Perlahan kau terlepas, jauh dan semakin jauh.
Perlahan kau menghilang, ciptakan ruang kosong.
***
Ketukan pintu membuat seseorang yang tengah fokus pada komputer di depannya mendengus. Ia sudah mempersilakan masuk namun orang di luar sana tetap saja mengetuk pintu tersebut. Cowok itu melirik lawan jenis di meja seberangnya yang mengangkat bahu. Dengan malas ia melangkah dan membuka pintu. Decakan seketika keluar dari mulutnya mendapati sosok yang tengah tersenyum menyebalkan ke arahnya.
"Ck, elo ya kayak gak ada kerjaan aja."
Ken hanya cengengesan kemudian melirik seseorang dari balik bahu sahabatnya. Rega yang tahu maksud kedatangannya pun mendengus. Tanpa dipersilahkan cowok itu berjalan melewatinya. Ia sendiri kembali ke tempat duduknya membiarkan pintu ruangan OSIS terbuka.
"Hai, Lan!" Ken berdiri di dekat cewek yang merupakan sekertaris OSIS itu. Yang di sapa menghentikan aktivitasnya, menyempatkan diri untuk membalas sapaannya, "Lagi ngerjain apa sih? Kayaknya sibuk banget?"
"Ini lagi ngerjain laporan akhir kepengurusan," jawabnya dengan suara yang lembut minta ampun membuat Ken semakin kesemsem. Kebetulan sekali masa jabatan untuk anak OSIS sebentar lagi akan berakhir jadi wajar kalau sahabat serta gebetannya sepanjang hari sibuk dengan berbagai macam laporan.
"Mau aku bantuin gak?" Tawaran tersebut sontak membuat Rega berpura-pura terbatuk. Mengabaikan ledekan sahabatnya Ken kembali melirik cewek itu, "Gimana mau di bantuin gak?"
"Emang kamu bisa?" tanya Wulan balik. Bahkan kata panggilan mereka sudah berganti menjadi ber'aku-kamu'. Mendengar suara batuk lagi Ken memberikan tatapan tajam disertai sebuah isyarat membuat Rega mendengus. Cowok itu mematikan laptopnya.
"Loh Ga, mau ke mana?"
Rega melirik wulan yang menaikan sebelah alisnya, "Gue ke kantin dulu deh laper."
Cewek itu menggeleng lalu melirik Ken, "Kamu gak ikut sama Rega?"
Ken menggeleng, "Enggak ah, mau nemenin kamu aja di sini."
Perkataan itu sontak menciptakan rona merah di wajah Wulan. Rega sendiri malah berdecak sebelum akhirnya membalikan badan, memberikan kesempatan pada Ken untuk melakukan pendekatan pada sekretarisnya itu.
***
"Ga! Bang Reganteng!"
Rega menghentikan langkah. Mengetahui sosok yang memanggil di belakangnya cowok itu menepuk dahi. Dengan senyum paksa membalikkan badan, "Eh, Dek Maisha. Ada apa?"
"Apaan sih? Gue kan udah bilang berapa kali jangan panggil gitu, ish!" gerutu Maisha mencebik sebal, "gara-gara kalian yang suka manggil gitu gue kemarin di ledekin sama adek kelas, kan malu. Apalagi si Aryo kribo itu."
Rega tertawa mendengar keluhan itu. Aryo adalah adik kelasnya yang sejak dulu sudah memperlihatkan ketertarikan pada Maisha bahkan suka memanggil cewek di depannya tanpa embel-embel 'kak'. Namun karena pada dasarnya segan dengan keberadaan Ken, cowok itu hanya berani melirik-lirik atau sekedar menggodanya saja. "Ya udah deh maaf, jangan marah dong Cha."
Maisha mendelik, "Ken mana?"
Lah? Permintaan maafnya diabaikan dan ia sekarang malah di lempari pertanyaan yang membuat tenggorokannya tercekat. "Mm gak tau tuh anak ngilang mulu."
"Iya sih, akhir-akhir ini Ken suka ngilang. Apa bener ya dugaan gue Ga, kalau-"
"Eh, Cha," Rega langsung merangkul bahunya, "Temenin gue ke kantin yuk!"
Cewek itu hendak menolak namun tawaran Rega yang akan mentraktir dua kotak susu Vanila membuatnya mengangguk antusias. Melupakan keberadaan Ken yang membuatnya penasaran.
***
"Siang Deandra!"
