Loading...
Logo TinLit
Read Story - AVATAR
MENU
About Us  

 

Malam. Udara terasa amat merasuk, melalui angin yang mengetuk di sela-sela jendela. Gerimis tadi sore seketika menjadi hujan deras di kota ini. Sesekali suara guntur terdengar meramaikan rintik hujan. Aku memakai sweaterku, bersandar kepada bantal dengan buku biru tebal yang masih ku baca. Sesekali Kesiur angin dapat aku rasakan pada jemari tanganku. Begitu dingin. Namun mataku masih terjaga. Aku biasa tertidur pukul 9. Saat ini masih pukul 8. Papa sudah pulang satu jam yang lalu, mungkin saat ini ia sudah terlelap di kamarnya. 


Buku biru setebal 261 halaman itu masih terbuka tepat 30 cm dari mataku. Aku membacanya perlahan, mencoba memahaminya dengan jelas. Kertasnya masih terlihat rapi dan tiada coretan sedikit pun pada buku itu. Bahkan nama pun tak ada. Aku tak tahu nama lelaki berjaket merah si pemilik buku tebal ini. Buku yang amat bagus dan sangat bermanfaat dalam tugas makalahku. 


"Arinzell, kamu belum tidur?" Suara Papa dari luar pintu kamarku sedikit mengagetkanku.


"Belum, Pa" Jawabku. Rupanya perkiraanku salah. Papa belum tidur. Papa membuka pintu kamarku. Ia membawa segelas susu coklat hangat. Aku segera menutup buku di tanganku.


"Papa buatkan susu coklat hangat. Di minum ya" Papa tersenyum menatapku. Ia meletakan segelas susu itu di meja belajarku. 


"Papa belum tidur?" Tanyaku memecah keheningan. Papa duduk di kursi meja belajarku, melihat-lihat koleksi bukuku disana. 


"Lihat mata Papa, Papa belum tidur kan?" Jawab Papaku sembari menunjuk kedua matanya. Aku sedikit tertawa. Papaku selalu bisa menghiburku. 


"Kok Papa tahu, Ijel belum tidur?" Tanyaku lagi. 


"Jelas Papa tahu. Lampu kamarmu masih menyala, Ijel." Aku menatap sekeliling kamarku yang masih amat terang oleh cahaya lampu. Tentu Papa tahu, karena aku memang tak biasa tertidur dengan lampu menyala. Lagi-lagi aku tertawa. Papa memang sangat menghafal kebiasaanku. 


"Kamu persis seperti Mamamu" Ucap Papaku lagi, ia tersenyum lebar. Meski matanya terlihat sedikit sendu. 


"Mamamu sangat menyukai buku. Terutama buku tentang sosial. Ia hebat. Papa selalu kagum dengannya. Dan sekarang semua itu diwariskan kepadamu. Arinzell, kamu satu-satunya keluarga yang Papa miliki. Papa akan bekerja keras untuk kamu" Aku tertegun. Papa menghampiriku dan membelai lembut rambut panjangku. 


"Ijel sayang Papa" Ucapku, aku memeluk Papaku erat. Sungguh aku benar-benar tak sanggup jika membicarakan soal Mama. Sejak kecil aku belum pernah merasakan pelukan Mama. Terlalu cepat Mama pergi. Disaat aku baru terlahir di dunia ini. Aku tahu betul perjuangan Papa selama ini. Ia amat mencintai Mama. Aku dapat merasakannya. Jika Mama masih ada, mungkin keluarga kami akan bahagia seutuhnya. 


"Kau tahu, Arinzell. Semasa hidupnya, Mamamu selalu membawa buku kemana pun ia pergi. Ia amat bahagia jika membaca buku. Meski Papa sedikit cemburu dengan tingkah Mamamu yang lebih memilih bukunya dibanding Papa, Papa tetap bisa tersenyum tulus kepadanya. Kebahagiaan Mamamu adalah kebahagiaan Papa. Dan saat ini Mamamu sudah tak ada. Papa mau kamu hidup bahagia, Arinzell. Karena kebahagiaanmu adalah kebahagiaan Papa. Hanya kamu yang Papa miliki" Air mataku menetes dalam pelukan Papa. Aku dapat merasakan ketulusan Papa disana. Aku tak ingin mengecewakan Papa sedikit pun itu. 


