Read More >>"> Black Lady the Violinist (Kapitel viii) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Black Lady the Violinist
MENU
About Us  

“Ada apa, Ken? Ryan juga, kenapa tidak pulang dulu? Pakai jas dari bandara jalan-jalan pula,” salam hangat paman Anderson yang tidak peka pada ketegangan situasi itu.

“Ok, Paman, aku tak mampu basa-basi sekarang,” sahut Kenan. “Sebelumnya, maaf kalau aku tak pernah anggap kalian keluargaku. Aku sudah tak ingat yang namanya keluarga… perasaanku selalu saja –“

“Pah, masih ingat Lena, kan?” potong Ryan yang paham kalau sepupunya sudah tidak bisa berpikir jernih dan omongannya kacau. “Ternyata dia sakit parah dan karena tak ada biaya, dibiarkan saja. Sekarang dokter sudah angkat tangan dan hanya bisa mengajukan opsi rumah sakit ternama di Inggris atau Amerika.”

Paman Anderson terdiam sejenak. “..., Kenan, kenapa kamu diam saja? Kenapa sulit sekali untuk datang lalu cerita? Pada bibi Vanimu juga? Coba kamu bilang, Kenan. Kalau diam saja paman juga tidak mengerti.”

Kenan mengunci mulutnya, diam saja. Beliau menghela nafas pelan. Seperti Ryan, ia sama sekali tak mengerti jalan pikiran keponakannya itu. “Kalau memang seperti yang Ryan jelaskan, kamu mengerti kan, Kenan? Inggris, seperti tawaran bibimu waktu itu.”

Kenan terkesiap. Ajuan soal Inggris itu terucap sekali lagi tapi sekarang dengan beban yang amat berat. Namun, kali itu ia tak punya pilihan. Tidak bisa bilang TIDAK dengan mantap dan bangga lagi kalau tak mau Lena mati.

“Benar sekali kalau rumah sakit di sana jauh lebih canggih dari tempat ini. Kamu bisa sekolah sekaligus mendampingi temanmu yang dirawat di sana.”

Kenapa? Kenapa harus Inggris?? Sekalipun aku selalu bermimpi untuk ke sana tapi bukan sekarang dan bukan di saat Lena sekarat!! Lagipula hanya aku!! Hanya aku yang kelak menikmati itu sementara Lena hanya terpasung di ranjang rumah sakit dengan selang-selang itu!! Jeritan-jeritan memenuhi benak Kenan.

“Tentu saja ibu Lena berhak memilih untuk ikut ke Inggris atau tetap –“

“Tunggu! Kenapa tante Merry dibawa-bawa?? Tante kan punya tokonya sendiri untuk dijaga!” celetuk Kenan tak setuju.

“Apa kamu pikir ketika anaknya sekarat, seorang ibu bisa tenang memikirkan dirinya sendiri? Apalagi tokonya?” tanya paman Anderson semakin menyudutkan Kenan pada pilihan ‘ya’.

Pernyataan beliau melanda Kenan dengan rasa bingung, rasa bersalah, dan ketakutan luar biasa. Ia berpikir keras dalam mengambil keputusan karena ia yang paling tahu kalau segalanya pasti berubah tergantung dari jawabannya. Tangannya yang gemetaran mengepal. Saking kerasnya kepalan itu, telapak tangannya tergores-gores. Ia berharap, dengan rasa sakit itu ia juga bisa merasakan rasa sakit yang ditahan Lena akibat pemikiran negative thinking-nya terhadap keluarganya.

 

“Ya, Paman. Berpikir lama-lama cuma buang-buang waktu.” Kenan memalingkan wajahnya. “Ya, aku akan ke sana, bersama Lena.” Ryan menatap Kenan takjub. “Tak usah melihatku begitu. Aku tahu apa yang kau pikirkan dan ya, Lena jauh lebih berharga dari diriku sendiri, dari apapun juga. Jadi, akan aku jalani saja.”

Aku memang tak pernah paham jalan pikirannya tapi tak bisa kupercaya kalau dia rela dibawa kemanapun hanya demi orang lain meskipun Lena itu hanya sahabatnya!! Sementara kami yang keluarganya?? renung Ryan kaget setengah mati. Ia menggeleng-geleng lalu menghilang pergi.

Paman Anderson mengamati kepergian Ryan sejenak lalu kembali memandangi keponakan kecilnya. “Kapan kau siap untuk berangkat, Kenan?”

“Aku pikir Lena tak punya waktu lama-lama.”

Paman Anderson menghela nafas lagi. “Tiga hari lagi?”