Dean yang sedang menikmati baksonya tersentak. Maisha tiba-tiba menepuk bahunya keras diikuti suara cemprengnya. Jangan tanyakan Rana yang sudah mendumel tak jelas karena terkena muncratan dari mulut cowok itu. Mengetahui ulah nya berakibat fatal, Maisha langsung mengambilkan gelas dan menyerahkannya.
"Elo ya Cha, bisa gak sih gak ngagetin? kalau gue jantungan gimana?" tanyanya kesal, "lagian nama gue Dean ya bukan Deandra. Main ganti sembarangan aja."
"Ya elah, sensi amat sih mas."
"Eh, gue bukan mas-mas tukang panci ya. Lagian ya lo it awss," Dean mengusap kepalanya yang terkena ciuman sendok dari tangan magic Rana, "sakit Ran, gue salah apa sih?"
"Wajah gue kena muncratan bakso lo dan lo belum minta maaf. Terus sekarang bentak-bentak sahabat gue?"
Dean ingin sekali membenturkan kepalanya pada meja namun ia berusaha bersabar memiliki teman dekat perempuan kelakuannya ajaib semua.
"Udah deh udah," Rega berusaha menenangkan, "Cha katanya mau beli susu kan? Udah sana sekalian pesenin gue mie ayam juga."
Maisha sebenarnya tidak suka di suruh-suruh tapi berhubung ia mendapat gratisan jadi mau tidak mau ia harus rela. Dengan malas ia menarik lengan Rana meminta diantarkan
Melihat kedua perempuan itu menjauh Dean mendekatkan badannya, membisikan sesuatu, "Ga, si Ken ke mana?"
"Biasa pedekate sama Wulan."
Mata Dean membola, "Serius lo? Terus si adek gimana? Dia tau?"
"Enggak, makanya gue ajak dia ke sini soalnya tadi sempet nyariin Ken." Rega melirik cewek mungil itu yang tengah membuka freezer. Sesekali mengangguk menanggapi Rana yang mengajaknya bicara.
"Ga, lo yakin dia gak bakal kenapa-napa?" tanya cowok berambut ikal itu khawatir, "jujur aja, gue gak suka sama rencana kalian. Ini terdengar egois menurut gue."
Rega termenung, sebenarnya ia cukup kepikiran dengan ucapan Maisha kemarin juga ketidaksetujuan Dean namun ia sudah berjanji akan membantu sahabatnya yang satu itu. Ia berada di posisi serba salah tapi sebagai laki-laki, mengingkari janji adalah hal yang menyentil harga dirinya.
"Gak usah khawatir, Yan. Gue yakin Ken juga udah mikirin ini dari lama. Dia juga sama kayak kita pingin nikmatin gimana itu cinta masa SMA. Gue cuma bantu dia deket aja sama Wulan, masalah perasaannya yang berbalas atau enggak kita kembaliin ke mereka. Dan buat Maisha, kita udah pikirin itu baik-baik. Lo tau kan kalau Ken lagi coba comblangin dia sama Denis?"
Penjelasan Rega masih tak mampu menghilangkan kegundahannya.
"Tapi gak harus deketin sama Denis juga. Gue bisa lihat kalau si adek gak nyaman tapi dia kayak gak bisa nolak karena udah terlanjur nurut sama setiap ucapan Kenar." Dean dapat melihat itu, jangan salahkan dirinya yang terlalu peka dengan keadaan sekitarnya.
Rega menghela nafasnya, "Yan, lo tau sendiri kan kalau Chacha udah bergantung banget sama Ken dan kalau misalnya nanti jadian sama Wulan, pasti mau gak mau semua bakal beda. Prioritas Ken juga waktunya. Maka dari itu Ken sengaja deketin mereka biar Chacha juga bisa jatuh cinta, juga ada sosok yang gantiin posisinya."
"Gak tau kenapa gue tetep gak bisa nerima rencana juga pemikiran kalian," Dean menatap kedua cewek yang kini berjalan ke arahnya, "Ga, yang dia butuhin bukan cuma itu."
Rega hendak membalas ucapan sahabatnya ketika suara Meisha memenuhi pendengaran nya. Cewek itu dengan raut ceria menyimpan pesanannya dan mendudukan badan tepat di sampingnya. Ia mengucapkan terima kasih lalu menyantap makanannya. Berbicara dengan Dean menguras pikirannya. Tetap saja Rega tak ingin di salahkan.
***
Dua manusia berlawanan jenis memasuki perpustakaan yang lumayan sepi karena bel pulang sudah berbunyi. Maisha meminta diantarkan karena ingin mencari bahan referensi untuk tugas bahasa Indonesia nya. Ken sendiri hanya mengikuti tanpa berniat melakukan hal yang sama. Cewek itu mengambil beberapa buku di sana. Ken yang berdiri di belakangnya malah sibuk dengan sesuatu di genggamannya.
