Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cerita Milik Sailendra
MENU
About Us  

Namaku Hara dan rumahku di pinggiran kota dekat hehutan. Dekat beriak sungai kalau ingin dengar.           

Rumahku sebuah bangunan baru dengan pagar-pagar kayu. Kemarin kami kemari. Menempati sebuah rumah yang telah lama jadi. Sebuah model rumah antik yang jauh dari pusat kota.

Aku pernah memprotes keras. Lokasi rumah kami jelas sangat tidak strategis. Jauh dari hiruk pikuk kota yang serba ada. Serba tersedia. Pusat belanja, area hiburan, fasilitas kesehatan dan segala. Kupikir akan sangat menyulitkan diri sendiri untuk hidup di sini.

Tapi akhirnya protesku percuma, tentu saja. Ada proyek kerja yang mengharuskan ayah dan jelas seluruh keluarganya untuk tinggal dekat hehutan. Meneliti salah satu aspek biosfer, tetumbuhan.

Dengan berat hati. Aku akhirnya menyerah dan menyetujui kehendak Ayah. Kehendak ibu juga. Aku benci. Benci pada proyek kerja ayah yang kerjanya meneliti, sampai harus dekat hutan begini.

“Berapa lama kita akan tinggal, Yah?” Pernah aku bertanya.

“Sampai ayah berhasil, dan merangkum penelitian ayah dalam sebuah jurnal istimewa.”

“Jurnal istimewa?”

Ayah mengangguk. Ada sekelumit rasa puas di wajahnya ketika menyebut kata ‘istimewa’.

Maka kutanggalkan euforia kota. Melepas lambai tangan selamat tinggal pada teman-teman sejawat. Lingkunganku. Video game-ku, karena tentu saja, lokasi rumah kami yang dekat hutan tidak memungkinkan jaringan internet bersarang di sana. Aku akan kehilangan banyak hal. Belum lagi, menurut ayah, aliran listrik di sini, tidak selalu bisa sampai di bohlam-bohlam lampu rumah kami.

“Sampai segitunya, Yah?”

Ayah mengangguk. “Santai saja. Hutan akan mengenalkan kita pada kehidupan yang baru.”

Aku berusaha mengerti.

 “Bagaimana sekolahku, Yah?”

“Sebentar saja, Hara. Bersabar. Hutan akan mengajarkan kita banyak hal. Cepat atau lambat, kita pasti kembali.”

Sekarang aku benar-benar ingin paham apa maksud kalimat klise yang baru saja ayah layangkan.

                                                                                     

Ini hari kesekianku di rumah baru. Kebosananku pada hari-hari yang bisu. Sunyi. Senyap. Aku ingin dengar teriak.

Teriak guyon seperti di sekolah. Mereka, kawanku ramai. Berbincang-bincang. Dan di hari ini, aku menyesal kenapa aku memilih untuk mengalah pada ayah.

Ketika aku keluar kamar, kudapati ibu sedang membaca buku di ruang tamu, pada sebuah sisi yang jendelanya ia buka lebar-lebar.

“Bu, aku ingin pulang.” Kataku.

Ibu mengalihkan perhatiannya padaku. “Pulang? Ini rumah kita, Sayang.”

“Aku bosan. Aku ingin kembali sekolah. Belajar dan memiliki teman.”

Ibu menatapku. Pikirannya sedang mengolah kalimat. “Ayahmu perlu berada di sini. Melancarkan pekerjaannya. Bersabarlah barang sebentar.”

Aku diam.

“Di belakang rumah kita terhampar hutan Tuhan, Hara. Banyak makhluk hidup di dalamnya. Barangkali dengan berjalan-jalan ke sana sebentar, kau akan mendapati banyak keajaiban.”

Kuturuti saran ibu. Melangkah menuju hutan. Mengira-ngira di mana ayah berada. Penelitian macam apa yang ia praktekan di hutan ini sehingga kami sampai harus pindah dan tinggal.

Tumbuh semak belukar di bagian terluar hutan. Menyambutku. Ada jalan setapak di dalamnya. Seperti daun-daun yang baru dipangkas. Basah karena embun. Aku  terus masuk. Mencari jejak ayah sambil menyeru-nyerunya.

