Tentang rela yang mampu kulakukan dengan terpaksa.
***
Suasana kelas begitu ramai karena bel masuk belum berbunyi. Maisha yang biasanya sudah berada di dalam kelas, entah untuk berbagi cerita dengan para sahabatnya atau sekedar memainkan handphone kini lebih memilih duduk sendirian di depan ruangan kelas. Helaan nafas berkali-kali keluar dari bibir tipisnya. Memikirkan hubungann Ken dan Wulan membuat kepalanya terasa akan pecah. Ia menoleh ketika merasaka seseorang duduk di sampingnya.
"Tumben sendirian di sini?" Cowok itu membuka suara yang di jawab dengan datar olehnya, "Pingin cari angin aja."
Rega mengangguk lalu menggeser badannya mendekat, "Cha, sorry."
Cewek itu menatap Rega dengan sebelah alis terangkat sebelum mengangguk.
"Gue gak tau lo bakal ngerasa sesakit ini." Jujur Rega nada penuh penyesalan, "mungkin gue gak bisa buat Ken kembali sepenuhnya, tapi gue janji bakal lakuin apapun asal lo gak macem-macem kayak kemarin. Lo maukan?"
Maisha terkekeh, "Lo, kenapa jadi melow banget sih, Ga?"
"Kita semua sayang sama lo, Cha. Walaupun Ken gak bisa selalu ada buat lo, masih ada gue, Dean, juga Rana." Cowok itu memegang bahunya yang kini menundukan wajah, "Cha, Ken sayang sama lo, juga cinta sama Wulan. Dia gak bisa milih kalian gitu aja."
"Gue ... juga cinta sama dia?" tanyanya lirih. Namun, Rega tahu ada kebingungan dalam tatapannya. Akhirnya ia menggeleng, "Lo sayang sama dia sebagai sahabat juga saudara karena kalian udah bareng-bareng dari kecil."
Maisha mendongkak dengan mata berkaca-kaca.
"Lo cewek kuat. Di usia semuda ini udah bisa ngelewatin semuanya sendiri. Kalau gue ada diposisi lo, kayaknya gak bakalan sanggup, tapi lo? Lo masih bisa hidup kayak anak-anak lain bahkan lebih. Lo yang ceria, cerewet, manja, dan kadang menjengkelkan. Orang-orang sampai gak tau lo ngalamin banyak kesakitan dan kesulitan selama ini."
"Lo ngehibur gue?"
Menggeleng, Rega menghapus air mata di wajah cewek itu. Sesekali meringis karena menjadi pusat perhatian beberapa teman sekelasnya yang lewat. Beruntung posisi kelas mereka di ujung sehingga tidak banyak siswa lain yang berkeliaran.
"Apa kalau gue jatuh cinta sama cowok selain Ken semua bakal indah? Padahal cuma Ken yang mengerti banyak hal tentang gue." Baru kali ini Rega melihat sisi rapuh Maisha yang begitu dalam. Andai saja dulu dirinya mendengarkan perkataan Dean, semua takan menyakiti cewek di depannya sampai seperti ini.
"Cha, cinta itu indah. Ketika lo ngerasain itu, maka kesakitan lo perlahan akan hilang. Tapi ingat Cha, seindah apapun cinta pasti bakal ada yang namanya sakit dan kecewa, itu udah konsekuensinya. Lo cuma perlu berani buat buka hati untuk cowok di luar sana."
"Apa ada yang suka sama gue?"
"Pasti ada. Lo cuma perlu untuk lebih membuka diri." Jawab Rega dengan jujur.
"Apa lo juga suka sama gue?" Rega terkekeh pelan, "Gue suka sama lo, tapi masih sebagai sahabat. Nanti gue bakal bilang langsung kalau udah jatuh cinta beneran."
Sontak wajah Maisha langsung memerah malu. Hal tersebut semakin membuat Rega gemas. Dirinya merasa seperti tokoh Dilan dalam film layar lebar. "Tapi gimana gue bisa tau lagi jatuh cinta?" bingungnya. Takut salah membaca perasaannya sendiri.
