Luka. Apakah daun yang kering dapat kembali menghijau ketika kau sirami air?
***
Tampaknya kejadian minggu lalu tak membuat seorang Maisha Biantari puas. Baginya semua tidak sepadan dibanding luka menganga di hatinya. Melihat raut menderita Wulan juga dilema sahabatnya menjadi kesenangan tersendiri.
Maisha menoleh ke dalam ruangan yang bukan kelasnya. Bukan pula areanya. Ia hanya memastikan kalau gadis yang dua tahun lalu sempat dekat dengannya itu belum datang. Dirinya memang menyempatkan datang pagi sekali, ia tahu Ken takan menjemputnya dan memilih menjemput pacarnya. Melihat bangku yang masih kosong, Maisha langsung berlari menuju balkon yang dengan sekali membuka mata akan langsung mendapati gerbang sekolah. Benar saja tak berapa lama, cewek itu berjalan sendirian memasuki kawasan sekolah. Seperti biasa, mereka berpisah di halte pertama karena tak ingin ketahuan.
Cewek itu meneguk sedikti minuman isotonik di tangannya. Tatapannya tak lepas dari cewek berambut sepunggung yang tengah berjalan anggun. Bibir tipisnya terbuka, dan mulai mengitung mundur, "Tiga, dua, satu."
Tepat di angka satu, Maisha membalikan botol tersebut, bersamaan dengan Wulan yang berjalan di bawahnya. Ia dapat mendengar teriakan Wulan yang mungkin kaget karena keisengannya.
"Selamat berbasah-basahan, Lan. Sambutan selamat pagi yang manis buat cewek yang udah rebut Kenar." Cewek itu terkekeh lalu berbalik, meminum sisa air dalam botolnya. Beruntung koridor lantai dua masih sepi jadi takan ada yang curiga. Dengan riang ia menaiki tangga menuju kelasnya. Ia hendak melempar botol kosong itu ketika sebuah tangan menahannya.
"Tempat sampah tinggal lima langkah di depan lo dek. Jangan kayak anak TK yang hal kecil kayak gitu aja harus didikte." Maisha memutar bola matanya, sedang cowok urakan di depannya mengambil alih dan membuangnya ke tempat sampah. Maisha tak mengatakan apapun malah kembali berjalan.
"Tadi pas mau ke sini gue liat Wulan lagi dikerubungin gitu," ujar Dean yang kini mensejajarkan langkahnya. Maisha terus saja berlagak acuh, padahal yang Dean tahu mereka berdua pernah begitu dekat saat di kelas sepuluh. Seharusnya tak begini respon Maisha diluar ketidaktahuannya mengenai hubungan sahabatnya dan Wulan.
Harusnya juga ... Dean berhenti melangkah, menatap punggung Maisha yang tetap berjalan sambil bersenandung kecil. Cewek itu seperti sengaja menulikan pendengarannya. Dean melirik tempat sampah di dekatnya lalu menggeleng cepat. Sungguh, pemikirannya tidak masuk akal. Maisha terlalu manis untuk melakukan hal serendah itu.
***
Ken tidak jadi memasuki kelas dan memilih menemani pacarnya mengeringkan rambut di UKS. Ia hanya menatap prihatin cewek anggun yang kini duduk di sampinnya sambil memegangi handuk kecil. Ia tidak tahu alasan apakah yang terjadi unsur kesengajaan atau bukan.
"Apa kita kasih tau aja hubungan kita sama Chacha?" tanya Ken ragu, "mungkin dengan itu aku gak perlu sembunyi-sembunyi kayak gini."
"Bukannya ini yang kamu mau?" Wulan bertanya balik. Tak lupa senyum tulusnya yang senantiasa terpancar. Ah, bagaimana Ken tidak mabuk kepayang dibuatnya? Sudah di perlakukan burukpun Wulan masih saja bisa tersenyum dan bersikap tenang. Ken menunduk, "Iya tapi-"
"Ken, mungkin tadi emang ketidak sengajaan. Udahlah, lupain aja." Wulan menyentuh punggung tangannya, menenangkan.
