Ketika jiwa semakin meronta, tapi tak mampu untuk sekedar berkata
***
Maisha seharusnya masih kesal dengan Dean yang selalu saja mencampuri urusannya. Kalau saja tidak inget misinya untuk merubah cowok itu, mungkin ia akan memilih pulang sendirian. Menikmati semilir angin lewat celah-celah jendela bis kota seperti yang biasa ia lakukan beberapa bulan terakhir setelah kehilangan sosok Kenar.
Cewek itu ingin protes pada Rana yang seenak udel menyuruhnya meminta Dean mengantarkan pulang, katanya untuk mengurangi kebiasaan nongkrong cowok itu. Namun, kenapa harus dirinya? Bukan Rana sendiri. Alasannya karena hanya dengan raut lugu Maisha seorang Dean bisa luluh.
"Yan, gue nebeng pulang sama lo ya?" Akhirnya dengan setengah hati Maisha menghampiri cowok yang tengah bercakap-cakap dengan beberapa siswa. Sebenarnya ia sedikit malu, terlebih beberapa pasang mata itu langsung menyorot ke arahnya membuat kikuk.
Dean menoleh dengan raut datar. Maisha tahu kalau cowok itu juga masih kesal padanya karena kejadian kemarin. Kalau dipikir-pikir harusnya ia yang bersikap seperti itu kan?
"Lo mau kan? Anterin ya ya? Gue sendirian," ucapnya dengan nada memohon. Dean hanya mendengus. Tatapannya menegaskan bahwa biasanya Maisha juga pulang sendiri.
"Gue gak langsung pulang, jadi gak bisa anterin. Lagian tadi kenapa gak ikut sama Rega atau Ken aja sih?" Raut wajah Maisha berubah seketika. Nama Ken bukan lagi sesuatu yang harus ia harapkan untuk hal sekecil apapun. Ia mengerjap kemudian menatap Dean yang tak memperlihatkan rasa bersalah sama sekali.
"Oh," Cewek itu mulai terlihat bete, "ya udah kalau gak mau nganterin gak papa. Gue pulang sendiri juga udah biasa kok sekarang, atau mungkin nanti bisa nyari tumpangan. Semoga aja ketemu Denis yang bakal suka rela anterin gue."
Setelah mengatakan itu Maisha berlalu tanpa pamit. Mengabaikan tatapan simpati teman-teman Dean karena penolakan yang di dapatkannya. Padahal hanya oleh seorang Dean, tapi kenapa dadanya terasa perih? Jawabannya, karena yang namanya di tolak itu pasti sakit kan? Dan sikap cowok itu malah mengingatkan Maisha pada keberadaannya yang memang tak pernah mampu menjadi prioritas siapapun.
Maisha berhenti di halte. Menatap jalanan seperti orang kebingungan, antara memesan kendaraan online atau menaiki bus. Bunyi klakson menyadarkannya, cewek itu melirik pada pemilik kendaraan beroda dua yang kini berboncengan dengan si cantik dari negeri dongeng.
Sosok yang dulu selalu menuntunnya untuk duduk di jok belakang kini hanya melempar senyum lebar, pun cewek di belakangnya yang ikut melambaikan tangan. Bibirnya terasa begitu kaku untuk sekedar pura-pura tersenyum. Sampai mereka berlalu ia menghembuskan nafasnya. Mengambil handphone dari sakunya untuk menghubungi seseorang. Mungkinkah meminta Denis mengantarkannya pulang adalah keputusan yang tepat?
Gerakan tangannya terhenti. Tidak, Maisha tidak boleh menuruti emosinya yang sedang naik. Lagian apa yang akan dipikirkan cowok itu nanti kalau dirinya tiba-tiba bersikap seolah mereka begitu akrab?
Melihat kendaraan besar yang berjalan pelan ke arahnya, Maisha kembali memasukan benda pipih tersebut ke saku. Lalu menaiki bis yang berhenti di depannya dan mendudukan badannya lesu.