"Cha, aku ke toilet dulu ya? Kebelet nih." ujar cowok itu membuat Maisha yang hendak membuka laptop melirik ke arahnya. "Bener kan cuma toilet? Kamu gak bakal pulang duluan?"
Belajar dari pengalaman mengenai sahabatnya yang selalu menghilang tiba-tiba Maisha jadi curiga. Ken menggeleng, "Enggak kok, takut banget sih ditinggalin."
"Janji yah gak ninggalin." Meisha menatapnya dengan sorot penuh membuat Ken terkekeh. Dengan gemas mengacak rambut sahabatnya, "Iya janji. Udah aku pergi dulu."
Setelah kepergian cowok itu, ia membuka buku di tangannya lalu mengetikkan sesuatu di laptopnya. Tengah serius mengerjakan tugas, seseorang mendudukan diri di sampingnya membuat Maisha menoleh. Matanya membola mendapati siapa sosok itu.
"Gue boleh duduk di sini kan?" Denis memamerkan deretan giginya yang rapi. Sedang Maisha mengangguk kaku. Kenapa bisa cowok itu selalu tahu keberadaannya?
"Lo lagi ngerjain apa?"
Cewek itu mengerjap, "Ini tugas makalah bahasa Indonesia."
"Oh sama dong, gue juga lagi ngerjain itu."
Mereka kembali sibuk masing-masing, Sesekali Maisha melirik handphonenya menunggu balasan pesan yang ia kirimkan. Sudah beberapa menit berlalu dan sahabatnya belum kembali. Seingatnya letak toilet dekat dengan perpustakaan. Maisha menghela nafas berusaha kembali fokus namun melihat sesuatu yang tidak dimengerti mengharuskan ia bertanya. Tak ada pilihan lain, akhirnya sosok cowok di sampingnya menjadi pilihan.
"Mm Den," panggilnya ragu. Cowok itu mengalihkan pandangan padanya.
"Boleh nanya sesuatu? Ada yang gue gak ngerti," Maisha meringis. Tentu saja Denis akan senang hati membantu pujaan hatinya. Kesempatan yang diberikan Kejar tak boleh ia sia-siskan sedikit pun.
***
Sosok yang dicari oleh Maisha malah tengah mengobrol santai di depan ruang OSIS bersama sahabatnya. Sesekali mencuri pandang ke arah perempuan yang berdiri tak jauh darinya. Kebetulan Ken menghampiri Rega yang akan mengadakan rapat OSIS. Berhubung anggota lain belum hadir mereka malah mengobrol tak jelas.
"Chacha gak bakal nyariin?" Ken mengedikan bahu, "Gue sih bilang ke toilet."
Rega terdiam memperhatikan sahabatnya yang kini saling melempar senyum pada Wulan, "Lo serius sama Wulan?"
"Kenapa enggak?"
"Gue cuma mau ingetin jangan main-main sama dia. Wulan itu anaknya baik banget, kasian aja. Lagian gue bakal ngerasa bersalah kalau suatu saat lo nyakitin dia karena gue yang udah bantuin lo."
Ken menepuk bahu cowok itu, "Lo tenang aja, Chacha aja gue jagain mati-matian apalagi dia?"
Rega berharap apa Ken dapat membuktikan ucapannya. Ia memang tahu bahwa sahabatnya itu takan pernah menyakiti perempuan yang disayanginya. Tapi bukankan seseorang bisa saja melakukan kesalahan di waktu yang tak terduga?
"Oh gimana kabar Sarah? Kemarin gue liat wajahnya suram banget."
Cowok itu mendengus mendengar perkataan sahabatnya. Sarah merupakan pacar Rega dari kelas IPS. Rega menggaruk kepalanya dengan wajah sebal, "Kemarin dia marah gara-gara liat gue rangkul Chacha.Gue kayak nya gak kuat sama sifat posesif dia."
Ken tertawa, "Ya elah, lagian siapa suruh juga pake rangkul-rangkul sahabat gue? Lagian wajar kali dia cemburu."
"Ya gue kan rangkul dia gitu karena bantuin lo, dia nyariin keberadaan lo yang lagi asik-asikan pedekate. Harusnya lo berterima kasih sama gue."
"Ya udah deh, thanks kalau gitu," Ken merangkul bahunya, "Jangan marah lo kayak anak cewek."
"Heh, ngapain sih pada berdiri di sini?"
Keduanya menoleh pada Dean yang sudah berdiri dengan tangan menggenggam sebuah raket. Cowok itu memang mengikuti ekskul badminton.
