Bintangmu kini telah tergantikan. Cahayanya yang indahpun mulai meredup.
***
Suasana kelas terdengar gaduh, padahal ada sang guru yang tengah memeriksa hasil kerja siswa. Memilih membiarkan karena menganggap muridnya tengah sibuk berdiskusi mengerjakan tugas yang diberikan, meski kenyataannya tak seratus persen benar. Ada saja siswa yang memanfaatkan keadaan untuk berleha-leha bahkan bergosip.
"Selesai," teriak cewek berkucir kuda dengan ceria. Ia menggerakan badannya, menghilangkan rasa pegal karena sejak tadi duduk.
"Wah, lo udah selesai? Beneran?" tanya cewek satu yang sejak tadi ingin membenturkan kepalanya pada meja. Belum sempat menjawab, ketiga cowok yang duduk berkerumun di depan mejanya ikut membalikan badan dan melemparkan pertanyaan yang sama.
Maisha mendengus mendapati tatapan tidak percaya para sahabatnya. Meski berada di peringkat 14 dari 29 siswa, ia cukup pandai dalam pelajaran matematika. Hanya saja Maisha malas untuk belajar. Lagian siapa yang akan protes meski dirinya mendapat peringkat terakhir di kelas? Tidak akan ada.
"Ajarin dong, Cha?" pinta Rana. Diikuti anggukan oleh para cowok itu.
"Bacain deh soalnya!" Tak lama, Rega langsung membaca soal dari buku paketnya. "Dua buah dadu dilempar secara bersamaan. Peluang muncul mata dadu dengan selisih 3 adalah ...,"
"Tuh, peluangnya berapa Cha?" tanya Rana tak sabar.
Tanpa melihat hasil kerjanya, Maisha malah mengetuk-ngetuk dahinya dengan jari, "Peluangnya ya?" Pikirnya keras, tak lama sebuah senyuman muncul di bibirnya, "tergantung, seberapa pandai kita manfaatin peluang itu."
Ucapan cewek itu menciptakan kernyitan, ia lalu tertawa. Dengan gaya menyebalkan meletakkan bukunya, "Nih liat aja hasilnya. Lagian males banget ngajarin kalian."
Setelah itu ia berlalu keluar kelas karena yang sudah mengerjakan boleh istirahat. Rega menggelengkan kepala, "Amboi, sombongnya tuh anak." Tetap saja meskipun begitu ia berpindah posisi untuk duduk di samping Rana, "liat dong gue!"
Rana berdecak, "Tadi aja bilang sombong." Kemudian melirik Dean yang malah bersandar pada dinding di belakangnya. Bukunya sudah dimasukan ke dalam tas membuat Rana geleng-geleng kepala, "Yan, kerjain cepet!"
Dean menatapnya, "Males. Tetep aja gak ngaruh kalau gue ngerjain."
"Biarin aja. Dia udah pinter, paling akhir semester peringkatnya naik jadi kesatu diurutan terakhir." Sontak Dean melotot mendengar gurauan sahabatnya. Ia memang mendapat peringkat menakjubkan di ujian kenaikan kelas kemarin. Rangking kedua terakhir. Dan hal tersebut membuatnya terus menjadi bulan-bulanan para sahabatnya.
"Chacha pinter juga kalau rajin, tapi yang gue heran, kapan dia mau bersikap dewasa?" gumaman Rega membuat Dean menoleh, mulutnya tak berhenti mengunyah permen karet. Rana sendiri langsung menyahut, tak terima sahabatnya dibilang seperti itu, "Kalau Chacha gak dewasa, dia gak mungkin nerima gitu aja perlakuan Kenar. Lo tau gak? Dia sempet bilang kecewa, tapi di depan sahabat lo yang gak tau diri itu dia cuma senyum doang."
Rega hendak membuka suara, hendak menyangkal karena bukan ke arah itu yang ia maksudkan. Namun, bukan Rana kalau tak berhenti bicara begitu saja, "Lo masih punya hati kan buat ngerasain gimana perubahan Chacha saat ini? Dia sekarang lebih sering menyendiri. Lo terlalu banggain pencapaian lo karena udah berhasil comblangin mereka. Apa lo pernah sadar sekali aja? Chacha selalu datang hampir kesiangan dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Dan lo tentu tau artinya apa."
