Keluarga yang utuh dan hangat didalamnya, merupakan keinginan terbesar yang Nanda Safira inginkan. Namun hidup sepertinya tak berpihak pada keinginannya. Kenyataan yang harus ia hadapi, ialah menyadari bahwa ayah dan ibunya telah berpisah.
Memeluk erat hatinya, saat ia tahu didepan sana mungkin akan banyak kesedihan yang ia temui. Tapi tak menutup kemungkinan untuk menemukan kebahagiaan. Penyesalannya hanya satu, saat ia menginjak umur sebelas tahun, ayah mengajaknya untuk merayakan hari ulang tahunnya hanya berdua saja. Mereka pergi ketempat-tempat yang sering mereka kunjungi berdua, makan makanan kegemaran Nanda, dan tak lupa dengan mengayuh bebek-bebekkan.
Nanda begitu bahagia dihari itu, ia yakin suatu hari ibu dan ayah akan baik-baik saja meskipun banyak pertengakaran diantara mereka. Namun, ia tak menyadari bahwa ayahnya telah berencana pergi keesokan harinya. Ayah tak meninggalkan sepucuk suratpun untuknya dipagi itu, ia berlari kekamar ayah, membongkar semua laci dan lemari yang ada dikamar. Tak satupun pakaian atau barang milik ayahnya yang ia temui disana.
Hatinya hancur, tangisnya meledak, segera ia berdiri mengambil jaket dari kamarnya. Ia mencoba untuk tidak berputus asa, dengan baju tidur yang masih melekat padanya, ia berlari sekencang kencangnya menuju toko kue yang tak jauh dari rumahnya.
Ibu bekerja disana, mungkin Nanda bisa dapatkan jawaban dari ibunya. Namun kenyataan pahit seperti mengahantamnya kembali, ibu tak memberikan jawaban. Ibu hanya duduk diam dan menangis, berkali-kali Nanda bertanya, namun tak ada jawaban dari ibu. Ia hanya mendengar ucapan lirih dari bibir ibu, “Maafkan ibu nak...”, kemudian ibu pergi dengan membendung semua kesedihannya, dengan meninggalkan beribu pertanyaan yang mendesak hati dan pikiran Nanda.
Keesokan harinya, seseorang memencet bel rumah mereka. Dengan cepat Nanda membuka pintu, berharap bahwa itu adalah ayah yang telah kembali. Tetapi..., seorang berdiri dengan postur tubuh yang tegap, pakaian yang rapi, kemeja dan jas yang ia kenakan tampak sesuai di badannya. Ia tersenyum ramah kepada Nanda, yah...dia adalah orang yang menjadi ayah Nanda saat ini.
Belum usai perih dihatinya kemarin, Nanda masih harus menghadapi kenyataan bahwa ibunya akan menikah. Sempat ia lari dari rumah, namun kembali lagi.
Sekarang semua itu telah berlalu, Nanda telah menjadi gadis remaja yang duduk di kelas sebelas Sekolah Menengah Atas. Ia cantik, senyumnya ramah dan selalu berprestasi. Namun tidak saat dirumah, sikapnya yang dingin dan tidak banyak bicara, namun tetap menghormati ibu dan ayah barunya.
Nanda tak pernah lagi bercerita banyak hal kepada ibunya, karena ibupun juga jarang berbicara padanya semenjak sibuk ikut andil dalam bisnis perusahaan yang dimiliki ayahnya. Meskipun semua kebutuhan hidupnya tercukupi bahkan berlebih, namun tidak dengan hatinya. Hatinya begitu kosong, sunyi, dan kering. Tapi ada secercah harapan disana, harapan bahwa ia akan menemui ayahnya, bukan untuk menjawab beribu pertanyaannya. Namun, hanya untuk meyakinkan dirinya, bahwa saat ini ayah baik-baik saja, dan juga merindukannya.
