Raden Wijaya adalah pendiri Kerajaan Majapahit, nama ini terdapat dalam Pararaton yang ditulis sekitar akhir abad ke-15. Padahal menurut bukti-bukti prasasti, pada masa kehidupan Wijaya (abad ke-13 atau 14) pemakai gelar Raden belum populer. Negarakertagama yang ditulis pada pertengahan abad ke-14 menyebut pendiri Majapahit bernama Dyah Wijaya. Gelar “dyah” merupakan gelar kebangsawanan yang populer saat itu dan menjadi cikal bakal gelar “raden”. Istilah Raden sendiri diperkirakan berasal dari kata Ra Dyah atau Ra Dyan atau Ra Hadyan.
Nama asli pendiri Majapahit yang paling tepat adalah Nararya Sanggramawijaya, karena nama ini terdapat dalam Prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294. Gelar Nararya juga merupakan gelar kebangsawanan, meskipun gelar Dyah lebih sering digunakan.
“Hei serius amat. Ngapain sih disini ?” tegur seseorang yang baru saja hampir membuat jantungku terlepas dari tempatnya.
Aku mengalihkan pandangan mataku dari buku yang sedari tadi sedang aku baca kepada orang yang sekarang berada di depanku.
“Ngagetin tau Na.” sahutku kesal kepada temanku Arna yang baru saja hampir membuatku jantungan.
“Lagian gaya lo, biasanya istirahat juga nongkrongnya di kantin, tumben-tumbenan ini udah nongki di perpus. Kesambet apa temen cantik gue?” tanya Arna yang sekarang sudah duduk dihadapanku.
“Suka-suka gue lah.” jawabku cuek yang dibalas dengan cibiran Arna.
Benar kata Arna, sahabatku yang paling tak bisa diam itu. Bahwa hari ini adalah hari yang ‘tumben’ untukku, aku pun tak tahu mengapa aku yang biasanya saat jam istirahat begini ada di kantin malah berada di perpustakaan hari ini. Masalahnya perpustakaan adalah tempat yang paling anti untukku kunjungi selama hampir 17 tahun aku hidup di dunia ini. Setidaknya itulah yang pasti ada dibenak Arna dan kedua sahabatku Ismi dan Gina. Ngomong-ngomong tentang Ismi dan Gina, aku celingak-celinguk mencari keberadaan dua gadis itu. Bukan apa-apa, biasanya ketiga sahabatku itu jarang berada di tempat yang berbeda saat berada di sekolah. Tak menemukan kedua makhluk itu, aku lantas melirik kearah Arna yang kini telah menekuni gawai miliknya.
“Na, Ismi sama Gina kemana tumben gak lengket sama lo.” tanyaku yang sudah menutup buku berjudul “Modern : Sejarah Majapahit”di tanganku.
Arna mendongak menatapku sekilas, matanya kembali menatap kearah benda gepeng di tangannya yang sedang menampilkan sebuah aplikasi yang akupun tak tahu apa itu. Kurang ajar ini orang, aku mengumpat pelan dalam hati.
Oke, daripada dongkol sendiri karena kelakuan Arna, mending aku memperkenalkan diriku dulu kepada dunia, siapa tau ada agensi yang tertarik untuk kerjasama denganku. Ehm ehm... perkenalkan namaku adalah Nareswari Gayatri Rahadyan, saat ini aku duduk dibangku SMA kelas XII, tepatnya kelas XII IPA 3. Aku adalah anak kedua sekaligus anak perempuan tunggal dari tiga bersaudara pasangan Wijaya Rahadyan dan Indreswari Tunggadewi. Kakakku bernama Rajanagara Rahadyan, ia kini bekerja sebagai dokter di salah satu rumah sakit di Jakarta. Sedangkan adikku bernama Hayam Tungga Rahadyan kini ia duduk di bangku kelas X SMA, sekolah yang sama sepertiku SMA Garuda. Banyak orang menyebut keluargaku dengan sebutan “Keluarga Majapahit” karena nama ayahku sendiri hampir sama atau bisa dikatakan sama dengan raja pertama Majapahit dahulu. Nama ibuku pun demikian, nama ibu sama dengan salah satu istri Raden Wijaya. Sedangkan kakakku yang biasa dipanggil Gara, mengutip nama dari raja kedua Majapahit yaitu Jayanagara, kemudian namaku sendiri dikutip dari salah satu istri raja Majapahit yang bernama Gayatri. Dan terakhir adikku Hayam, namanya juga diambil dari salah satu raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1350-1389 yaitu Hayam Wuruk.