Cewek itu berdiri untuk menyerahkan hasil menyalinnya, "Ah, udahlah lo gak bakalan ngerti karena semua cowok itu sama. Lebih sering gunain otak dari pada perasaannya."
Rega menghela nafas. Benarkah selama ini dirinya terlalu jahat pada Maisha? Ia melirik Dean yang tengah menatapnya datar, "Kenapa? Lo mau nyalahin gue juga?"
Dean menggeleng, "Sekarang bukan saat yang tepat buat saling nyalahin. Lo cuma perlu pastiin aja kalau apa yang Rana bilang itu salah."
"Caranya?"
Dean malah mengangkat bahunya. Rega sendiri hanya tertegun dengan pikiran yang berkelana.
***
Mereka benar, Maisha lebih suka menyendiri. Tepatnya menghindar dari kemungkinan besar harus disatukan dalam meja kantin yang sama dengan cewek itu. Lebih baik ia menenangkan diri sambil memikirkan cara untuk membawa Ken kembali ke sisinya. Tapi apa?
Pulang sekolahpun ia tak pernah lagi meminta diantarkan. Maisha kini mulai menyukai rutinitas menaiki bis menuju rumahnya. Melihat hiruk pikuk jalanan ibu kota dari jendela. Sambil sesekali memandang langit biru dengan panas yang menyengat.
"Cha?" Maisha yang tengah melamun sambil tiduran di ranjangnya langsung terbangun mendengar panggilan tantenya. Berjalan membuka pintu yang sengaja ia kunci.
"Turun sebentar ya?" pintanya dengan tatapan teduh.
"Em, iya tan." Tangannya di genggam sampai ruang tamu. Maisha hanya menurut sampai akhirnya ia menyadari ada seseorang di sana. Lelaki paruh baya yang merupakan cinta pertamanya.
"Hai sayang," Dengan senyum hangat lelaki itu menghampirinya, hendak memeluk buah hati yang selama beberapa bulan ini tak ia jumpai. Maisha melepas genggaman tangan sang tante dan mundur untuk menghindar. Hal tersebut membuatnya yang sudah mengangkat kedua tangan tersenyum pahit, "kamu apa kabar? Kenapa telepon papa gak pernah diangkat? Kamu gak kangen sama papa, sayang?"
"Kangen," lirih Maisha menatap dengan mata berkaca, "tapi apa papa bakal langsung dateng ke sini?"
Terenyuh, lelaki itu memegang kedua bahunya, "Maaf, papa terlalu sibuk akhir-akhir ini."
Maisha tertawa, "Sibuk nyiapin pesta ulang tahun anak kesayangan papa?"
Ia tahu memaksa bertemu dengan orang yang dirindukannya malah akan membuat hatinya sakit. Maisha tidak pernah lupa saat sang papa lebih mementingkan pesta adik tirinya dibandingkan menemaninya di rumah sakit karena terkena demam berdarah.
"Ah, sepertinya kita harus makan dulu. Yuk, Cha. Tante udah masakin sambal goreng kentang kesukaan kamu." ucap sang tante berusaha mencairkan ketegangan. Ia menyenggol bahu suaminya yang langsung mengangguk dan menepuk lengan sang kakak yang merupakan ayah kandung Maisha, "Iya mas, lebih baik makan dulu baru nanti kita ngobrol lagi."
Maisha menggeleng, "Sebenernya ada hal penting apa yang mau papa bicarain? Gak biasanya papa mau jauh-jauh datang ke sini."
"Cha," tegur Sonya. Papanya hanya menghela nafas, Maisha begitu keras kepala seperti mantan istrinya.
"Sayang, papa ke sini bawa kabar baik." Lelaki itu tersenyum lebar menciptakan harapan pada diri Maisha, mungkinkah kedua orang tuanya akan bersatu kembali?