Matanya mengarah keluar jendela, memandangi beberapa kendaraan yang berlalu lalang juga gedung-gedung pencakar langit. Namun, tatapannya terhenti mendapati keberadaan dua sejoli di depan taman. Maisha meremas ujung roknya, menyalurkan emosi yang terasa akan meledak. Seharusnya ia yang berada di sana, menerima secorong ice cream strawberry yang Ken belikan ketika dirinya merajuk. Harusnya juga tangan itu menyentuh ujung kepalanya, menghiburnya saat ia sedih.
Maisha memeluk ranselnya lalu menenggelamkan wajahnya, meluapkan emosi berbentuk cairan bening dari kedua ujung matanya. Isakan dari bibir mungilnya juga getaran di pundaknya membuat beberapa pasang mata melesatkan tatapan iba. Namun, Maisha tak peduli. Dirinya yang biasa tak ingin di kasihani memilih mengikuti kata hatinya, karena untuk saat ini, hanya tangisan yang membuat dadanya terasa lebih luang untuk beberapa waktu.
Setelah dua puluh menit, Maisha turun dari bis. Berjalan memasuki kawasan perumahannya. Langkahnya terhenti mendapati sosok yang tengah duduk di atas motornya. Menyadari kehadirannya, cowok itu langsung menghampirinya. Ada raut kaget saat mata mereka bertatapan. Mungkin menyadari matanya yang bengkak atau hidungnya yang memerah.
Maisha melengos, hendak berlalu ketika sebuah tangan yang menahannya.
"Lo gak papa?" tanyanya. Maisha hanya menatap datar, "Menurut lo aja gimana, Yan?"
Tanpa menunggu respon Dean, Ia langsung membuka gerbang, memasuki kediamannya tanpa menoleh lagi. Dean sendiri hany mematung dengan perasaan bersalah yang menggrogotinya. Ia pikir mengabaikan Maisha takan jadi masalah. Toh, sepeduli apapun dirinya, Dean sudah mulai terbiasa membiarkan Maishanya yang manja pulang sendirian. Namun, berbeda dengan apa yang ia rasakan tadi. Perubahan di raut wajah cewek itu, lalu bahunya yang terlihat begitu rapuh saat berjalan meninggalkannya.
Dean sampai membatalkan janjinya hanya untuk memastikan kalau cewek itu sampai dengan selamat. Akan tetapi saat mendapati sisa kesedihan di wajah itu, hatinya terenyuh seketika. Ia tahu kalau Maisha lagi-lagi menangis tanpa tempat bersandar. Dan Dean merasa menjadi sahabat yang paling buruk untuk cewek mungil itu.
***
Kedatangan dua manusia berlainan jenis membuat beberapa siswa yang sudah berada di sekolah sedikit kaget. Pasalnya si cewek memang tak pernah dekat dengan siapapun selain ketiga sahabat cowoknya, kini malah turun dari boncengan seorang Denis. Cowok yang termasuk dalam jajaran siswa pandai di sekolah.
"Makasih ya, Den. Kalau gak ada lo mungkin gue bakal terlambat." Ucapnya tulus. Cowok itu mengangguk dengan senyuman tak lekas hilang dari bibirnya. Siapa yang tak bahagia jika pagi-pagi sudah bertemu dengan pujaan hatinya?
"Kalau gitu gue ke masuk dulu." Pamit Denis meski dirinya masih ingin berlama-lama.
"Iya silahkan."
"Em, Sha." Maisha yang hendak melangkahpun menoleh pada cowok itu yang terlihat kikuk, "Yang semangat belajarnya."
Maisha terkekeh melihat raut salah tingkah tetangga kelasnya itu, "Lo juga, Den."
Setelah Denis memasuki kelas, Maisha berjalan dan memasuki kelasnya. Ia melambaikan tangan pada Rana yang memamerkan senyumnya, "Hebat banget, pagi-pagi udah dapet moodboster nih!"
Maisha hanya tertawa palsu, "Emang yang punya pacar aja yang harus punya moodboster."