Saat ini aku tinggal di kota pelajar, Yogyakarta. Meskipun aku termasuk orang baru disini mengingat baru dua tahun aku menetap dikota ini karena harus ikut ayah mutasi kerja, namun aku senang karena di Jogja ini aku bisa menemukan teman-teman yang asyik dan pemandangan yang tak sebising kota Jakarta membuatku lebih nyaman tinggal di kota ini.
“Gue mau balik ke kelas, lo mau disini aja Na?” tanyaku kepada Arna yang masih asyik dengan gawai di tangannya. Aku pergi meninggalkan Arna yang menatapku dengan pandangan bertanya.
---
Keadaan kelas masih sama seperti saat jam istirahat pertama kemarin. Beberapa anak yang telah kembali dari kantin ataupun yang tidak pergi ke kantin karena membawa bekal dari rumah kini tengah berceloteh ramai di dalam kelas.
“Lo tadi baca apaan sih Res, ko tumben ke perpus ?” tanya Arna saat kami berdua sudah memasuki kelas.
“Mau tau aja lo.”
“Pelit lo Res, lo baca majalah dewasa jangan-jangan yah?.”
Sungguh, saat ini aku ingin sekali melemparkan sepatu ke dalam mulut Arna yang tak pernah disaring itu, gimana bisa sih diperpustakaan sekolah ada majalah dewasa, emang dia pikir perpustakaan itu sama apa kaya tempat loakan di pasar malam. Arna emang sinting.
“Sinting lo lama-lama. Kelamaan jomblo sih.” balasku sambil menjitak kepala Arna.
“Yeee, lo kali tuh yang jomblo, gak sadar apa. Jomblo kok ngomongin jomblo.”
Aku mengabaikan ledekan dari Arna dan memilih untuk duduk di kursiku.
“Hari ini ada ulangan yah ? makanya tadi lo ke perpus ?” tanya Arna lagi masih saja penasaran perihal mengapa aku berada di perpustakaan tadi.
“Iya. Hari ini ada ulangan, FISIKA lagi. Gua gak tau gimana ntar lo ngerjain soalnya. Pak Rigo kan killer tuh.” Jawabku sembari menekankan pada kata ‘Fisika’ dalam-dalam. Biar tau rasa tuh si Arna aku kerjain. Bukannya aku anak yang suka berbohong loh ya, saat ini aku sedang tidak ingin ditanyai apa-apa oleh siapapun, tadi saja aku pergi ke perpustakaan secara diam-diam tanpa diketahui Arna, Ismi ataupun Gina. Entah bagaimana si Arna akhirnya bisa menemukanku yang sedang membaca buku di perpustakaan.
“Sumpah lo hari ini ada ulangan fisika?” Arna kini sudah tak bicara santai lagi melainkan berteriak dan menggebrak meja yang membuat seluruh ruang kelas heboh karena teriakannya. Dasar Arna dodol. Biarin aja deh ah.
Aku mengeluarkan earphone dan menyambungkannya kepada smartphone milikku lantas memilih sebuah lagu dari daftar playlist untuk ku putar. Aku buka sebuah buku yang sedari tadi di perpustakaan ku baca, sedangkan di sebelahku Arna mulai ribut membolak-balik buku yang aku tebak pasti buku fisika. Aku memandang ke sekeliling kelas dan mendapati seluruh anak kelas XII IPA 3 sedang sibuk membolak-balik bukunya setelah mendengar berita ‘menghebohkan’ dari Arna barusan. Aku sedikit merasa bersalah karena telah membohongi Arna tentang ulangan fisika tersebut. Tapi ya sudahlah yah,, gak ada salahnya juga membuat seluruh kelas menjadi anteng begini. Hehe..
Namun ketentraman yang barusan tercipta itu kini mulai memudar digantikan seruan-seruan lebay anak-anak perempuan di kelasku dan dengusan anak laki-laki setelah mendengar Kurni-si mantan ketua ekskul tari-menyebarkan rumor bahwa hari ini ada murid baru yang katanya adalah seorang cowok akan masuk ke kelas XII IPA 3, kelasku. Arna yang ada di sebelahku mengalihkan perhatiannya ke arah Kurni dan sedikit memicing kearahnya.
“Eh Eh Kurnilanak, jangan nyebar rumor murahan dong. Hari ini mau ulangan Fisika tau. Lo mending duduk deh, nggak cape apa berdiri di atas meja kayak mbak kunti gitu.” cerocos Arna yang merasa kesal karena fokusnya dirusak oleh si Kurni.
