Lihat saja, siapa yang akan bertahan sampai akhir. Kamu yang tertawa lepas tanpa sadar bahwa badai dapat sewaktu-waktu menghempas atau aku yang setia menjadi bayangan, menunggu di puncak untuk mendorongmu jatuh.
***
Maisha tidak tahu mengapa sejak kemarin perasaannya tidak enak. Bahkan wajah Ken terus membayangi pikirannya. Ia berharap tidak terjadi sesuatu dengan sahabatnya. Ia turun kendaraan milik om nya. Sengaja minta di turunkan di depan tempat fotocopi untuk mengambil pesanannya kemarin. Maisha menghela nafas saat tatapannya terarah pada warung seberang, di mana beberapa siswa berseragam sedang bersenda gurau diiirngu asap yang mengepul.
Setelah menyelesaikan keperluannya ia berbalik. Maisha mengusap dadanya, mendapati Dean sudah berdiri sambil tersenyum lebar. Melihat itu, Maisha memutar bola matanya malas dan mengambil jalan samping untuk melewatinya. Namun, cowok itu malah ikut bergeser.
"Apaan sih?" Maisha mendorong tubuh Dean, "minggir! Gue gak tahan bau rokok."
Dean mengernyit lalu memeriksa seragamnya, "Gak bau kok. Nih coba cium!"
"Apaan sih, Yan?" Cewek itu berusaha melepaskan diri karena Dean memaksa untuk menghirup bau tubuhnya. Tarikan tangannya baru terlepas setelah Maisha memukuli dengan buku di tangannya. "Aduh, sakit tau!"
"Emang enak! Gue kan udah bilang, berhenti ngerokok, Yan. Gue gak suka!"
"Gue juga udah bilang bakal berhenti, tapi nanti." Maisha mendengus, "Nanti aja terus, mau sampe kapan? Sampe mati?"
"Ya ampun omongannya!" Cowok itu menggelengkan kepala. Sedang Maisha malah berlalu setelah menyenggol bahu Dean. Jujur saja ia jengah melihat sikap sahabatnya yang semakin hari bertambah parah. Dean yang ia kenal saat pertama kali tidak seperti itu.
Tak terasa ia sudah sampai pintu kelas. Perjalanannya dari luar gerbang sekolah terasa begitu singkat, mungkin karena Maisha berjalan sambil melamun. Begitu sampai tempat duduknya, Ken yang tadinya tengah berbincang di bangku Rega langsung menghampiri. Cowok itu berdiri di samping mejanya, mengarahkan tatapan serius.
"Cha," panggilnya lirih. Maisha tak menjawab, hanya menaikan sebelah alisnya. Ken melanjutkan ucapannya yang terlihat ragu, "Pulang sekolah, ada sesuatu yang mau aku bicarain."
Maisha langsung memicingkan mata. Aneh, sebelumnya Ken tak pernah meminta ijin kalau mau bicara, "Ya udah bicara aja sekarang. Kenapa harus nunggu pulang sekolah?"
Cowok itu memijit keningnya dengan wajah penuh beban, "Masalahnya ini serius. Pokoknya pulang sekolah ikut aku ya?"
Maisha memegangi dadanya yang tiba-tiba yang terasa sesak. Aku harap, ini bukan tentang Wulan, Ken. Aku belum siap.
***
Langkah kedua siswa berjenis kelamin berbeda itu menggema, memenuhi koridor yang memang sudah sepi karena bel pulang sekolah sudah berbunyi dua puluh menit yang lalu. Setelah menunggu Ken mengantarkan buku ke ruang guru, akhirnya cowok itu membawanya pergi. Sampai di taman belakang sekolah, Maisha mendapati punggung tak asing yang tengah duduk menyendiri. Tangannya terkepal seketika.
Lari, Cha. Lari! Teriakan itu berasal dari dalam hatinya. Namun, kakinya malah terasa kaku. Ia melirik Ken yang berada satu langkah di depannya. Cowok menarik lengannya menuju sosok yang entah sejak kapan sudah berdiri menghadapnya sambil melambaikan tangan. Ah, tak ketinggalan senyum manisnya. Maisha tahu ini adalah akhir dari semuanya.
"Cha, ada yang mau kita bicarain. Aku harap kamu gak marah." Ken sudah berbicara terlebih dahulu tanpa memperhatikan raut ketakutan di wajahnya. Cowok itu menatap Wulan dengan lembut, pun sebaliknya. Ken kemudian meliriknya, "Aku ... sama Wulan, kita ... pacaran."
