh hamparan badai. Aku bermimpi buruk lagi.
Sayup-sayup mata bulatku terbangun pelan, bahkan kelopak mataku sebenarnya enggan membukanya. Aku hanya ingin bertemu sang pangeran sejati-ku. Di mana aku bisa menemukan kesetiaanya. Aku bahkan bisa terlindungi karena dia memiliki seribu hunusan pedang yang hebat hingga selalu menyembunyikan mawar yang suci selalu memutih. Cukup. Bagiku semua itu hanyalah ilusi belaka. Ini adalah awal yang buruk bagiku. Aku harus melawanya dan mencari titik celah kebenaranya, aku tidak ingin mawar putih kian menjadi mawar hitam yang berduri. Bagiku sungguh menyakitkan.
Aku mencoba mengangkat tubuhku yang masih terkulai lemas di tempat tidurku. Ku tatap langit-langit kamarku kini tidak berbunga lagi, semua terlihat berbeda. Bayangan antara Jenny dan Alex melayang-layang memenuhi langit-langit kamarku. Aku meringis. Ku tatap cermin di sebelahku, masih sama. Bayangan antara keduanya semakin mengganggu pikiranku. Semuanya. Aku harus cepat mengambil sebuah keputusan meskipun aku sangat takut akan kehilangan salah satu dari mereka, bahkan keduanya sekalipun. Toh, keduanya belum tentu memikirkan perasaanku di sini yang sedang kesakitan.
“Aku ditusuk dari belakang,” ucapku di telpon. Aku segera menyimpulkanya kepada Karin, sahabat kecilku.
“Aku sudah menduganya! Bagaimana mungkin kau masih tidak mendengarkan nasehatku sedari dulu? Sudah ku bilang Alex sangat pandai mempermainkan gadis-gadis cantik dan terutama polos sepertimu,” balas Karin dengan sedikit geram.
Karin Paramitha, sahabat karibku yang anti dengan cowok playboy. Ia gadis yang sangat tomboy dan sebenarnya sangat baik padaku. Gadis berkulit langsat itu tak pernah rela dari awal aku berhubungan dengan Alex.”Oke, semua ini salahku. Tapi satu hal, aku memang sudah menyimpulkanya namun bukan berarti aku harus meninggalkan sahabatku Jenny. Ia juga akan termakan oleh rayuan Alex lagi,” bantahku.
“Aku sangat senang karena kau sudah kembali menjadi Alice yang ku kenal, jika itu maumu kita harus melakukan sesuatu untuk keduanya. Aku harus menjadi mata-mata ...” ucap Karin di telpon dengan sangat yakin.
“Jika itu keinginan Alex, aku harus merelakanya.” Aku menutup telpon Karin.
“Haloo ... halloooo ... Alice? Apa kau mendengarku,” sambungan telpon terputus. Karin mengelak.
Ku tutup telpon Karin dengan cepat sebelum ia memarahiku lebih jauh. Aku tidak pernah menyalahkan Alex ataupun Jenny, bagiku ini adalah masalah perasaan yang masih berubah-ubah. Aku tahu dengan kondisi ini, aku memang mencintai Alex namun kini rasa cinta ini menjadi sebuah kemarahan dan emosional yang memenuhi pikiranku. Aku harus menyelesaikanya dengan baik. Dua hari ini aku tidak disapa olehnya, bahkan memberi kabar kepadaku adalah hal yang tidak sempat baginya. Perlahan aku mulai dilupakan. Perlahan aku mulai diasingkan dan dia menyakiti perasaanku yang tulus. Satu hari setelah kejadian itu, aku sempat memergoki keduanya lagi. Saling canda tawa dibelakangku, bahkan aku melihatnya sedang makan bersama di restoran tempat biasa aku denganya bertemu.
“Bisakah kita memulainya lagi, aku sudah menanyakan pertanyaan yang sama ketiga kalinya dan kau masih belum menjawabnya,” ucap Alex terus memandangi Jenny dengan tak sabar menunggu jawaban darinya.
Jenny melirik sekilas, ia lalu mengembangkan senyumnya yang paling lebar.”Kau harus mentraktirku kali ini, maka aku akan menjawabnya.” Jenny menggodanya.