“Sungguh keterlaluan kamu Bima, bagaimana bisa kamu mencintai kakakmu sendiri.”
“Bagaimana aku tahu bahwa dia kakakku bu?, sedangkan kami telah ibu pisahkan sejak lahir kedunia ini bu.”
Prakkkk....seseorang telah memukul meja dengan kedua tanganny. Sepertinya ia sudah terbangun dari lamunananya.
Setelah memukul meja dan sekarang ia sedang berdiri, Nanda tersenyum kegirangan dan menarik tangan teman yang duduk disebelahnya.
“Eh, eh.., Nan aku mau kamu bawa kemana?”, ujar temannya.
“Kemana lagi ran, yah kekelas Temu lah, soalnya aku udah dapet ide cerita, untuk lomba film pendek kita nanti,” jawab Nanda dengan riangnya.
“Tapi nan.., coba deh liat jam tangan kamu. Lima menit lagi istirahat udah kelar, nanti kita malah telat masuk kelas, kamu kan kalo udah ngomong sama Temu pasti panjang kali lebar.”
“Yee.., gak gitu juga kali ran. Yaudah, tapi pulang sekolah temenin ya.” Rani hanya menganguk mengiyakan.
Rani Latifahani telah menjadi sahabat Nanda sejak Nanda membantu Rani yang dihukum karena tidak membawa salah satu perlengkapan MOS. Nasib Rani tak jauh beda dari Nanda, ayah Rani juga meninggalkan ia, adik-adik dan ibunya. Tapi bedanya, ibu Rani tak mengetahui apa yang membuat ayah Rani pergi. Ibu Rani juga tidak menikah lagi, ia bekerja keras untuk mengurus dan membiayai Rani dan kedua adiknya. Perasaan dendam dan benci berkali-kali bergelayut dihatinya, namun ia juga berkali-kali menepis semua perasaan itu. Sebab, sama seperti Nanda, ada harapan disana.
Bedanya, harapan Rani adalah agar ayahnya kembali dan menjawab beribu pertanyaannya. Karena sampai saat ini, hanya kekecewaan terhadap ayahnya yang ia rasakan. Ia begitu sakit, setiap kali harus menatap wajah ibu yang letih, namun tetap tersenyum dan sabar.
Rani gadis yang manis dan sabar, ia juga menjadi saingan Nanda dalam merebut posisis juara umum, untuk murid IPA. Warna kulit Nanda lebih terang dari Rani, namun ia sedikit lebih tinggi dari Nanda. Meskipun mereka bersaing dalam meraih prestasi, tapi tidak untuk yang lainnya, mereka sangat kompak dan saling membantu, seperti persahabatan pada umumnya. Bahkan tak jarang mereka belajar bersama, berbagi informasi penting, dan saling mendukung.
Nanda dan Rani telah bersandar didepan kelas sebelas IPS 1, mereka menunggu Temu keluar dari Kelas.
Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya guru yang mengajar dikelas Temu telah keluar kelas, tapi Temu sama sekali tak terlihat.
Jadi mereka memutuskan untuk bertanya kepada teman sekelas Temu.
"Ucok bentar...bentar.., liat Temu gak didalem. Kok dia belum keluar kelas sih, bilangin dong cok, aku sama Rani dari tadi nungguin didepan kelas.”
“Kalian ini menunggu Temu rupanya, tak tahu kah kalian ini kalau Temu sudah bolos tiga hari, mengapa pulak anak itu..., jenguk lah dia kalo kalian tahu rumahnya dimana. Itu, guru-guru yang sayang betul sama dia, pakek tanyak-tanyak sama kami, kami semua mana ada yang tau,” Ucok langsung pergi, setelah melihat wajah Rani dan Nanda yang cemas dan kebingungan.
“Gimana nih ran, kok kita gak sadar ya kalo kemaren-kemaren Temu gak sekolah. Duh, kenapa sih Temu, emangnya ada apaan sampe bolos segala, udah tiga hari lagi,” Nanda bertanya dengan cemas pada Rani.
