“Terkadang setiap kejadian buruk yang kita alami tidak selamanya buruk. Percayalah selalu ada kebaikan dalam setiap kejadian, sekecil apapun itu yang belum bisa kita lihat sebelum kejadian itu usai”
***
“Maafkan aku, Jel. Karena kesalahanku kamu jadi ikut kena hukuman” Ucap Jenny lirih. Matanya berkaca-kaca. Sudah beberapa hari ini Jenny selalu saja meminta maaf kepadaku padahal sudah berulang kali kukatakan bahwa aku tidak apa-apa lagi pula hukuman ini merupakan hukuman yang baik jadi tak ada salahnya jika aku ikut menjalaninya, tak ada salahnya pula jika aku sesekali ikut berkemah untuk pertama kalinya bersama sahabat-sahabatku tentu akan menjadi pengalaman yang berharga bagiku.
“Aku justru senang bisa ikut berkemah dan menghabiskan waktu denganmu, Jen, pasti menyenangkan tinggal di alam liar yang jauh dari rumah. Sudahlah Jen, jangan habiskan waktumu untuk menyesali hal ini. lagi pula aku tidak apa-apa, Jen. Lebih baik kita fokus menyiapkan barang bawaan yang sudah ditentukan” Jawabku sembari kembali membuka selembar kertas berisi list barang bawaan yang baru diberikan oleh pak Ranto. Jenny ikut serius menatap list barang bawaan yang cukup banyak dan memusingkan itu.
“Beras, susu, obat-obatan, mie, panci, kayu bakar, sosis, kornet, tenda…… Oh iya Jel, darimana kita mendapatkan tenda” Potong Jenny saat sedang membaca list barang bawaan. Aku menggeleng, ini baru pertama kalinya aku berkemah. Aku tak mengerti apa saja yang perlu kusiapkan sedangkan merasakan kemah pun aku belum pernah.
“Tenda biar aku yang siapkan” Ucap seseorang tak jauh dari kami. Aku dan Jenny menoleh, di atas tangga, Max sedang berjalan menuju kami.
“Tenda, kayu bakar, dan barang-barang yang sulit biar aku yang siapkan” lanjut Max. aku dan Jenny saling tatap.
“kalian siapkan perbekalan saja, dan jika ada barang yang sulit dibawa, bilang saja. Biar aku yang mencarinya” kali ini aku dan Jenny mengangguk. Dari raut wajah Jenny cukup menggambarkan rasa takut dan canggung saat melihat Max. bagaimana tidak, aku pun demikian. Max, si lelaki bertubuh tinggi besar itu kini dengan santainya menawarkan bantuan yang cukup besar. Entah bagaimana ia dapat berkata sesantai itu di hadapan kami.
“Oh iya, Jenny. Sekali lagi aku minta maaf. Aku sadar apa yang aku perbuat sudah melukaimu dan Johan. Bahkan sampai saat ini Johan sampai belum masuk sekolah. Maafkan aku. Jujur, saat itu aku sedang mendapat masalah di keluargaku, dan emosiku sedang tidak stabil. Terlebih kamu dan Johan melempar sampah sembarang ke wajahku, walau itu tidak sengaja namun saat itu aku sedang tidak bisa mengendalikan emosiku, dan tanpa berpikir panjang aku melempar bola kearah kalian dan mengenai kepalamu, Jen. Maafkan aku” Ucap Max panjang lebar. Jenny mengangguk pelan sembari menunduk. Baru kali ini aku melihat Jenny secengeng ini. Lihatlah matanya mulai berkaca-kaca, masygul untuk menatap ke arah lelaki di hadapannya.
“Maafkan aku juga, Max” Ucap Jenny lirih. Ia mulai mengangkat kepalanya. Jenny mengusap matanya yang berembun. Ia lalu mengulurkan tangannya kepada Max.
“Mari kita mulai pertemanan kita dari awal, Jen, Jel” Ucap Max. ia meraih tangan Jenny. Aku tersenyum mengangguk. Terkadang setiap kejadian buruk yang kita alami tidak selamanya buruk. Percayalah selalu ada kebaikan dalam setiap kejadian, sekecil apapun itu yang belum bisa kita lihat sebelum kejadian itu usai.
“Johan pasti senang melihat pertemanan kita” Ucapku menantap Jenny dan Max yang sedang bersalaman. Jenny mengangguk tersenyum.
“Iya, Jel. Besok akan aku kenalkan Max kepada Johan sebagai awal pertemanan kita” Seru Jenny. Kali ini Max yang mengangguk.
“Oh iya, Rico teman sekelasku akan masuk menjadi anggota kelompok kita. Ia akan membantuku menyiapkan barang bawaan”
“Sungguh?” Tanya Jenny, matanya berbinar-binar. Begitu pun denganku, dengan bertambahnya satu anggota setidaknya akan sedikit banyak membantu kelompok kami.
