Dear Salsabiela
Dari seseorang yang terpikat oleh teduhnya angin cemara.
Apa aku harus mengartikan seluruh rasa yang membelai segetir rindu ini? Kepadamu wahai angin peneduh segala musim. Terus terang. Dirimu berbeda, dan aku terpesona pada setiap keajaiban yang ada di seluruh insan yang satu ini. Berjanjilah, untuk selalu menjadi angin dalam hidupku.
someone
Puisi yang tidak kukenali ini lagi-lagi terselip di laci mejaku. Anehnya masih saja ada pengagum puisi di saat manusi zaman ini sedang heboh-hebohnya dengan media sosial. Aku tersenyum meremehkan. Jika suka, tinggal ungkapkan, mengapa harus ada puisi dan kemisteriusan lainnya?
Penulisnya menempatkanku sebagai angin. Jelas-jelas manusia tidak bisa disamakan dengan benda atau sejenisnya. Sejenak aku ingin membuang jauh-jauh makna realitas “angin” dalam puisi itu. Mungkinkah itu bahasa kiasan? angin berhembus, memberikan ketenangan pada manusia yang sedang kelelahan, keringatan, dan membuat semua kepenatan menjadi lebih baik.
Aku berpikir keras dan kurasakan rintik hujan berjatuhan di atap sekolah, semakin lama semakin deras dan berisik. Kira-kira setengah jam lagi bel berbunyi. Hanya lima sampai dua belas anak yang baru masuk kelas sambil berbincang-bincang tentang keadaan mereka saat hujan sementara beberapa yang lain hanya sekedar lewat di depan kelasku dengan berlari-lari kecil atau ada juga yang berjalan santai sambil bersiul-siul. Kecil sekali nada yang dapat kutangkap karena hujan turun semakin deras.
Mataku tertuju pada kertas kecil itu. Ah, puisi menyebalkan ini lagi. Sampai kapanpun orang realistis sepertiku tidak akan mengerti dengan bahasa mendayu-dayu dan manja ini. Aku memutuskan memungut kertas kecil itu dan memasukkannya kembali dalam kolong meja kemudian beranjak dari kursi untuk sekedar keluar kelas, memandang dunia yang terlihat sedikit lebih luas.
Ah, iya. Nina. Manusia kepo itu dari tadi juga belum nampak.
Setengah jam berlalu. Bel berbunyi samar-samar. Semakin lama kian keras memaksa riuh deras hujan agar mengalah. Tetap saja selisihnya jauh. Hujan kali ini sepertinya ingin menenggelamkan segala jenis suara yang melawannya. Parahnya lagi, Nina juga belum datang. Ku paksakan diri untuk menunggunya dua puluh menit lagi sambil bermain sebentar dengan rinai hujan. Ku tadahkan telapak tangan hingga air yang tertampung dari atap mencapai ujung jemariku kemudian mengusapkan bulir-bulirnya ke wajah. Rasanya lebih baik. Asyik sekali. Aku pun melakukannya berulang-ulang sambil tertawa girang bersama lambaian pohon-pohon rindang. Tapi bukan cemara.
Aku tertawa lepas. Dua puluh menit berlalu. Itu berarti Fisika (pelajaran pertamaku) memang tidak ada. Hujan menghalangi rencana Pak Yongki datang untuk menunaikan janji ulangan Fisika seminggu yang lalu. Aku terkekeh. Lebih baik ku lanjutkan saja bermain hujan hingga tanpa sadar, aku pun berputar-putar di tengah lapangan basket saking riangnya.
“BODOH!” Bentak suara itu. Ku palingkan wajah ke asal suara.
Dia. Sejak kapan si manusia superstar itu berada tepat di belakangku? Dan lihat apa yang dia lakukan. Dengan cepat dilemparnya sapu tangan ke arahku. Tepat menempel di wajahku yang basah. Dia menatapku lama kemudian pergi begitu saja membiarkanku melongo tak percaya.
Aku meraba sapu tangan yang sedikit lebih besar dari telapak tanganku itu dan membaliknya. Darurat!
Untuk pertama kalinya sesuatu itu kembali lagi setelah lama tidak menghampiri hidupku. Sesuatu yang membuat napasku terasa terhenti.
Darah! Aku mimisan lagi!.
***
Pandangan buram. Samar-samar. Itu yang kulihat setelah terkapar beberapa waktu disini. Penyakit ini memang sudah lama menggerogoti kesehatan gadis nakal sepertiku namun tak pernah kambuh lagi kecuali saat aku memaksakan diri untuk melawan pantangan dari Dokter. Seperti yang baru saja ku lakukan tadi pagi.
“Udah sadar, Biela?” Tanya suara lembut itu.
Aku berkedip beberapa kali. Hidungku menangkap suatu bau khas yang tajam dan tak kusuka. Tangan kiriku menggenggam alas kasur putih bersih. Segalanya tampak sedikit lebih jelas saat sorot mataku menangkap gambar palang merah bergantung di dinding dan bau obat berbagai merk yang dapat ku kenal beberapa.
