Rasa itu bukan untuk dipaksa namun kau serahkan secara sukarela.
***
Maisha baru keluar dari kelasnya saat seseorang sudah berdiri di depannya dengan senyum canggung. Tentu ia tahu siapa sosok itu. Sebenarnya ia sedikit malas meladeni namun tidak ingin dibilang sombong ia membalas senyuman tersebut. Baru saja melangkah namanya dipanggil, Maisha kembali berbalik masih dengan senyumnya. Cowok berambut ikal itu mendekat.
"Sha, pulang sekolah ada acara gak?" Orang-orang memang memanggilnya Maisha atau Sha, panggilan Chacha hanya di gunakan oleh orang terdekatnya saja. "Kenapa emang, Den?"
"Tadinya sih mau ajak jalan bentaran," Denis menggaruk kepalanya salah tingkah. Sedang cewek itu mengigit bibirnya, mau menolak tak enak tapi menerimapun ia tidak bisa. Denis yang merupakan tetangga kelasnya memang sudah beberapa bulan ini mendekatinya. Tapi Maisha tidak tergerak sedikitpun dengan usaha cowok itu. "Mm, sorry ya. Kayaknya gak bisa deh," Maisha memilih ujung dasinya, "G-gue mau ngerjain tugas."
Mata yang penuh pengharapan itu meredup. Maisha tahu ia telah membuat cowok itu terluka. Namun, dengan mengiyakan dirinya hanya aka membuat Denis berharap.
Mencoba tersenyum, Denis kembali menatapnya, "Kalau besok?"
Sungguh, Maisha tidak pandai berbohong. Ken, lo di mana sih? Batinnya meminta bantuan tapi sahabatnya itu malah menghilang sejak bel istirahat tadi. Juga akhir-akhir ini sulit dihubungi. "Be-besok mau anterin mama ke dokter."
Alasan yang sangat tidak masuk akal. Sejak kapan dirinya bisa seakrab itu dengan sang mama? Bahkan ia lupa kapan terakhir kali bertemu dengan sosok yang telah melahirkannya. Denis mengangguk lesu, "Jadi, kapan aku bisa ajak kamu jalan?
Maisha terdiam. Ini bukan tentang masalah waktu namun perasaannya yang menolak kehadiran cowok tampan di depannya. Ia akui paras Denis memang lumanyan terlebih prestasinya, tapi entah mengapa untuk sekedar jatuh cinta pada cowok itu begitu sulit. "Den, nanti gue kasih tau. Kalau gitu gue duluan ya." Tanpa menunggu jawaban Maisha berjalan cepat. Meninggalkan Denis disertai raut kecewanya. Jujur saja, ia sebenarnya tak tega.
Tak jauh dari sana tanpa sepengetahuan siapapun seseorang tersenyum melihat keduanya. Seolah menemukan sebuah jalan menuju kebahagiaan yang selama ini ia nanti-nanti.
***
Sebuah ruangan besar itu terlihat temaram karena penerangan yang tidak dihidupkan. Hari memang sudah sore namun lelaki berseragam itu sepertinya tak berniat sedikitpun untuk beranjak meninggalkan bola yang sedari tadi ia coba masukan ke dalam ring. Hasilnya selalu melesat membuat cowok itu mendesis kesal. Sekali lagi ia mencoba dan hasilnya tetap sama. Ia mendudukan badannya berusaha merendam perasaan kecewanya.
Derap langkah yang mendekat membuatnya mendongkak. Ia menaikan sebelah alisnya mendapati seseorang tersenyum samar sambil memegang bola yang tadi dibiarkan menggelinding. Cowok kurus itu melakukan ancang-ancang dan tembakannya tepat sasaran. Dengan tersenyum bangga melirik cowok yang masih terduduk lesu. "Suram amat tuh muka!"
Hanya desisan yang keluar dari mulutnya.
"Gue bisa bantu lo." Mendengar kata bantu, lawan bicaranya langsung menatapnya, "Maksudnya lo apa?"
Ken tersenyum, mengambil bola tadi dan kembali memasukan ke dalam ring. Untuk ukuran yang bukan anggota basket ia terbilang cukup mahir, "Maisha," ucanya pelan, "gue tau selama ini lo suka sama dia."