Max mengangguk. Jenny dan aku tersenyum bahagia.
***
“Jangan lupakan jaketmu, Jel. Kau pasti membutuhkannya”
“Obat-obatan juga jangan lupa ya”
“Oh iya, ini juga penting. Jangan lupa bawa lotion anti nyamuk”
Sungguh, aku benar-benar tertawa membacanya. Kemahku masih 3 hari lagi. Dan dia sudah sangat mengkhawatirkanku. Memang aneh.
“Terima kasih, Axel. Sudah mengimgatkan. Oh iya, besok Johan sudah bisa sekolah, aku harap dia bisa berteman baik dengan Max” Ketikku membuka topik pembicaraan baru, oh iya sebelumnya aku sudah banyak cerita ke Axel tentang masalah yang baru menimpa kedua sahabatku.
“Tenang saja, Jel. Johan mudah bergaul dan berteman kok, Jel. Dan Max, kurasa ia sudah menyesali perbuatannya dan tak ingin mengulanginya lagi”
“Darimana kau tahu Johan mudah berteman?” tanyaku penasaran.
“Tentu aku tahu, Jel. Buktinya Johan dan aku mudah sekali untuk akrab”
Seketika aku teringat kejadian dahulu di depan perpustakaan, aku dan Jenny melihat Johan sedang berbincang dengan Axel dan Kak Zearon. Bahkan setelah kejadian memalukan tentang daftar buku pinjam pun Johan dengan mudah menjalin pertemanan dengan Axel. Duh, Johan memang memalukan. Tapi kejadian ini sungguh berbeda bukan kejadian memalukan seperti waktu itu. Ini kejadian yang cukup hebat. Tapi semoga saja, Johan yang kukenal sebagai orang yang sangat konyol, bisa dengan mudah melupakan kejadian beberapa hari lalu.
“Arinzell? Kau sudah tidur?”
“Arinzell?”
“Selamat tidur, Arinzell”
Seketika aku tersadar dari lamunku saat mendengar suara ponselku. Sampai lupa aku kalau sedang berbincang chat dengan Axel.
"Aku belum tidur, Axel"
"ya sudah kalau gitu, tidurlah" balas Axel. Aku mengiyakan berhubung waktu sudah menunjukan pukul 9 malam.
***
"Bukan gitu maksudku, Johan!" Rengek Jenny kepada Johan.
"Aku tidak sudi berkemah apalagi berteman dengan Max!" Sahut Johan hebat. Jenny yang sedang duduk di samping Johan mulai takut untuk melanjutkan percakapan. Rupanya Johan masih belum bisa memaafkan Max. Meski sudah bisa masuk sekolah, luka di wajah Johan masih terlihat jelas. Sulit rasanya melupakan perkelahian itu bagi Johan.
"kau menyebalkan, Johan!" Lanjut Jenny. Matanya kembali berkaca-kaca. Ia berlalu pergi keluar kelas. Aku mengikutinya tak ingin terjadi sesuatu dengan Jenny.
Pada jam istirahat pertama ini, Jenny dan Johan sudah mulai bertengkar. Entah apa yang harus aku lakukan, tapi aku yakin bahwa Johan akan baik-baik saja dan bisa menerima kejadian ini.
Jenny berjalan ke arah kantin. Benar saja dugaanku, setelah bertengkar dengan Johan, Jenny akan ke kantin karena makan adalah cara terbaik Jenny untuk menghilangkan rasa kesalnya. Aku duduk di samping Jenny,sembari memesan jus, berbeda dengan Jenny yang sudah memesan 2 porsi somay dan 3 minuman. Walau begitu, aku masih enggan untuk mengajaknya bicara.
"Johan menyebalkan, Jel" Ucap Jenny sembari melahap makanannya.
"Sabar, Jen. Johan masih perlu waktu" Ucapku perlahan, tak ingin salah bicara.
"Aku tahu, Jel. Tapi mau gak mau kita harus kompak, Jel" Lanjut Jenny. Kali ini aku mengangguk. Benar kata Jenny, perkemahan tinggal beberapa hari lagi, sedangkan Johan masih pada pendiriannya. Bagaimana bisa tim kami kompak jika masih ada perselisihan antar anggota kelompok.
"Aku bingung, Jen" Jawabku, mengembuskan nafas berat.
Jenny merapikan rambut yang mengenai wajahnya. Ia lalu kembali memakan pesanannya. Kantin tidak begitu ramai, dan bisa dikatakan bahwa hanya aku dan Jenny yang berada di kantin ini. Mungkin karena jam pertama guru matematika kami tidak masuk sehingga tidak ada pembelajaran di kelas kami, termasuk untuk keluar ke kantin sebelum jam istirahat pun tidak terlalu diperhatikan.