Pemuda berkulit putih itu menatap sekeliling ruangan restoran yang terletak di seberang jalan, Steak and Shake adalah tempat awal aku dan Alex berpacaran. “Permisi, boleh aku meminta menu yang lebih lengkap dari ini? Menu ini sudah ku coba semuanya,” Alex memanggil salah satu waitress yang masih melayani pelanggan.
“Silahkan, menu baru kami sudah tersedia.” ucap salah satu waitress dengan membawakan salinan menu baru.
Jenny lagi-lagi mengambil kesempatan kepada Alex. Diam-diam ia memperhatikan semua yang dilakukan Alex. Hati Jenny masih berdebar kencang. Ia lupa dengan sahabat seperjuanganya sendiri.”Baiklah, mari kita nikmati hidangan ini,” ucap Alex membuyarkan lamunan Jenny.
Aku menurunkan topi yang ku kenakan untuk menutupi penyamaranku agar mereka tidak mengenaliku. Ah, lagi-lagi hatiku terbakar api cemburu dari keduanya. Aku meneguk chocolate panas dalam sekali tegukan. Aku tidak memikirkan tenggorokanku sudah terbakar karena panasnya minuman yang ku teguk. Aku hanya tidak mempercayainya. Bisa-bisanya mereka dengan mudah mengabaikanku sendirian di sini. Oh tidak! Mereka bahkan tidak menyadari penyamaranku sama sekali.
Aku hanya perlu mengambil gambar keduanya untuk sebuah bukti. Aku tidak akan menemui keduanya lalu marah-marah di depan kerumunan umum. Itu akan membuat hidupku sangat memalukan di depan keduanya.”lakukan semau kalian, setelah itu kalian yang harus membayarnya denganku,” ucapku lirih.
Tiga gambar yang ku ambil sudah tersimpan di kamera ponselku. Aku berhasil mendapatkanya. Yess! Tidak sia-sia aku pergi mengintai mereka berdua. Sebenarnya hal-hal seperti ini aku sangat enggan melakukanya. Hanya saja sebuah kebetulan yang membuatku harus melakukanya.
Perasaan cinta lambat laun pasti akan memudar ketika kita mengetahui sebuah hal-hal yang tidak kita inginkan dalam sebuah percintaan. Aku dan kamu, kita. Semua bayangan kebahagiaan menjadi salah satu hal yang indah dalam sebuah hubungan. Tapi? Bagaimana jika diantara kita ada dia. Haruskah aku berdiam diri saja? Merelakan sebuah hubungan yang sudah ku bangun dengan pondasi ketulusan. Aku tidak bisa tinggal diam. Pasrah. Aku tidak bisa hanya pasrah dia merusak dongeng yang telah ku buat dengan Alex.
*****
Siang berganti sore. Sore berubah menjadi malam. Akhir-akhir ini aku sangat ketakutan ketika malam menemuiku. Aku selalu kemrungsung menunggu kabar dari kekasihku. Ya, dia masih kekasihku. Hanya saja, hubungan kami sedang bermasalah. Aku selalu ingin melompati waktu malam dan siap di waktu pagi. Tapi semua itu mustahil. Aku tidak lepas dari memikirkan keduanya. Aku letih. Memikirkanya hanya seorang diri. Mencari jawaban hanya dengan perasaanku yang ingin memperbaiki hubunganku. Aku harus melaluinya dengan sendiri. Tapi, aku ingin bertahan untuk membuat kisah romantisme love ku terus berjalan. Bahkan hingga aku benar-benar sudah dewasa.
Mata bulatku yang berseri berubah menjadi lebam. Aku sangat membencinya. Tumpukan-tumpukan tisu memenuhi kamarku dan berserakan bagai sampah. Kamarku menjadi kapal pecah. Aku sudah kehabisan air mata. Tadi malam aku menangis tak karuan, aku sudah menahanya dengan sumpalan tisu-tisu agar air mataku tidak terlalu deras mengalir. Tetap saja air mataku terkuras hanya memikirkan mereka berdua. Aku berada di posisi yang sulit. Aku terus menyalahkan diriku sepenuhnya.
“Tok ... Tok ... Tokk ...”
Bunyi ketukan pintu dari luar sudah lima kali aku mendengarnya. Aku masih berkaca di depan cermin tempat aku menghias diri. Aku menatap diriku sendiri yang sudah tak karuan. Aku meringis. Lagi-lagi air mataku terus mengalir deras membasahi pipiku. Mata bulatku sangat lebam sekali.