"Jadi, udah sejauh apa hubungan lo sama tuh tetangga sebelah?" tanya Rana penasaran. Maisha mengeluarkan buku dari ransel untuk memeriksa ulang tugasnya, "Kita cuma kebetulan ketemu pas gue nunggu bis. Dia ngajak, dan gue gak ada alasan buat nolak."
"Jadi, lo mulai tertarik sama dia?" Rana memicing curiga. Maisha sendiri membalas ucapannya dengan santai, "Bukannya itu bagus? Bakal ada yang kasih perhatian sama gue."
"Ck, lo jadi kayak cewek yang kurang perhatian aja sih!" protes Rana membuat raut wajah Maisha berubah seketika. Cewek itu menjatuhkan bolpoinnya.
Rana yang menyadari kesalahannya langsung memukul bibirnya, menyentuh lengan kurus itu, "Cha, maaf. Gue gak mak-"
"Gue emang cewek yang kurang perhatian, Ran. Lo gak usah merasa bersalah." Maisha menutup bukunya kemudian berdiri dari duduknya dan melangkah keluar kelas. Mengabaikan Rana diliputi rasa bersalah.
***
"Chacha kenapa?" tanya Rega melihat Maisha dengan wajah betenya berlalu bergitu saja. Rana meringis lalu menceritakan kejadian sebenarnya.
"Lo kok bisa-bisanya ngomong gitu?" Cecar Ken dengan tatapan tajamnya.
"Guekan udah bilang gak sengaja, kok lo nyolot sih?" balas Rana bertolak pinggang. Tak terima disalahkan oleh orang yang kenyataannya lebih banyak menanamkan luka di hati sahabatnya.
"Udah kenapa sih? Kok kalian malah ribut?" Lerai Dean melihat perdebatan keduannya. Rega sendiri mendekati Rana dan menyuruh cewek itu duduk dengan tenang.
"Lo tau gak Ken, omongan gue tadi gak ada apa-apanya dibandingin dengan sikap lo sama dia akhir-akhir ini." Rega dan Dean menghela nafas bersamaan. Jangan harap berdebat dengan seorang Rana akan dapat penyelesaian dengan begitu mudah.
"Maksud lo apa?" Ken mengernyit tak mengerti.
Tahu kalau semakin dilanjutkan keadaan akan semakin panas. Dean hendak mengajak cowok itu keluar kelas, tapi Ken malah bersikukuh menuntut jawaban. Rana juga malah semakin menimpali, "Lo emang gak suka nyadar diri. Baru dapat pacar sekelas Wulan aja lo udah lupain sahabat lo yang nemenin lo dari kecil, hh."
Mata Ken terbelalak, begitu juga giginya yang kini bergemelatuk, "Jangan ngomong sembarangan ya, Ran. Gue gak suka main kasar sama cewek."
"Gak suka main kasar tapi bisanya nyakitin cewek? Apa gak sama aja tuh?"
"Ran, udah!" Dean memberikan tatapan peringatan.
"Apasih lo, Yan? Gue bicara sesuai fakta ya, dia gak tau kan gimana kecewanya Maisha saat tahu kalau sahabatnya jadian di belakangnya? Dia ke mana saat Maisha lagi butuh? Dia bersikap seolah-olah emang gak pernah menganggap penting Maisha sebelumnya." Rana kembali mengarahkan tatapan pada Ken yang kini terhenyak, "Di mana sih perasaan lo saat ninggalin dia pulang sendirian? Lo gak tau kan kalau dia pernah ujan-ujanan pulang karena gak dapet bis? Lo gak tau juga beberapa kali dia di godain penumpang lain atau hampir kecopetan? Mikir dong lo! Jangan bisanya cuma nyalahin orang." Teriakan Rana membuat beberapa siswa yang berada di kelas menoleh penasaran. Melihat perdebatan diantara kelima sahabat itu adalah hal asing yang mereka temui.
"Apa liat-liat?" Sontak semuanya langsung berpura-pura kembali sibuk dengan telinga yang tetap dipasang tajam. Kemarahan Rana memang begitu ditakuti oleh mereka.