"Gue gak bakal kasih tau sekarang. Lo cuma perlu datang ke gue ketika ngerasain sesuatu yang asing saat bersama seseorang." Jawab Rega mantap, layaknya pakar dalam percintaan. Padahal dirinya baru saja mengalami kegagalan.
"Kata-kata lo lebih mempan dari Dean," gumamnya polos "iya, Dean bisanya cuma bentak-bentak. Ngomongnya kayak orang lagi marah."
Sontak Rega tertawa mendengarnya. Maisha yang sempat berbuat hal tak di sangka ternyata masih saja menyimpan keluguannya. "Dean cuma terlalu sayang sama lo, dia gak mau lo berbuat hal yang malah ngerugiin diri sendiri. Sekarang paham kan?"
Mengangguk, Maisha tersenyum dengan air mata yang sudah mengering di wajahnya. Hanya tersisa warna kemerahan di hidungnya.
***
Maisha berusaha melapangkan hati ketika melihat Ken dan Wulan duduk berhadapan di meja seberang, sesekali bergiliran mencoba makanan mereka. Ia ingin menghindar, tapi perkataan Rega pagi tadi terngiang di telinganya. Makanya Maisha akan berusaha menerima. Merasakan bahunya dirangkul seseorang, ia menoleh. Rana duduk di sampingnya dengan tersenyum hangat.
"Maaf, akhir-akhir ini gue sibuk sendiri. Gue janji bakal sering ada buat lo," bisiknya dengan tatapan hangat penuh persahabatan. Maisha mengerti kalau Rana memiliki banyak kesibukan. Selain mengajar karate, beberapa hari terakhir saudaranya masuk rumah sakit sehingga harus pandai membagi waktu.
"Gue gak papa kok," ujarnya memaksakan tersenyum, "thanks ya Ran buat semuanya, padahal selama ini gue gak pernah mau terbuka sama lo."
"Karena sebenernya tanpa lo bilang, gue udah tahu cuma liat dari sini," Rana menunjuk wajahnya, "lo terlalu mudah dibaca, dan bodohnya Ken gak peka."
"Nih!" Melihat minuman yang kini menjadi favoritnya disodorkan ke depan wajahnya, mata Maisha langsung berbinar.
"Ini gratiskan?" teriaknya tertahan, cewek di sampingnya hanya mengangguk, "Makasih!" Maisha memeluk Rana dengan semangat penuh. Kesedihannya langsung lenyap hanya karena dua buah yogurt berbeda varian rasa.
"Jangan makasih sama gue," larangnya, "Itu dari Dean."
Maisha langsung melempar pandangan ke seluruh penjuru kantin, mencari keberadaan Dean yang jarang ada di sana saat jam istirahat tiba.
"Abis nitipin dia langsung cabut, jangan nanya ke mana dia pergi, Cha." Rana mendengus kemudian, membayangkan apa yang dilakukan sahabatnya yang satu itu.
"Kapan sih dia berubah?" lirih Maisha setelah menyeruput minuman pemberian cowok itu, "kemarin aja dia marah-marah, larang gue lakuin ini itu. Katanya gue harus tetep jadi cewek manisnya kalian yang gak neko-neko, tapi lo tahu sendirikan kelakuannya gimana?"
Rana tersenyum, "Cha, nasihatin orang itu emang mudah, ngelakuinnya yang sulit. Sama kayak Dean, dia udah mulai terbiasa hidup kayak gitu dan buat hilanginnya mungkin butuh waktu lama."
"Tapi dia gak pernah mau nyoba berubah, Ran." tegas Maisha jadi sedikit kesal.
"Makanya kita yang harus buat dia berubah. Gimana? Setuju?" Mendengar ajakan sahabat tomboynya, Maisha mengangguk cepat, "tapi kayaknya bakalan susah deh "
"Tenang, Cha. Kalau dia tetep gitu. Gue bakal gunain kekuatan gue buat banting badan kurus keringnya. Dia itu cuma sok-sok an jadi anak badung."