Finally
Ia memang sudah mengetahui dari dulu. Namun, mendengar langsung dari mulut seorang Kenar rasanya lebih menyakitkan.
"Cha, aku tahu salah udah abain permintaan kamu buat gak pacaran dulu, tapi ...," Maisha tak mampu lagi mencerna ucapan cowok itu. Telinganya terasa berdengung, hanya gerakan mulut Ken yang ia lihat dan tak bisa ia terjemahkan karena fokusnya kini pada sesuatu di dalam dadanya yang bergemuruh. Sakit, seperti dipukuli godam.
"Cha?" Tersadar, Maisha menyentuh tangan sahabatnya dengan bergetar. Ia berusaha menjadikan tangan dari sosok yang menyakitinya sebagai pegangan. Maisha melirik keduanya yang terlihat gusar.
"Selamat!" Entah setan apa yang merasukinya. Maisha hanya sedang berusaha mengendalikan situasi menyakitkan itu. Ia melepas tangan Ken dan mengulurkan pada Wulan yang langsung mendapat balasan. Maisha dapat melihat kelegaan dari keduanya, "P-pokoknya aku tunggu pj dari kalian."
Ken mengangkat kedua jari jempolnya disertai wajah sumringahnya, "Sip. Kamu tenang aja, Cha. Kamu boleh makan apapun yang kamu mau."
Maisha terkekeh, begitupun kedua orang di hadapannya. Tanpa mereka tahu arti dari kekehan cewek mungil itu. Ada sarat luka juga kebencian di sana, "Mm, kalau gitu aku pulang deh," Maisha berpura-pura melihat jam di pergelangan tangannya, "males liat dua orang yang lagi kasmaran."
Mereka tertawa, berpikir kalau ucapannya hanyalah sebuah gurauan.
"Bareng aja, kita juga mau ke parkiran." Ajak Ken membuatnya meringis dalam hati. Padahal Maisha sengaja pergi untuk menghindar, "Oh ya kamu pulang sama siapa?"
Aku pinginnya sama kamu aja, Ken. Kayak biasa. Jawabnya dalam hati.
"Ya udah, Ken. Kamu anterin aja Maisha dulu, aku bisa nungguin kok." Maisha mengalihkan tatapan pada Wulan yang kini menyentuh lengan pacarnya. Jangan terlalu baik, Lan. Gue enek liatnya.
"Gak usah deh, gue gak mau ganggu kalian. Gue udah biasa naik kendaraan umum kok sekarang."
Ken terlihat berpikir sejenak kemudian mengangguk. Padahal bukan itu yang Maisha mau. Ia ingin cowok itu menahannya dan memaksa mengantar karena takut terjadi sesuatu padanya seperti dulu. Akhirnya ketiganya melangkah dengan Maisha yang memilih berjalan tiga langkah di belakang. Memperhatikan punggung keduanya dengan mata berkaca-kaca.
Mereka berpisah karena keduanya membelokan arah ke parkiran sedang Maisha sendiri terus melangkah menuju halte. Mendudukan badannya lemah, ia melambaikan tangan mendengar Ken membunyikan klakson dan melewatinya. Tangannya yang masih menggantung di udara langsung terkulai lemas.
Bukan ini yang Maisha mau. Ia menatap langit mendung dengan pandangan kosong, "Kenapa Tuhan? Kenapa lagi-lagi aku yang ditinggalkan?" Lirihnya beriringan dengan rintik air yang perlahan jatuh. Atap halte tak mampu melindungi dirinya dari air hujan. Namun, ia masih duduk tanpa pergerakan sama sekali. Menikmati hawa dingin yang tak mampu menghilangkan panas di tubuhnya. Beberapa bis melintas di depannya dan cewek itu seperti tak berniat untuk pulang. Ia hanya duduk tegap menatap rintikan air. Pikirannya yang berkelana jauh sampai membuatnya tak menyadari ketika seseorang dengan seragam sama berlari ke arahnya.
"Ck, sialan! Hujannya langsung gede banget." umpatan tersebut tak membuatnya terganggu.
"Loh dek, ngapain di sini? Bukannya tadi sama Kenar?" tanyanya kaget.
Barulah Maisha mendongkak, memamerkan senyum lemahnya, "Ken sama Wulan pacaran, gue bahagia buat mereka." Dean terperangah, tak menyangka kalau ucapan sahabatnya kemarin serius untuk memberitahukan hubungannya. Cewek itu tertawa hambar, "Emang saharusnya gitukan?"