"Apa gue harus percaya sama omongan lo? Bukannya lo protektif banget sama dia?" Ken tertawa, suaranya menggema memenuhi gor. Cowok di sampingnya hanya mengernyit bingung, "Jadi, lo mau nyia-nyiain kesempatan yang gue kasih?"
Denis langsung menggelengkan kepala. Baginya tawaran tersebut seperti sebuah keajaiban. Cukup tahu saja bagaimana cowok itu yang sudah seperti bodyguard dari perempuan yang disukainya. Beberapa teman cowoknya yang mundur teratur karena sikap over protektif Ken. "Gue pikir, bukan tanpa alasan lo mau bantu gue gitu ajakan?"
Hal yang mustahil jika seorang Kenarya mau begitu saja merelakan sahabat kesayangannya pada cowok yang bahkan tidak terlalu dikenalnya.
"Gue rasa, ini udah saatnya gue lepasin dia," Ken menatapnya, "dan lo orang beruntung karena menjadi cowok yang gue pilih buat dia. Gue bisa percayain dia sama lo kan?"
"Tentu." Meski masih ada sedikit keraguan mengenai alasan yang dilontarkan sahabat dari perempuan yang di kaguminya, Denis akhirnya tetap mengangguk. Sungguh keberuntungan yang tak boleh disia-siakan.
***
"Cha, kayaknya aku gak bisa anterin kamu deh."
Maisha yang berjalan di sampingnya menghentikan langkah, melirik sahabatnya dengan tatapan bertanya. Tiba-tiba Ken mengatakan hal tersebut saat mereka sudah hampir mencapai parkiran. Kebingungannya belum terjawab karena cowok itu malah sibuk dengan handphone-nya. Maisha mencoba bersabar menunggu penjelasan.
"Ken?" Ia menyentuh lengan cowok itu. Ken meliriknya sambil menyimpan benda pipih tersebut ke sakunya, "Em, aku ada rapat buat turnamen futsal. Dadakan jadi gak bisa anterin kamu, gak papakan?"
Kecewa, Maisha ingin mengatakan itu namun melihat raut tak enak sahabatnya ia mengurungkan perkataannya yang sudah di ujung lidah. Dengan berat hati menggelengkan kepala. Kalau tau begini ia akan meminta Rega atau Dean untuk mengantarkannya pulang.
"Hai, Sha."
Sedang asiknya merenungi kekecewaan sebuah suara membuat Maisha mengalihkan atensinya. Di depannya sosok yang beberapa hari ini berusaha mendekatinya sudah berdiri dengan tersenyum ramah. Maisha mengerjapkan mata lalu melirik Ken yang kini membalas sapaan cowok itu. Ia mengernyit, sejak kapan sahabatnya akrab dengan Denis?
"Kalian mau pulang?" Cowok itu menatapnya dan Ken bergantian.
"Iya nih tapi gue baru di kasih tau ada rapat mendadak." jawab Ken sesekali melirik jam di pergelangannya, "Cha, bener gak papa pulang sendiri?"
Maisha hendak menjawab ketika suara itu langsung menimpali.
"Kalau gue anterin mau?" Ia mendongkak. Denis menatap nya seperti hari-hari sebelumnya, penuh harap.
"Lo bener bisa anterin sahabat gue?" Lagi-lagi Maisha kembali menutup mulutnya. Antusiasme cowok di sebelahnya membuat Maisha termangu.
"Ya kenapa enggak? Gue sekalian mau pulang."
Bilang gak usah, Ken. Batinnya penuh harap namun ternyata yang terjadi sebaliknya. Dengan ringan kepala itu mengangguk membuat perasaannya mencelos. Ken tersenyum lega menatapnya, "Cha, gak papa kan pulang sama Denis?"
Ia ingin menolak tapi lidahnya terasa kelu.
"Aku anggap diam kamu itu pertanda setuju."
"T-tapi Ken, aku bisa pulang sen-"
"Enggak! Lebih baik kamu sama Denis," Ken menepuk bahunya lalu melirik cowok yang berdiri di depannya, "Den titip sahabat gue ya? Awas aja kalau ada apa-apa, lo orang pertama yang bakal gue cari."