"Gak bisa ngomongkan lo? Makanya jangan otak aja dipake, hati juga!" Setelah itu, Rana ikut beranjak keluar. Bermaksud meredakan amarahnya yang tak bisa dikontrol juga mencari keberadaan Maisha untuk meminta maaf.
"Cha," lirihnya saat mendapati Maisha tengah memilih beberapa minuman dalam freezer.
"Ran, menurut lo hari ini gue harus beli yogurt rasa apa?"
Rana mulai paham, Maisha akan mengatakan sesuatu yang absurd ketika cewek itu tengah dalam kondisi tak baik. Seharusnya Maisha marah padanya, mengatakan tak suka dengan ucapannya bukan malah bersikap semuanya seolah baik-baik saja.
"Dasar, bego!" Mendengar umpatan tersebut. Maisha mendongkak, Rana menatapnya dengan tajam, "Lo kalau mau marah harusnya marah, gak suka bilang gak suka, bukan malah kayak gini.
Maisha terdiam sejenak, kemudian memberikan senyum tipisnya sebelum beranjak untuk membayar pada ibu kantin. Cewek itu kembali menghampiri Rana, "Gue udah terbiasa hidup kayak gini."
Rana membuang nafasnya kasar, "Maaf, Cha. Tadi gue gak bermaksud nyinggung perasaan lo."
Maisha mengangguk, "Gue gak papa kok. Gue nya aja yang akhir-akhir ini lagi sensitif."
Rana meloloskan nafasnya lega. Maisha itu perpaduan yang sangat unik. Tak mudah dibaca, bahkan dirinya baru mengerti cewek itu setelah hampir dua tahun bersahabat.
"Kalau gitu, kita ke kelas yuk. Bentar lagi masuk." ajaknya pada Maisha yang menusukkan sedotan dengan susah payah sebelum akhirnya menyeruput yogurt dengan semangat penuh.
***
Maisha tidak tahu, mengapa Ken terlihat aneh semenjak dirinya dan Rana memasuki kelas. Bahkan cowok itu tak mau melihatnya sama sekali. Kalaupun kedapatan mereka bersitatap, maka dengan sendu ia akan membuang pandangan. Sekarang juga ketika jam pelajaran kedua guru tidak masuk kelas dan hanya memberikan beberapa tugas, cowok itu malah keluar kelas bersama Rega. Malah Dean yang biasanya langsung kabur tetap duduk anteng dibangkunya.
Rana ijin pergi ke toilet, meninggalkannya sendirian karena memang Maisha tak terlalu akrab dengan teman cewek di kelasnya. Ia menidurkan kepalanya menyamping, memandangi teman-temannya yang sibuk masing-masing. Ia menutup matanya, merilekskan pikiran. Tugasnya memang sudah selesai ia kerjakan bersama Rana. Mendengar gesekan bangku di sebelahnya ia tetap bergeming, mungkin Rana telah kembali. Namun, dugaannya salah.
"Dek, sorry buat kemarin."
Mata cewek itu terbuka, menampilkan sosok Dean yang kini menatapnya penuh sesal. Maisha tersenyum, "Gak papa. Lagian gue pulang dengan selamat."
Cowok itu masih memberikan tatapan bersalahnya dan Maisha tak suka. Ia akhirnya menegakkan badan, menghadap cowok kurus di depannya. "Lo udah ngerjain tugasnya?"
Dean menggeleng, memperlihatkan lembar bukunya yang kosong. Sebenarnya ia merasa sedikit bingung karena tak biasanya Dean mau mengerjakan, "Mau liat punya gue?"
Cowok itu terdiam sejenak, "Boleh?"
Maisha mengangguk, "Tapi abis lo nyalin, gue bakal jelasin biar lo ngerti."
"Ok," setuju Dean menerima buku yang diserahkan padanya.
Maisha kembali menidurkan kepalanya dengan sebelah tangan sebagai alas. Tatapannya terarah pada Dean yang kini serius memindahkan jawaban ke bukunya. Cowok itu sesekali mengernyit padahal menyalin bukanlah hal yang menguras otak.