Kenan mengangguk dengan ekspresi datar. Mereka berdua lalu terdiam.

“Mungkin, itu saja, Paman? Dan mungkin pikiranku juga sudah kusut.”

Tangan paman Anderson membelai kepala Kenan. “Kau mau diantar? Biar paman urus administrasi dulu.”

Inginnya bilang tidak tapi untuk kembali ke sekolah di desa jauhnya bukan main. Jadi, mau tidak mau ia menunggu pamannya itu baru kembali ke sekolah.

Tinggal tiga hari lagi aku masih bisa di sini? Kampung ini, tempat aku lahir, tempat kenangan terakhir ayahku, tempat toko musik milik ibuku, tebing curam yang sunyi, dan rumah Lena sendiri?? Aku memang miskin dan memang hanya itu sisa-sisa hartaku, tapi… Hati Kenan seperti diremas-remas.

 

§

 

“Ehm, Kenan?” sapa teman satu kelas Kenan saat istirahat sekolah membuat lamunannya langsung buyar “Lena kemana ya? Sudah dua hari tidak masuk kok tidak ada keterangannya?”

“Sakit”, jawabnya singkat, “mungkin lama.”

Anak itu berusaha mencari tahu lagi. “Sakit apa? Kok tidak ada suratnya? Lama bagaimana, Kenan?” Seisi kelas langsung menatap mereka berdua.

Kenan melirikkan matanya sedikit ke arah teman sekelas yang ia lupa namanya. “Aku tidak tahu.” Ia kembali melirik ke arah lain.

“Kok bisa gak tahu? Kalian kan tinggal sama-sama! Bagimana sih?”

Kenan berdiri dari kursinya. “Aku sudah bilang kan, aku tidak tahu.”

Mood Kenan terlampau jelek saat itu. Hari itu adalah hari terakhir dimana ia bisa berada di tempatnya sekarang. Lantas, dengan menghindarnya Kenan dari percakapan seputar Lena, seisi kelas malah ribut bergosip tentangnya. Ia memang tidak akrab dengan mereka tetapi Lena iya. Mereka pasti terus penasaran pada absen salah satu teman dekatnya. Buntu sudah otaknya untuk menyahut.

 

Kebun belakang sekolah adalah tempat yang tepat untuk Kenan mengabiskan waktu istirahatnya. Setidaknya untuk menghindari orang-orang sebelum ia dan Lena tiba-tiba menghilang nantinya.

“Kenan? Boleh aku bicara?” tanya seseorang dari balik sudut dinding. “Kau merahasiakan apa soal Lena? Kalau mau bohong setidaknya carilah alasan yang lebih cerdas karena sekarang kau hanya menarik perhatian seisi kelas.”

Kenan terganggu. “Kenapa kau ada di sini? Mengikutiku, Ketua kelas?”

“Lebih baik aku yang mengikutimu daripada teman dekat Lena lalu kau dicakar-cakar olehnya. Jawab sajalah. Mungkin aku bisa membantu menengahi.”

Kenan mengernyit, merenungi akan niatan ketua kelas. “Ia di ICU Condong Catur sekarang. Sudah puas? Pergi sana.”

“Aku tak mengerti, Kenan. Kalau memang dia di ICU, seberat apapun sakitnya, kau hanya perlu bilang ia di rumah sakit, kan?? Masalahnya apa?”

“…, karena setelah dari ICU, kami akan pergi ke tempat yang jauh. Aku tidak mau kalau ada yang berusaha untuk mencari Lena lagi.”

“Tempat yang jauh? Kenapa Lena gak boleh dicari lagi??”

Kenan mulai frustasi. Tangannya bergetar tak karuan. “Sudahlah. Ini hanya membuatku tambah gila,” sergahnya skeptis lalu pergi.

 

“Maaf, yang tadi. Apa kau marah padaku, Ken? Kadang aku hanya merasa bertanggung jawab terhadap anak-anak di kelas ini. Makanya aku terus tanya soal Lena. Kalau dia di rumah sakit, mungkin kami bisa jenguk hari ini?” ucap ketua kelas yang kembali mendatangi Kenan setelah ia kembali ke kelas dengan ramah.

Para anak perempuan yang mencuri dengar berbondong-bondong datang ke meja Kenan. “Rumah sakit? Lena sakit apa? Kudengar kemarin Lena memang pingsan saat olah raga tapi separah itu, Ken??” Pertanyaan yang kurang lebih mirip diulang-ulang terus di depan muka Kenan persis kaset rusak.