“Eh, iya udah mendingan,” jawabku seadanya. Aku mencoba bangkit walaupun agak sedikit hoyong. Seseorang itu menyentuh pundakku pelan membantuku bangkit saat tulang belakang ini ngilu bagai ditindih benda keras. Pelan-pelan aku baru sadar bahwa suara teduh itu milik Shinta.
“Kalau belum sehat, tiduran aja dulu,” Ujar Shinta, anggota PMR sekolah.
“Udah mendingan, Sin”. Aku menjulurkan kaki ke bawah akan turun. “Biela boleh balik ke kelas?”
“Biela yakin udah sehat? Punya phobia, ya Bil?”
Aku mengangguk.
“Aku sebenarnya memang nggak bisa lama-lama di tengah hujan, terus nggak tahan melihat darah, Sin.”
Shinta mangut-mangut mengerti. Sementara aku mulai melangkah meninggalkan ruang UKS itu terhuyung
“Sin, makasih ya udah bantuin Biela, hehehe” Ucapku dari tengah pintu.
Shinta tersenyum dan mengangguk pelan. Ada raut kekhawatiran dari wajahnya melihat langkahku yang belum normal sepenuhnya. Dia sudah bergelut lama menekuni hobinya membantu orang sakit. Kebetulan hari ini mungkin jadwalnya piket, Shinta tak keberatan menjagaku berlama-lama.
“Eh, Bil. Shinta hampir lupa. Tadi yang bawa kamu kesini si Nazriel, lho.”
Aku mengangkat satu alis.
“Nazriel?” tanyaku heran. Nama itu tak asing dalam ingatanku. Ya, aku ingat. Cowok berlesung pipi, tubuh proporsional, kutu buku, dan hobi menulis puisi di mading.
“Iya. Ya, nggak ada salahnya dong bilang terima kasih buat dia. Soalnya tadi semua kelas masuk, dan cuma dia yang ngangkat kamu, hahahaha”, Tawa Shinta yang membuatku malu setengah mati. Aku ikut tertawa dan mengacungi jempol tanda menuruti kata-katanya.
“Eh, iya. Biel, jaga kesehatan, ya. Jangan keseringan mandi hujan lagi,” Lanjutnya
“Oke,” Jawabku lantas bergegas menuju kelas.
Di perjalanan ke kelas. Aku terus-terusan mengingat kejadian di hujan pagi tadi. Aku berlari ke tengah lapangan, berputar-putar seperti bianglala, perasaanku senang...sekali. Bebas. Dan, seseorang itu hadir seketika memperhatikanku. Tidak dengan teman segengnya, atau Yofanna, si Borbie menyebalkan itu.
Dia seorang diri!
Sorot mata tegasnya menatap tajam kedua mataku sementara tak ada yang memberikanku cermin untuk melihat bagaimana ekspresiku saat itu. Peter terlihat menakjubkan. Dan, Hei! Apa yang dilakukannya padaku? Dia dengan polosnya mengatakan “BODOH” tepat di depan telingaku dan melempar sapu tangan dengan motif kotak-kotak biru yang pernah kulihat. Secara tidak langsung, dia pasti tau kalau aku mimisan, hingga pingsan, dan... mengapa bukan dia yang membopohku ke UKS?.
Mengapa harus Nazriel yang melihatnya saja baru delapan kali karena memang kelasnya jauh dari kelasku. Dia tak punya teman, aku rasa begitu. Memang siapa yang mau berteman dengan kutu buku semacam itu, yang hanya mengandalkan buku dan pena untuk meluapkan apa yang ingin dia katakan.
Biar ku deskripsikan si makhluk aneh ini berdasarkan cerita yang kudengar. Nazriel memang pintar, juara se-angkatan, keahliannya dalam pelajaran Fisika memang tak ada yang meragukan, hobinya sudah pasti membaca buku, tapi menurutku dia punya hobi lain yang tidak sembarang orang tau. Aku termasuk salah satu yang tau tentang ini. Nazriel sering mengunjungi Panti Asuhan yang hanya berjarak 100 meter dari sekolah. Bermain bersama anak yatim-piatu, membacakan dongeng, atau apalah sejenisnya. Hal itu pertama kali ku ketahui saat menemani Ibu bertemu teman lamanya yang menjabat sebagai Pimpinan panti. Seseorang berambut rapi itu melempar senyum ramahnya padaku walaupun tak ku balas karena merasa pernah melihat dan lupa bertemu dimana. Belakangan aku baru mengingatnya ketika tiba di rumah dan itu pun harus menggali memori sedalam lautan. Dan oh iya, satu hal lagi.