"Ucapan Papa benarkan? Kau persis seperti Mamamu. Lihatlah sebelum tidur pun, putri Papa masih tak ingin jauh dari bukunya" Aku melepas pelukanku. Ku lirik buku disebelahku. Papa pun demikian, ia mengambil buku itu dan membukanya. Aku tersenyum tipis sembari menyeka ujung mataku. 


"Buku yang bagus. Dimana kamu membelinya?" Tanya Papaku. Ia masih asyik membuka setiap lembaran pada buku itu. 


"Itu bukan buku Ijel, Pah" Ucapku menjawab. 


"Kalau begitu kamu pasti meminjamnya di perpustakaan" Lanjut Papaku lagi. Aku menggeleng. Papa mengangkat sebelah alisnya, seolah bertanya 'Jika bukan perpustakaan. Lalu?' 


"Itu buku teman Ijel, Pah" Lanjutku menjelaskan. 


"Kalau begitu, pasti temanmu itu amat pintar ya. Dan satu lagi, ia pasti amat bijak. Sampai menyukai buku sosial politik seperti ini" Lanjut Papaku. Aku tertegun. Ucapan Papa memang benar, lelaki berjaket merah itu memang terlihat berbeda. Ia dekat dengan guru-guru bahkan penjaga perpustakaan mempercayakan kunci perpustakaan kepadanya. Entah siapa dia, ku rasa ia memang istimewa di mata orang-orang yang mengenalnya. 


"Sudah hampir pukul 9. Jangan tidur larut malam ya, Jel. Jangan lupa habiskan susunya" Papa beranjak dari kamarku. Ia mematikan lampu agar aku segera terlelap. Aku meminum susu coklat yang masih hangat. Di antara derasnya hujan di luar sana, aku menutup mataku.


 "Selamat tidur lelaki berjaket merah"

 

***

Hujan deras tadi malam masih belum berhenti seutuhnya. Pagi ini gerimis sudah menghiasi jalan yang masih tergenang air. Udara pun demikian, masih terasa dingin seperti tadi malam. Membuatku enggan terbangun dari kasurku. Jika bukan karena Papa yang membangunkanku, aku mungkin akan tetap terlelap hingga udara mulai menghangat. 
Aku mengambil tasku, dan segera menuruni anak tangga. Seperti biasa, Papaku sedang memasak di dapur. Aku menghampirinya, menaruh tasku di kursi meja makan. 


"Papa masak apa?" Tanyaku memecah keheningan. Papa menoleh, ia menunjuk ikan panggang yang masih diatas pemanggang. Aku tertawa kecil. Lihatlah, lelaki itu seperti tak pernah merasakan lelah dalam hidupnya.


"Ijel mau bawa bekal lagi, boleh?" Tanyaku lagi. Aku menghampiri Papaku. 


"Ya tentu boleh, Arinzell" Papa menjawab dengan senyum lebar di wajahnya. Ia terlihat amat sibuk dengan bumbu-bumbu masakan yang masih dibuatnya. 


"Kamu mau bawa 2 kotak lagi?" Tanya Papaku. Aku mengangguk pelan. Daripada harus bolos pada jam pelajaran, lebih baik aku bawakan bekal lagi untuk Jenny. 


"Tunggu 5 menit, sarapan dan bekal sekolahmu akan selesai. Silakan kembali duduk tuan putri Arinzell" Ucap Papaku. Aku tertawa. Bagaimana aku bisa belajar memasak jika setiap aku menghampiri Papaku memasak, aku selalu disuruh kembali duduk. Ada-ada saja. 


5 menit lebih 59 detik. Papa berjalan menuju meja makan, dengan ikan panggang dan sup jamur yang dibawanya. Tak lupa ia pun membawa jus mangga yang baru ia buat. Tampak lezat, aku semakin kagum dengan Papa. Tak hanya bekerja keras, Papa juga giat belajar memasak. 56 buku memasak yang terpajang di rak buku dekat meja makan itu buktinya. Aku tersenyum tipis, melihat Papa menuangkan jus mangga. Ia masih menggunakan celemek yang sedikit kotor terkena bumbu masak. Meski begitu, Papa selalu pintar menutupi rasa lelahnya. 


"Oh iya, ini bekal sekolahmu. Dan ini jus mangga dan susu coklatnya, jangan lupa dihabiskan" Ucap Papaku. Aku mengangguk mengiyakan. 