"Papa udah bilang sama mama kamu, kalau papa bakal ajak kamu ke Jogja. Kita bakal tinggal sama-sama, sayang."
"Mama?" tanyanya penuh harap.
"Mama kamu udah setuju kamu tinggal bareng papa. Kalian bebas ketemu kapanpun." Maisha tersenyum miris, ia pikir doanya terkabul. Berisikan harapan yang selalu ia semogakan selama beberapa tahun terakhir.
"Gimana? Kamu mau kan? Papa bakal secepatnya urus surat kepindahan kamu."
"Enggak!" tegasnya, "papa pikir bisa seenaknya sama aku? Ternyata selama beberapa tahun ini kalian gak pernah berubah, masih aja egois. Aku cuma pingin tinggal bareng kalian berdua, apa susahnya sih?"
"Sayang, itu udah gak mungkin. Kita sudah punya keluarga masing-masing." Sang papa berusaha menggapainya, tapi lagi-lagi Maisha menghindar. Menyembunyikan dirinya di belakang Sonya.
"Kalau gitu, aku gak mau pergi!"
"Cha, jangan teriak di depan papa kamu." Tegur Saka.
Maisha tertawa hambar, "Kenapa? Dulu papa sama mama juga sering teriak-teriak di depan aku. Bahkan terang-terangan bilang gak bahagia sama pernikahan mereka yang hasil tekanan keluarga besar itu. Lalu aku apa? Anak hasil keterpaksaan juga?"
Ketiga orang dewasa di depannya terhenyak seketika. Terlebih saat mendapati air mata yang mengalir di wajah itu.
"Kenapa harus aku yang jadi korbannya? Kenapa aku harus jadi anak dari pasangan egois kayak kalian? Kalau bisa milih, aku gak ingin jadi anak papa sama mama." Teriaknya membuat sang papa hanya mampu menatap sendu. Tak dapat berbuat lebih karena memang yang diucapkan Maisha sepenuhnya benar.
"Maisha! Udah, om gak pernah ajarin kamu bersikap gak sopan begini."
"Kenapa om jadi belain papa?" Maisha tak terima, "atau om mau aku pergi dari sini iya? Karena aku sering repotin kalian?"
"Enggak, sayang. Kamu salah paham," dengan tenang Saka berusaha menjelaskan. Namun, Maisha yang sudah terlanjur kesal malah meninggalkan ketigannya. Mengabaikan panggilan mereka dan berjalan keluar rumah, tak peduli dengan hari yang menjelang malam.
Katakan saja Maisha childish, tapi ia memang sudah tak tahan jika harus mengingat ulang kejadian yang hanya membuat lukanya kembali terbuka. Ia merogoh saku celananya lalu mendesah pelan. Kosong, Maisha bahkan tak sempat membawa apapun. Cewek itu akhirnya memutuskan menuju kediaman sahabatnya yang lumayan jauh jika harus ditempuh dengan berjalan kaki. Sepuluh menit cukup melelahkan bukan?
Menghapus keringat di dahi, Maisha mengetuk pintu yang berdiri kokoh di depannya. Tak berapa lama pintu tersebut terbuka, menampilkan sosok wanita paruh baya yang langsung mengernyitkan dahi, "Loh Chacha?"
Mengabaikan tatapan bingung itu, Maisha menyalami mama dari sahabatnya, "Sore tante, Ken ada?"
Masih dengan kebingungan wanita itu memandangnya, "Tante pikir Ken lagi keluar sama kamu. Soalnya semenjak pulang sekolah dia langsung pergi. Tante sempet denger dia bicara sama perempuan di telepon."
Hati Maisha seperti dihempaskan ke palung terdalam. Harusnya ia tak lupa bahwa cowok itu sudah bukan miliknya. Maisha mencoba memamerkan senyumnya, "Oh gitu ya, tan. Aku pikir ada di rumah. Ya udah deh kalau gitu, aku pamit dulu."
"Loh kok malah mau pulang lagi? Kamu gak mau nunggin Kenar?"
Dan malah nambah perasaan aku sakit?