Dia penikmat sejati sastra, terutama puisi. Karya puisi bahasa tingkat dewa-nya yang kerap kali menjadi sapaam selamat pagi di mading sekolah lebih digandrungi teman-teman daripada surat teguran Kepala Sekolah yang hanya mengandalkan huruf-huruf balok sehingga mengundang ocehan mereka. Yang lebih ku herankan, ada saja lima sampai dua puluh orang setiap hari memelas meminta dibuatkan puisi romantis untuk pacar hingga puisi untuk orang tua, juga puisi untuk tugas pelajaran bahasa indonesia. Bisa dihitung, kan, bagaimana Nazriel harus menggali bahasa dewanya agar beralih ke langit ke tujuh. Dan lebih parahnya lagi, dia menerima permintaan mereka dengan cuma - cuma. Tanpa bayaran, tidak ada traktir di kantin sekolah, tidak ada kencan gratis. Semuanya murni dengan ketulusan hatinya. Beberapa wanita telah dibuatnya jatuh cinta dengan tampang manis, tubuh proporsional, pintar, baik hati, lagi. Nina juga telah menitipkan hatinya pada Nazriel yang entah dibalas atau tidak. Sedangkan aku?
Baiklah. Akan ku berikan nilai 90 padanya. Oh tidak, itu terlampau banyak. Peter-ku saja tidak sampai sebanyak itu. Kalau begitu, 39 saja lah. Agar tidak ada yang menyaingi nilai cintaku untuk Peter. Sudah cukup deskripsinya. Aku sudah tiba di depan kelas sekarang. Kata-kata yang harus kuingat saat ini hingga nanti adalah ; aku harus berterima kasih pada si manusia dewa (Nazriel) itu.
Setelah mengucapkan salam dan mengadukan perihal tadi pada Miss. Keisha yang mengajar, aku langsung duduk di kursi yang bersebelahan dengan Nina. Sahabatku itu memelukku. Perasaan khawatir jelas terlihat dari raut wajahnya.
“Loe nggak papa, kan Biel? Sorry tadi gue telat datang, ya loe tau kan hujannya lebat banget?”, Bisik Nina dengan wajah memelas.
“Iya, Nin. Gue baik-baik aja kok. Santai.....”
“Lagian loe sih, pake sok-sok an main hujan segala. Loe pikir drama, apa?” Omel Nina yang suaranya sedikit meninggi membuat Miss. Keisha berdehem dan menatap kami.
Kami saling menatap dan pura-pura menulis sesuatu. Terdiam sekitar lima menit, kemudian aku ingat tentang apa yang harus ku katakan padanya. Ku buka lembaran buku catatanku paling belakang yang di dominasi oleh coret-coret curhat harianku seperti ;
Lama banget pulang L , atau;
Gila! ni guru bicara apa, sih hingga yang paling hiperbola;
Peter, kalo udah pulang, jangan lupa bobok ciang yaa. Ummach!
Kali ini ada sesuatu yang benar-benar harus Nina tau. Aku buru-buru menulisnya dengan tulisan burukku.
“Loe tau nggak, siapa yang nolongin gue waktu pingsan?”
Kusodorkan tulisan itu pada Nina dan tangannya menulis balasan sementara matanya tak beralih pada Miss. Keisha.
“Siapa? Jangan bilang manusia superstar,itu?“, Nina balas menyodorkan buku padaku, dan aku langsung membalas:
“Dia? Nggak mungkin, lah. Mana mungkin dia yang ngebantuin gue? malah dia ngebiarin gue pingsan di sana. Dia tu emang nggak punya hati, kali ya?. Ah, udahlah. Eh, loe jangan kaget, ya. Yang nolongin gue itu, Nazriel, anak IPA-1, jawara se-angkatan, hobi nulis puisi. Lebih tepatnya, gebetan loe. :p”
Nina membaca tulisan jelekku yang panjangnya satu paragraf. Aku bisa melihat jelas ekspresinya ditambah pelototan matanya yang semakin membesar. Aku tertawa cekikikan serendah mungkin agar tidak ada yang curiga. Sesaat kemudian..
“BIELAAAAA.....!!! NYEBELIN BANGET SIH, LOE!”, Teriak Nina yang memancing semua mata tertuju pada kami. Bisa ditebak bagaimana tanggapan Miss. Keisha saat itu.
“Nina, Salsabiela, silahkan keluar kalau tidak betah di kelas. Dari tadi saya lihat kalian aja yang bikin ribut. Sok-sok an catat pelajaran padahal entah apa yang dicatat!” bentak Miss. Keisha.
Kami saling menatap dan menelan ludah.
“ Maaf Miss, tadi Nina pengen cek sound doang, kok. Iya kan, Nin?” Kataku meyakinkan Miss. Keisha
“Whatever. If you want to study with me and your classmates, you can stay here. But if you can’t, please go out !”
Kami mengangguk bersamaan dan meyakinkan Miss. Keisha bahwa masih ingin belajar walaupun setelah itu aku dan Nina tertawa kecil. Bukan untuk mengejek Miss. Keisha, hanya saja geli dengan bandelnya kami di tengah-tengah keseriusan seperti ini.
@Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)
Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh