Nanda sedang berada dikamarnya, wajahnya begitu murung, sedari tadi ia ingin menulis sesuatu dibukunya, tapi entah kenapa dia sama sekali tidak tahu apa yang ingin dia tulis. Padahal hari mulai larut malam, tiba-tiba saja handphone didekatnya bergetar, Nanda tidak tahu nomor siapa itu, karena tidak tersimpan di kontaknya.
“Hmm siapa ya ini? Kayaknya aku belum pernah nerima telfon dari nomor ini sebelumnya. Angkat aja ah siapa tau penting.” Nanda mengangkat telfonnya dan kemudian suasana menjadi hening sebentar, Nanda bermaksud menunggu suara dari yang menelfon, namun setelah beberapa menit tetap tidak ada yang bersuara.
“Halo....ini siapa ya? Halo...maaf, apa salah sambung? Tolong jawab..halooo,” Nandapun memtikan telfonnya, ia merasa ngeri malam-malam begini seseorang menelfonnya dan setelah diangkat tidak ada suara.
“Wahh sumpah bikin ngeri aja sih, ada ya jaman sekarang orang yang suka neror gitu, gak banget tau gak, huh jadi kesel,” gerutu Nanda.
Paginya Nanda langsung bercerita ke Rani tentang kejadian yang ia alami tadi malam. “Asli ran, aku udah nunggu beberapa menit biar tu orang ngomong, ya akhirnya aku kesel kan nunggu lama-lama, aku tanya dong apa dia salah sambung, kira-kira siapa ya ran, jadi penasaran juga sih soalnya”, ujar Nanda.
“Yaudah lain kali gak usah diangkat nan, mungkin orang iseng aja, ingetin tuh nomornya atau gak simpen aja biar inget kalo dia nelfon lagi gak usah diangkat, atau blokir aja nomornya nan,” usul Rani.
“Nah iya bener juga, ak blokir aja deh, makasi ya ran.”
“Iya sama-sama, oh iya nan jadi gimana kabarnya Temu?”
Nanda terdiam, dia kembali membayangkan apa yang baru saja terjadi pada Temu, Nanda bingung apa sebaiknya menceritakannya ke Rani atau diam saja, karena ini merupakan aib keluarga Temu.
Akhirnya Nanda memutuskan untuk tidak bercerita ke Rani, Nanda ingin menunggu waktu yang tepat, tapi lebih bagus lagi apabila Temu yang menceritakannya sendiri kepada mereka.
“Kayaknya baik-baik aja ran, kita liat aja nanti, kapan Temu masuk sekolah lagi. Tapi.. aku berharap sih Temu segera masuk sekolah,” Nanda mencoba tersenyum kepada Rani, agar Rani tidak khawatir.
“Iya juga ya, yaudah deh kita nunggu Temu cerita sendiri aja, kita gak mugkin kan buntutin dia terus, dan maksa dia cerita ke kita. Mungkin aja Temu ada di fase males sekolah, dan saat dia masuk sekolah nanti jadi lebih bersemangat. Tau sendiri kan Temu itu siswa berprestasi, kita gak bisa pandang dia sebelah mata wkwk.”
“Bener banget kamu ran, semoga aja ya.”
***
Sepulang sekolah biasanya Nanda akan pergi bersama Rani atau Temu, dihari-hari tertentu Nanda ikut bimbingan belajar. Sore ini ia sudah siap dengan jaket kesayangannya dan masker, entah kenapa jika pergi sendirian keluar rumah, Nanda lebih suka memakai masker. Ia hanya tidak ingin dikenali orang lain, jika saja bertemu dengan temannya saat berjalan kaki di trotoar.
“Kamu mau kemana?” kebetulan ibu Nanda sedang berada dirumah.
“Mau cari angin keluar bu.”
“Kalau gitu ajak adik kamu ya, kasian dia gak ada temen main.”
“Gak bisa bu, nanti dia hilang, aku lagi yang disalahin, kayak kejadian waktu itu. Aku pergi dulu ya.”
“Tapi Nanda...” belum selesai ibunya bicara, Nanda sudah bergegas keluar rumah.
Dulu saat keluarga mereka pergi piknik bersama, Nanda disuruh mengajak adiknya beli eskrim, karena sibuk memilih eskrim adiknya hilang entah pergi kemana, untung saja ditemukan oleh penjaga disekitar taman itu. Nanda dimarahi habis-habisan karena kecemasan ibu, Nanda juga cemas sebenarnya, dia juga merasa bersalah, tapi ia merasa sangat sedih karena ibu tega memarahinya di depan umum. Sejak hari itu, Nanda benar-benar tidak ingin mengajak adiknya pergi berdua, kemanapun itu.
Setelah berlari sebentar, Nanda jalan kaki dengan perlahan, dia merasa begitu haus dan ingin mencari minuman es tebu.
Taman yang tak jauh dari rumahnya, dan bersebelahan dengan danau memang selalu ramai jika sore hari. Banyak yang menjual makanan dan minuman, berolahraga, piknik, bahkan berkencan.
“Pak es tebu nya satu ya, banyakin es batunya ya pak hehe.” Nanda memang memiliki kebiasaan aneh, dia selalu memakan es batu yang tersisa diminumannya, sudah seperti mengunyah roti saja.
“Siap neng, sendirian aja gak sama temennya neng?”
“Enggak pak, terkadang kita memang butuh waktu untuk sendiri, agar memikirkan banyak hal dengan seksama.”
“Puitis amat neng wkwkwk kelamaan jomblo ya?”
“Loh apa salah nya pak seorang jomblo, jomblo itu bahagia dengan cara nya sendiri.”
“Iya iya deh neng, ntar ngambek lagi.”
“Saya sih gak ngambekan orangnya pak, paling marah sedikit wkwk.”