Maisha menggeleng, "Enggak deh tan. Nanti ke sini aja lagi."
Dengan raut bingung melihat sikap sahabat dari putranya tersebut, wanita mengangguk. Maisha memutuskan pulang, biasanya akan bersedia menunggui Ken selama apapun. "Ya, udah. Kamu hati-hati ya pulangnya."
Membalas dengan senyuman, Maisha pamit dengan perasaan tak lebih baik dari sebelumnya. Cewek itu berjalan tanpa tujuan, berharap angin sore yang menembus kulitnya dapat membawa pergi sakit di hatinya. Kakinya berhenti di sebuah taman, melihat sebuah keluarga kecil yang tengah bercengkrama membuatnya tersenyum miris. Sejak kecil kedua orang tuanya sibuk bekerja. Pergi pagi-pagi sekali dan pulang larut malam. Kalau pun ada sang mama, maka keberadaan papanya tidak pernah di dapati.
Tak pernah ada liburan bersama layaknya keluarga bahagia. Bahkan untuk sekedar pergi ke taman yang dekat, Maisha hanya diantar oleh Saka atau Kenar kecil yang kebetulan menjadi teman pertamanya di bangku taman kanak-kanak. Hingga saat perpisahan kedua orang tuanya, Maisha hancur di usia yang masih sangat muda. Perebutan hak asuh baginya hanya sebuah formalitas saja. Ia tahu kalau mereka sudah memiliki rancangan hidup masing-masing, kembali membangun keluarga bahagia yang baru.
Maka Maisha memutuskan untuk tidak ikut keduanya. Memilih Saka sebagai sosok yang ia anggap sebagai ayahnya padahal rentang usia mereka hanya berjarak tiga belas tahun. Karena ia pikir lelaki itu lebih menyayanginya. Saka menjadi orang pertama paling khawatir saat mendapati dirinya jatuh dari sepeda padahal lututnya hanya tergores. Saka juga yang selalu datang ke sekolah sebagai walinya untuk mengambil raport padahal usianya masih muda saat itu.
"Om, maaf." lirihnya.
***
Beberapa jam telah berlalu. Maisha masih belum beranjak dari taman yang hanya menyisakan segelintir orang yang bersiap-siap untuk pulang karena hari sudah malam. Sesekali wajahnya menengadah, memandangi langit yang dihiasi bintang-bintang dengan sendu.
"Cha," panggilan itu membuatnya menoleh. Tak jauh dari tempatnya, Rega mendekat dengan handphone di telinganya.
"Lo ke mana aja sih?" tanyanya khawatir, " keluarga lo sejak sore nyariin."
Keluarga? Maisha tersenyum miris. Ia hanya menatap Rega dalam diam.
"Gue udah hubungin Ken, dia lagi ke sini." tambahnya lagi mendapati cewek itu tak merespon sejak tadi.
Tak lama kemudian derap langkah seseorang membuat keduanya mengalihkan tatapan. Tak jauh dari sana, sosok Ken berjalan tergesa-gesa. Maisha berdiri dari duduknya, lalu melangkah cepat dengan senyuman pedih, seolah menemukan sesuatu yang sejak tadi ia nantikan untuk menumpahkan kesakitannya.
Ken tersenyum hendak menyapa cewek itu yang semakin mendekat, memarahinya karena membuat khawatir, juga meminta maaf telah mengabaikannya. Namun, senyuman itu pudar saat Maisha melewatinya begitu saja. Ken berbalik, begitupun Rega yang mengarahkan pandangannya untuk mengikuti langkah Maisha.
Mata mereka sedikit terbelalak, ketika cewek itu menabrakkan diri pada tubuh kurus Dean yang baru sampai. Bahkan Dean sendiri sampai tersentak kaget, hampir jatuh jika tak mampu menahan tubuhnya akibat terjangan Maisha. Ia melirik kedua sahabatnya dengan pandangan bingung. Terlebih saat mendapati tatapan kecewa di mata Ken. Dengan ragu Dean mengangkat tangannya, menepuk punggung Maisha untuk memberi ketenangan.