"Yes, dikit lagi," gumamnya tersenyum seperti anak kecil yang mendapat hadiah. Melihatnya, Maisha tiba-tiba mengangkat tangannya yang bebas, menuju cekungan kecil di sisi wajah cowok itu untuk menyentuhnya. Hal tersebut membuat Dean menghentikan aktivitasnya, meliriknya yang memandang dengan tatapan kagum. Sejenak, keduanya sama-sama terpaku. Entah sadar atau tidak, mereka menghabiskan beberapa puluh detik untuk saling menatap.
"Gue kira kemungkinan besar lo bakal jatuh cinta sama gue, dek." ujar Dean menggenggam jari-jari lentik yang masih menempel di wajahnya. Maisha sendiri, bukannya malu karena kedapatan memperhatikan cowok itu malah terkekeh.
"Dan gue gak yakin itu bakal terjadi selama lo jadi cowok bandel yang hobinya bolos sekolah." Maisha menurunkan tangannya dan menegakkan badan. Tak lupa dengan senyuman angkuh yang mengisyaratkan bahwa dirinya meragukan dugaan tersebut. Dean berdecak lalu mengacak surai hitam cewek itu dengan gemas, "Euh dasar ya, bocah songong!"
"Ih, Dean! Rambut gue berantakan, jangan diacak-acak dong!" keluh Maisha merapikan rambutnya. Dean tertawa, melihat kekesalan cewek itu merupakan hiburan tersendiri baginya.
"Ciee marah, ciee." godanya merangkul bahu Maisha yang kini berusaha berontak, "Awas ah!"
"Gak mau, bakal gue lepas-"
"Kalian lagi ngapain?" Suara tak asing itu menghentikan keduanya. Dean mendengus lalu melepaskan rangkulannya, "Keliatannya?"
Ken malah mendelik kemudian melirik Maisha yang kini mendekatkan posisi duduknya pada Dean. Menjelaskan sesuatu sambil menunjuk tugas di hadapannya.
"Istirahat nanti, kita perlu bicara, Cha." ujar Ken setelah mendudukan badannya. Maisha hanya menaikkan sebelah alis lalu melanjutkan aktivitasnya.
"Cha," lirih Ken karena tak mendapat tanggapan. Maisha dengan malas mendongkak dan menjawab singkat "Iya."
Tak biasa diabaikan seperti ini oleh cewek itu, Ken menggeram kesal. Terlebih mendapati Dean yang menyeringai lebar, seolah mengejek akibat perbuatannya selama ini.
***
"Cha, maaf." Maisha menatap tak mengerti saat Ken tiba-tiba meminta maaf.
"Tadi pagi waktu kamu keluar, aku sempet debat sama Rana." ucapnya lirih. "Katanya aku akhir-akhir ini gak pernah ada buat kamu. Aku seolah lupain kamu dalam sekejap."
Maisha sekarang tahu alasan Ken seperti menghindarinya sejak pagi, ditambah tatapan sedihnya. Tapi jika Rana tak mengatakan apapun, akankah cowok itu menyadari kesalahannya? Jawabannya mungkin tidak.
"Gimana kalau Rana gak pernah bilang itu?" tanya Maisha pelan, tapi masih dapat terdengar oleh cowok di sebelahnya. Ken terdiam sejenak, memang benar jika Rana tak mengatakan apapun mungkin dirinya takan sadar itu. Maisha menghela nafas panjang. Diliriknya tangan Ken yang masih berada di atas tangannya. Hangat, tapi ia merasa hambar.
"Ken, jujur aja aku kecewa saat tau kamu jadian sama Wulan. Takut, kamu bakal lupain aku dan memang ketakutan itu bener-bener terjadi." gumam Maisha, "kamu pikir, gimana perasaan aku saat kamu yang selalu ada buat aku berubah dalam sekejap?"
Ken tak menjawab
"Sakit, Ken."