Cewek itu tertawa mendengarnya. Tak bisa membayangkan kalau Dean benar-benar diperlakukan kejam oleh sahabat perempuannya. Mungkin sikap sok cool ala playboy nya akan lenyap seketika.
***
"Ardean! Makasih minumannya baik banget sih? Makin sayang deh."
Dean yang baru masuk kelas setelah bel istirahat berbunyi dua puluh menit lalu menutup telinganya. Beruntung guru bahasa inggrisnya tak masuk, hanya memberi tugas untuk mengisi lks, "Iya, iya gue juga sayang. Udah duduk sana! Gak malu apa diliatin anak-anak?" perintahnya dengan bossy. Maisha yang tadinya tersenyum lebar kini cemberut, ia menghentakkan kaki lalu kembali ke kursinya.
Dean menggelengkan kepala sebelum kemudian meringis mendapati tatapan penuh ancaman dari mata milik Rana. Ia menyatukan kedua telapak tangannya, mengucapkan maaf lalu mendudukan badan dipinggir Ken yang sedari tadi ternyata memperhatikan tingkah keduanya.
"Lo ngasih apa ke Chacha?" tanya Ken penasaran. Dean yang baru duduk melirik sahabatnya, "Kenapa emang?"
"Sekarang kalian keliatan lebih akrab." Ada raut tak suka yang tergambar jelas di sana.
"Bukannya dari dulu kita emang deket ya? Lo nya aja kali yang perlahan ngejauh. Gak sadar kan?"
Ken tampak tertegun.
"Bukannya dulu lo yang minta gue sama Rega jaga dia? Sekarang kenapa lo malah keliatan gak suka gitu?" serang Dean, "Lagi gini aja lo peduliin si adek, tapi kalau ada Wulan, mana pernah lo inget punya sahabat kesayangan."
Ken tampak membalas ketika meja belakang menubruk bangku miliknya dan Dean hingga keduanya hampir terjengkang.
"Anjrit, lo kira-kira dong Ran! Kalau gue jantungan gimana?" teriak Dean mengusap dadanya. Ken sendiri ikut menatap kesal cewek berambut bob tersebut.
"Egp, emang gue pikirin? Udah deh kalau kalian mau ngegosip jangan keras-keras bisa? Kasian Maisha lagi ngerjain tugas." Rana menekankan nama sahabatnya, sebagai isyarat bahwa objek yang mereka bicarakan itu tengah duduk di belakang mereka.
Keduanya meringis, Maisha sendiri berpura-pura tak mengetahui apapun. Beruntung headset nya sejak tadi masih menyantol di telinga, meski sudah ia cabut dari handphone nya.
"Gue gak peduli bahasa inggrisnya apa?" Tanya Maisha tiba-tiba dengan polos.
"Whatever!" jawab Rana kemudian. Tatapan tajamnya tak lepas dari kedua cowok yang kini malah saling menendang kaki kursi di bawah sana. Jangan tanyakan Maisha yang kembali tenang dengan beberapa soal di depannya. Cewek itu pandai memanfaatkan raut lugunya.
***
Setelah kelas bubar Maisha berjalan beriringan dengan Rana, jangan tanya ke mana Ken pergi. Kalau Rega dan Dean mereka berencana pergi untuk sparing futsal.
"Lo tadi pagi ngomong apa sama Rega? Masuk kelas matanya merah banget. Istirahat tadi gue lupa mau nanyain." tanya Rana ketika mereka melewati koridor.
Maisha mengerutkan dahi lalu tersenyum tipis, "Dia cuma mengatakan sesuatu yang ngebuat mata gue terbuka. Itu aja sih."
Rana mengangguk paham, "Pantesan lo gak terlalu murung kayak kemarin-kemarin. Mempan juga tuh anak omongannya."