Tak ada ada isakan di sana, tapi Dean tahu bahwa Maisha butuh seseorang sebagai tempatnya bersandar, "Gue ada di sini, dek." bisiknya kemudian menguraikan pelukan tersebut, meski tahu Maisha tidak rela, "kita pulang. Lo mau di anter sama siapa?"
Maisha menggeleng.
"Lo mau di anter sama, Ken?" tanyanya, melirik Ken yang berjalan mendekat.
"Gue gak mau pulang." Lirih Maisha dengan tatapan sendu. Dean melirik Ken yang sudah berdiri di belakang cewek itu, "Mau nginep aja di rumah Ken?" tawarnya karena tahu kalau cewek itu sering berlari ke sana sejak dulu setiap ada masalah.
Lagi-lagi Maisha menggeleng. Ken yang hendak mengatakan sesuatu langsung terpaku mendengar ucapan selanjutnya yang keluar dari bibir cewek itu.
"Gue ikut sama lo aja."
Dean tertegun, memandang kedua sahabatnya yang menampilkan ekspresi sama.
"Gue gak mau pergi ke manapun selain sama lo, Yan." Maisha menatap penuh permohonan. Tak pernah ia dapati wajah semenyedihkan sekarang. Dean menghembuskan nafas. Tanpa meminta persetujuan Ken yang biasanya memegang kendali, cowok itu menganggukan kepala. Mengabaikan raut tak terima di wajah sahabatnya.
"Kalau gitu kita pulang sekarang," ajaknya menuntun cewek itu yang tak bertenaga. Bahkan Maisha tak melirik Ken sama sekali sampai kendaraan yang membawanya menghilang.
Dean mendorong pintu rumah setelah mengucapkan salam. Suara sang bunda yang menjawab salamnya dari ruang keluarga terdengar samar-samar karena terendam suara televisi.
"Yuk!" Ajaknya karena Maisha tiba-tiba berhenti. Menatapnya resah. Mungkin takut kedatangannya tak di terima. Dean menarik lengannya untuk menghampiri wanita paruh baya yang sudah berdiri memamerkan senyuman, meski ada raut kebingungan di wajahnya.
"Lo duduk dulu ya." Maisha hanya mengangguk setelah menyalami ibu dari sahabatnya. Raut sendu yang tak dapat di sembunyikannya menjadi perhatian wanita paruh baya itu. Ia melirik anaknya dengan curiga yang langsung menggelengkan kepala.
"Mm kalau gitu tante ambilin minum dulu," tawarnya membuat Maisha langsung mendongkak, "Eng-enggak usah tan, makasih."
"Gak papa kok, sebentar ya?" Ucapnya kemudian mengalihkan pandangan pada Dean, "Yan, kamu ikut bunda ke dapur."
Dean meringis, pasti ia akan diberondongi pertanyaan yang macam-macam. Meskipun begitu ia tetap mengikut.
"Kamu apain dia?"
Tuh kan? Pertanyaan tersebut hanya di balas gelengan. Bundanya selalu saja curiga.
"Yakin bukan sama kamu?"
"Iya, bun." Dean meyakinkan, "Dean udah pernah ceritain kan mengenai kehidupan sahabat-sahabat Dean? Chacha lagi ada masalah keluarga kayaknya. Aku gak nanyain."
"Kali aja itu ulah anak bunda. Kamu kan gak bisa dipercaya."
Dean menepuk dahinya, "Ya, ampun bunda. Dean gak mungkin jahatin sahabat sendiri." Sang bunda yang melihat kelakuan Dean tersenyum. Padahal dirinya hanya bercanda. Ia yakin kalau anaknya yang petakilan itu takan menyakiti perempuan manapun, terlebih sahabatnya.
"Hmm bun," Dean menatap wanita yang melahirkannya dengan ragu, "Chacha boleh nginep di sini gak? Soalnya dia gak mau pulang."
Wanita itu terdiam sejenak, "Kamu udah kabarin keluarganya?"
"Belum, Dean gak tau nomornya, tapi Ken punya."