Dean menghela nafas, bukan itu jawaban yang ia inginkan. Namun, melihat keberadaan Maisha saat ini sudah cukup membuktikan bahwa keadaannya tidak baik-baik saja. Cowok itu melirik seragam Maisha yang basah, juga bibir pucatnya yang bergetar.
"Kita pulang." ajaknya yang mendapat gelengan. Maisha beranjak dari duduknya. Tangannya terangkat untuk menyentuh air hujan. "Lo bakal sakit, dek." Ia menjauhkan tangan kecil itu, tapi Maisha malah hempaskan dan kembali melanjutkan aktivitasnya.
"Gue pingin jadi air hujan, Yan." ujarnya lirih. Dean hanya menatap sendu, "Gue pinjem motor dulu sekalian bawa tas. Lo jangan ke mana-mana." Tanpa menunggu respon cewek itu, Dean berlari menembus hujan. Sampai tak berapa lama kembali dengan motor milik temannya.
"Kita pulang," ajaknya yang lagi-lagi hanya dibalas gelengan. Dean mengusap wajahnya kasar, tak kuat berlama-lama dalam keadaan basah, terlebih dirinya alergi dingin. Ia menarik lengan Maisha sampai berbalik, tanpa meminta persetujuan memakaikan jaket anti air miliknya. Tak ada penolakan sama sekali sampai Dean memakaikan helm di kepalanya.
"Naik," Maisha hanya menurut. Duduk dan melingkarkan tangannya sebagai pegangan. Dean melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, tak sabar untuk segera sampai rumahnya. Cowok itu memelankan lajunya merasakan pegangan diperutnya mengerat, juga getaran di punggungnya karena Maisha menenggelamkan wajahnya di sana.
Cewek itu menangis. Dean tahu, tapi memilih membiarkan. Maisha hanya perlu mengeluarkan semua kesakitannya. Sampai kendaraan itu berhenti bertepatan dengan hujan yang menyisakan rintiknya. Maisha turun tanpa hati-hati hingga hampir terjerembab kalau saja Dean tak sigap memegangi lengannya, "Hati-hati, Dek."
Maisha tak bersuara, ia membuka helm dan menyerahkannya dengan lemah. Setelah mengucapkan terima kasih dengan lirih, Maisha hampir berbalik kalau Dean tak menahan lengannya. Cowok yang masih duduk di atas motor itu mengangkat kedua tangannya, merangkum wajah kuyu Maisha hingga cewek itu mendongkak. Dean menghapus sisa air mata di sana. "Lo kok jelek banget sih?"
Tertegun, Maisha menatap mata Dean yang memancarkan kehangatan. Mendapati Maisha yang memandangnya tanpa berkedip, cowok itu berdehem lalu mengusap kedua mata itu dengan telapak tangan. "Jangan liatin gue kayak gitu, nanti lo jatuh cinta dek." Sontak Maisha mengalihkan tatapan tanpa tersenyum seperti biasa, ketika mendengar candaan cowok itu. Dean mendengus sebelum membuka suara lagi, "gue pulang deh, dingin banget nih."
Maisha memperhatikan cowok itu yang kini memeluk dirinya sendiri. Menyadari sesuatu ia membuka jaket yang membungkus tubuhnya, menyerahkan dalam diam. Dean sontak terkekeh, tak menyangka kalau Maisha akan peka dengan ucapannya. Setelah memakai jaketnya cowok itu kemudian pamit, meninggalkan Maisha yang kini membalikan badan, menatap sendu bangunan di depannya.
***
"Hai, Lan." Cewek yang tengah mengusap dadanya karena dikagetkan itu menoleh, mendapati Maisha melambaikan tangan sambil tersenyum lebar. Mau tak mau Wulan membalas sapaan itu.
"Oh ya Kenar mana? Kalian berangkat barengkan?" tanyanya celingukan. Wulan menunjuk pada cowok yang berjalan ke arah mereka sambil memutar kunci di jarinya. Cowok itu tersenyum mendapati kedua orang yang disayanginya akur. Tak menyangka kalau membuat Maisha mengerti akan semudah itu.
Ia menyapa sahabatnya dan mengajak menuju kelas dengan berjalan diantara keduanya. Namun, hal yang membuat Maisha tak suka adalah Ken yang terus bercanda dengan pacarnya meski sesekali mengajaknya bicara. Cewek itu berkali-kali menghembuskan nafas pelan, lalu mengembangkan senyum ketika Ken menatap padanya. Mereka berpisah di lantai dua, Wulan terlebih dahulu memasuki kelas. Sedang Maisha dan Ken melanjutkan langkah menuju lantai berikutnya.