“Mungkin karena kita sibuk nan, ngurusin kerja kelompok yang akhir-akhir ini bejibun. Udah gak usah cemas, mungkin Temu sakit atau ada urusan, tapi gak ada yang bisa nganterin surat. Nanti sore kita jenguk dia aja,” mencoba menenangkan sahabatnya.
“Iya ran, nanti aku jemput kamu dirumah jam empat sore ya, nanti aku bawa motor.”
“Beneran gakpapa nan?, nanti pak Joko kena marah lagi sama ibu kamu, karena ngebiarin kamu pergi sendiri, naik motor lagi,” tanya Rani cemas.
“Udah gapapa, orang rumah mana sih yang peduli sama aku, kalo peduli sekali pun, palingan cuma basa basi doang,” Nanda sedikit menyunggingkan senyuman kecil diwajahnya yang terlihat murung.
Rani hanya mengangguk mendengarkan ucapan sahabatnya tadi, karena Rani paham sekali dengan apa yang Nanda rasakan. Disekolah memang Nanda banyak tersenyum dan tertawa, soalah tak memiliki masalah apapun, tak jarang teman-temannya menganggap hidup Nanda begitu beruntung. Tapi, yang sebenarnya Nanda rasakan ialah kesepian tak berbatas.
Dirumah, Rani melepaskan sepatunya, dan akan melangkah melewati pintu rumah. Tiba-tiba Fina, adik Rani berlari dan meraih lengan Rani. “Alhamdulillah kakak udah pulang, Fina cemas kak, ibu demam tinggi kak, ibu izin dari tempat kerjanya untuk pulang lebih cepet kak.” Dengan cepat Rani menuju kamar ibu, ia memeriksa kening ibu, dan benar ibu sedang demam tinggi. Ia bergegas kedapur, untuk membuatkan ibu air jahe dan menyiapkan kompresan. Kemudian menyelimuti ibu dengan beberapa kain.
“Rani, tidak usah hawatir nak, ibu baik-baik saja, hanya letih sedikit. Mungkin besok sudah sembuh dan semangat lagi,” tersenyum kearah Rani, ibu Rani tak ingin membuat anak-anaknya merasa hawatir.
“Tidak bu, Rani bakalan ngurus ibu, besok kalo ibu belum pulih, Rani nggak sekolah dulu.”
“Jangan nak, kamu harus tetap sekolah. Nanti ibu makan yang banyak biar cepet sembuh,” ibu berusaha terlihat semangat didepan anak-anaknya.
“Coba ada ayah ya kak, ibu bisa kita bawa ke rumah sakit,” ujar Fina yang sedari tadi sudah menahan tangis, karena merasa sangat hawatir akan kondisi ibu saat ini.
Rani berdecak kesal, “Udah gak usah mikirin yang aneh-aneh, kamu tolong cariin Dian aja, mungkin dia lagi main diluar, trus tolong suruh dia makan dulu ya Fin.” Fina mengangguk mengerti dan bergegas mencari Dian. Rani segera menelpon Nanda, menjelaskan bahwa hari ini ia tidak bisa ikut menjenguk Temu.
Nanda langsung mengerti, dan turut mengharapkan agar ibu Rani lekas sembuh.
Dikamarnya, Nanda mondar mandir menunggu balasan pesan dari Temu. Ia berkali-kali menelpon ke nomor temu, namun tidk aktif. Akhirnya ia mengirim pesan keseluruh akun medsos Temu.
Sudah satu jam berlalu, namun tak ada balasan pesan dari Temu. Nanda juga berusaha menelpon teman-teman Temu yang ia kenal, tapi tak ada yang tau kabar Temu. Entahlah..., apa mereka berkata jujur atau tidak.
Akhirnya, setelah ragu untuk menjenguk Temu atau tidak, segera ia mengambil jaket dan kunci motor. Pak Joko, supir Nanda sedang tidak ada dirumah, jadi Nanda dapat pergi tanpa harus mengendap-endap.