"Cha, maaf. Aku janji akan berusaha luangin waktu buat kamu." Ken kini memegang pundaknya, terlebih mendapati mata Maisha yang berkaca-kaca.
"Aku ... bakal ikhlas kamu sama Wulan. Tapi tolong jangan gini Ken, bersikap seolah-olah aku adalah orang asing. Aku juga bakal cari cowok yang bisa cinta dan peduli sama aku, tapi apa kamu gak bisa inget aku sebentar aja? Aku sampai berpikir, apa yang udah Wulan lakuin sampe kamu seolah lupa sama keberadaan aku?"
Ken menggeleng, "Cha, gak gitu. Wulan gak pernah ngelakuin apapun, ini emang kesalahan aku seutuhnya. Aku janji bakal perbaikin itu."
Mengangguk, Maisha memandang cowok itu dengan menuntut, "Janji? Ok, kalau gitu aku pegang janji kamu, Ken."
"Ok," Ken tersenyum lega lalu berdiri, "Kalau gitu, kita ke kantin yuk! Mereka udah nungguin. ajaknya menyodorkan tangan di depan wajah Maisha.
"Mereka? Termasuk pacar kamu?"
Ken mengangguk kaku, Maisha menerima uluran tangan itu setelah terdiam sejenak. Ia pikir ini awal yang baik untuk mereka, ternyata nama Wulan masih saja membayanginya.
"Darimana aja sih kalian? Lama banget." Maisha memutar bola mata saat kedatangannya langsung mendapat protesan dari Rega. Diliriknya Rana yang malah fokus dengan gamesnya. Kemudian tatapannya tertuju pada Wulan yang terlihat tertegun. Tentu ia tahu penyebabnya, Maisha yang seolah lupa janjinya malah sengaja mengeratkan genggamannya, menarik Ken agar duduk diantara dirinya dan Wulan.
"Dean mana?" tanyanya ketika tak mendapati keberadaan cowok itu. Mereka hanya mengangkat bahu.
"Kamu mau pesen apa, Cha?" Maisha melirik Ken yang menunggu jawaban lalu tersenyum riang, "Makanan favorit aku dong. Masa kamu lupa?"
Ken mengangguk kemudian menoleh pada sang pacar yang sejak tadi melihat interaksi keduanya. Mengusap sekilas lengannya sebelum beranjak untuk memesan makanan. Maisha mendengus, tapi sepertinya hal itu disadari Wulan yang menoleh padanya dengan tatapan bingung. Maisha malah semakin melampiaskan ketidaksukaannya dengan memalingkan wajah. Beruntung kelakuannya tak di sadari kedua sahabatnya. Lebih beruntung lagi tak ada Dean yang selalu siap siaga memantau gerak geriknya. Ngomong-ngomong, Maisha jadi penasaran di mana keberadaan cowok itu?
"Nih!" Sepiring nasi goreng dan sekotak susu vanila mendarat di mejanya. Maisha malah mengernyit, "Susu Vanila?"
Ken dibuat tak mengerti dengan reaksi cewek itu, "Iya, bukannya itu minuman favorit kamu?"
"Udah enggak kali! Situ sih gak pernah peduli, gimana bisa tau?" kalimat tersebut bukan berasal dari mulut Maisha, melainkan cewek yang kini mengunyah makanan sambil menatap pada handphone-nya. Namun, Maisha tahu kalau cewek itu tengah menyindir Ken.
Ken terhenyak, ternyata Rana masih belum melupakan perdebatan mereka. Rega sendiri kini menyenggol bahu Rana agar cewek itu diam, yang di balas delikan tajam sang empunya.
"Em, aku masih suka kok," Maisha langsung mengambil minuman tersebut dan meminumnya. Mulutnya bergerak-gerak pada Rana yang intinya memperingatkan. Ia pikir cewek itu mengangguk karena mengerti, "Yogurt, Chacha sekarang suk-"
"Rana!"
"Rana!"