"Lan, tapi bukan kali ini aja kan ada yang jailin kamu? Minggu lalu juga buku kamu tiba-tiba ilang sampai di hukum. Aku cuma ngerasa gak berguna karena gak pernah ada buat kamu di saat kondisi sulit."
Cewek itu menggeleng, "Enggak Ken, kayaknya emang buku aku jatuh pas ketabrak siswa lain. Aku inget kok waktu itu emang lagi bawa banyak buku jadi gak sadar ada yang ketinggalan."
Itulah Wulan, selalu berpikiran positif atas apa yang menimpanya, tapi itu juga yang membuatnya khawatir. Kebaikan Wulan yang dimanfaatkan orang lain.
"Udah sana masuk kelas. Bel udah bunyi dari tadi nanti kamu telat masuk," suruh Wulan sambil mendorong bahunya pelan. Ken menghela nafas lalu menatap mata sipit yang selalu mampu menentramkan jiwa, "Tapi kamu-"
"Ken, aku udah izin ke uks sebentar. Lagian tas aku juga udah dibawa sama Ratih."
Akhirnya Ken mengangguk berat. Mengambil tas dan pamit menuju kelasnya. Beruntung belum ada guru yang masuk sehingga Ken tak perlu menyiapkan beribu alasan untuk melindungi dirinya.
"Loh Ken? Kok baru dateng? Kamu kesiangan?" Ken yang baru saja menyimpan tasnya melirik Maisha. Perhatian cewek itu mau tak mau membuat dadanya menghangat. Ah, sudah berapa lama mereka tak membicarakan aktivitas masing-masing? Dirinya terlalu sibuk dengan Wulan.
"Mm, ini tadi abis ketemu temen dulu," bohongnya. Ken meringis saat mendengar deheman teman sebangkunya. Dean tentu saja tahu kemana ia pergi.
Maisha mengangguk kemudian menyodorkan kotak makanan padanya, "Ken buat kamu, tadi aku sengaja buat nasi goreng sebelum berangkat."
Ken tertegun dibuatnya. Bahkan Maisha masih saja memberikan perhatian-perhatian di saat dirinya malah membalas dengan banyak kebohongan, "Cha, harusnya kamu gak perlu repot-repot kayak gini."
Menggeleng, cewek itu tersenyum menyembunyikan perih di dadanya, "Gak kok, Ken. Aku gak pernah ngerasa direpotin terlebih dengan yang berhubungan sama kamu."
Perkataan Maisha menyentak jantung Ken seketika. Sebelah tangannya yang bebas terkepal, mengingat bagaimana selama beberapa bulan ini dirinya berusaha lepas dari cewek itu, bahkan menyodorkannya pada orang lain seolah Maisha adalah barang.
Ekhem
Deheman seseorang kembali membuyarkan lamunannya, Dean menatapnya miris lalu menepuk bahunya sebelum beranjak keluar kelas. Ia tahu sejak dulu Dean memang tak pernah menyetujui rencananya. Ken kembali menatap sahabat kesayangannya, "Makasih, Cha. Kamu sahabat terbaik aku," ucap Ken dengan tulus, "apapun yang terjadi nanti, tolong maafin aku ya?"
Terlihat raut bingung di wajah lugu itu, tapi Maisha tetap mengangguk membuatnya gemas. Cewek itu terlalu menuruti semua perkataannya. Semoga Maisha dapat menerima Wulan sebagai pacarnya. Sebentar lagi, Lan. Sabar ya? Aku yakin Chacha akan mengerti.
***
Maisha berjalan cepat menuju kantin, perasaan lapar yang menyerang membuatnya menjadi sosok menyebalkan. Rana yang berjalan di belakangnya menggerutu tak jelas. Tadi saja dirinya ditarik paksa padahal kegiatan menyalinnya belum selesai, sekarang ditinggalkan begitu saja. Dasar bocah. Melihat segerombolan siswa dari arah berlawanan yang berlarian dan Maisha yang sibuk dengan handphone-nya, Rana hendak memperingatkan. Namun, belum sempat bersuara hal yang di takutkan terjadi terlebih dahulu.