Tiada jawab, lengang. Tidak tahu sampai sejauh mana ayah menerobos ke dalam demi mencari apa yang ia ingin tahu. Demi sebuah jurnal.

Pepohon mulai menjulang naik di atas kepalaku. Batang-batang kayunya marambah jauh. Cahanya mulai kurang dan remang. Udaranya sejuk. Sesekali terdengar nyanyian burung pelan. Seakan menambah ramai. Padahal hanya kicau.

Aku menyeru ayah lagi. Tapi mungkin frekuensi suaraku tidak menjangkau gendang telinganya. Jadi aku berhenti mencari jejak peneliti itu, dan menikmati suasana hutan belakang rumah..

Aku tertarik untuk bersandar di salah satu pohon. Duduk dan mendengar nyanyian hutan berkomposisikan kicau mahluk bersayap.

Seketika, aku merasa sangat tenang.

Dan ketika perasaan tenang itu membawaku jauh, aku mendengar irama. Hampir seperti nada. Dan ini bukan dari burung atau gemerisik daun, ini suara manusia.

Seorang manusia di tengah suatu rimba? Aku lebih khusyuk mendengar lagi. Tetap tenang dan tidak ingin gegabah.

Benar, ini nada! Seperti lagu. Dendang seorang manusia. Makin lama aku diam dan bersikap tenang, nyanyian itu semakin terdengar jelas. Lagu itu mengalun lembut di sela telinga.

            Semakin jelas dan lugas. Sebuah suara manusia. Menyenangkan.

Lama aku berdiam diri di tempat, di bawah sepohon rimbun. Dan akhirnya pemilik nyanyian yang tidak pernah aku tahu siapa itu menampakkan sosok. Seorang remaja lelaki dengan baju dari kulit pohon dan ikat kepalanya.

Aku terperanjat, tapi tidak berteriak. Nyanyiannya berhenti.

“Ada orang lain di sini?!” Orang yang baru saja menampakkan diri itu, malah bertanya kepadaku. Agak terkejut.

Aku diam, dan menatap wajahnya. Seorang lelaki. Rambutnya acak-acakan dengan anak rambut yang menjuntai-juntai.

“Siapa, dan sedang apa kau di sini?!” katanya seraya mengatur napas.

“Aku Hara, pemilik rumah baru di tepi hutan sana.”

 Sekarang ia diam. Memperhatikanku. Seorang anak perempuan di rimba hutan.

“Dan kau siapa?” kataku. Berani bertanya karena remaja lelaki itu tidak terlihat berbahaya.

“Aku Sailendra.”

“Jadi, Apa kau tidak merasa terganggu aku berada di sini?” kataku santun.

“Tidak, selama kau tidak membocorkan rahasia perihal keberadaanku di sini!”

“Keberadaanmu? Oh, tidak. Tenang saja. Tenang. Aku tidak akan membahayakanmu.” Aku memaksakan diri tersenyum. Menenangkan anak lelaki itu. “Jadi, siapa kau?”

“Aku Sailendra!”

Aku melipat senyum kembali. “Ya, Sailendra. Tapi maksudku bukan itu. Siapa kau? Bagaimana kau bisa berada di sini?”

“Baiklah, kuulangi. Namaku Sailendra. Sudah emm…” Sailendra menghitung jarinya. “Dua puluh dua bulan aku di sini. Hampir dua tahun. Melakukan pelarian dari kehidupanku di kota.”

“Kenapa?” Kataku lagi berusaha tenang mendapati fakta bahwa seseorang telah merasa harus pergi dari kehidupan sebelumnya di kota.

“Aku ingin lebih menyatu lagi dengan bumi. Sadarkah kau bahwa makhluk hidup di dunia ini tidak hanya manusia?!” Ia mengatur napas kembali. “Ada tiga aspek biosfer. Dua lainnya yang kita, sebagai manusia lupakan, hewan dan tumbuhan. Kita hanya mengeksploitasi mereka saja! Tanpa mengerti. Mengekstrak sari-sarinya. Jarang melakukan komunikasi dan tidak pernah bicara dari hati ke hati.” Napasnya memburu.