Pembicaraan mereka terus berlanjut sampai seseorang yang baru keluar dari kelas sambil berjalan mundur menabrak Maisha.
"Eh sorry, sorr-" ucapannya terhenti, "loh Maisha? Lo gak papa kan? Sorry yah gue gak sengaja." Cowok yang menabraknya seperti sebuah kebetulan itu menatap khawatir. Maisha mengelengkan kepala dengan senyuman tipisnya membuat sosok di depannya tertegun. Selama ini dirinya memang selalu menampakkan raut tak nyaman atau enggan.
"Gue gak papa kok, Den. Em kalau gitu duluan ya?" pamitnya masih dengan senyuman tersungging di bibirnya. Dalam keterdiamannya Denis mengangguk seperti terhipnotis.
"Tumben gak langsung kabur ketemu sama dia?" tanya Rana setelah meninggalkan Denis yang di belakangnya sudah senyum-senyum tak jelas.
"Kata Rega gue harus mulai buka hati, ngerasain jatuh cinta. Maka rasa sakit ini perlahan bakal hilang. Lagian gue gak mungkin terus-terusan pingin diperhatiin Kenar kan? Dia udah punya Wulan." lirihnya dengan getir, "emang sih sakit banget rasanya, Ran. Tapi gue harus bangkit kan?"
Rana langsung memeluk cewek mungil di sampingnya, "Lo boleh buka hati buat siapapun, tapi inget satu hal Cha. Jangan terlalu terburu-buru."
Maisha mengangkat tangannya melakukan sikap hormat, "Siap, kakak!"
Cewek tinggi itu hanya terkekeh.
***
Sejak pagi tadi Maisha dan sahabat perempuan satu-satunya itu terus-terusan saling berbisik dan cekikikan tak jelas, membuat ketiga cowok yang duduk di depannya beberapa kali menoleh dengan alis mengernyit. Saling melempar pandang meski tak mendapatkan hasil.
Pas bel istirahat berbunyi Maisha langsung berjalan menghampiri meja di depannya. Ken yang hendak menyapa langsung menutup kembali mulutnya mengetahui siapa sosok yang ia hampiri. Cowok itu mendengus sebelum keluar kelas terlebih dahulu, untuk apa kalau menjemput sang kekasih?
"Yan, kantin Yuk!" Dean sedang memasukan buku ke laci secara sembarang langsung mengangkat wajah, melirik Rega yang hanya mengedikkan bahu dan berlalu bersama Rana yang sebelumnya memberikan kode entah apa pada cewek di depannya. Maisha mengangkat kedua jari jempolnya dan kembali mengalihkan tatapan pada Dean.
"Gue gak bakal ke kantin, mending lo bareng mereka. Tuh keburu jauh," suruh cowok itu mendorong bahu mungil Maisha yang membuatnya berdecak.
"Gue pingin ditraktir yogurt lagi dong kayak kemarin." Dean mendengus, cewek di depannya di kasih hati malah minta jantung. Lama-lama uang Dean habis hanya untuk membeli minuman yang kini menjadi favorit cewek itu.
"Ya udah, bentar." Melihat Dean merogoh saku seragamnya, sontak ia menahan lengan itu, "Gue mau dipilihin langsung sama lo, kan banyak varian rasanya tuh."
"Dek, tinggal ambil aja yang belum pernah lo coba sebelumnya."
Maisha tidak menjawab, malah menarik lengan cowok itu sambil berlari kecil. Dean pasrah saja, dirinya tinggal membantu memilihkan minuman lalu pergi.
"Udah kan? Kalau gitu gue pergi ya?" tanya Dean, tapi Maisha malah berdiri dengan tangan menggenggam erat dua buah yogurt pemberiannya. Ia berdecak, sebelum akhirnya memberikan tatapan iba mengetahui objek yang dipandangi cewek itu dengan sendu, "dek, udahkan?" Kali ini ia bertanya lebih hati-hati.