Cowok itu terkekeh mendengar ancaman Ken, "Lo bisa pegang janji gue. Yuk, Sha."
Akhirnya Maisha hanya pasrah ketika lengannya ditarik oleh Denis menuju parkiran. Sesekali melirik Ken yang masih berdiri disana dengan tersenyum. Entah kenapa Maisha merasa lebih dari kecewa. Biasanya Ken takan semudah itu melepaskannya untuk cowok lain terlebih yang bukan sahabatnya. Bahkan pada Dean dan Rega saja tak pernah terlihat selega itu.
***
Entah ini perasaannya saja atau bukan. Maisha merasa sahabatnya berbeda akhir-akhir ini. Selalu ada alasan cowok itu tak bisa mengantarkan pulang atau ke suatu tempat dan pastinya secara kebetulan Denis akan muncul bak penyelamat. Tidak salahkan ia berpikir kalau semuanya seperti sebuah kesengajaan? Tapi untuk apa Ken melakukan itu?
"Ngelamun aja sih?" Maisha mengangkat kepalanya. Kebetulan dirinya sedang menidurkan wajah di atas meja menunggu bel masuk berbunyi.
Rega, cowok rajin itu mendudukan badan di kursi Ken yang masih kosong. Seperti sebelumnya Ken mengatakan tak bisa mengantarkannya karena harus mengisi bensin dulu dan akan membutuhkan waktu lama. Jadi ia terpaksa berangkat dengan Denis yang muncul dengan alasan kebetulan jalan mereka searah.
"Ga, kok gue ngerasa aneh ya sama Ken." Cowok itu mengernyit, "Aneh gimana?"
"Ya, dia jadi sering buat alasan gak bisa nganterin gue." keluhnya dengan wajah muram. Melihat itu, Rega menghela nafasnya sedikit tak tega, "Mungkin dia emang lagi gak bisa anterin lo aja, gak usah khawatir."
"Ga, gimana kalau Ken emang udah mulai capek sama gue?" Cowok di depannya tertegun. Tatapan itu penuh sarat ketakutan. Dia sebagai sosok yang tahu jelas bagaimana ketergantungan Maisha terhadap sahabatanya dengan pelan menepuk bahu Maisha, "Gah usah mikir yang enggak-enggak."
Maisha mengalihkan tatapannya keluar jendela kelas. Pikirannya melayang jauh. Lalu lintas siswa di koridor tak membuatnya terganggu, "Gue takut dia bakal ninggalin gue kayak mereka. Kalau itu terjadi, gue harus gimana, Ga?"
Mendengar itu perasaan Rega terasa teriris. Tanganya mengepal tanpa ia sadari. Mata itu berkaca-kaca. Pemandangan yang tak pernah didapati dari raut ceria seorang Maisha. Dan hal ini membuat Rega memikirkan ulang keputusannya untuk membantu Ken. Ia sudah telanjur berjanji. Jadi apa yang harus dilakukannya sekarang?
"Hei, lagi pada ngapain sih? Kok pada diem-dieman?"
Mereka mengalihkan pandangan pada kedua cowok yang sudah menampakan raut penasaran. Rega yang langsung sadar dari lamunannya dengan sigap berdiri, mempersilakan Ken menduduki bangkunya. Maisha sendiri hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. "Oh ya Cha, tadi kamu berangkat ke sini naik apa? Maaf ya gak bisa jemput."
"Mm tadi bareng Denis."
Ken mengangguk tak memperlihatkan kekhawatirnya sama sekali.
"Lo kok biarin Maisha dianterin dia sih? Kenapa gak minta tolong gue aja kalau gak bisa?" timpal Dean. Ia tahu bahwa itu adalah sebagian dari rencana kedua sahabatnya.
"Lah kenapa sih? Lagian gue percaya sama dia." Maisha hanya diam mendengarkan perdebatan para sahabatnya. Membenarkan perkataan Dean, ia lebih suka di antar cowok itu ketimbang Denis yang jelas-jelas memiliki perasaan lebih dan itu membuatnya tak nyaman.
"Ya, gue cuma khawatir aja gak biasanya lo biarin si adek sama orang asing," ujar Dean, "Oh atau ini emang sebagian dari ren-"
"Ren apa, Yan?" tanya Maisha karena cowok itu menghentikan ucapannya. Ketiganya kini malah saling menyikut. "Kalian lagi nyembunyiin sesuatu kan?"