Sudah setengah jam Nanda berdiri didepan rumah Temu. Ia sudah berteriak berkali-kali, memanggil nama Temu. Rumah Temu terlihat sangat sunyi, seperti tidak ada orang didalamnya. Namun Nanda memutuskan untuk tetap menunggu didepan rumah Temu, dengan harapan, mungkin Temu akan pulang kerumah jika hari sudah semakin sore.
Hari sudah semakin senja, Nanda tidak sadar bahwa ia telah tertidur, sambil duduk didepan rumah Temu, dan bersandar di pagar besi rumah Temu. Orang-orang yang lalu lalang, hanya menggeleng melihatnya, tanpa berniat membangunkan Nanda. Tak lama kemudian, seseorang menendang kakinya. Sontak saja Nanda langsung terbangun, dan mengusap-usap matanya, dan dengan panik melihat kesekelilingnya.
Nanda mendongakkan kepalanya, ternyata Temu lah yang telah menendang kakikanya. Ia tak tahu, harus merasa gembira atau sangat marah saat ini. Sekarang matanya hanya menatap tajam dan sinis kearah Temu.
Temu ikut duduk bersandar dipagar. “Ngapain?,” tanya Temu yang melirik kearah Nanda.
“Apa?,” menjawab dengan ketus.
“Ngapain tidur didepan rumah orang?, kamar kamu lagi direnovasi?”
Nanda berdecak kesal, “Ya nungguin kamu pulang lah, emangnya kemana aja udah tiga hari gak sekolah?, ntar dipecat dari jabatan siswa berprestasi, baru deh tu nangis.”
Temu hanya diam.
“Kamu gak liat handphone?, ditelponin...dikirimin pesan berkali-kali. Tapi gak dibales sama sekali,” Nanda begitu penasaran.
“Udah dijual,” jawab Temu singkat.
“Kenapa dijual?, udah rusak?, perasaan baru bulan lalu belinya. Ooh tau tau, mau beli yang terbaru kan?, tapi kan harusnya kabarin aku atau Rina. Atau temen kamu yang lain juga. Ngomong-ngomong aku nanya tadi belum dijawab, kenapa gak sekolah?.”
“Cerewet banget, kayak emak-emak, udah pulang sana. Bentar lagi mau maghrib. Masalah sekolah, nanti aku sekolah, kalo udah niat lagi,” Temu berdiri membuka kunci pagar.
Nanda tersentak mendengar ucapan Temu. Yang benar saja, juara umum siswa IPS baru saja bicara seakan-akan ia Mamat, teman sekolah Nanda yang jago dan sering bolos sekolah. Melihat wajah Temu saja, Nanda langsung tau, sepertinya Temu sedang memiliki masalah. Meskipun penasaran, Nanda tak mau bertanya dan berdebat dengan Temu sekarang. Yang terpenting sekarang adalah, Nanda tau kabar Temu saat ini. Ia berdiri, dan mulai memasang helm dikepalanya.
“Hmm, yaudah deh, nanti kalo udah beli handphone baru kabarin ya. Kabarin Rani juga, dia juga hawatir tau. Nasib...nasib...udah kayak kang siomay aja kamu nda, nggak ditawarin apa kek gitu, air putih atau setidaknya numpang duduk diteras,” Nanda menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Maaf nan, dirumah gak ada orang. Kamu kan cewek, gak boleh berduaan sama orang tampan dirumah. Ngomong-ngomong makasi ya, bilangin Rani makasi juga. Perhatian banget, tingkatkan prestasimu nak...,” Temu berusaha meyakinkan Nanda bahwa ia baik-baik saja, dengan candaannya.
“Apaan sih, yaudah aku pulang ya, besok sekolah dong...dicariin Ucok ahahaha. Salam ya buat mertua,” Nanda tertawa terbahak-bahak.