"Gue ada mau rapatlah," balas Rega songong. Mentang-mentang ketua OSIS.
Dean mendesis lalu mengalihkan pandangan pada sahabatnya yang lain, "Terus lo ngapain? Si adek mana?"
"Dia lagi ngerjain tugas."
"Lo tinggal sendiri?" tanyanya cemas seolah Meisha adalah anak TK yang butuh pengawasan.
"Sama Denis." Mendengar nama itu Dean tahu bahwa ini adalah sebuah konspirasi. Dengan kesal ia memukulkan raket kesayangannya pada kepala kedua cowok itu hingga berteriak kesakitan. Abaikan saja beberapa orang yang langsung menengok ke arah mereka.
"Kalian yah?" Dean bertolak pinggang sambil menggelengkan kepala, "gue tuh gak setuju sama rencana kalian. Bisa gak sih dengerin suara gue? Ampun dah!"
Setelah itu Dean main ngeloyor pergi meninggalkan kedua sahabatnya yang masih mengusap kepala mereka akibat pukulan yang tak main-main.
"Anjir, kepala gue sakit banget." ringis Ken memprihatinkan.
"Tuh anak emang gilanya suka kumat," tambah Rega menatap lorong koridor yang tadi dilewati sahabatnya.
***
"Yuk, pulang!"
Maisha masih cemberut mendengar ajakan cowok kurus yang berjalan di depannya. Ken baru datang satu jam kemudian padahal awalnya mereka berniat mengerjakan tugas bersama. Beruntung ada Denis yang mau dengan berbaik hati membantunya. Meski ia sedikit canggung meminta bantuan cowok pintar itu.
Ia menerima helm yang disodorkan dan memakainya dengan malas. Ken juga tak mengajaknya bicara lagi, mungkin tahu bahwa cewek di belakangnya sedang dalam mode marah. Ia hanya membiarkan karena tahu kemarahan Maisha akan lenyap dengan sendirinya.
"Mau beli ice cream dulu gak?" Tawaran yang menggiurkan namun Maisha merasa gengsi terlebih ia sedang mendiamkan cowok itu.
"Cha?" Ken meliriknya dari kaca spion yang dibalas lengosan olehnya. Ken tahu sahabatnya sedang merajuk. Ia hanya perlu melakukan sesuatu agar cewek itu mau berbicara padanya. Tanpa menunggu persetujuan cowok itu menghentikan kendaraannya dekat penjual ice cream. Maisha hanya diam membiarkan Ken melangkah menuju penjual.
Ia mendongkak, mendapati dua corong ice cream di depan wajahnya. Sungguh, Maisha paling tidak bisa menolak jika di tawari ice cream dan susu vanila. Mengabaikan gengsi ia mengambilnya masih dengan bibir mengerucut.
Ken hanya bisa menahan tawa dengan kelakuan sahabat yang begitu murahan kalau di iming-imingi kedua "Dasar anak kecil," cowok itu menyodorkan sapu tangan dan Maisha mengambilnya untuk membersikan noda di wajahnya.
Mengabaikan ejekan sahabatnya Maisha terus melahap ice cream itu. Ken hanya memperhatikan dari samping. Ia baru menyadari kalau sahabatnya itu sudah tumbuh dewasa, Maisha nya terlihat begitu imut. Tidak secantik Wulan memang namun ada sesuatu yang membuat cewek itu terlihat menarik, entah apa ia sendiri tidak tahu. Pantas saja beberapa siswa di sekolahnya sering diam-diam mencuri pandang pada sahabatnya. Ken merasa bangga akan hal itu.
"Cha, kamu harus punya pacar yang gak pelit biar bisa jajanin kamu tiap saat."
Maisha menghentikan kegiatannya memakan ice cream. Melirik cowok yang kini tengah serius menatapnya, "Kenapa harus punya pacar kalau udah ada kamu yang bakal selalu beliin aku semuanya?"
Lontaran yang keluar dari mulut cewek itu membuat Kenar terkekeh. Sahabatnya masih seperti dulu, cuek dalam hal cinta.
"Cha, kamu tahu? Tanpa disadari waktu akan membawa pada hal yang gak pernah kita duga sebelumnya. Akan ada banyak kisah yang terjadi di masa depan."
Maisha tahu maksud cowok itu namun memilih terus menghabiskan sesuatu di genggamannya. Ia hanya sedang bersikap tidak peduli. Dipikirannya cukup dengan meyakini bahwa takan ada hal buruk terjadi selama Ken ada di sampingnya.
***
#twm18