Cewek itu langsung menutup mulut. Maisha dan Rega spontan menegurnya yang masih saja iseng memberi pelajaran pada Ken yang sudah terduduk kaku. Sedang Wulan terlihat sebagai penonton atas aksi keempat sahabat yang membuatnya jadi merasa tak nyaman.
***
From: Adik Manis
Gue mau yogurt
Dean menghela nafasnya. Maisha selalu menerornya dengan meminta dibelikan minuman asam tersebut. Ia melirik jam di pergelangannya yang menunjukan bahwa sekitar sepuluh menit lagi bel istirahat berakhir.
"Yan, ayo lanjut lagi!" Cowok itu tersadar saat Bagus menyenggol bahunya. Ia menyimpan benda pipih itu dan lanjut memetik gitarnya, sedang beberapa teman lainnya bernyanyi. Getaran handphone membuyarkan konsentrasinya, Maisha berusaha meneleponnya. Lagi-lagi Dean berhenti membuat teman-temannya keki, merasa terganggu. Padahal beberapa langkah dari tempat mereka, salah satu siswi tercantik di sekolah akan lewat, tapi gara-gara Dean mereka tak jadi memasang aksi 'cari perhatian' nya.
"Ya elah kenapa lagi sih?"
"Lo mah lagi seru-serunya malah berhenti."
Mengabaikan kekesalan tersebut, Dean menyerahkan gitar pada Aryo yang duduk di sebelahnya. Ia sedikit menjauh untuk menjawab panggilan tersebut. Namun, belum sempat menggeser tombol berwarna hijau, sosok di seberang sana mengakhirinya. Dean berdecak, tapi tak berapa lama sebuah chat kembali masuk.
From: Adik Manis
Lo di mana sih? Gue mau di beliin lagi yogurt dong.
To: Adik Manis
Minta beliin Rega sana!
From: Adik Manis
Pelit!
Dean hampir menjatuhkan hanphone-nya. Dirinya yang hampir setiap hari membelikan cewek itu malah disebut pelit. Jelas dirinya tak terima.
From: Adik Manis
Di mana?
To: Adik Manis
Siapa?
From: Adik Manis
Tukang sayur.
Ya lo lah! Ogeb.
"Anjir! Gue udah disebut pelit, bego lagi!" teriaknya membuat beberapa orang langsung menoleh ke arahnya. Tapi bukan Dean namanya kalau tahu malu. Cowok itu malah menunjuk-nunjuk handphone-nya sambil menggerutu, "Awas aja kalau ketemu, gue jiwel-jiwel pipinya."
"Yan! Lo masih waras kan?" Dean sontak melotot pada adik kelasnya yang tak sopan. Aryo sendiri malah cengengesan sambil mengangkat jarinya mengatakan kata damai.
"Lo lagi chat-an sama siapa sih? Ribet banget perasaan." Tukas Irsyad yang memiliki suara paling bagus diantara mereka.
"Perasaan juga lo gak punya gebetan, sok sibuk banget sih." Dan perkataan Bagus sukses membut matanya membola, "Heh, lupa ya diantara kita siapa yang paling ganteng? Gue!"
Sontak semua yang ada di sana menyorakinya mendengar ucapan over pede Dean. Meski dalam hati mereka membenarkan ucapan cowok itu. Tapi buat apa ganteng juga kalau kelakuan amburadul?
"Iya deh yang lagi pedekatean sama Mentari mah. Cukup tau aja ya," sindir Aryo dengan menaik-naikan sebelah alisnya menggoda. Mentari itu teman sekelas Aryo yang berarti adik kelasnya. Beberapa kali kedapatan tengah memperhatikan Dean bahkan tak segan-segan menitip salam pada Aryo yang hanya di balas cuek atau anggukkan cowok itu.
"Jadi lo bener pedekate sama tuh si barbie?" Dean hanya menatap Bagus yang berlebihan menggambarkan visual cewek itu. Memang cantik sih, juga bentuk tubuhnya yang proporsional, tapi tak cukup menarik perhatian Dean untuk saat ini.