Cewek itu terjerembab, pun benda pipih di tangannya yang terlempar. Semua yang berada di sana hanya meringis menyaksikan hal tersebut. "Duh, handphone gue!"
"Duh, sorry kak. Gak sengaja." Sang penabrak mengatupkan kedua tangan, dengan cepat mengambil handphone nya untuk di periksa. Mengabaikannya yang kini memijit kakinya yang mulai terasa sakit. Cewek itu hendak protes karena dirinya dibiarkan dalam keadaan mengenaskan. Namun, sebuah tangan terlebih dulu terulur padanya. Maisha tersenyum cerah karena ada yang berinisiatif menolongnya dibandingkan Rana yang hanya melongo.
Baru akan mengucapkan terima kasih, Maisha malah tertegun mendapati siapa yang membantunya berdiri.
"Kamu gak papa kan?" Maisha tidak tahu apakah ini anugrah atau petaka baginya. Ia merutuk dalam hati, kenapa harus Wulan yang membantunya? Kenapa pula Wulan harus sebaik ini padanya?
"Hei, Cha?" Wulan menyentuh bahunya, menatap khawatir, "kaki kamu gak papa? Mau aku anter ke UKS?"
Sungguh Maisha benci harus mengakui bahwa Wulan memang pantas dicintai dengan segala sikapnya. Ia mengenal baik cewek itu, sosok yang lebih dulu menawarkan pertemanan padanya sebelum Rana. Ah, andai saja bukan lo orang itu, Lan.
"Cha?" Maisha baru tersadar saat Rana yang mengambil alih menepuk bahunya dengan begitu keras. Ia mendelik, sedang Rana malah memberikan isyarat agar ia merespon ucapan cewek di depannya, "Ah, gue gak papa kok. Thanks ya, Lan. Kalau gitu gue duluan." Maisha berjalan tertatih dalam rangkulan Rana, mengambil handphone dari tangan adik kelasnya yang sedari tadi meminta maaf.
Maisha tak menoleh lagi karena tak ingin senyuman itu menghancurkan segala rencana yang telah disusun rapi. Maisha melirik Rana yang masih merangkulnya. Tepat ketika cewek itu menatapnya, ia menaikan sebelas alisnya yang dibalas kedikkan. Entah mengapa Maisha merasa ada yang aneh dari sahabatnya. Tepatnya, kenapa semua orang terasa aneh di matanya saat ini?
Halo cantik!" Maisha yang sudah menyantap makanannya terhenti. Melirik Rega yang menyapanya. Ia hanya mengernyit kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya, mengacuhkan cowok itu yang menggaruk belakang kepalanya.
"Lo kenapa sih, Cha? Perasaan akhir-akhir ini kayak benci banget liat gue." Protes Rega, mengingat kesalahan apa yang dibuatnya. Namun, Maisha masih saja nersikap tak peduli.
***
"Loh, Ken mana?" tanya Maisha melihat bangku cowok itu yang sudah kosong. Padahal ia hanya sejenak menengok ke belakang karena Milan menanyakan tugas untuk besok.
Yang ditanya hanya menggaruk kepalanya bingung. Mau berbohong tak tega, jujur juga tidak mungkin. Beruntung Rega sudah berdiri di sampingnya, "Lo pulang bareng gue Cha, tadi Ken nitipin elo. Dia ada urusan."
"Urusan sepenting apa sampe tega ninggalin gue?" tanyanya sarkatis.
"Udahlah, Cha. Jangan childish." Ucapan Rega membuatnya tersinggung. Maisha mendengus, menatap sinis cowok berperawakan tegap di depannya. Malah menghampiri Dean yang bersiap pulang sambil menyantolkan headset di telinganya.