“Ya ya,” tukas Kenan menyerah sambil melihat ke arah luar jendela agar tak seorang pun sadar dengan nada tercekiknya. “Datang saja ke rumah sakit Condong Catur. Ruang ICU 3 lantai 2. Lalu ingat, hanya untuk hari ini. Masuk satu-satu.”

“ICU!? Separah itukah?” ulang mereka histeris dengan suara keras.

“Siapa yang di ICU?” tanya kubu anak laki-laki dari ujung ruang kelas.

Kelas berubah heboh. Suaranya mengalahkan toa. Lantas ketua kelas beranjak ke depan kelas untuk memukul-mukul penghapus papan tulis ke meja guru.“Tenang semua! Ini sudah mau pelajaran! Kalian sudah dengar tadi kan? Lena di rumah sakit dan sekarang ada di ICU. Bagi yang mau jenguk, pulang sekolah nanti kita kumpul dan langsung berangkat. Ada pertanyaan?”

“Kalau besok? Kenapa harus hari ini?” sahut seseorang dari pojok kelas.

“Sejujurnya aku tak tahu tapi begitu kata Kenan,” jawab ketua kelas.

“Memangnya kenapa, Ken?” tanya murid lainnya memojokkan Kenan. “Kau dengarkan tadi? Ada tugas kelompok yang harus dikumpulkan besok!!”

Seisi kelas dengan cepat memelototi Kenan. Ia tetap diam membisu,  memandangi lantai saja.

“Ya sudahlah. Datang saja hari ini bagi yang mau,” sela ketua kelas.

“Kau tahu gak kenapa kamu gak punya teman, Ken? Karena kamu itu aneh, gak pernah jelas. Tinggal bilang saja kok susahnya minta ampun,” seru seseorang yang bernama Sarah memotong perkataan ketua kelas.

“Sarah!!” teriak sang ketua kelas.

“Aduh, aku salah ya?” cibir Sarah. Kenan tetap berusaha tak mengacuhkan. “Lihatkan? Orang ngomong saja gak didengarkan. Hei, lihat sini! Gak bosan ya sendirian terus gak punya teman?” maki Sarah semakin kencang.

“Aku harus peduli soal itu? Pikirkan saja kau yang punya banyak teman tapi tak punya etika terhadap orang lain yang bukan temanmu,” sanggah Kenan.

Sarah berdiri dari bangkunya. “Apa kamu bilang!?” Ia menghampiri meja Kenan, siap main pukul-pukulan barbie. Mengingat tubuh Kenan kuat akibat sering membopong Lena, sebelum tangan Sarah melayang ke wajahnya, didorongkannya anak itu sampai jatuh terduduk. Punggungnya mengenai kursi di belakangnya dan aw, sakitnya luar biasa. Belum lagi kepalanya juga terbentur alat tulis yang berjatuhan dari atas meja. Seisi kelas memperhatikan kejadian itu dan tak ada seorang pun berani bicara. Sarah menangis dan mengeluh kesakitan. Biarpun begitu, tak ada seorang pun berusaha mendekat apalagi membantunya berdiri.

Kenan menatapnya berang. Itu sudah melampaui titik kesabarannya. Dari stres jadi amukan. “Tidak perlu repot-repot memukul wajahku. Ibuku saja sudah cukup. Lagipula kau tahu, aku mudah membalas apa yang kau lakukan sekarang padaku kalau aku mau tapi tak ada gunanya. Jangan pakai mulutmu untuk menghina orang lain saja. Jadi, lebih baik kau pergi ke sudut sana, belajar tata krama, lalu ke UKS.” Mata Kenan melotot sehingga Sarah jadi ketakutan.

Ruangan kelas menghening. Terlebih karena Kenan biasanya diam tiba-tiba mengamuk dasyat. Satu sama lain hanya pandang-pandangan saja.

“Aku tutup masalah ini. Jangan lupa jenguk Lena pulang sekolah nanti,” tukas Nanta. Sang ketua kelas menutup forum kriminal tersebut. Pelajaran dimulai setelah guru masuk dan terus berlangsung sampai bel pulang sekolah bernyanyi.

Mendengar suara yang enggan didengarnya, Kenan segera beranjak dari kursinya untuk segera pulang, untuk mengemasi barang-barangnya. Selama itu, banyak dari anak-anak teman sekelas menatapnya diam-diam dengan ngeri.

“Hei,” sapa Nanta menangkap bahu Kenan. “Langsung pulang? Tidak ikut jenguk Lena sama kami?” Kenan menggeleng lalu pergi.

