Namanya Peter. Aku mengenalnya sejak SMP. Sekilas wajah dan postur tubuhnya hampir mencuri paras Greyson chance, itu menurutku. Bahkan aku bisa saja memberikan nilai 40 dengan cuma-cuma untuknya. Segalanya. Segala yang ada dalam dirinya terlebih lagi wajahnya yang membuat aku harus mengerjapkan mata berkali-kali agar tidak terbawa bunga tidur.
Mungkin kalian akan mengira aku akan menambahkan 60 point untuknya jika berhasil merebut hatiku. Ah, tidak. Aku bukan barang gratisan yang bisa direbut begitu saja, selain itu tak secuil pun dari diriku yang menciptakan daya tarik pria pada umumnya. Aku pikir, kalian mengerti maksudku. Aku tidak cantik, tidak menarik, tidak aktif berorganisasi, dan aku tidak memiliki teman pria sama sekali. Aku seorang wanita pasif yang tidak memiliki sesuatu untuk dibanggakan. Nilai akademikku juga pas-pasan.
Peter cuek dan sombong luar biasa. Sangat berbeda denganku yang care pada siapa saja. Pekerjaan ayahku adalah PNS yang mengabdi di Kementerian Agama pusat, sedangkan ibu merupakan pengusaha swalayan “SARABIL” yang tidak lain adalah singkatan nama-nama anggota keluarga kecil kami ; Sabrina – Rahmat – Salsabiela yang cukup terkenal di ibukota. Tentang Peter, yang kutahu keluarganya adalah pengusaha kuliner terpandang yang memiliki cabang dimana-mana. Baru-baru ini ku dengar, kafe ayahnya sudah memiliki cabang lagi di Singapura. Super Tajir. Itulah komentar teman-teman di sekolah.
Sekarang kami kelas 3 SMA. Beda kelas, dan sejak dulu nyaris tak pernah ada interaksi antara kami. Peter yang saat ini berbeda jauh dengan dia yang ku kagumi tiga tahun silam. Dia yang dulunya pendiam dan pintar kini melambung menjadi pangeran kasta tinggi yang digilai para wanita. Postur tinggi dan wajah tampan yang ia punya berulang kali memborong perhatian produser film untuk menjadikannya artis atau bintang iklan, dan berulang kali ditolak oleh laki-laki sombong itu dengan alasan menjadi artis bukan cita-citanya. Entah kenapa, aku turut senang mendengar alasan itu, bahkan teramat ingin berbicara langsung sekedar bertegur sapa dengannya. Sayangnya, Peter tipikal cowok yang dingin. Belum pernah ku denagr ia dekat dengan wanita, apalagi punya pacar. Ah, sama saja. Otakku terlalu lelah memikirkan awal yang tepat untuk membuka obrolan dengannya. Alasannya cuma satu, karena berbicara pun nanti akan sia-sia.
Pernah suatu ketika, aku berpapasan dengannya di koridor sekolah, mataku melirik malu-malu sambil menyunggingkan senyum lalu berharap memperoleh perlakuan yang sama darinya. Oh My God,wajah itu terlampau cuek seakan yang ku lakukan hanya angin lalu. Huh, mirisnya.
“Bilaaa!” Sapa Nina, sahabatku. Kebiasaan buruk cewek centil ini adalah sangat gemar memberi kejutan disaat orang lain tenggelam dalam keseriusan. Salah satunya seperti saat ini. Aku yang lagi asyik nulis diary tentang Peter seketika gelagapan dan harus menyembunyikan semu wajahku yang merona.
“Eh, ngejutin aja, Loe!” Aku merespon Nina sambil menyembunyikan diary ini dalam cengkeraman tanganku di belakang tubuh. Entah mau taruh dimana lagi wajah gugupku ini, sementara Nina terus menggodaku sambil mencoba merebut benda bersampul pink pudar itu. Matanya lebih tajam setajam seekor kucing yang mengintai tikus dibalik lemari.
“Hayoo! loe curhat lagi, ya? Apaan sih loe, sahabat ada, ngapain curhat-curhat di dear diary segala, sok puitis!” Ejeknya sambil berkacak pinggang.
“Huh, dasar! Pengen tau aja rahasia orang. It’s secret. It is about feeling, susah buat diungkapin!” Aku tak mau kalah seraya mejulurkan lidah padanya. Gadis itu berbadan mungil, tingginya selisih lima belas senti dariku.
Nina menatap mataku tajam, kemudian berjinjit seakan mendekatkan wajahnya tepat di depan wajahku. Dekat, semakin dekat. Hingga membuatku risih karena dilihat manusia-manusia yang bertengger di koridor. Mulutnya perlahan mendekati telingaku dan membisikkan sesuatu.
“Loe harus tau, Bil, ini tentang Peter. Itu manusia robot udah pacaran sama boneka borbie”.