Kami sarapan dalam gerimis yang tiada henti. Sup jamur buatan Papa sangat nikmat dimakan dalam cuaca dingin seperti ini. Tak banyak obrolan yang berlangsung pada meja makan kali ini. Hanya sekadar sekolahku yang Papa tanyakan. Begitulah Papa, setiap hari tak pernah lupa menanyakan kegiatanku di sekolah. 


"Kamu selalu membawa buku itu, apa ada tugas bedah buku, Jel?" Tanya Papaku. Aku menggeleng. 


"Lalu?" Lanjutnya. 


"Ada tugas makalah, Pah. Harus mencari sumber dari data pustaka" Jawabku sembari melirik buku biru tebal yang masih terletak di samping piringku. 


"Kalau kamu butuh apa-apa, bilang Papa ya. Nanti Papa carikan buku yang sama, biar kamu puas bacanya tanpa harus meminjam lagi" Lanjut Papaku. Aku tertawa. Aku memang sangat membutuhkan buku ini. Tapi bukankah lelaki berjaket merah itu berkata bahwa kelompokku boleh meminjam bukunya dan mengembalikannya kapanpun itu. Setidaknya, menyelesaikan membaca buku ini saja, rasanya lebih dari cukup. Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Papa.

 
"Makannya cepat habiskan ya, Jel. Kita harus berangkat lebih pagi agar tidak kena macet"


Aku menoleh ke arah Papa. "Macet lagi, Pah? Kasus kecelakaan kemarin belum selesai?"


"Sudah selesai diselidiki, Jel. Hanya saja beberapa jalan rusak parah, bahkan sebuah trotoar hancur. Tak hanya itu, ruko-ruko di pinggir jalan pun ikut hancur. Ini benar-benar kecelakaan beruntun terparah yang terjadi di kota kita" Ucap Papa menjelaskan. Aku mengangguk segera menghabiskan jus mangga yang Papa buatkan.


***


Benar kata Papa, kemacetan hari ini lebih parah dibanding hari kemarin. Beberapa jalan yang rusak kini tergenang air hujan, membuat banyak kendaraan kesulitan berlalu lalang. Beberapa pengendara motor pun tetap siap melaju dengan jas hujan yang mereka kenakan. Pejalan kaki pun demikian, mereka mengenakan payung saat berjalan keluar. 


Gerimis pagi ini masih belum mereda. Udara di luar pasti amat dingin. Aku memakai sweaterku, melihat beberapa meter lagi mobil Papa akan tiba di sekolahku. 


"Ijel, kamu sudah bawa payung kan?" Tanya Papa. Papa menoleh ke arahku. Aku mengangguk sembari menunjukan payung yang ku bawa. 


"Kamu bisa masuk kelas sendiri atau perlu Papa antar?" 


Aku menoleh ke arah Papaku. "Pah, Ijel sudah 16 tahun. Ijel sudah berani ke kelas sendiri, Pah"


"Oh iya, anak Papa sudah besar rupanya, bukan anak TK lagi ya" Ucap Papaku tertawa. 


"Ijel, mau berapapun usia kamu, kamu tetaplah gadis kecil Papa yang akan selalu Papa lindungi" Lanjut Papaku. Aku tertegun. Ku tatap wajah Papaku, aku amat menyayanginya. Ia memang selalu mengkhawatirkan keadaanku. Tak pernah sehari pun Papa lupa menanyakan kabarku, meski kami tinggal satu rumah. 


"Kamu benar tidak perlu Papa antar ke kelas?" Tanya Papaku lagi. Aku menggeleng. Papa memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang sekolah. Aku segera membuka pintu, bersiap membuka payung yang ku bawa. 


"Ijel sekolah dulu ya, Pah. Papa hati-hati di jalan ya" Ucapku. Aku mencium tangan Papa. Papa tersenyum ke arahku. 


"Kalau ada apa-apa, segera kabarkan Papa. Semoga harimu menyenangkan tuan putri Arinzell" Aku mengangguk, mengiyakan ucapan Papa. Aku segera turun dari mobil Papa. Ku tatap mobilnya yang semakin menjauh. 


Arah kelasku dengan gerbang sekolah memang tak terlalu jauh. Aku berjalan perlahan di jalan yang masih basah oleh air hujan. Beberapa murid mulai berdatangan dengan payung dan sweater yang mereka kenakan. Mungkin musim hujan sudah tiba. Perlu persiapan mantap untuk menyambutnya. Selain memakai sweater, Papa selalu mengingatkanku untuk makan makanan sehat terutama makanan atau minuman hangat saat musim hujan ini. 


Ruang kelasku masih sepi. Baru beberapa murid yang datang. Aku memilih untuk berdiam di luar kelasku, mengeringkan payung dan sepatuku. Setelah cukup kering, aku memasuki ruang kelasku, menghangatkan diri di dalam sana. Semakin banyak murid dan guru yang berdatangan, semua terlihat jelas melalui kaca jendela. Wajar saja karena 15 menit lagi kelas akan dimulai. Setidaknya masih ada waktu untukku melanjutkan membaca buku biru itu.


"Bagaimana Jel? Kapan kita mulai mengetik makalah?" Tanya Johan mengagetkanku. 


"Nanti aku kabarkan lagi ya, tunggu kabar dari Jenny" Jawabku. Johan mengangkat Jempol. Menandakan ia siap mengerjakan makalah kapanpun itu. 


"Lihat, semalam aku membeli buku-buku ini dengan Jenny. Aku sudah membacanya sebagian" Johan tersenyum lebar. Ia menaruh buku-buku yang dibawanya ke atas mejaku. Johan amat bersemangat rupanya. Aku membalas senyumnya, dan ku tatap buku-buku yang dibawa Johan. Lagi-lagi aku harus menggelengkan kepala. 


"Kalau kau suka, kau boleh mengambilnya" Tawar Johan. Ia segera pergi ke kursinya yang berada di barisan yang berbeda denganku. Aku menepuk dahiku. Johan sama seperti Jenny. Lihatlah di mejaku sudah ada hampir 10 buku tentang budidaya strawberry, buku memasak, buku batuan, dan buku lainnya yang tidak ada hubungannya dengan tugas kami. Meski begitu aku harus menghargai usaha teman sekelompokku. Aku tak ingin egois, urusan makalah, kami bisa mendiskusikannya bersama dan menyatukan pemikiran kami. Aku merapikan buku-buku tersebut, menyimpannya di laci meja Jenny. 


"Selamat pagi, Ijel" Jenny berlari pelan ke arahku. Ia segera menaruh tasnya di kursinya. Aku tersenyum menjawab salam Jenny. 


"Kamu masih membaca buku itu?" Lanjut Jenny. Ia menatap buku biru dalam genggamanku. Aku menatap wajah Jenny yang menatapku heran. 


"Entahlah tadi aku seperti melihat anak yang kemarin membawa buku yang sama" Jenny berkata dengan nada heran. Tapi bagaimana bisa buku itu dibawa oleh anak lelaki itu. Sedangkan bukunya saja masih ku pinjam. 


"Ah mungkin aku salah lihat. Ya sudah, Jel. Lanjutkan saja bacanya" Jenny tersenyum. Aku mengangguk.


"Ijellll.. Ke kantin yuk" Jenny menyikutku pelan. Aku menghembuskan nafas berat. Rasanya baru saja Jenny memintaku untuk melanjutkan membaca. Ah entahlah Jenny selalu seperti itu. 


"Aku belum sarapan Jel, orangtuaku sedang keluar negeri" Bujuk Jenny. Aku melirik jam tanganku. 5 menit lagi bel masuk akan berbunyi. 


"Makanlah" Ucapku. Aku mengeluarkan sebuah kotak makan yang Papa buatkan tadi. Tak apalah jika harus dimakan sekarang, maksudku bukan pada waktunya di siang hari. Setidaknya Jenny tak lagi memintaku untuk membolos pelajaran karena ke kantin. 


"Kamu membawakan aku bekal lagi?" Tanya Jenny semringah. Wajahnya berbinar-binar. Aku mengangguk. 


"Makanlah, sebelum Pak Herry tiba" Lanjutku. Jenny mengangguk. Tak perlu diingatkan lagi, Jenny dengan cepat melahap habis makanannya. 


5 menit berlalu. Benar saja, Jenny tepat waktu. Setelah meminum sebotol jus yang aku berikan, Pak Herry sudah masuk ke kelasku. Aku menghembuskan nafas pelan. Pagi ini pelajaran berlangsung khidmat. Jenny pun demikian, ia mengikuti pelajaran dengan baik tanpa merengek seperti hari-hari kemarin. 


***


Istirahat pertama. Aku meminta Johan dan Jenny untuk mencari sumber bacaan lainnya di perpustakaan. Kami kembali mengelilingi perpustakaan seperti kemarin. Karena hanya ada satu buku yang cocok dengan tugas kami yaitu buku yang dipinjamkan oleh si lelaki berjaket merah. Pun jika kami bertiga sempat membaca semua halaman di buku itu, sedangkan aku belum selesai membacanya. Maka tak ada salahnya jika kami berusaha mencari sumber referensi lainnya.
Johan mengelilingi rak buku keempat. Sedangkan aku dan Jenny mengelilingi rak buku pertama. Begitulah informasi yang kami dapatkan dari Ibu perpustakaan bahwa kami bisa menemukan buku yang kami cari di rak tersebut. Ruang perpustakaan tidak terlalu ramai. Jika ramai sekalipun ruangan ini akan tetap terlihat lengang karena amat menjunjung tinggi tata tertib perpustakaan. Konon jika ada yang mengganggu kenyamanan ataupun melanggar tata tertib perpustakaan, Ibu penjaga perpustakaan tak akan segan melapor kepada Bu Vera selaku ketua perpustakaan. Namun jika kasus ini lebih rumit, Bu Vera tak akan segan pula untuk melapor kepada Kepala Sekolah untuk menangani kasus lebih lanjut. Setidaknya saat aku dan Jenny melanggar, tak ada yang mengetahuinya. 


"Ijel, bagaimana dengan buku ini? Kurasa kau akan suka" Jenny nyengir lebar. Bukan buku memasak dan buku budidaya strawberry kali ini. Jenny menggenggam sebuah buku sosiologi pembangunan. Aku mengangguk tersenyum. Jenny pun demikian. Kami segera mengisi daftar pinjam sembari menunggu Johan yang masih melihat-lihat rak buku keempat. Aku dapat melihat Johan menggenggam sebuah buku di sana. Tak lama kemudian, Johan menghampiri aku dan Jenny. Aku benar-benar menahan tawa kali ini, Johan mengambil buku yang sama persis dengan Jenny. Setidaknya hal tersebut lebih baik dibanding meminjam buku budidaya strawberry. 


Johan dan Jenny mengisi daftar pinjam bersama. Setelah itu, kami segera meninggalkan perpustakaan. Aku dapat melihat kebahagiaan Johan dan Jenny karena berhasil mendapatkan buku yang sesuai dengan tugas kami. Kami memutuskan menuju kelas, untuk menyimpan buku yang kami pinjam. Namun seketika langkah kami terhenti. Udara terasa begitu sesak meski angin sedang berembus kencang. 


Tepat di depan kami, si lelaki berjaket merah sedang berdiri, tampaknya ia sedang asyik berbincang. Namun bukan itu masalahnya. Jenny menarik lenganku erat. Ia menggelengkan kepalanya tak ingin melanjutkan langkah, aku pun demikian. Lihatlah orang yang sedang asyik berbicara dengan si jaket merah adalah Kak Zearon. Bagaimana bisa setelah kejadian lempar-melempar saat itu aku dan Jenny bisa bersikap biasa saja saat bertemu dengan Kak Zearon. Oh tidak! Ini amat sulit. 


"Oh ayolah.. Hanya karena melihat orang kemarin kalian ketakutan seperti ini? Hei dia tidak akan meminta bukunya sekarang, bukan? Kalau begitu, aku akan meminta maaf kepadanya sekarang" Johan berjalan santai menghampir si jaket merah kemarin. 


Mataku membelalak sempurna. Begitupun dengan Jenny. Lihatlah Johan begitu cepat akrab dengan mereka. Bahkan Johan ikut tertawa bersama mereka. Johan cukup konyol kali ini. Ia melambaikan tangan ke arah kami. Si jaket merah dan Kak Zearon segera mengalihkan pandangan mereka ke arah aku dan Jenny. Amat keterlaluan. Aku dan Jenny segera berbalik badan. Berpura-pura tak tahu dan berjalan menjauh. 


"Hei tunggu!"


"Ijel, itu suara siapa?" Jenny menyikutku, aku menggelengkan kepala. Mau tak mau aku dan Jenny menghentikan langkah dan berbalik badan lagi. 

Tak jauh dari kami, Kak Zearon sedang berlari kecil ke arah kami. Jenny menggenggam tanganku erat. Kami menutup mata. 


"Kalian sakit?" Aku membuka mataku perlahan. Lalu menggeleng. Kak Zearon tertawa pelan. Jenny menyusul ikut membuka matanya. 