"Ya udah nanti kamu mintain sama Ken, biar bunda sendiri yang telepon. Takutnya mereka gak percaya kalau kamu yang bilang. Yang ada mereka nambah khawatir."
Dean mengangkat kedua jempolnya, memperhatikan Ajeng yang menyiapkan minuman. Beberapa detik kemudian ia menahan lengan bundanya yang hendak menuangkan gula. "Chacha sukanya susu vanila, bun." Ajeng, bunda dari cowok itu terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan menyimpan kembali bahan pemanis tersebut. Ia mengarahkan dagu ke kulkas, "ambilin susunya."
Cowok itu menurut, mengambil kotak susu vanila serbuk dan menyerahkannya, "Bun sekalian buatin kopi buat Dean ya?" pintanya yang langsung mendapat jitakan dengan sendok di dahinya.
"Kamu ya, tiap hari minumnya kopi terus. Pokoknya bunda buatin susu, biar sehat." Dean hendak protes, tapi keputusan bundanya tak pernah bisa di tolak. Ia akhirnya mengangguk pasrah.
"Nih, kasihin sama Chacha." Dean memandangi dua gelas susu vanila yang disodorkan padanya, mengambil terlebih dulu miliknya untuk dihabiskan . Pikirkan saja bagaimana reaksi Maisha nanti kalau mengetahui cowok segaul Dean meminum susu. Setelah habis ia mengambil minuman untuk cewek itu.
"Oh iya, berhubung ayah kamu lagi di luar kota, Chacha tidur sama bunda." Mata cowok itu membola mendengar penuturan tersebut, "gak ada protes Ardean! Kamu harusnya tau kalau sahabat kamu itu sebenarnya tidak butuh tempat menginap, yang ia butuhkan adalah orang yang mampu mengobati lukanya. Dan bunda pikir, setidaknya dia tidak merasa sendirian."
Dean tertegun, tak terpikirkan sama sekali. Namun, di sisi lain ia bersyukur karena bundanya mau menerima Maisha.
"Satu lagi, nanti abis dia tenang ajak makan. Kebetulan baru bunda angetin, biar sekalian makan sama kamu."
"Siap, bun!" Dean menghormat seperti pada bendera merah putih. Ajeng hanya tertawa, tak habis pikir mengapa putranya penurut sekali di rumah sedang di sekolah selalu saja membuat ulah sampai dirinya kehabisan akal. "Udah sana! Kasian dia nunggu lama."
Mengangguk, Dean membawa gelas dengan hati-hati. Menghampiri Maisha yang duduk menyandarkan punggungnya pada kursi. Tatapannya memang mengarah pada televisi. Namun, ia yakin pikirannya tidak di sana.
Dehemannya membuat Maisha menoleh. Dean tersenyum simpul lalu mendudukan badan di samping cewek itu, menyodorkan minuman favoritnya yang diterima dengan baik.
"Lo belum mandi ya dek?" tanyanya memecah keheningan. Maisha yang baru menyimpan gelas langsung menciumi badannya. Hal tersebut membuat Dean tergelak.
"Gue gak bau kok." Ujarnya polos, padahal Dean tak sama sekali menyinggung bau tubuhnya. Hanya bertanya karena penampilan kusut cewek itu. Ia menarik ujung rambut Maisha dengan gemas hingga menimbulkan teriakan, "sakit tau! Jail banget sih."
Mengabaikan keluhan tersebut, Dean diam-diam meloloskan nafas lega. Setidaknya cewek itu sudah bisa marah-marah. Tidak seperti tadi yang hanya melamun membuat dirinya khawatir, "Mandi dulu gih, abis itu kita makan. Bunda udah siapin buat kita."
Maisha memandangi cowok itu yang sama tengah menatap ke arahnya. Entah kenapa dirinya jadi ingin tersenyum, "Ok, siap Dean anaknya bunda!"
Alhasil Dean memukul dahinya. Memanggil sosok yang melahirkannya dengan kata 'bunda' di depan orang lain terkadang membuat kepercayaan dirinya hilang. Ia jadi seperti anak manja berlindung di bawah ketiak bundanya.