Aku terperangah. Apa yang baru saja anak lelaki ini katakan? Bicara dari hati ke hati, dengan hewan dan tumbuhan?

Tapi aku tetap tenang dan semakin penasaran dengan orang ini. “Kemudian bagaimana kau menjalani hidupmu? Bagaimana orang tuamu? Dan bagaimana hewan dan tumbuhan bisa bicara padamu?!”

“Astaga. Tunggu! Satu-satu! Beginilah hidupku. Hidup seorang diri di jantung hutan, mendirikan rumah panggung kecil dengan sebuah ruang tamu. Sebuah ruang tamu untuk menyambut mereka, tamu-tamuku! Koloni hewan, rerambat tumbuhan.”

Aku diam. Terkesan mendengarnya bicara. Luar biasa dan terlalu berani. “Jawab pertanyaanku yang selanjutnya…” kataku berbisik.

“Hari sudah siang, Hara. Temui aku lain kali. Di tengah hutan.”

Kemudian Sailendra pergi. Seperti terburu-buru, ia setengah berlari.

                                                                                           

Malamnya aku tidak bisa tidur. Bayangkan saja, ada seorang anak yang tinggal di tengah rimba. Seorang diri. Ingin berinteraksi dengan makhluk hidup selain manusia? Namanya Salendra. Gila!

Maka ketika subuh menjelang, aku terjaga dan ingin tahu jam berapa sekarang. Terlihat ayah sedang menyiapkan alat-alat penelitiannya.

“Yah,” aku berbisik.

Ayah memandangku. “Ah, selamat pagi, Hara! Senang melihatmu sudah terjaga sepagi ini.”

“Yah, apa ayah pernah melihat seorang anak lelaki di dalam hutan sana?” kataku bertanya hati-hati.

“Seorang anak laki-laki?” Ayah menggeleng. “Tidak. Sepanjang ayah melakukan penelitian, tidak ada seorangpun di sana. Ada apa? Jadi kau melihat seseorang di sana?” Ayah menyelidik.

“Tidak yah. Tidak. Bunga tidurku, Yah.”

“Oh.” Ayah memalingkan perhatiannya lagi. Memasukkan pena-pena ke kantung ranselnya. “Baiklah.”

Ayah tidak melihat siapapun. Artinya, anak lelaki itu memang tidak diketahui keberadaannya.

Jadi aku hanya menunggui ayah pergi dan menyiapkan perbekalanku sendiri.

Demi mendapati cerita seorang anak lelaki penuh misteri.

                                                                                   

Atmosfer hutan agak mengerikan kala matahari belum tampak begini. Aku waswas mengenai binatang buas atau populasi hutan apapun yang dapat membahayakan. Headlamp-ku menjelajah, mencari celah. Menuruti jalan setapak. Menerobos jantung hutan hingga aku dengar nyanyian.

Anak lelaki itu identik dengan nyanyiannya yang merdu didengar. Ketika fajar begini, aku agak heran juga kenapa seseorang memutuskan bernyanyi. Tapi ketika kulihat batang hidung anak itu di sebuah rumah panggung kecil dengan obor api di sekelilingnya, heranku lenyap. Rasa ingin tahuku memburu. Anak itu. Aku harus tahu alasan-alasan tidak masuk akalnya. Aku harus mengerti. Kenapa. Sailendra. Bisa. Senekat. Ini.

“Hey!” Kataku memekik. Sailendra menoleh. Mengehentikan nyanyiannya.

            “Jangan berisik,” balasnya seperti merasa terusik. “Tidak sepagi ini, Hara.”

            Aku tidak peduli. Kuhampiri Sailendra. “Ceritakan padaku. Apapun itu. Kau tidak dapat kumengerti.”

            “Apa urusanmu?!” Katanya agak ketus.

            Aku diam. Kemudian sadar, agaknya aku terlalu memaksa.

            “Pergi sana. Jangan membahayakanku.” Kata Sailendra.

            Aku diam. Memelas. Meminta maaf dengan isyarat.