“Ogah....,” jawab Temu sinis.
Temu merupakan sahabat baik Nanda, saat berada di Sekolah Dasar hingga kini. Sedangkan Temu menjadi Teman baik Rani, saat mereka satu kelas di SMP yang sama.
Keesokan harinya, Nanda bercerita pada Rani, mengenai Temu yang sepertinya sedang mengahadapi masalah. Rani sedikit terkekeh, saat mendengar Nanda yang tertidur didepan pagar rumah Temu. Nanda juga sangat yakin, hari ini Temu pergi kesekolah. Tapi nyatanya, hari ini Temu tak juga mereka temui dikelasnya. Rani menyarankan untuk menemui teman dekat Temu semasa SMP, yakni Rio. Rani yakin bahwa Temu akan bercerita dengan Rio, setiapkali ia memiliki masalah. Akhirnya, sepulang sekolah Nanda mendatangi rumah Rio. Namun tidak dengan Rani, ia masih harus menjaga ibunya dirumah, yang belum pulih sepenuhnya dari kondisi sakit kemarin. Rani hanya memberikan alamat rumah Rio kepada Nanda.
Kali ini Nanda tidak pergi sendirian, ia ditemani pak Joko. Nanda membuka kaca mobilnya, ia melihat keluar, matanya fokus melacak nomor rumah Rio. Tak lama setelah menekan bel rumah Rio, seseorang yang masih mengenakan seragam membukakan pintu. Ia adalah Rio, dangan sopan Rio mempersilahkan Nanda dan pak Joko masuk kerumah layaknya seorang tamu. Nanda mencoba menceritakan terlebih dahulu maksud kedatangannya.
“Jadi, Temu pernah cerita kekamu gak kalo dia punya masalah. Soalnya tuh anak kalo ditanyain, susah...banget mau cerita.”
“Gak cerita apa-apa sih, cuman kemarin dia jual hpnya ke gua. Katanya lagi butuh uang buat cari kos-kosan. Belum lagi dia juga nanya, warung makan bokap nya Gilang masih butuh tenaga kerja atau gak. Pokoknya aneh gitu deh.”
“Idih, ngapain tuh anak, rumah ada, orangtua harmonis, apa-apa cukup. Kebanyakan ngedrama nih anak,” Nanda berbisik pada dirinya sendiri.
“Apa?, kenapa ya?, lo ngomong gak kedengeran.” Rio mencoba menyadarkan Nanda yang berbicara sendiri, tanpa memperdulikannya dan pak Joko.
“Oh, iya..,itu..maksudnya dia kenapa nanya-nanya gitu ya? padahal kan kamu temennya tau sendiri, Temu itu keluarganya harmonis banget, pasti betah dirumah kalo suasana keluarga hangat, iya kan?” Rio hanya mengangguk mengiyakan ucapan Nanda.
Setelah pembicaraan bersama Rio berakhir, Nanda berpamitan dan kemudian menuju rumah Temu. Nanda memutuskan agar mobil pak Joko tidak berhenti tepat didepan rumah Temu. Sebelum turun dari mobil, Nanda berpesan agar pak Joko pulang duluan saja. Ia akan meminta Temu mengantarnya nanti. Nanda tersenyum kearah pak Joko, yang mengisyaratkan bahwa pak Joko tidak perlu hawatir, karena pak Joko juga sudah sangat mengenal Temu.
Dua langkah lagi, ia akan sampai didepan pagar rumah Temu. Tetapi, tiba-tiba saja terdengar suara berisik pecahan kaca dan suara seseorang berteriak.
“Jadi sekarang apa yang kamu mau?!!, jawab hah, apa yang kamu mau?!!” suara itu terdengar seperti suara ayah Temu.