“Arnakan kambing, itu mulut dijaga Yaw. Ngatain gue, punya kuasa apa lu disini berani ngatain gue. Ngajak ribut lo... Haa.” balas Kurni dengan tak kalah sengit karena mendengar ejekan yang baru saja Arna lemparkan.
Baru saja Arna akan membuka mulutnya, Kurni sudah kembali melontarkan perkataannya yang membuat seluruh murid di kelasku menghela nafas lega namun selanjutnya Arna memberiku tatapan maut.
“Kata siapa hari ini ada ulangan Fisika, tadi gue ketemu sama Pak Rigo, katanya hari ini dia gak bisa masuk karena mau workshop di Pekalongan. Lo kali tuh yang nyebarin rumor. Dasar Arnakan sapi.”
Aku memberikan tatapan eyesmile disertai cengiran khas milikku tak lupa dua jari yang kubuat menjadi tanda peace kepada Arna. Arna mengangkat tangannya kearahku seperti gerakan orang yang hendak menempeleng, namun ia mengurungkannya. Karena akupun tahu sekesal apapun Arna kepadaku, tak mungkin sahabatku yang satu ini akan bermain tangan kepada siapapun.
“Maaf, gue becanda tadi Na. Abisnya elu berisik sih.” Aku menangkupkan tanganku sedikit merayu Arna agar segera memaafkanku.
Bu Ratni, wali kelasku memasuki ruang kelas diikuti seorang siswa yang ehm... lumayanlah buat jadi kecengan. Bu Ratni mendelik kearah Kurni yang buru-buru turun dari atas meja, beliau menyuruh seluruh penghuni kelas untuk kembali tenang. Bu Ratni ini memang terkenal sebagai guru dengan julukan dawa ususe* daripada guru lain di SMA Garuda ini, meskipun muridnya sudah melampaui batas kenormalan dalam berperilaku, ia dengan kesabarannya itu tidak pernah main urat apalagi main tangan dalam menghadapi semua anak didiknya. Duhh guru favorit emang hehe...
“Langsung saja karena ibu hari ini ada rapat. Kelas kita kedatangan murid baru, semoga kalian bisa berteman dengan baik kedepannya. Esa silahkan perkenalkan diri kamu.” Bu Ratni mempersilahkan kepada anak baru untuk memperkenalkan dirinya. Anak baru itu maju selangkah bersiap memperkenalkan diri.
“Nama saya Mahesa Aji Shaka Haridra. Mohon kerja sama teman-teman selama kurang lebih satu tahun kedepan.” ucap murid baru tersebut singkat jelas dan padat. Aji Saka ? tanpa sadar aku terkekeh, membuat seluruh pandangan dari penjuru kelas memandangku aneh, tak terkecuali si murid anyar*. Aku sedikit terkejut ketika mendapati Bu Ratni menatapku garang. Buru-buru kukembalikan posisi dudukku yang telah condong ke samping.
“Nares copot itu sumpelan di telinga kamu.” ucap Bu Ratni tajam namun tak kehilangan sifat pengendalian dirinya yang kuat.
Aku segera meraba kabel yang menjuntai di sekitar leherku, tak menyangka benda itu masih menempel ditelingaku.
“Copot!!” ulang Bu Ratni dengan nada dingin yang mengerikan karena sedari tadi aku tak melaksanakan perintahnya.
“Iya Iya Bu. Lagian juga udah gak ada suaranya kok. “ Aku berkata pelan sepelan bulu kapas yang terbang tinggi sembari melepaskan kabel earphone yang tersumpal di telingaku. Sebenernya setelah tadi mengetahui kemunculan Bu Ratni, aku langsung mematikan musik di smartphoneku tapi yah gitu kebiasaan lupa untuk melepas earphone tak bisa kuhindari.
Bu Ratni mengalihkan pandangannya kepada Esa si murid baru yang berdiri di depan kelas itu.
“Ya udah Esa kamu bisa duduk dimana aja terserah, ibu mau rapat. Ibu tinggal jangan rame kalian mengerti?” pesan Bu Ratni kepada si anak baru sekaligus kepada seluruh penghuni kelas.
“Iya Buuu....” suara kompak anak-anak yang sarat akan nada kesenangan karena mendapat jam kosong terdengar memekikkan telinga.
Aku kembali memasangkan kabel ke telingaku, kali ini lagu John Mayer mengalun halus di pendengaranku. Memfokuskan mataku kearah buku “Modern : Sejarah Majapahit” aku mulai tak memperhatikan lagi keadaan kelas yang kini sudah dipenuhi kebisingan.