            Sailendra mengalah. Ia menyila kakinya. “Jadi apa kepentinganmu?” katanya setengah berbisik.

            “Namaku Hara. Aku perlu tahu, karena aku ingin tahu! Namaku Hara, dan aku sama sekali tidak akan membahayakanmu.”

            Anak lelaki itu berdeham.

            “Jadi Hara, mengenai pertanyaanmu kemarin, begini… Aku mendedikasikan diriku untuk alam. Ini hanya segelintir rasa terimakasihku pada mereka. Aku berusaha jadi kerabat yang baik. Memberikan apapun yang kumiliki. Menganalisa apa yang mereka butuhkan. Membalaskan rasa sakit hati mereka dengan cara menghancurkan para penghancur.

            Aku berinteraks, bagaimana caranya agar sekomunikatif mungkin. Merawat penuh kasih. Menyanyikan lagu. Menjadi suatu elemen baru yang selama ini tidak mereka miliki.

            Dan usahaku berhasil, Hara. Mereka mencintaiku, mereka tumbuh dan berkembang dengan baik. Mereka memberikan banyak hal bagiku. Mengajarkan arti kehidupan sebenarnya. Bahwa hakikatnya hidup adalah untuk berbagi. Saling mengasihi. Tidak berlomba-lomba untuk menyakiti.

            Di hutan ini, aku belajar banyak. Mereka teman yang baik. Menjadi tameng bagiku untuk melindungi dari serangan apapun. Mereka terlalu luar biasa, Hara.”

            Aku diam. Tidak mengerti, dan bingung hendak mengambil celah untuk bertanya.

            “Aku masih tidak paham, Sailendra.”

            “Baiklah, tentang pekerjaanku. Pekerjaanku sederhana, Hara. Melindungi mereka.  Aku suka duniaku. Aku suka pekerjaanku. Aku suka dicintai. Aku suka dilindungi. Dan dengan mereka, aku seakan punya segala.”

            Aku diam lagi. Sailendra terlalu rumit untuk dimengerti.

            “Jadi sekarang, Hara, lebih baik kau kembali. Ke rumahmu di tepi. Menikmati indahnya hutan dari kulit luarnya. Bagimu, itu cukup.”

            Aku menurut. Lagi pula pertanyaanku sudah menggumpal dan aku bingung bagaimana caranya untuk mengerti.

            Ketika sampai rumah, cahaya matahari sudah merambah-rambah.

                                                                                               

            ­Aku ingin cerita pada ibu, tapi aku juga tidak ingin mengingkari janjiku pada Sailendra. Tentang keberadaannya. Aku juga ingin melindunginya. Sama seperti flora fauna di dalam hutan sana. Sailendra ajaib. Betul, kata ibu. Di hutan belakang sana, aku akan menemui keajaiban. Sebuah keluarbiasaan Tuhan, lewat sebuah makhluk, manusia, bernama Sailendra. Aku suka caranya bercerita.

            Esoknya aku tidak pergi ke hutan belakang. Jawabannya kemarin fajar seakan membungkam segala tanyaku. Ini unik. Aku terlalu awam bagi pikirannya. Berbelit-belit dan mengakar.

            Pada minggu kesekian setelahnya, kuputuskan kembali ke dalam. Menemui Sailendra. Aku jatuh cinta dengan caranya bercerita. Tentang hidupnya yang luar biasa. Rambutnya yang acak-acakan. Gayanya berbicara. Bersamanya fajar itu, ia telah membuka jendela baru dari hidup manusia yang selama ini tak kasat mata.

Ketika tiba di sana, sebuah panggung kecil, aku tidak menemui Sailendra. Pun ketika aku melongokkan kepala untuk melihat ke dalam, aku tidak mendapati apa-apa. Tidak ada barang-barang. Sepi. Melompong. Seketika aku khawatir. Kemana manusia itu?

            Jadi aku sisiri petak panggung kecilnya, dan mendapati sebuah goresan kata dengan tinta pekat di atas daun yang sudah mati.

            Dan alangkah hancurnya aku;

            Dengan menemukan carik daun ini, berarti kau berusaha kembali ke sini, Hara.