Cowok itu menaikan sebelah alisnya, mendapati Maisha yang menahan lengannya menampilkan pupy eyes, "Gue mau pulang sama lo aja," ia menampilkan raut memelasnya sambil menggelengkan kepala, "gak mau sama dia."
Dean memegangi jemari Maisha berusaha melepaskan, tapi cewek itu malah semakin erat mencengkram lengannya, "Dek, gue gak bisa. Mau main dulu. Lagian motor gue rusak. Mau naik bis?"
Maisha tetap keukeuh, mengabaikan Rega yang berkali-kali mengajaknya pulang, "Ya udah, gue ikut lo main dulu nanti pulangnya bareng."
"Dek!" Dean menatapnya frustasi.
"Yan!" sentak Maisha tak kalah keras, "gue cuma mau pulang bareng lo. Ken ninggalin, Rana mau ngelatih. Gue gak mau pulang sama dia."
"Ya ampun, Cha. Lo kenapa sih kayak benci banget sama gue?"
"Emang!" ketusnya dan kembali beralih pada Dean, "Yan, please! Gue terakhir kali naik bis masa di liatin terus sama anak sekolah sebelah. Mana duduknya mepet banget, terus minta nomor segala. Kan takut."
Dean berdecak, Maisha dengan sifat manjanya yang keluar. Cewek itu sudah kelas tiga SMA masih saja kekanak-kanakan. Ia melirik Rega yang menatap lelah, "Ok, kita pulang tapi nanti gue turun dari bis duluan. Emang mau ditinggal?"
"Gak mau! Masa tega sih ninggalin cewek sendirian?" Maisha menggeleng cepat. Dean sudah kehilangan akal, cewek itu kalau sudah meminta sesuatu selalu ingin dituruti, "Dek Maisha, dengerin abang ya? Di dalam bis itu banyak orang jadi kalau ada yang macem-macem sama kamu tinggal teriak aja. Gampang kan?" Dean benar-benar merasa jijik mendengar apa yang keluar dari mulutunya sendiri, tapi menghadapi seorang Maisha Biantari jangan menggunakan cara kasar atau dia akan semakin membangkang.
Rega sendiri yang tadi sempat kesal pada Maisha karena dibenci tanpa alasan malah tertawa. Namun hanya sejenak karena pelototan tajam cewek itu seperti laser, menembus tubuhnya.
"Ya udah deh gak papa. Ayok!" Tuh kan benar. Helaan nafas lolos dari bibirnya. Tanpa permisi menarik Dean, mengabaikan Rega yang hanya berdecak.
"Yan, jadikan?" Maisha menghentikan langkah, mengikuti arah pandang Dean yang kini terfokus pada Bagus, teman satu angkatannya. Cowok yang beberapa kali mendapat surat peringatan karena ketahuan terlibat tawuran. Ck, nama saja bagus tapi kelakuannya gak ada bagusnya sama sekali.
"Duh sorry ya, gue kayaknya gak jadi ikut," sesal Dean lalu menunjuk ke arahnya, "lagi ngasuh nih gue."
Sontak Maisha melotot dan memukul bahu cowok itu hingga berteriak kesakitan. Bagus hanya tertawa melihat kelakuan keduanya dan pamit.
"Marah, cemberut, kalau gitu terus gak jadi pulang bareng nih." Ancaman tersebut langsung membuat Maisha mengusap bahu yang tadi ia pukuli. Mengucapkan maaf sampai Dean bosan mendengarnya. Ya, ampun! Dosa apa gue punya sahabat kayak gini? Untung lo tahan banting, Yan.
Melihat raut bersalah sekaligus takut di mata itu, Dean akhirnya memegangi jemari Maisha yang masih berada di bahunya. Tidak tahu mengapa, semenyebalkan apapun cewek di depannya, Dean tak bisa mengabaikan begitu saja. Maisha yang cerewet selalu terlihat rapuh di matanya.