Tersadar, Maisha hanya mengangguk dengan sunggingan senyum pedihnya, "Gue kira nyoba nerima semuanya bakal mudah, Yan. Dia emang cuma sahabat gue, tapi gak salahkan kalau gue ngerasa cemburu?"
Dean yang hendak pergi jadi tak rela melihat kondisi cewek itu. Akhirnya ia menarik Maisha ke tempat yang sangat cewek itu hindari.
"Hei guys!" sapanya membuat keempat orang yang sedang menikmati makan siangnya menoleh, membalas sapaan tersebut di sela kunyahan mereka, termasuk kedua sejoli yang tengah dimabuk asmara itu. Maisha hendak protes pada Dean yang malah memaksanya duduk tepat di samping Wulan.
Kenapa lo bawa gue ke sini? lirikan tajam Maisha yang berisi isyarat itu membuat Dean yang sudah berdiri untuk memesan makanan mendekatkan wajahnya.
"Lo cuma perlu hadapin mereka, belajar buat terbiasa." Bisik Dean berlalu dan kembali membawa dua mangkuk bakso. Menyimpannya ke depan Maisha yang langsung menoleh.
"Makan! Gue gak mau uang jajan gue sia-sia," suruhnya dengan otoriter. Maisha yang sedikit kesal dengan sikap cowok itu tak jadi marah karena semangkuk bakso pemberian Dean terlihat begitu menggoda.
Maisha hendak mengambil sebotol sambal ketika tangan lain sama-sama menyentuh botol tersebut. Keduanya saling memandang sampai dirinya terlebih dahulu membuang pandangan.
"Kamu mau sambelnya, Cha?" pertanyaan dengan suara lembut penuh keramahan itu entah mengapa malah membuatnya sebal. Tanpa direncanakan dirinya malah menjawab dengan ketus, "Enggak!"
Nada suara yang Maisha pikir pelan itu menjadi perhatian para sahabatnya. Ia tahu telah membuat kesalahan besar, terlebih Ken sekarang sudah melemparkan tatapan tajam padanya yang pura-pura tak menyadari.
"Kenapa jadi pada diem sih?" tanyanya Maisha dengan suara yang kembali biasa, juga tatapan andalannya. Mereka semua hanya menggeleng dan melanjutkan makan, tak ingin merasakan suasana canggung terlalu lama. Ken sendiri malah mengusap lengan pacarnya, menatap dengan tak enak hati yang dibalas senyuman oleh Wulan.
Maisha malah berdecih melihat adegan itu. Beruntung dirinya bisa menahan diri untuk tidak membanting mangkuk di depannya mengingat permintaan para sahabatnya untuk tak melakukan hal bodoh lagi. Namun, dirinya hanyalah manusia biasa yang tak bisa berubah dalam sekejap mata untuk merelakan lelaki yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun lebih. Selain itu, satu tangannya dicengkram kuat oleh Dean yang menangkap raut emosi di wajahnya. Cowok itu terlalu sigap dan ia hanya ingin melampiaskan perasaan kesalnya.
"Awas tangan lo! Gue mau makan." ucapnya dengan wajah memerah. Mereka kembali menatap bingung Maisha yang kini membentak Dean tak biasa. Dean sendiri terlihat menyerah dan melepaskan genggaman tangannya yang tak diketahui siapapun selain dirinya dan Maisha. Kemudian memandang tajam sekelilingnya, "Apaan liat-liat?"
Mereka langsung menggeleng, takut sekaligus bingung pada Dean yang tak biasanya marah-marah.
"Ada apa sih?"
"Gue kan dateng sama lo ke sini? Mana gue tau!" jawaban Rana terdengar ketika Rega berbisik karena penasaran. Sedang dua orang lainnya kini malah terlihat tak nyaman.
Sungguh, ini di luar rencananya dan Rana untuk membuat Dean tetap beristirahat di lingkungan sekolah. Kenapa sekarang jadi dirinya yang dibuat kesal cowok itu? Juga melihat kedua pasangan yang membuatnya muak.
***