“Alice,”
Sebuah suara yang tidak asing di telingaku. Suara sahabat kecilku, Karin. Aku tahu dia pasti sangat khawatir dengan keadaanku. Dia memang sudah menasehatiku dari awal, aku bahkan mengelak semua nasehat baiknya. Ku langkahkan kedua kaki ku untuk membuka pintu kamarku. Jika bukan Karin, aku tidak akan pernah membukanya. Ketukan pintu dari ibu ku semalam bahkan ku acuhkan. Aku benar-benar harus meminta maaf padanya.
“Alice ...” ucap Karin memandangiku sampai tak berkedip. “Apa kau baik-baik saja? Apa yang kau lakukan semlam? Bagaimana bisa mata bulatmu kini berubah menjadi monster menakutkan, ahhh ... kau menakutkanku,”
Aku menutup pintu kamarku dengan cepat. Aku mengunci kamarku kembali setelah Karin lolos masuk kamarku yang penuh lembaran tisu-tisu bekas sumpalan air mataku semalaman. Karin tidak terlalu kaget dengan kelakuanku. Ia lebih mengkhawatirkan kamarku yang sudah berantakan akibat ulahku.
Karin mengambil sampah-sampah tisu yang berserakan dan membuangnya ke tempat sampah yang berada di dalam kamarku. Lagi-lagi Karin melirik ke arahku yang sudah terbaring di kasur. Lesu. Aku terlihat lesu dan tidak mempunyai tenaga sepeser pun.”aku mengambil foto mereka berdua di cafe,” aku membuka percakapan agar suasana tidak terlalu serius. Aku melempar ponselku kepada Karin. Karin membuka ponselku sekaligus tidak mempercayainya.
“Mereka benar-benar ...” Karin menggerutu ketika melihat foto keduanya terlihat sedang bercanda.
“Aku mendapatkanya secara tidak sengaja,” aku menambahkan. Mata Karin masih melototi foto keduanya di ponselku.
“Baiklah, kita akan menyelesaikanya. Ayolah, sahabat kecilku tidak harus menjadi seperti ini. Kau harus segera membersihkan badanmu dan pergi ke sekolah bersamaku,” Karin mengangkat tubuhku yang masih terkulai lemas.
“Aku tidak punya mood baik untuk pergi ke sekolah,” jawabku sembari membaringkan tubuhku di kasur kembali. Karin berusaha menahanya.
“Apa yang kau lakukan, Alice? Aku tidak pernah mendapati dirimu seperti ini. Jika kau terus seperti ini, keduanya akan semakin menjadi-jadi. Ayolah, aku butuh bantuanmu.”
Aku segera mencerna kata-kata Karin barusan. Apa yang sedang ku lakukan? Apa aku benar-benar sudah tidak waras hanya karena masalah cinta? Tidak! Aku adalah gadis yang kuat dimanapun berada. Aku bisa mengatasinya. Aku tidak melakukanya sendiri, aku di support oleh sahabatku. Aku memiliki sahabat yang tulus dengan apapun keadanku. Aku tidak bisa seperti ini.
“Baiklah, aku hanya perlu menjadi gadis dewasa.” Karin menunduk menyetujuiku.
*****
“Alex,”
Pemuda bermata sipit itu segera menoleh tanpa alasan. Ia mendengar Karin sedang memanggilnya. Lirih. Agar tidak terlalu mengganggu kerumunan suasana di dalam kelas. Alex segera bergeser dari tempat duduknya. Ia memang sangat dekat dengan Karin, semenjak Alex meminta gadis tomboy itu memperkenalkan Alice kepadanya.
“Apa yang kau lakukan disini,” ucap Alex kepada Karin dengan mata was-was.
Karin sedikit menggeser bangku kursi depan ke arah bangku Alex. Tanpa berpikir dua kali lagi, hari ini gadis tomboy itu akan segera menghabisi laki-laki perayu itu didepanya.
“Apa arti seorang Alice bagimu,” ucap Karin pelan tapi tegas. Alex melenguh.
Alex mengerutkan kening,”Apa yang kau katakan barusan, bisa kau ulangi lagi?”
Gadis tomboy itu mengambil nafas panjang, melenguh lalu mengeluarkanya dengan perlahan. Ia tidak butuh sikap basa-basi dari cowok perayu wanita sedunia itu.