Halilintar menjerit tepat di atas kepalaku. Giliranku yang menatap tajam Nina dan ia perlahan menjauhkan wajahnya dari tatapanku. Aku menunduk.
Sakit memang!
Sakit sekali rasanya.
Pria itu ternyata juga tertarik pada gadis cantik. Selama ini, tidak sedikit wanita cantik yang mendekatinya namun tak satupun yang digosipkan berhasil mendapatkan hati Peter. Mulai dari Bellinda, senior yang mengerjai Peter habis-habisan saat pelaksanaan Ospek dua tahun lalu, sok garang, yang akhirnya diketahui sudah lebih dulu naksir Peter. Ada juga Reiza, cewek aktif organisai pemilik tubuh tinggi semampai, cantik luar dalam, namun gagal mendapatkan hati Peter. Selain itu ada Jelita, seorang yang tidak hanya cantik, juga pintarnya luar biasa. Dan banyak lagi perempuan-perempuan kece pengagum kelas berat yang akhirnya bernasib sama dengan Belinda, Reiza, dan Jelita.
Kini, habis sudah kesempatanku. Aku menarik napas letih. Roger menjatuhkan pilihannya pada Yofanna, yang sering dijuluki “boneka barbie” karena wajahnya memang imut, dan tingginya mencapai 174 cm. Tapi Nina lebih suka menjulukinya “boneka Borbie”, karena selalu membanggakan dirinya di depan khalayak. Menurutku, dibanding Yofanna, Reiza punya wajah yang tidak kalah cantik dan anggun. Dia juga ramah dan sangat peduli. Tapi, tentunya setiap orang punya selera yang berbeda, apalagi pria dingin seperti Peter.
“Woy! Apaan sih melamun? Kasih respon, kek?”. Nina jengkel setengah mati mendapati sahabatnya yang memasang wajah tak suka.
“Respon? apanya? Ya baguslah berarti dia normal” jawabku berusaha meyembunyikan kekecewaan ini.
“Normal? Aduh, Biella. Coba sini tatap gue.” Nina melekatkan kedua tangannya di kedua sisi wajahku. “Bilang sama gue, kalo loe baik-baik aja.” Lanjutnya lagi. Aku menyingkirkan tangannya.
“Apaan sih, Nin? Yaudahlah. Biarin aja. Lagian dia juga cuma masa lalu gue. Nggak pent..”
Kata-kataku terputus ketika dua manusia yang diceritakan Nina itu berlalu di depan mata. Dua manusia yang sangat bahagia. Peter dan Yofanna. Berpasang-pasang mata pun iri bercampur tak percaya melihat kemesraan mereka, terlebih aku. Kubalikkan tubuh 160 derajat agar pemandangan itu tak terlihat jelas. Kutundukkan pandanganku karena merasa hal ini lebih baik daripada harus memaksa menyaksikan bukti langsung berita dari Nina. Setelah derap langkah mereka kian terasa jauh, kuberanikan diri menatap sekitarku lagi. Dan orang pertama yang kulihat adalah Nina yang menggelengkan kepalanya tak menyangka.
***
Sama halnya sepertiku, ibu juga tipikal wanita yang hobinya menyimpan perasaan. Ingin selalu ditebak bagaimana mood-nya setiap hari. Bukan cuma aku yang menyelinap dalam tumpukan tanya mengapa ibuku seperti ini, terlebih Ayah. Namun Ayah lebih terlatih dengan sikap ibu yang selalu minta diperhatikan. Ya, begitulah. Dan aku berharap akan jauh lebih baik saat menjadi istri dan ibu dari anak-anakku nanti. Pekerjaan sampingan ibu adalah membuka toko penyewaan kostum-kostum lucu. Yah, itulah bisnis sampingan keluarga kami dari Nenek. Semenjak Nenek meninggal, ibu menjadi satu-satunya penerus toko yang di dominasi oleh kostum tokoh kartun terkenal itu.
Dalam dua hari terakhir ini keadaan Ibu jauh lebih baik. Senyumnya merekah dimana-mana bersama sebuket bunga mawar ditangannya. Ada apa lagi ini?.Entahlah. Aku menerka-nerka jika ibu sedang selingkuh. Namun, ketika ingin menyelidiki, langsung saja ibu menimpali bahwa bunga itu adalah kiriman dari anak laki-lakinya.
Siapa lagi itu?
Bisa dihitung berapa kali aku dibuat bingung dengan sikap ibu. Aku merupakan anak semata wayangnya, mana ada anak lain lagi? lebih hebatnya lagi, ayah masih saja bersikap cuek dan langsung percaya dengan pengakuan ibu begitu mudahnya. Tapi tidak bagiku, karena aku dapat membaca ribuan kekeliruan ini. Akhir ini, banyak keganjilan lain yang menimpa ibu, juga diriku.
@Ardhio_Prantoko hehe, terima kasih sudah membaca :)
Comment on chapter Pemilik Tatapan Teduh