“Nih neng udah jadi, langsung bayar ya neng”
“Iya pak, bentar saya ambil dulu uangnya,” Nanda mengecek sakunya
“Loh kok gak ada ya, perasaan tadi bawa uang, duh gimana nih, oooh iya lupa ya ampun, kan aku masukin lagi kedompet uangnya, dompetnya lupa bawa lagi,” Nanda berbisik pada dirinya sendiri.
“Emm pak gini aja deh, besok saya kesini lagi, nanti saya bayar deh dua kali lipat, saya jaji deh pak.”
“Haduh neng mana bisa gitu, saya gak bisa percaya gitu aja.”
“Duh gimana ya, tunggu pak, saya coba chat orang rumah dulu suapaya nganterin uangnya.”
Seseorang mendekati penjual tebu tersebut,
“Pak saya es tebunya satu ya, nih uangnya sekalian bayarin yang mbaknya.”
“Eh ma..ka...sih ya, loh Temu..ngapain disini, untung aja, ya ampun makasih makasih bangett pokoknya.”
“Lain kali kemana-mana bawa uang, mana bisa bayar minuman cuma modal nyengir.”
“Apaan sih, baru juga sekali kejadian kayak gini, jawab dong kamu ngapain disini?”
“Emangnya tempat ini punya kamu, aku juga bebas kali mau jalan kemana aja.”
Nanda menahan dirinya untuk tidak bertanya tentang apa yang dialami Temu, Nanda ingin berpura-pura tidak tahu.
“Eh mama kamu apa kabar? Kangen nih pengen ketemu, masak puding sama mama kamu.”
“Ngapain juga, ngerepotin mama aja, dia itu ngajarin kamu masak puding karena kamu yang minta kan, udah deh gak usah minta ajarin-ajarin lagi, masak juga palingan gosong semua.”
“Tapi kan pas masak puding enak tau, mama kamu gak ngerasa direpotin kok, kamua aja yang bawel.”
“Besok kan libur, kalo gitu aku main kerumah kamu ya, nanti aku ajak Rani juga, gimana? Boleh ngga?”
“Gak usah, males banget, ntar apa kata tetangga, anak cowok kok mainnya sama anak cewek terus, aku juga mau kerumah Rio besok.”
“Ohhh gitu....yaudah gak usah tanya-tanya kabar kami aja sekalian, gak usah minta bantuan aku sama Rani kalo ada masalah di sekolah, gak usah curhat-curhat ke aku sama Rani.”
“Gitu aja mukanya ditekuk, ya bukan gitu juga sih, pokoknya gak usah kerumah dulu lah.”
“Hmm yaudah gapapa.”
Nandatidak ingin memperpanjang percakapannya dengan Temu, dia hanya ingin duduk menikmati es tebu, dengan suasana langit yang mulai berwarna jingga.
“Aku pulang dulu ya, udah mau malem, kamu cepetan pulang juga kerumah,” ujar Temu.
“Kamu pulang naik apa? Rumah kamu lumayan jauh kalo dari sini, kamu juga keliatannya gak bawa motor.”
“Oh itu, gapapa, nanti aku mampir kerumaht temen minta diaterin balik sama dia aja, yaudah aku duluan ya, hati-hati dijalan.” Temu segera berjalan.
Nanda merasa penasaran dengan tempat tinggal Temu sekarang, Nanda semakin khawtir dengan cara Temu yang berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Biasanya Temu akan langsung cerita jika dia memiliki masalah, tapi kali ini...Nanda sudah menunggu sedari tadi jikalau Temu ingin mengatakan sesuatu, tetapi tetap saja Temu menyembunyikan keadaannya sekarang.
Nanda memutuskan untuk naik taksi, ia ingin mengikuti kemana Temu pergi. Selama Nanda mengikutinya, ia hanya melihat Temu duduk lama di bangku trotoar, kemudia ia pergi kesebuah warung makan, dibalik kaca mobil Nanda melihat Temu yang merogoh saku nya, mengambil beberapa lembar uang kertas. Temu makan begitu lahap. Rasanya ia ingin duduk disana menemani Temu, tapi dia tau, Temu paling tidak suka ditemui disaat saat seperti ini. Tak terasa air mata Nanda mengalir, dia sudah tak tahan melihat pemandangan menyedihkan itu. Tapi Nanda tetap akan mengikuti Temu, sampai ia tahu dimana Temu tinggal sekarang.
Setelah selesai makan, Temu tidak langsung pulang. Ternyata ia ikut bekerja disana, ia merapikan beberapa meja, dan melayani pembeli dengan ramah. Nanda semakin tak tahan melihatnya, akhirnya ia memutuskan untuk pulang.
Dikamarnya Nanda menangis sejadi-jadinya. Ia begitu penasaran dengan apa yang dialami orang tua Temu, sehingga tega menelantarkan anaknya.
“Apa mereka tidak berusaha mencari Temu? Apa mereka tidak mengajaknya pulang? Apa mereka tau keadaan anaknya sekarang? mengapa mereka egois sekali..Temu mungkin saja sudah besar, tapi dia belum tentu bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik. Tidak bisa aku biarkan, aku harus menemui tante Cika besok, tante Cika harus tau apa yang dialami Temu sekarang, bukankah dia sangat menyayangi Temu?,” Nanda terus saja menangis.
Tiba-tiba saja handphonenya bergetar lagi, nomor baru yang terlihat disana. Tapi nomor tersebut bukanlah nomor yang menerornya kemarin. Nanda segera mengangkatnya. “Halo dengan siapa ya?” tapi tidak ada jawaban disana, seperti kemarin hening tidak ada yang bersuara, Nanda cepat-cepat mematikan sambungannya dan memblokir nomor tersebut.