 

Tak lama berselang, Kenan sudah tiba di depan rumah tante Merry. Sendirian. Entah kenapa ia hanya bisa mematung melihat halaman rumah dengan pintu gerbang yang menganga. Sebelumnya, ia melihat sebuah mobil terparkir di pinggir jalan dekat itu. Tanpa masuk ke dalam rumah pun, ia tahu kalau dia ada di sana.

“Begitulah, Ma’am. Maaf saya baru cerita hari ini,” kata Ryan. Tante Merry mengangguk, berpura-pura bersikap tenang. “Lalu, jawaban Ma’am?”

Tante Merry tersenyum lemah. “Tante belum tahu, sayang.”

“Maaf dadakan, Ma’am. Kenan berangkat besok pagi. Jadi, kalau Ma’am pilih ikut, langsung berangkat bersama kami ketika Kenan dijemput mobil. Lagi pula, Ma’am, semua anggota keluarga Challysto akan tinggal di Inggris untuk sementara waktu. Lebih baik kalau kita tinggal bersama di sana, Rose juga.”

“Begitu? Akan tante pikirkan baik-baik. Lalu soal Kenan –“ Tante Merry tak sengaja melihat orang yang dibicarakan berdiam diri di dekatnya.  “Eh, orangnya sudah tiba rupanya.”

Ekspresi Kenan datar. “Iya, Tan. Aku mau langsung mengemasi barang-barangku,” jawabnya sambil lalu tanpa sedikit pun memandang wajah Ryan.

 

“Tante sudah mengemasi barang Lena. Menurutmu, Tante juga ikut?”

 “Bukannya Tante memang harus ikut? Tante mau jaga Lena terus kan?” kata Kenan memantapkan pilihan tante Merry. “Oh ya Tan, aku boleh gak –“

“Pergilah sesukamu,” jawab beliau mengiyakan.

Kenan menatap tante Merry penuh arti. Ia mengangguk lalu pergi.

Kenan berjalan mengelilingi kampung Parejo tempat ia dan Lena tinggal. Kampung itu meskipun kumuh tapi tak jarang juga kendaraan mewah lalu lalang–potong jalan. Yah, lucunya pemilik kendaraan mewah itu hanya menyumbang untuk perbaikan jalan di kampung itu–demi keselamatan mobil mereka.

Terus dan terus Kenan berjalan hingga tanpa sadar sudah tiba di jalan besar, di daerah ruko-ruko yang sudah 3 hari itu Kenan hindari.

“Hei, ngapain kamu di sini? Sudah selesai packing?” sapa Ryan yang tiba-tiba muncul dan menepuk pundak Kenan dari belakang. “Mau ikut aku, Ken?”

Ryan membawa sepupu kecilnya ke restoran terdekat. Akan tetapi, sepanjang perjalanan mereka berdua hanya bisa diam tanpa kata.

“Pesan dulu,” tawar Ryan pada Kenan. Ia malah menggeleng. “Aku paham ini berat tapi coba tegakkan kepalamu! Ya, aku tak punya hak apapun untuk mengatakan ini tapi aku selalui hargai semua usahamu.”

Kenan menengadah. “Usaha apa? Aku pernah berusaha apa?”

“13 tahun kau tegar, mau berusaha, berbakat. Pokoknya perfek!”

Alis Kenan naik sebelah. “Lantas? Itu tidak mengubah apa-apa, Ryan.”

“Hmm… sebelum berangkat kita ke sana dulu oke?” ajak Ryan riang mengalihkan perhatian Kenan. Tempat yang dimaksudkan Ryan adalah toko yang sudah jadi milik Kenan. Sebenarnya toko itu dari dulu juga sudah jadi miliknya jauh sebelum ia tahu.

“Hai Pak James!” sapa Kenan hangat, memaksakan diri untuk tersenyum.

“Oh, Non Ken. Lama gak ke sini yah,” sapa pak James.

“Ada masalah kecil.” Kenan berpura-pura tertawa. Ryan memandanginya.

“Lalu mana violinnya?” tanya pak James. Kenan menggeleng. “Kalau begitu, bagaimana dengan lagu dari piano Ryan saja?” saran pak James.

Kenan balik memandangi Ryan. Ryan berjalan ke arah grand piano. Ia duduk di kursinya lalu membuka tutup pembukanya. Beberapa saat kemudian mulai mengalun lembut lagu dari iringan piano.

“Chopin: Nocturne No.2, Op.9,” gumam Kenan.