"Cha," panggilnya menatap cewek itu dari samping. Maisha hanya membalas dengan deheman, tatapannya tertuju pada benda pipih dalam genggamannya. Berpura-pura melihat online shop padahal sebenarnya ia sedang malas menatap wajah Ken.
"Kamu bener gak marah, aku pacaran sama Wulan?" tanya Ken hati-hati. Terdengar hembusan nafas cewek itu sebelum memasukan handphone ke sakunya. Terpaksa, ia membalas tatapan Ken, "Coba sebutin beberapa alasan aku harus marah sama kamu!"
Ken terdiam, Maisha menyunggingkan senyumnya. Cowok itu pikir ucapannya mengartikan bahwa tidak ada alasan ia harus marah. Namun, Ken salah. Justru dibalik itu semua ada banyak alasan yang membuat Maisha benar-benar marah.
Keduanya memasuki kelas. Di sana, para sahabatnya sudah memberikan tatapan cema. Itu semua malah membuat Maisha terlihat begitu menyedihkan. Diam-diam ia menghembuskan nafas lalu mengembangkan senyum di bibirnya yang terasa begitu kaku. Ia mendahului Ken, menghampiri ketiganya dengan langkah riang dan memberikan sapaan hangat.
Mereka pikir pagi ini akan mendapati wajah mendung Maisha, juga keretakan persahabatan keduanya. Namun, dibalik itu semua dugaan mereka benar karena sejak hari itu di mana Ken dengan sengaja berusaha melepaskannya, maka itu adalah awal dari keretakan hubungan mereka. Seberapa besar Maisha merekatkan kembali jarak itu, hasilnya akan semakin buruk jika dendam di hatinya terus membara.
Ketiganya terdiam beberapa saat sebelum akhirnya Rega memecah keheningan dengan membalas sapaannya. Tentu Maisha tahu kalau cowok itu yang merasa paling lega, Maisha mendudukan badannya setelah menyimpan tas. Namun, mata seseorang yang sejak tadi memperhatikannya membuat Maisha berdecak. Ia menaikkan sebelah alisnya, tapi cowok itu malah mengedikan bahu.
Maisha menoleh saat Rana mencolek lengannya. Mulutnya terbuka dengan mata yang memancarkan keraguan, "Elo ... udah tau kalau Ken sama Wulan-"
"Pacaran?" potongnya cepat. Rana meringis tak enak lalu mengangguk, "Lo gak papa?"
Mendengar nada khawatir sahabatnya Maisha terkekeh, mengalihkan tatapan pada Ken yang berdiri di pintu kelas sambil memandangi handphone-nya. Tak ketinggalan Rega yang setia mencampuri kisah percintaan mereka, "Kenapa gue harus gak baik-baik aja?"
"Dengan kebersamaan kalian selama ini, gue pikir lo-"
"Gue kecewa?" Lagi, Maisha memotongnya, "jelas, tapi dengan marah, apa itu bakal ngebuat dia lepasin Wulan? Dia punya hak untuk dirinya sendiri, sedangkan gue bisa apa?."
Maisha merasakan genggaman di punggung tangannya yang entah sejak kapan mengepal, "Sebagai sahabat yang baik, bukannya gue harus bahagia, Ran?"
Rana mengangguk, "Gue gak pernah liat lo sedewasa ini, Cha."
Ya, gue emang udah cukup dewasa. Tahu cara mempertahankan dan mengalahkan lawan dengan cara yang gak pernah di duga.
"Gue harap, lo bakal nemuin pengganti Ken secepatnya." Rana menambahkan dengan penuh harap untuk perempuan mungil kesayangannya. Maisha mengalihkan pandangan pada lembaran kosong di depannya. Jemarinya yang menggenggam pulpen bergerak perlahan, membentuk pola tak teratur.
Kertas putih menggambarkan dirinya beberapa bulan lalu. Si lugu dengan segala kebaikannya. Lalu coretan hitam itu adalah hasil dari kekecewaan yang Ken bentuk. Ia kini telah mengotori dirinya sendiri. Maisha Biantari dengan segala kegelapan dalam matanya yang tetap menampakan background andalannya. Putih dan bersih.
***
Si mungil tidak akan pernah jera sebelum mendengar kata 'putus' dari mulut sahabatnya. Ia akan terus memainkan dramanya dengan halus tanpa menciptakan kecurigaan.
"Kenarya, saya tunggu selesai kelas nanti di ruang guru."