Sabda Palon dan Naya Genggong memberikan gambaran apa yang bakal terjadi kelak di Nusantara : Semenjak hari kehancuran majapahit, ‘kesadaran’ masyarakat Nusantara akan jatuh ke titik yang paling rendah. ‘Kulit’ lebih diagung-agungkan daripada ‘Isi’. ‘Kebenaran Yang Mutlak’ dianggap sebagai milik golongan tertentu. Dharma diputarbalikkan. Sampah-sampah seperti ini akan terus tertumpuk sampai lima ratus tahun kedepan! Dan bila sudah saatnya, Alam akan memuntahkannya. Alam akan membersihkannya.
-Sabda Palon karya Damar Shashangka.
Majapahit adalah sebuah kerajaan besar, sebuah emperor. Dan wilayahnya membentang dari ujung utara pulau Sumatera sampai Papua. Bahkan, Malaka yang sekarang dikenal dengan nama Malaysia, termasuk wilayah kerajaan Majapahit. Majapahit berdiri pada tahun 1293 M. Didirikan oleh Raden Wijaya yang bergelar Shrii Kertarajasha Jayawardhana. Di wilayah Asia, hanya Majapahit yang ditakuti oleh Kekaisaran Tiongkok China. Di Asia ini, pada abad XIII, hanya ada dua kerajaan besar, Tiongkok dan Majapahit.
Lambang Kerajaan Majapahit adalah Surya. Benderanya berwarna Merah dan Putih. Menggambarkan darah putih dari ayah dan darah merah dari ibu. Lambang naionalisme sejati, lambang kecintaan pada bumi pertiwi. Dan pada jamannya, bangsa kita pernah menjadi Negara Adikuasa, superpower, layaknya Amerika dan Inggris sekarang. Pusat pemerintahan ada di Trowulan, sekarang di daerah Mojokerto, Jawa Timur.
Kebesaran Majapahit mencapai puncaknya pada jaman pemerintahan Ratu Tribhuwanatunggadewi (1328-1350). Dan mencapai jaman keemasan pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (1350-1389), pada masa itu kemakmuran benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyat nusantara. Namun stabilitas Majapahit sempat koyak akibat perang saudara selama lima tahun yang terkenal dengan nama perang Pare-greg (1401-1406). Peperangan ini terjadi karena Kadipaten Blambangan hendak melepaskan diri dari pusat pemerintahan. Blambangan yang diperintah oleh Bhre Wirabhumi berhasil ditaklukan oleh seorang ksatria...
GUBRAKKKK.... PRAKK PRAKK PRAKK
“Ahhh ahhh sakit Kurni lepasin gue... Nares tolongin gue. Ismi, tolongin.” teriak seseorang yang tak lain dan tak bukan adalah Arna, terkejut mendapati posisi Arna yang sekarang terhimpit tubuh Kurni, aku melompat bingung menghampiri kedua gadis yang kini telah melanjutkan pergulatan sengit mereka dengan menjambak masing-masing rambut lawannya. Seluruh kelas kini meneriaki Arna dan Kurni, tapi tidak ada satupun yang melerai perkelahian mereka. Aku melepas kabel kecil yang sedari tadi menggantung di sekitar leherku kemudian berniat menghentikan aksi jambak-menjambak rambut antara Arna dan Kurni. Belum sempat aku melerai keduanya, seseorang berjalan menghampiri mereka dan menyentak tangan Arna dan Kurni.
“Norak.” Gevan, si ketua kelas kini berada di antara Arna dan Kurni yang masih memberikan tatapan ‘apa lo’ mereka. Gevan melepaskan genggaman tangannya dan kembali menuju kursi tempat duduknya bersama Dimas, si anak bad boy IPA 3 dan si anak baru, Mahesa. Aku menghampiri Arna, menyeretnya kembali ke tempat dudukku dan Arna yang berada di baris kedua paling belakang sisi paling pojok yang berhadapan langsung dengan pintu kelas.
“Lo ngapain sih jambak-jambakan gitu sama Kurni, udah tau tuh bocah songong mau-maunya aja lu diajak ngetrouble bareng dia.” ucapku kesal kepada Arna .
“Bahasa lo ngetrouble-troubel apaan deh.” balas Arna sambil mengaduk-aduk isi tasnya dan menarik keluar sebuah paket komplit peralatan sisir dan cermin cantiknya. Aku mendengus kesal melihat Arna yang kini tengah asyik merapikan rambutnya yang acak-acakan akibat insiden jambak-menjambak dengan Kurni barusan.
“Ismi, lo darimana aja sih? Kok baru nongol.” teriak Arna saat pandangannya tertuju kepada Ismi yang kini berada di ambang pintu kelas. Tatapan Ismi sedikit keheranan namun tak ayal ia menghampiri aku dan Arna.