Kenan diam mendengarkan sambil menundukkan kepala. Hatinya miris ketika mengingat Lena yang bertepuk tangan dengan riang ketika pertama kali Ryan memainkan lagu ini di hadapannya. Wajah kagumnya seperti orang bodoh.

Selesai memainkan satu lagu itu, improvisasi medley Ryan melanjutkannya dengan lagu lain.

Aku tahu lagu itu. “Stella Quintet: Crescendo.”

Wajah bodoh Lena yang kagum Kenan ketika memainkan lagu ini dengan violin terlintas di kepalanya. Ketika Lena melamun, tertawa, lalu bertepuk tangan dan menjerit-jerit seperti orang gila untuk meminta sahabatnya memainkan lagu yang lain. Lena yang waktu itu begitu bahagia dan bisa tertawa sesuka hatinya. Namun, Lena yang ada saat ini hanyalah orang yang sedang terbaring tak berdaya dengan selang di hidung dan mulutnya. Tak ada lagi guratan senyum dari bibirnya. Tak ada lagi tawa di wajahnya. Seakan-seakan melihat Lena bisa ‘bebas’ hanya ilusi semata.

Lutut Kenan gentar. Ia jatuh berlutut. Kedua tangannya menapak ke lantai lalu ia menangis keras-keras. Semua air mata yang ia tahan selama tiga hari tumpah ruah.

“Menangislah sepuasmu, kau orang yang tegar, Kenan. Kau tidak sendirian, aku ada di sini.” Nada-nada dari tuts piano lenyap dan saat itu tangan orang yang memainkan piano itu tadi sedang memegang pundaknya. Begitu menyakitkan. Hati Kenan semakin perih untuk menerima kenyataan dengan rasa bersalah.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Jendral takut kucing
863      437     1     
Humor
Teman atau gebetan? Kamu pilih yang mana?. Itu hal yang harus aku pilih. Ditambah temenmu suka sama gebetanmu dan curhat ke kamu. Itu berat, lebih berat dari satu ton beras. Tapi itulah jendral, cowok yang selalu memimpin para prajurit untuk mendahulukan cinta mereka.
In Love With the Librarian
13786      2613     14     
Romance
Anne-Marie adalah gadis belia dari luar kota walaupun orang tuanya kurang mampu, ia berhasil mendapatkan beasiswa ke universitas favorite di Jakarta. Untuk menunjang biaya kuliahnya, Anne-Marie mendaftar sebagai pustakawati di kampusnya. Sebastian Lingga adalah anak tycoon automotive yang sombong dan memiliki semuanya. Kebiasaannya yang selalu dituruti siapapun membuatnya frustasi ketika berte...
Aku Mau
9412      1824     3     
Romance
Aku mau, Aku mau kamu jangan sedih, berhenti menangis, dan coba untuk tersenyum. Aku mau untuk memainkan gitar dan bernyanyi setiap hari untuk menghibur hatimu. Aku mau menemanimu selamanya jika itu dapat membuatmu kembali tersenyum. Aku mau berteriak hingga menggema di seluruh sudut rumah agar kamu tidak takut dengan sunyi lagi. Aku mau melakukannya, baik kamu minta ataupun tidak.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
I'll Be There For You
1032      489     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
Grey
182      153     1     
Romance
Silahkan kalian berpikir ulang sebelum menjatuhkan hati. Apakah kalian sudah siap jika hati itu tidak ada yang menangkap lalu benar-benar terjatuh dan patah? Jika tidak, jadilah pengecut yang selamanya tidak akan pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan sakitnya patah hati.
Abay Dirgantara
5285      1222     1     
Romance
Sebenarnya ini sama sekali bukan kehidupan yang Abay inginkan. Tapi, sepertinya memang semesta sudah menggariskan seperti ini. Mau bagaimana lagi? Bukankah laki-laki sejati harus mau menjalani kehidupan yang sudah ditentukan? Bukannya malah lari kan? Kalau Abay benar, berarti Abay laki-laki sejati.
My Soul
117      84     1     
Fantasy
Apa aku terlihat lezat dimatamu? Meski begitu,jiwaku hanya milikku bukan untuk siapapun. ---- -Inaya- Jika dikira hidupku ini sangat sempurna dan menyenangkan,memiliki banyak teman,keluarga dan hidup enak,tidak semua benar,aku masih harus bersembunyi dari para Soul Hunter,aku masih harus berlari dari kejaran mereka setiap saat,aku juga harus kabur dari setiap kejadian yang melibatkan So...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
THE HISTORY OF PIPERALES
1719      622     2     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...