"Gak usah baperan," gumamnya menarik cewek itu menuju halte. Maisha memutuskan diam karena takut Dean benar-benar meninggalkanya. Ia memang jarang naik kendaraan umum karena kalau tidak dengan Ken pasti diantar om nya sekalian berangkat ke kantor.
Bertepatan mereka sampai halte, bis yang mengantarkan ke tempat tujuan berhenti. Keduanya langsung masuk, berdesakan dengan murid lain. Beruntung masih ada beberapa bangku kosong, ia akhirnya mendudukan badan dekat jendela dengan Dean di sampingnya.
Maisha melirik cowok itu yang bersenandung pelan sambil menyandarkan punggungnya, memejamkan mata. Sebuah headset menyumpal kedua telinganya, diam-diam ia mempertanyakan sikapnya sendiri. Maisha selalu sinis ketika melihat Rega karena cowok itu telah berkomplot dengan Ken, tapi kenapa ia tak bisa melakukan hal yang sama pada Dean?
Mungkin karena sikap acuh Dean yang tak pernah mau melibatkan diri dengan masalah orang lain sekalipun sahabatnya sendiri. Cowok di sampingnya selalu memilih jalan aman.
"Kenapa liatin kayak gitu? Lo terpesona sama gue, dek? Ya ampun, please gue gak mau persahabatan kita hancur." Sikap lebay Dean membuatnya ingin muntah. Maisha malah mendengus kemudian memalingkan wajah. Namun, sesuatu yang menyentuh telingannya membuat ia kembali menoleh.
Dean tersenyum cengengesan, "Biar kayak di drama korea, pake satu headshet berdua. So sweet kan?"
Mau tak mau Maisha terkekeh. Dasar Dean, selalu saja mampu menetralkan perasaannya yang kacau. Badannya yang terasa lelah membuatnya tanpa malu menyandarkan kepala ke bahu cowok itu, Maisha ikut memejamkan mata, dengan Dean yang menepuk- nepuk punggung tangannya. Tak ketinggalan sebuah lagu yang menemani perjalanan panjang mereka, menembus sesaknya jalan ibu kota. Kalau gue mau sepenuhnya percayakan hidup gue sama lo. Apa lo bisa menjaganya, Yan? Meski hanya puing-puingnya yang tersisa, tapi gue harap lo gak biarin hancur lebur. Gue gak punya pegangan saat ini, Yan. Batin Maisha lirih.
Entah sadar atau tidak, sesuatu keluar dari ujung matanya. Tanpa cewek itu tahu kalau Dean sejak tadi memperhatikannya. Tangannya yang bebas terangkat, hendak menghapus cairan bening itu. Namun, ia menghentikan pergerakannya. Membiarkan Maisha menikmati kesedihannya sendiri, meski ia tidak tahu apa yang menyebabkan cewek itu menangis padahal sebelumnya terlihat baik-baik saja. Ken, gue harap bukan karena sikap elo dia seperti ini.
***
Sepasang manusia berjalan beriringan, sesekali terdengar tawa dari keduanya. Tak perlu merasa was-was karena keadaan sekolah sudah cukup sepi. Ken sengaja menghampiri Wulan ke kelasnya, menunggu cewek itu menyelesaikan piketnya. Saking buru-burunya sampai lupa pamit pada Maisha. Beruntung Rega bisa dimintai bantuan untuk mengantar sahabatnya karena Dean bukanlah orang yang tepat, jika alasannya menitipkan Maisha karena Wulan.
Langkahnya terhenti mendapati sosok tak asing berjalan ke arahnya diserati tatapan tajam. Wulan ikut berhenti, seketika matanya terbelalak. Mengetahui ke mana arah pandangan cewek tinggi itu, mereka langsung melepas genggamannya.
Rana tersenyum sinis, dengan tangan bersedekap ia mendekat. Gelengan kepala adalah hal pertama dilakukannya.