“Apa yang aku mau??!, aku mau kita segera bercerai...” dan kali ini terdengar seperti suara bunda Temu. Kaki nanda mulai bergetar, ia tak kuasa untuk melangkahkan kakinya kembali. Tapi ia ingin sekali mengetahui apa yang sedang terjadi, satu pertanyaan dalam benaknya, adakah Temu disana?
Nanda mengerutkan dahinya, ia memegang erat tali tas sandang nya. Ia begitu hawatir tentang apa yang terjadi didalam. Ia melangkah sedikit lebih maju, dan mendongakkan kepalanya kekanan dan kekiri. Kebetulan pintu rumah Temu sedikit terbuka sekarang, mungkin ia bisa sedikit melihat seseorang disana. Nanda menyipitkan matanya, namun hanya setengah badan ayah Temu yang terlihat dari sana.
Keributan semakin menjadi, ayah dan ibu Temu terdengar berdebat dengan penuh emosi dan amarah. Setelah beberapa saat, akhirnya Nanda menyerah. Ia tak menemukan ataupun mendengar suara Temu disana. Kejadian kali ini benar-benar membuat Nanda heran dan bertanya-tanya, apa yang telah terjadi dengan keluarga Temu yang harmonis. Keluarga yang selalu membuat Nanda merasa iri berkali-kali, mereka yang dahulunya begitu hangat, saling menghormati dan menyayangi satu sama lain. Bahkan dulu Nanda benar-benar ingin bertukar posisi dengan Temu. Nanda merasa sedih dan kecewa, ia berjalan kaki menuju jalan raya, berniat menunggu bus di halte.
Nanda akan menyebrangi jalan, ia melihat kekanan dan kekiri. Tiba-tiba saja ia melihat Temu disebrang sana, ia ingin segera berlari menyebrangi jalanan, tetapi begitu ramai. Pandangannya pun terhalang mobil-mobil dan kendaraan, bahkan salah satu bus akan mendekati halte. Nanda melihat Temu mengusap matanya dengan lengan jaketnya. Terlihat tas punggung besar disandangnnya saat akan menaiki bus.
Nanda terdiam, ia tak melangkahkan kakinya selangkahpun. Matanya berkaca-kaca, seakan ia tahu betul apa yang sedang Temu rasakan. Melihat kejadian tadi, saat Temu mengusap kedua matanya, membuat perasaan Nanda begitu teriris.
Ini mengingatkan nanda akan kejadian lima tahun yang lalu. Dimana saat Nanda pergi dari rumah, Temu mengajak ibunya untuk mencari Nanda seharian. Tepat saat hari mulai senja, Temu dan ibunya menemukannya sedang duduk menangis memeluk lutut di pinggir trotoar, orang-orang yang lalu lalang berusaha mengingatkannya untuk minggir dari trotoar karena mengganggu pengguna jalan. Ibu Temu langsung mengakat Nanda dan memeluknya, ia berusaha meredakan tangisan Nanda.
Didalam mobil, Temu dan ibunya berusaha untuk membujuk Nanda agar mau pulang kerumah. Tapi tetap saja Nanda menolak, ia benar-benar berat hati untuk kembali ke rumah saat itu juga. Akhirnya mereka membawa Nanda kerumah Temu, nanda tidur dikamar tamu, selama dirumah Temu nanda memperhatikan ayah dan ibu Temu, mereka terlihat sangat akur, ibu Temu selalu meperhatikan keperluan ayah Temu dirumah, begitu juga dengan ayah Temu yang selalu membantu pekerjaan ataupun kesulitan istrinya dirumah. Saat duduk bersama di ruang keluarga membuat perasaan Nanda begitu nyaman, ia bahagia hanya dengan mendengarkan mereka bercengkrama. Terlihat sekali dari raut wajah mereka, bahwa mereka semua saling menyayangi, menghargai dengan tulus satu sama lain.
Keesokan harinya ibu Temu pergi kerumah Nanda untuk memberitahukan bahwa Nanda sedang berada dirumahnya, dan menjelaskan bahwa Nanda sudah berkali-kali dibujuk tapi ia tidak ingin pulang kerumah. Ibu Nanda pun pergi kerumah ibu Temu bersama calon suaminya.