"Ah, enggak kok." Ken tertawa melirik kedua sahabatnya, "Enggak kan Yan, Ga?"
"Iya enggak hehe."
Jelas sekali mereka tengah menutupi sesuatu. Maisha memang kadang agak polos tapi tidak bodoh untuk mengetahui apa yang terjadi disekitarnya. Percuma memaksa karena mereka takan mengaku, ia akhirnya mengangguk membiarkan mereka menganggapnya percaya. "Ya udah kalau gitu," Maisha memasukan buku paket ke dalam laci mejanya, "aku mau nyamperin Rana dulu ke koperasi." Tanpa menunggu tanggapan cowok-cowok di depannya ia beranjak. Jujur saja Maisha paling tidak suka dengan suasana itu. Ia benci dibohongi karena hal tersebut hanya mengingatkannya pada kesakitan itu. Kedua orang tuanya.
***
"Kenapa sih? Kok lo diem aja dari pagi?"
Maisha hanya menggeleng kemudian kembali bergelung dengan lamunannya. Rana menghela nafasnya, yakin bahwa sahabatnya sedang tidak baik-baik saja. Tak biasanya cewek itu menolak ajakan ke kantin dan malah memilih duduk di taman sekolah. Sejak menghampirinya di koperasi, ia bisa melihat raut murung Maisha hanya saja ia membiarkan sahabatnya untuk bercerita sendiri tapi sampai sekarang mulutnya masih saja terkunci.
"Lo yakin gak mau makan sesuatu? Biar gue yang beliin," tawar Rana yang hanya dibalas gelengan, "Lo kalau mau ke kantin pergi aja, Ran. Gak papa kok."
Rana tahu percuma mengajak sahabatnya bicara. Ia akhirnya memutuskan beranjak, hanya ada satu orang yang bisa meruntuhkan kekeraskepalaan Maisha.
"Gue kan udah bilang Ran, kalau mau ke kantin ya pergi aj-" ucapannya terhenti melihat sesuatu yang di sodorkan ke depan wajahnya. Susu vanila kesukaannya, mengetahui sosok yang biasa memberikan minuman tersebut Maisha menoleh lalu kembali mengalihkan pandangan tanpa mengambilnya.
Hembusan nafas yang lolos terdengar. Kursi yang didudukinya bergoyang menandakan bahwa orang tersebut duduk di sebelahnya, "Kamu kenapa sih, Cha?"
Tak ada tanggapan dari cewek itu.
"Kamu marah karena aku gak bisa jemput tadi pagi?"
Bukan cuma tadi pagi, Ken. Juga bukan cuma itu. Batinnya.
Ken memegang telapak tangannya dan menyimpan sesuatu di sana, "Makan ya? Aku sengaja beliin kamu roti sama susu vanila kesukaan kamu."
"Ken."
"Ya?" Cowok itu tersenyum padanya.
"Kamu gak bakal berubah kan? Gak bakal tinggalin aku kayak mereka kan?"
Masih dengan senyuman, Ken mengusap pucuk kepala sahabatnya pelan, "Kenapa kamu bisa berpikiran kayak gitu? Aku gak akan pernah ninggalin kamu, Cha."
Mendengar ucapan cowok itu seketika kegundahannya hilang. Maisha menyunggingkan senyumnya lalu membuka roti yang di belikan sahabatnya dan memakan dengan lahap. Ken yang melihatnya hanya terkekeh, terlebih cara makan Maisha yang seperti orang kelaparan, "Hati-hati Cha, nanti keselek."
Maisha hanya cengengesan dan kembali menyuapkan roti ke mulutnya. Diam-diam Ken menghembuskan nafasnya, ia memang takan pernah meninggalkan sahabatnya. Ia hanya ingin mencarikan kebahagiaan lain untuk Maisha yaitu sosok yang akan mencintai cewek itu dengan tulus. Bagaimanapun mereka sudah dewasa, adakalanya mereka harus menemukan kebahagian masing-masing. Dan Ken hanya sedang mengusahankannya untuk mereka berdua.
***
#TWM18