"Siapa bilang? Sok tahu banget sih, kalian!" elak Dean, dengan jari yang bergerak lincah untuk membalas chat dari Maisha. Namun, belum sempat terkirim karena sosok tersebut sudah muncul sambil memanggil namanya keras, membuat beberapa pasang mata mengarah pada si mungil dengan senyuman manis itu.
"Ardean, ih! Kok chat gue gak dibales?" sebalnya melewati sekumpulan cowok untuk menghampiri Dean. Bahkan Maisha tampak acuh saat Aryo yang langsung berbinar dan hendak melaimbaikan tangan.
Dean memasukan handphone ke saku seragamnya, lalu menghela nafas saat Maisha sudah menyodorkan tangan dengan senyuman lebar, "Apaan?"
"Pingin yogurt rasa blueberry." ucapnya polos. Maisha layaknya seperti anak yang minta uang jajan pada orang tuanya. Mungkin juga karena cewek itu tak pernah melakukan hal tersebut pada orang yang seharusnya. Sekarang entah Dean harus prihatin atau sebal.
"Rega mana?" tanya Dean membuatnya mendengus, "Di kantin sama yang lain."
"Terus ngapain lo malah ke sini?" Dean tak habis pikir. Jauh-jauh cewek itu mencarinya hanya untuk sekotak yogurt, jelas-jelas para sahabatnya berada di dekat penjual minuman tersebut, "emang mereka gak bawa duit? Atau jatuh miskin bareng-aws sakit tau!"
"Jangan ngomong gitu! Gak baik." Dean memutar bola matanya. Memang yang dilakukan cewek di depannya baik? Tapi hal tersebut hanya ia katakan dalam hati.
"Tadi gue dikasih susu vanila sama Ken," gumamnya memberi tahu Dean.
"Terus?"
"Ya, gue terima soalnya gak enak juga mau nolak." jawab cewek itu menatap Dean yang menatapnya dengan wajah tak paham, "tapi gue lebih suka yogurt pemberian lo. Susu Vanila cuma ngingetin gue sama Wulan. Juga hubungan mereka."
Melihat wajah Maisha yang berubah mendung, akhirnya ia merogoh saku celananya dan menyimpan sesuatu di telapak tangan cewek itu, "Nih uangnya. Beliin gue satu, nanti bawa aja ke kelas."
"Yes." serunya tertahan. Namun, masih dapat Dean dengar hingga ia menahan senyumnya, "Ya udah sana! Nanti keburu bel."
"Siap komandan!" Maisha berbalik melewati teman-temannya yang semenjak tadi memperhatikan interaksi keduanya. Dean dapat mendengar siulan menggoda yang dilontarkan pada Maisha ketika lewat. Melihat Maisha yang membalas sapaan salah satu dari mereka, Dean mendengus. Sejak kapan cewek itu terlihat akrab pada setiap cowok?
"Heh, sahabat gue itu. Gak usah pada genit ya, gue tau kalian tertarik tapi gak bakal gue restuin."
"Yah," seru mereka berbarengan.
"Lo mah sana Denis aja disetujuin, masa sama temen sendiri enggak?" Irsyad terlihat kecewa. Dean sendiri malah mendelik, "Siapa bilang?"
"Lah gue pernah liat mereka berangkat bareng sama ngobrol akrab gitu. Tapi semenjak kabar Ken jadian sama Wulan, gue ngerasa Maisha lebih terbuka ya?" pikir Irsyad.
"Gue rasa gitu. Mungkin gak, ada kesempatan buat gue, Yan?"
Dean memukul kepala cowok itu, "Belajar sopan dulu sama yang lebih tua!"
Aryo meringis, sedang yang lain malah tertawa puas. "Ck, ternyata pawangnya Maisha ganti jadi lebih kejam dari yang sebelumnya."
"Gue gak lupa kalau baru minggu kemarin ada anak sekolah sebelah yang nangis-nangis karena baru diputusin, padahal baru jadian beberapa jam. Jadi, gue ragu buat masukin lo dalam list cowok yang harus dipertimbangin." ucap Dean menyeringai. Aryo kini mati kutu.
***