"Ini, kakak hanya mau memberikan surat ini" Kak Zearon memberikan aku dan Jenny sebuah amplop surat. 


"Kalian jangan takut, itu hanya surat mengenai program ekstrakurikuler. Semua siswa dan siswi wajib mengikuti salah satu ekstrakurikuler di sekolah ini" Ucap Kak Zearon tersenyum. 
Aku menyeka peluh di dahi. Jenny melepas genggaman tangannya dariku. Kami menahan tawa kali ini. Dugaan kami 100% salah. Lihatlah, walau masih muda, Kak Zearon cukup pelupa. 


"Kalau begitu, Kalian boleh melanjutkan berjalan. Kakak mau pergi dulu" Aku dan Jenny mengangguk bersama. Kami memutar arah, segera berjalan menuju kelas. Meninggalkan Johan yang entah kemana. 


"Hei tunggu!"


"Kalian, si pelempar sendok dan gulungan tisu itu kan?"


Deghhhh


Udara terasa kembali sesak. Di belakang kami, dengan santainya Kak Zearon mengatakan hal itu. Aku menepuk dahi.

 

How do you feel about this chapter?

1 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dinding Kardus
9334      2528     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Ballistical World
9591      1867     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.
Kamu, Histeria, & Logika
59247      6425     58     
Romance
Isabel adalah gadis paling sinis, unik, misterius sekaligus memesona yang pernah ditemui Abriel, remaja idealis yang bercita-cita jadi seorang komikus. Kadang, Isabel bisa berpenampilan layaknya seorang balerina, model nan modis hingga pelayat yang paling berduka. Adakalanya, ia tampak begitu sensitif, tapi di lain waktu ia bisa begitu kejam. Berkat perkenalannya dengan gadis itu, hidup Abriel...
Surat untuk Tahun 2001
4257      1937     2     
Romance
Seorang anak perempuan pertama bernama Salli, bermaksud ingin mengubah masa depan yang terjadi pada keluarganya. Untuk itu ia berupaya mengirimkan surat-surat menembus waktu menuju masa lalu melalui sebuah kotak pos merah. Sesuai rumor yang ia dengar surat-surat itu akan menuju tahun yang diinginkan pengirim surat. Isi surat berisi tentang perjalanan hidup dan harapannya. Salli tak meng...
TRIANGLE
11444      1797     3     
Romance
"Apa pun alasannya, yang namanya perselingkuhan itu tidak bisa dibenarkan!" TRIANGLE berkisah tentang seorang gadis SMA bernama Dentara dengan cerita kesehariannya yang jungkir balik seperti roller coaster. Berasa campur aduk seperti bertie botts bean. Berawal tentang perselingkuhan pacar tersayangnya. Muncul cowok baru yang berpotensi sebagai obat patah hati. Juga seorang dari ...
Forbidden Love
9404      2006     3     
Romance
Ezra yang sudah menikah dengan Anita bertemu lagi dengan Okta, temannya semasa kuliah. Keadaan Okta saat mereka kembali bertemu membuat Ezra harus membawa Okta kerumahnya dan menyusun siasat agar Okta tinggal dirumahnya. Anita menerima Okta dengan senang hati, tak ada prangsaka buruk. Tapi Anita bisa apa? Cinta bukanlah hal yang bisa diprediksi atau dihalangi. Senyuman Okta yang lugu mampu men...
Panggil Namaku!
8313      2141     4     
Action
"Aku tahu sebenarnya dari lubuk hatimu yang paling dalam kau ingin sekali memanggil namaku!" "T-Tapi...jika aku memanggil namamu, kau akan mati..." balas Tia suaranya bergetar hebat. "Kalau begitu aku akan menyumpahimu. Jika kau tidak memanggil namaku dalam waktu 3 detik, aku akan mati!" "Apa?!" "Hoo~ Jadi, 3 detik ya?" gumam Aoba sena...
Sisi Lain Tentang Cinta
759      421     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Frekuensi Cinta
274      229     0     
Romance
Sejak awal mengenalnya, cinta adalah perjuangan yang pelik untuk mencapai keselarasan. Bukan hanya satu hati, tapi dua hati. Yang harus memiliki frekuensi getaran sama besar dan tentu membutuhkan waktu yang lama. Frekuensi cinta itu hadir, bergelombang naik-turun begitu lama, se-lama kisahku yang tak pernah ku andai-andai sebelumnya, sejak pertama jumpa dengannya.
Sunset In Surabaya
350      254     1     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...