***
Esok harinya Maisha memutuskan tidak masuk sekolah meski sudah Dean paksa berkali-kali. Dan Ajeng sebagai ibu dari cowok itu malah membiarkan, meminta putranya untuk memberikan surat ijin pada guru. Katanya Maisha butuh waktu lebih banyak untuk menenangkan diri. Entah apa yang diceritakan cewek itu semalam pada sang bunda, yang pasti ia dapat melihat keduanya begitu akrab.
Dean berangkat dengan bibir mengerucut, padahal dirinya juga ingin bersantai di rumah. Berbeda dengan Maisha yang merasakan perasaannya sedikit membaik setelah menceritakan yang terjadi pada wanita yang kini duduk di sebelahnya. Maisha memang dekat dengan mama Ken sejak lama, tapi dekat dengan bunda Dean berbeda. Ia merasakan kehangatan seorang ibu yang tak pernah di dapatkannya semenjak kecil.
Sepanjang hari mereka hanya saling bertukar cerita atau mengomentari sesuatu yang ada dalam tayangan televisi. Bundanya Dean memang hanya seorang ibu rumah tangga. Memilih melepas pekerjaannya untuk mengurusi keluarga kecilnya.
"Cha, Dean gimana di sekolah?" Pertanyaan yang di lontarkan membuat Maisha terdiam.
"Gak usah ngerasa gak enak. Tante cuma pingin tau, apa dia masih suka bolos?"
Maisha meringis kemudian mengangguk, "mm udah gak terlalu sering sih, cuma minggu kemarin dia di hukum karena tidur di kelas."
"Terus apalagi?" desak Ajeng ingin mengetahui lebih lanjut. Bertanya pada dua lelaki yang merupakan sahabat anaknya sama saja bohong. Mereka selalu menutup-nutupi.
"Duh gimana ya, mm aku udah berapa kali pergokin dia ngerokok tan. Di nasihatin malah bilangnya nanti bakal berhenti, tapi gak tau kapan. Oh ya Dean jarang ngerjain tugas, kalau ngerjain juga suka nyontek sama aku."
Ajeng hanya menggelengkan kepala, putranya memang nakal sekali. Terkadang ia khawatir kelakuan Dean akan semakin parah, apalagi pergaulannya yang begitu luas. Ia menepuk punggung tangan Maisha, "Chacha mau bantuin tante?"
Ia mengernyitkan dahi, "Bantu apa tan?"
"Selalu ingetin Dean ya? Jangan pernah bosen. Dean itu anaknya emang mudah bergaul sama siapa aja. Harusnya tante senang, tapi malah khawatir dibuatnya. Dean itu gampang banget terpengaruh, tante takut suatu hari nanti terjadi hal-hal yang gak diinginkan."
Maisha terdiam sejenak, ia akui kalau saat pertama kali mengenalnya, Dean tak separah sekarang meski sifat tengilnya memang sudah melekat sejak dulu, "Aku usahain deh tan."
"Makasih ya," Ajeng tersenyum lembut, merangkul bahunya hingga Maisha merasakan matanya memanas. Ah, sudah berapa lama ia tak mendapat perlakuan seperti ini? Maisha jadi kangen mamanya.
Mendengar suara kendaraan di depan rumah membuat wanita paruh baya itu menaikan sebelah alisnya, "Suara motor Dean. Tumben jam segini udah pulang?"
Maisha hanya merespon dengan kedikkan di bahunya.
Tak berapa lama cowok itu masuk setelah mengucap salam, langsung beranjak menuju kamar untuk berganti baju. Di susul sang bunda yang menghampirinya, meninggalkan Maisha sendiri menonton sinetron hidayah yang akhir-akhir ini sedang buming.
Pintu kamar terbuka, menampilkan Ajeng yang tersenyum dan berjalan menuju dapur. Kemudian Dean yang datang-datang menampakan raut sebalnya. Maisha mengernyit bingung lalu kembali memfokuskan tatapan pada layar televisi. Sampai jitakan di kepala membuatnya mengaduh. Dean sudah berdiri di sampingnya sambil bertolak pinggang.