"Ran-" Cewek itu mengangkat telapak tangannya mencegah Ken untuk bicara lebih lanjut, "Gue gak butuh penjelasan. Cukup lo dengerin gue ngomong."
Kedua orang tersebut saling berpandangan kemudian kembali menatapnya. Rana melirik sejenak pada jam di pergelangannya, ia sepertinya akan terlambat mengikuti latihan karate, "Gue kasih waktu satu minggu buat bilang yang sebenarnya tentang hubungan kalian. Kalau enggak, jangan harap gue bakal diem aja."
"Tapi Ran, lo denger sendiri ucapan Chacha kemarin kan? Dia bilang gak mau gue pacaran dulu padahal gue hampir aja jujur sama dia." ujarnya. Kemarin saat mereka menikmati waktu istirahat, Maisha memang tiba-tiba mengatakan hal tersebut.
"Dan biarin dia tau dari orang lain? Menurut lo itu gak bakal lebih nyakitin?" tegas Rana. Ia memang tak lebih lama bersahabat dengan Maisha dibandingkan cowok di depannya, tapi persahabatan mereka bukan lah hal yang patut dipertanyakan. Terlebih setelah tahu bagaimana pahitnya kehidupan Maisha selama ini, semakin membuatnya ingin melindungi cewek itu.
"Ran, udah. Ini gak sepenuhnya salah Ken. Gue juga sal-"
"Iya, kalian berdua emang salah!" Rana adalah tipe cewek yang blak-blakan. Jadi jangan sampai berurusan dengannya kalau tidak ingin sakit hati. Tepatnya harus tahan banting. Namun, entah kenapa Rana tidak pernah melakukan hal kejam tersebut pada Maisha yang kelakuannya sering membuat orang harus mengelus dada berkali-kali.
Mengabaikan wajah pucat Wulan, ia kembali melirik Ken yang kini menggenggam tangan cewek itu, "Lo tau sendiri kalau selama ini hidup Chacha gak mudah. Cuma elo satu-satunya yang dia percaya. Sama gue, Rega, dan Dean aja dia kadang suka ngebatasin diri. Lo baginya tempat bergantung. Gue gak tau apa yang bakal terjadi jika dia tau hubungan kalian."
"Tapi gue juga pingin bahagia, perjuangin apa yang sejak dulu berusaha gue lepasin cuma karena gak bisa kecewain Chacha."
"Dan menurut lo ini bener?" Rana tak menyangka kalau Ken akan seegois itu, "lo bisa bicara baik-baik sama dia. Dengan begini dia malah bakal ngerasa gak dianggap."
Ken mengusap wajahnya kasar, "Ran, please! Chacha gak akan ngijinin gue pacaran."
"Itu cuma karena dia takut lo bakal lupain dia. Chacha gak mau ditinggalin kayak yang udah-udah. Kalau lo mau ngasih pengertian mungkin semua bakal lebih mudah. Bukannya dia selalu nurutin apa mau lo? Gak peduli itu bertentangan sama keinginannya. Harusnya elo yang ngaku-ngaku udah kenal dia sejak kecil bisa ngerti itu."
Keduanya kini menunduk dalam. Membenarkan perkataan cewek tomboy di depannya. Namun, semua sudah terlanjur.
"Hh, ngomong sama kalian ngabisin tenaga. Gue pergi deh. Males juga lama-lama di sini," Rana mengibaskan tangannya, "awas aja kalau sampai terjadi sesuatu sama Maisha, gue gak segan-segan ngasih pelajaran."
Setelah kepergian cewek itu, keduannya menghembuskan nafas yang sejak tadi di tahan. Rana memang sangar untuk ukuran perempuan. Ken melirik pacarnya yang masih terlihat ketakutan, mengusap tangannya.
"Gak usah khawatir, semua bakal baik-baik aja. Rana gak sejahat itu kok sama cewek."
Wulan memandang khawatir, "Tapi kamu ...,"
"Gak bakal terjadi apa-apa, Lan. Udah ah dari pada mikirin itu mending kita pulang."
***