Sesampainya disana, Ibu Temu membujuk Nanda untuk keluar kamar melihat ibunya.
“Nanda sayang, anak yang pintar, tante yakin sekali nanda rindu sama ibu, Nanda mau kan bicara sebentar dengan ibu, tadi saat tante menemui ibu Nanda dirumah, ibu Nanda terlihat sediiih sekali, matanya sembab karena menangis semalaman. Ibu Nanda khawatir sama Nanda, bahkan kemarin ia menelfon seluruh kerabat dan teman-temannya, Nanada tidak kasihan pada ibu?”.
Setelah dibujuk akhirnya Nanda mengangguk dan keluar dari kamarnya, ibu Nanda sontak saja langsung berlari dan memeluk anaknya, ia menangis bahagia karena Nanda ternyata dalam keadaan baik-baik saja.
“Nanda, kenapa kamu pergi dari rumah nak?, kamu baik-baik saja kan? apa ibu sudah bersalah besar kepadamu? maafkan ibu ya nak. Sekarang ayo kita pulang sayang, ibu juga harus bersiap-siap untuk pernikahan ibu besok nak,” ujar ibu Nanda dengan lembut.
“Maaf bu, tapi Nanda belum mau pulang, ibu selesaikan saja dulu urusan ibu, Nanda akan pulang kalau ibu sudah tidak sibuk. Nanda tidak mau merepotkan ibu ataupun bapak nanti.”
“Tidak nak, Nanda tidak merepotkan, lagi pula besok kan ada nenek dan tante kamu. Nanda kenapa seperti ini sayang, besok itu hari yang penting nak, kamu harus datang.”
“Nanda belum bisa terima kepergian ayah bu, ibu juga tidak menjelaskan apa-apa ke nanda, dan sekarang om ini yang Nanda panggil bapak, sekarang sudah merenggut perhatian ibu. Nanda kesal bu, mau bagaimanapun Nanda tidak akan datang besok.” Nanda berurai air mata, dan bergegas pergi kekamar dan mengunci kamarnya.
“Anak itu tidak mengerti apa-apa, kenapa dia jadi seperti ini.” Ibu Nanda juga menangis, bingung harus menjelaskan seperti apa kepada Nanda.
“Maaf jika saya mencampuri urusan keluara mbak, tapi menurut saya tidak apa-apa jika Nanda masih ingin tinggal disini, saya akan menjaganya. Nanti akan coba saya jelaskan juga kepada Nanda. Jangan banyak fikiran ya mbak, besok itu hari yang sakral, pikiran harus tenang. Percayakan saja Nanda sama saya,” ujar ibu Temu.
“Terimakasih banyak ya, maaf kami banyak merepotkan,” jawab ibu Nanda sambil menghapus air matanya.
“Iya tidak apa-apa mbak.”
“Kalau begitu kami permisi dulu, ini uang jajan untuk Nanda kalau dia perlu apa-apa. Setelah acara selesai nanti kami coba bujuk Nanda lagi. Sekali lagi terimakasih banyak ya.”
“Iya mbak sama-sama, hati-hati dijalan ya mbak.”
Begitulah kisah itu selalu terkenang dihati dan pikiran Nanda. Setelah melihat Temu tadi, ia memutuskan untuk tidak mengejarnya, Nanda yakin sekali Temu butuh waktu untuk sendiri. Nanda tau bagaimana terpukulnya perasaan Temu, pantas saja beberapa hari ini Temu menghilang dari sekolah. Selama ini Temu juga tidak menceritakan apa-apa kepadanya dan Rani.
“Temu.., kamu harus kuat. Sekalipun rumahmu hancur, jangan biarkan hatimu juga ikut hancur bersamanya.” Rani menangis terisak setelah mengucapkan kalimat itu dengan lirih.