"Lo abis ngadu apa aja sama bunda?" Maisha merutuk dalam hati. Seharusnya ia berbohong saja tadi. Dengan menampilkan raut polos ia menggeleng dan kembali mendapati siksaan. Kali ini wajah chuabienya yang menjadi korban.
"Aws sakit, tau!" Teriaknya mengusap bekas cubitan Dean. Cowok itu mendengus lalu duduk di sebelahnya, "makanya jujur, ngomong apa ke bunda sampe gue di marahin."
Maisha melirik takut pada Dean yang kelihatan kesal, "Gue gak ngadu," sangkalnya. Tangannya sudah saling bertautan. Hal yang biasa ia lakukan ketika gusar, "tadi tante nanyain lo gimana di sekolah, terus gue jawab aja. Kan dosa kalau bohong sama orang tua."
"Ih," gemasnya mengepalkan kedua tangan. Hendak melampiaskan pada Maisha, tapi cewek itu langsung bergeser dengan menyembunyikan wajahnya.
"Lain kali gak gue ijinin nginep lagi lo." Ancam Dean membuat Maisha langsung menarik lengannya. Maisha menatap melas, dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Dean yang hanya berniat menggertak malah tertegun melihat itu. Ia melirik lengannya yang masih di pegang Maisha, kemudian mengusap punggung tangan cewek itu pelan, "Gue bercanda, dek. Ya elah kok lo cengeng banget sih?" tanyanya menatap bergantian kedua mata indah Maisha.
Cewek itu kini malah menunduk, "Maaf, gue gak bakalan ngadu lagi. Lo jangan marah, gue takut." Lirihnya membuat perasaan Dean mencelos. Seumur hidupnya ia tak pernah peduli melihat perempuan menangis selain bunda dan kakaknya yang kini kuliah di luar kota.
"Gue gak marah tadi cum-"
"Lo marah tadi." potong Maisha cepat. Dean menggaruk kepalanya, lalu menggenggam kedua tangan Maisha membuat cewek itu mengangkat wajah, menatapnya dengan sedikit kaget. Tentu Dean tahu itu di sebabkan ulahnya, tapi tak ada cara lain untuk menghentikan kecengengan Maisha, "Denger, gue gak marah cuma sedikit kesel, dan ucapan kalau lo gak gue ijinin nginep itu cuma bercanda. Jadi, lo jangan nangis, ok? Gue gak mau mama salah paham dan marahin gue lagi. Ngerti?"
Maisha malah memandanginya tanpa berkedip. Dean berdecak, mengangkat sebelah tangannya menuju belakang kepala cewek itu lalu memaksanya untuk mengangguk, "ngerti?"
Tersadar, Maisha berusaha melepaskan diri karena lagi-lagi Dean mendorong kepalanya untuk kembali mengangguk, "Iya iya ngerti."
"Nah gitu dong. Lo udah bukan anak kecil lagi, dek. Gak boleh cengeng."
"Gue gak cengeng ya, lagian emang kapan gue nangis di depan lo? Sekarang aja cuma berkaca-kaca doang."
Dean hendak mengatakan sesuatu, tapi kembali menutup mulutnya. Mengenai air mata yang jatuh saat cewek itu berada di bis, juga saat berada di boncengannya setelah mendengar Ken pacaran dengan Wulan, biarlah ia berpura-pura tak tahu.
"Apa? Lo mau bilang apa?" tantangnya yang langsung Dean balas dengan gelengan, "Enggak, cuma mau bilang kalau Ken nanyain lo terus. Dia kayaknya khawatir banget. Rana cuma titip salam, dia lagi sibuk bolak-balik rs."
Cewek itu mengangguk, tak berniat menanggapi. Masih sakit hati jika mengingat Ken yang mengabaikannya karena Wulan.
"Nanti sore gue anterin lo pulang," ujar Dean. Melihat Maisha hendak menolak ia langsung memberikan tatapan tajam hingga cewek di sampingnya menciut, "jangan nolak, atau lo beneran gak boleh main lagi ke sini."
***