Beriringan dengan helaan nafas kasar itu, Maisha tersenyum sinis. Tangan kirinya yang berada di laci meja memegang lembaran kertas, tentu bukan miliknya. Sedang tangan satunya mengetukan jemari di atas meja membentuk sebuah nada.
Benar saja sepulang sekolah cowok itu harus membantu Bu Dania merekap hasil ujian mingguan adik kelasnya. Sebenarnya Ken merasa aneh, tugas makalahnya sebagai persyaratan mengikuti uts sudah ia selesaikan sejak beberapa hari lalu di bantu oleh Wulan. Ia juga merasa tidak lupa memasukan ke dalam tas. Namun, ketika akan dikumpulkan malah tidak ada. Beruntung sang guru berbaik hati dengan memberinya tenggang waktu. Meski ia harus menerima hukuman dan tidak bisa mengantar Wulan pulang.
"Loh Cha, belum pulang?" tanya Ken mendapati sahabatnya tengah bersandar sambil mengetukan sepatunya. Cewek itu menggeleng polos, lalu berjalan menghampirinya yang baru keluar dari ruang guru, "Aku baru selesai piket. Kamu gak lupa kan, dulu kalau setiap hari Rabu selalu nungguin aku piket?"
Pertanyaan yang diajukan Maisha membuatnya meringis, "Ah, aku lupa. Maaf."
Cewek itu tersenyum dan mengangguk bersamaan, "Aku maklum kok. Kan sekarang kamu udah punya seseorang yang lebih penting, jadi wajar kalau mulai lupa sama kebiasaan kita." Bilang kalau Maisha pantas mendapatkan pengahargaan atas sandiwaranya. Mata Ken terbelalak, tapi tak mampu bersuara karena tahu bahwa dirinya hanya gadis polos yang tak pernah sedikitpun bermaksud membakarnya dengan perasaan bersalah.
"Kamu piket sendirian?" tanya memperhatikan Maisha yang mengelap keringat di dahinya. Cewek itu mengangguk dengan bibir mengerucut sebal, "Tania sama Alif kan gak masuk sekolah. Mega latihan padus dan sahabat kamu? Gak bisa diandelin sama sekali."
"Dia pulang duluan? Emang kamu bilang kalau jadwal dia piket?"
Maisha memutar bola mata, "Mana mungkin cowok badung kayak dia bakal pulang ke rumah jam segini? Tinggal cari aja di warung pojok, dia pasti lagi ngabisin uang buat beli barang yang bakal ngebuat paru-parunya rusak."
"Harusnya kamu tahan dia." Cewek itu bersedekap, tak ketinggalan decakkan yang keluar dari mulutnya, "Kamu pikir Dean bakal nurut gitu aja? Bahkan dengan aku sujud sekalipun dia gak bakal mau di suruh pegang sapu."
Ken tertawa mendengar jawaban sahabatnya yang begitu dramatis itu, "Seenggaknya Dean bisa sedikit lunak sama kamu, Cha."
Terdiam sejenak, Maisha mengibaskan tangannya, "Ah, udalah. Kok malah bahas cowok gak penting kayak dia sih?"
Kejengkelan Ken karena tak bisa mengantar Wulan hilang seketika. Andai saja Dean mendengar perkataan sahabat kesayangannya, pasti cowok itu tak segan mengetuk dahi atau menarik rambut panjangnya sampai Maisha berteriak kesakitan. "Kamu mau anter aku gak? Kalau enggak aku pulang sendiri."
Terkesiap, Ken menarik lengan Maisha, "Kamu ternyata udah dewasa ya sekarang," cowok itu mengangkat sebelah tangannya yang bebas untuk menepuk pucuk kepalanya, hal yang sangat Maisha rindukan, "aku seneng kamu bisa ngelakuin semuanya sendiri."
Dan gak bergantung lagi sama kamu kan? Batin Maisha balas tersenyum. Ia tak menyesal telah membuat Ken dihukum, menyakitinya secara sembunyi. Terpenting sekarang Maisha dapat menikmati kebersamaannya dengan cowok itu. Menceritakan sesuatu yang dilihatnya, tentang sikap sok cool Rega, Rana berkali-kali menolak beberapa cowok menembaknya, juga Dean dengan segala kejailannya yang membuat Maisha berkali-kali mengumpat kesal.
Katakan, lain kali ia tak perlu dihantui rasa bersalah telah berbuat jahat. Bukankah harus ada bayaran untuk setiap hal yang ia inginkan? Dan cara licik yang ia lakukan adalah suatu kebenaran jika itu untuk mempertahkan Ken di sisinya.
***