10 menit kemudian, Jenny masih terfokus pada makanannya. Kantin mulai ramai oleh beberapa kelas yang sudah beristirahat. Aku hanya terdiam menatap suasana kantin yang mulai semrawut. Ibu-ibu kantin dengan segala keahliannya mulai memasak pesanan dengan gagahnya. Demikian dengan siswa yang mangantri, mereka mulai memenuhi seisi kantin. Jus pesananku sudah habis, begitu pun dengan Jenny yang telah menghabiskan pesanannya. Tak enak rasanya jika harus terdiam di kantin lebih lama dengan kondisi yang seperti ini. Tapi nampakya suasana hati Jenny masih buruk.
“Untuk kalian” Ucap seseorng dari belakang kami. Orang itu memberikan 2 buah susu kotak kepada kami. Aku dan Jenny menoleh ke belakang, Jenny yang awalnya terkejut kini mulai terlihat biasa saja. Dan kali ini ia mulai tersenyum ke arahku sembari menyikut lenganku, tak peduli dengan lelaki yang masih memegang susu kotak sembari berdiri di belakang kami.
“kalian tak mau?” Ucap orang itu lagi. Kali ini dengan cepat Jenny segera mengambilnya.
“Mau kak, kalau Ijel gak mau, biar buat Jenny aja kak” Ujar Jenny cengengesan. Kak Zearon hanya tertawa sembari memberikan satu susu kotak lagi untukku. Dan lihatlah, tanpa aba-aba, Jenny sudah menghabiskan susu kotaknya dengan cepat.
“Mau ngobrol sama Ijel kak?” Ucap Jenny tiba-tiba. Mataku membelalak sempurna. Sungguh, sikap menyebalkan Jenny muncul di saat yang tidak tepat. Kak Zearon hanya tertawa mendengar ucapan Jenny. Namun saat ia melihat raut wajahku yang nampak tak ingin mengobrol, ia mengurungkan niatnya.
“hmm, mungkin lain kali mengobrolnya” Ucap Kak Zearon sebelum berlalu. Jenny kembali tertawa puas.
***
Hari berlalu dengan cepat. H-1 perkemahan, meskipun Max menawarkan akan menghandle semua perlengkapan berat, akan tetapi keadaan ini masih terasa sulit bagiku. Johan di dalam kelas sana masih tefokus pada komiknya, sesekali ia tertawa riang dan sesekali ia terlihat murung karena komik yang dibacanya. Aku mengembuskan nafas berat, sedangkal itukah pertemanan kami? Jika dahulu aku, Jenny dan Johan selalu bersama, kali ini kami bertiga mulai merasa asing akan keberadaan Johan. Tak jarang ia mengabaikan sapaan aku dan Jenny. Dan tak jarang pula ia lebih senang menyendiri dengan komiknya. Begitu pun Jenny yang sudah mulai acuh dengan sikap Johan. Jika Johan menghabiskan waktu dengan komiknya, Jenny justru menghabiskan waktu dengan novel dan makanannya.
Diskusi kami yang sempat gagal rupanya memang gagal sepenuhnya. Kami sama sekali tidak melakukan diskusi persiapan terkait perkemahan kami. Max sangat teliti menyiapkan semuanya, ia selalu mengabari aku dan Jenny tentang barang bawaan kelompok. Sudahlah, ini akan menjadi kecanggungan yang luar biasa dalam kelompok kami.
“Tak perlu kau pikirkan, Jel. Percayalah semua akan baik-baik saja”
“Yang perlu kau ingat hanyalah kau harus fokus memperhatikan kondisimu. Jangan karena masalah, dirimu menjadi lemah”
“Aku yakin kau bisa, Jel”
Lagi-lagi aku hanya membacanya. Kalimat Axel, membuatku sedikit lega menceritakan semuanya kepadanya.
“Jel, jangan lupakan sepatumu”
“Papa bawakan makanan untukmu, ini cemilan yang banyak, kau bisa habiskan dengan Jenny”
“Ini jaketmu, Jel. Sudah papa siapkan”
“Dan ini obat-obatan kamu, coba kamu cek kembali, papa sudah siapkan semua keperluanmu, barangkali masih ada yang ingin kau bawa, Jel”
Aku menggeleng pelan. Papa masih sibuk membaca list barang bawaan sembari kembali mengecek satu persatu barang yang telah ia siapkan. Sungguh, bukan maksudku untuk menjadi anak manja karena tak memiliki kasih sayang seorang ibu. Ingin sekali aku belajar dewasa dan mandiri di usiaku yang masih remaja ini. akan tetapi, Papa selalu memperlakukanku bak putri raja. Ia tak ingin melihatku sedih, kelelahan dan kesulitan, maka apapun akan ia lakukan untuk membuatku senang. Walau hari ini adalah hari yang cukup berat bagiku, tetapi kasih sayang Papa mampu meluluhkan suasana hatiku yang sedang buruk. Aku percaya, akan ada hal manis disela pahitnya kehidupan.