“Kenapa Na ? ada masalah ya tadi ?” tanya Ismi yang kini telah duduk didepan bangku yang kududuki, tubuhnya ia hadapkan kebelakang untuk bisa terus mengobrol dengan aku dan Arna.
“Banyak.” jawabku menyindir membuat tatapan Ismi sepenuhnya tertuju kepadaku.
“Apaan Res?” tanya Ismi sekarang lebih condong kearahku.
“Tanya aja tuh ke Arna, gue juga gak tau masalahnya apaan tau-tau udah jambak-jambakan aja.” jawabku tak sepenuhnya berbohong, jujur saja aku tak mengetahui awal mula perkelahian ‘kecil’ yang terjadi antara Arna dan Kurni.
Arna menghela nafas panjang, ia meletakkan sisir ke dalam lipatan cermin yang tadi digunakan untuk merapikan rambut acak-acakan miliknya kemudian menghadap ke arahku dan Ismi. Berbisik pelan yang kemudian membuatku dan Ismi geleng-geleng kepala karena kelakuan kekanak-kanakan dirinya.
“Masa tadi dia bilang nama bokap gue ‘Yono’. Ya jelas gue gak terimalah, jadi gue katain balik aja ke dia. Eh dia malah jambak rambut gue, gue gak terima dong. Gue bales jambak dia jadinya.” terang Arna kepada kedua sahabatnya itu dengan nada bicara yang menggebu-gebu.
“Emang lo ngatain apaan sampe dia jambak lo gitu?” tanyaku penasaran juga. Ismi pun memberikan tatapan yang sama penasarannya sepertiku.
“Gue bilang nama bokap dia ‘Karto’. Sebenernya gue tahu sih kalo nama bokap Kurni tuh lumayan keren, siapa tuh Fernandez atau Gledes. Des-des gitu yah pokoknya itulah. Tapikan gue gak terima masa bokap gue dia panggil ‘Yono’ si Yono kan supir gue di rumah.” jelas Arna.
Aku dan Ismi mendengus kesal, ternyata awal pertengkaran sengit yang terjadi antara Arna dan Kurni terjadi hanya kerena saling mengejek nama panggilan orang tua mereka. Dasar kekanak-kanakan.
“Lain kali jangan diladenin kenapa tuh si Kurni, jadi gak kejadian kan jambak-jambakan kaya tadi.” saranku kepada Arna yang telah momonyongkan bibirnya lima senti.
“Eh tapi tadi katanya ada murid baru yah, bener?” tanya Ismi mengalihkan topik. Aku dan Arna kemudian balas mengangguk.
“Mana mana kok gue gak liat?” tanya Ismi yang sudah celingukan ke sekeliling ruang kelas. Aku mengernyit heran menatap Ismi, ah pantas saja. Saat ini Ismi memang sedang tidak memakai kacamata, jadi yah maklum saja kalau dia tidak melihat si murid baru duduk saat ini.
“Miopi lo parah banget yah Is, lagian pake tuh kacamata jangan taruh saku mulu. Si murid baru namanya Mahesa, itu lagi ngobrol sama Dimas.” Arna memang orang yang paling perhatian kepada sahabat-sahabatnya tak terkecuali Ismi yang kadang bandel tidak memakai kacamata padahal penyakit miopi* yang dideritanya sudah mencapai angka yang tak sedikit. Ismi mengalihkan tatapannya setelah sebelumnya sedikit menunduk untuk memakai kacamata minusnya.
“Wahh gila-gila ganteng coy... tapi kok duduknya bareng Dimas? Ntar ketularan nakalnya gimana? Aduh duhh duhh apaan sih Res.” mulut Ismi ini kadang mirip dengan Arna, gak bisa di rem. Aku memukul lengan Ismi dengan buku paket biologi yang tebalnya mengalahkan bantal di rumahku itu karena ucapan (baca : teriakan) Ismi yang sudah bisa kutebak akan membangunkan singa tidur yang duduk di samping Mahesa saat ini. Yap benar Dimas itu singanya IPA 3.
Note :
*dawa ususe : ungkapan dalam bahasa jawa yang berarti sabar atau sangat sabar.
*anyar : baru
*miopi : suatu kondisi mata dengan lensa yang terlalu cembung atau bola mata terlalu panjang, sehingga benda dekat akan terlihat jelas dan benda jauh akan terlihat kabur oleh si penderita.
wah miopi saya juga miopi nih hehe
Comment on chapter Bab 1 : Murid Baru dan Insiden