            Satu hal yang perlu kau tahu, bahwa kau tidak akan bisa lagi menemuiku. Semuanya serba tersembunyi.

            Aku mengkhawatirkan diriku sendiri, Hara. Juga mereka, bagian hidupku.

            Kau sudah tahu terlalu banyak. Bagaimanapun itu akan membahayakanku. Bisa mengubah struktur hidupku yang sentosa dengan alam yang ada.

            Aku ingin percaya padamu, Hara. Tapi tidak bisa. Semua manusia hampir sama dan rata, mereka berpikiran sama. Memiliki naluri untuk merasa lebih tinggi. Mengeksploitasi makhluk selain diri mereka sendiri.

            Maafkan aku, Hara. Tapi hidupku terlalu sarat akan itu. Ini bukan hanya soal ketentraman dalam diriku. Tapi ini tentang hidup banyak nyawa.

            Tolonglah untuk tetap bungkam, Hara. Lenyapkan daun ini segera.

            Sailendra.

            Aku  terpaku di tempat setelah menuntaskan goresan tinta Sailendra. Aku kecewa, geram, hancur, dan lemas. Anak itu tidak tidak cukup mempercayaiku!  Mengapa bisa-bisanya ia menganggapku sama?

            Jadi kutinggalkan carik daun Sailendra, membiarkannya terbakar sinar matahari. Menyeret kakiku untuk segera pergi; panggung kecilnya yang tak berpenghuni.

            Tapi aku tidak akan lupa, bahwa pernah ada cerita tentang makhluk hidup di dunia milik seorang anak lelaki rimba bernama Sailendra. (*)

 

 

How do you feel about this chapter?

5 0 0 0 0 1
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Dia yang Terlewatkan
394      270     1     
Short Story
Ini tentang dia dan rasanya yang terlewat begitu saja. Tentang masa lalunya. Dan, dia adalah Haura.
The Cherlones Mysteries (sudah terbit)
20471      2293     13     
Mystery
Chester Lombardo dan Cheryl Craft tidak pernah menyangka kalau pembunuhan trilyuner Brandon Cherlone akan mengubah hidup mereka untuk selamanya. Selain bertemu dengan tiga sosok keluarga Cherlone yaitu Don, Sarron, dan Farah, mereka juga ikut menyingkap berbagai misteri dahsyat di dalam keluarga tersebut, selama 12 jam. Cerita ini menjadi pembuka kisah perdana dari Duo Future Detective Series ya...
Cinta Venus
566      317     3     
Short Story
Bagaimana jika kenyataan hidup membawamu menuju sesuatu yang sulit untuk diterima?
OF THE STRANGE
1103      603     2     
Science Fiction
ALSO IN WATTPAD @ROSEGOLDFAE with better graphics & aesthetics! Comment if you want this story in Indonesian New York, 1956 A series of mysterious disappearance baffled the nation. From politicians to socialites, all disappeared and came back in three days with no recollection of what happened during their time away. Though, they all swore something attacked them. Something invisible...
Teman Khayalan
1698      737     4     
Science Fiction
Tak ada yang salah dengan takdir dan waktu, namun seringkali manusia tidak menerima. Meski telah paham akan konsekuensinya, Ferd tetap bersikukuh menelusuri jalan untuk bernostalgia dengan cara yang tidak biasa. Kemudian, bahagiakah dia nantinya?
Bye, World
7864      1855     26     
Science Fiction
Zo'r The Series: Book 1 - Zo'r : The Teenagers Book 2 - Zo'r : The Scientist Zo'r The Series Special Story - Bye, World "Bagaimana ... jika takdir mereka berubah?" Mereka adalah Zo'r, kelompok pembunuh terhebat yang diincar oleh kepolisian seluruh dunia. Identitas mereka tidak bisa dipastikan, banyak yang bilang, mereka adalah mutan, juga ada yang bilang, mereka adalah sekumpul...
Story of time
2379      939     2     
Romance
kau dan semua omong kosong tentang cinta adalah alasan untuk ku bertahan. . untuk semua hal yang pernah kita lakukan bersama, aku tidak akan melepaskan mu dengan mudah. . .