“Apa arti seorang Alice bagimu, jangan basa-basi kau hanya perlu menjawabnya dengan perasaanmu sendiri,” Karin mengulang pertanyaan yang sama kepada Alex.
Alex menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ia sedikit menggunakan otaknya untuk berfikir dua kali lagi,”Alice?, dia kekasihku. Kau pun juga tau, kenapa harus bertanya lagi tentang keharmonisan hubungan kami, kau ini tidak waras ...”
“Apa katamu! Kau bilang hubungan kalian harmonis, mimpi apa aku ini semalman. Lalu bagaimana dengan selingkuhanmu,” Karin geram.
Alex merapatkan bibir Karin dengan sekali sentakan,”Darimana kau tahu,”
Karin memelototi Alex dengan tatapan penuh kebencian.
“Kau tahu, aku benar-benar sudah geram denganmu. Wanita mana lagi yang harus kau sakiti perasaanya. Kau boleh bermain dengan wanita jagad di dunia ini sesukamu, tapi! Jangan pernah lagi menyentuh Alice-ku, dia terlalu lembut untuk disakiti hanya karena lelaki macam sepertimu, kau biadab. Sampai kapanpun kau memang tidak bisa berubah, jangan pernah lagi kau mengganggu sahabatku, ku peringatkan kepadamu!”
Alex diam, tak menjawab. Ia tidak mencerna ucapan Karin barusan. Ia memang sudah bosan dengan Alice. Dari jauh, Alice membuntuti mereka.
“Karin, kau baik-baik saja? Apa yang kau lakukan di sini? Dan kau Alex, apa yang kau lakukan padanya,”
Alex memandang lama ke arah kekasihnya. Ya, Alice memang masih menjadi kekasihnya. Dengan sekali sentakan, Alex menggandeng tangan Alice dan membawanya keluar dari kelas. Karin berlari menegejarnya.
“Alex, apa yang kau lakukan?”
Alex berjalan menuju kelas X1-Bahasa. Jenny yang sedang asyik bermain dengan gadgetnya tersentak kaget melihat keduanya yang menghampirinya.
“Apa yang kalian lakukan?” ucap Jenny terkejut sembari menghampiri keduanya.
Alex kali ini sudah menutup akal sehatnya, sama dengan sebelumnya. Dengan sekali sentakan, tangan kirinya menggandeng tangan Jenny. Jenny semakin terkejut dibuat bingung oleh Alex. Alice melepas gandengan Alex.
“Kalian, kau dan kau! Aku tidak mau mendengarkan penjelasan ataupun alasan tak berkelas dari mulut-mulut manismu. Cukup. Aku tahu, apa yang sudah diperjelas hari ini, hari-hari sebelumnya atau waktu kalian masih bersama. Aku tahu semuanya. Yang harus kuperjelas, kalian benar-benar sangat tidak berkelas. Mempermainkan perasaan seperti tak ada isinya, tak bisa memikirkan sakitnya hati suciku yang kalian cabik-cabik. Ku rasa, ini adalah akhir semuanya. Kalian tidak berhak memanggilku seorang sahabat lagi, aku tidak pernah mengenal kalian lagi,” ucap Alice menahan tangis.
“Apa maksud dari semua ini, Alice? Kau sudah salah faham, dan ...”
“Dan, kau tidak usah muncul dalam kehidupanku lagi.” Alice memotong pembicaraan Jenny yang pura-pura tidak tahu.
Karin terharu mendengar ucapan Alice barusan, kini Alice telah memilih jalan yang diharapkanya. Karin berjalan ke arah sahabat karibnya, menggandeng tanganya. Dan membawa keluar gadis polos itu untuk menenangkanya. Alice membalas gandengan Karin, keduanya berjalan penuh kemenangan. Jenny, Alex, menatap dengan tatapan penuh dendam. Tapi Alex, tidak akan pernah berhenti di sini.
Aku tahu, mawar putih pasti akan segera merebakkan kelopaknya yang indah. Kupu-kupu pasti akan merebakkan sayap-sayapnya yang penuh warna dengan penuh kebebasan, lalu laut semakin mengibaskan ombak manjanya untuk segera pasang surut. Aku akan tetap menanti, romantisme love. Aku yakin, ketika pelangi masanya datang. Warna-warni benang sari akan semerbak sampai waktunya tiba.
**********
@yurriansan Thanks kak sudah dibaca. Ikuti terus ya tiap episode nya
Comment on chapter 1