Loading...
Logo TinLit
Read Story - My Sweety Girl
MENU
About Us  

Ini tentang kita yang saling terikat. Aku yang tanpa kamu bisa apa?

***

Bukan hanya mentari yang bersinar begitu cerah hari ini. Coba tanyakan pada cewek mungil yang kini bersenandung sambil mengikat tali sepatunya. Suaranya yang cukup merdu memang enak di dengar jika saja cewek itu memperlihatkan kemampuannya di depan umum selain berteriak tak jelas. 

Namanya Maisha Biantari, wajah imutnya terlihat cerah seperti pagi-pagi sebelumnya. Sesuai janjinya pada sosok itu. Janji untuk terus tersenyum apapun yang terjadi, sesakit apapun perasaannya.  

Deru kendaraan membuat Maisha mendongkak. Dengan tersenyum berlari kecil ke arah cowok yang kini duduk santai di atas kendaraan beroda dua dengan gaya coolnya. 

"Jangan lari-lari nanti jatuh, Cha."

Teguran itu diabaikan. Benar saja beberapa saat kemudian ia hampir terjatuh membuat si cowok berteriak. Maisha yang masih dapat menahan keseimbangan hanya cengengesan dan melanjutkan langkah. Kali ini dengan begitu hati-hati. Sedang cowok di depannya bernafas lega. "Kamu ya, kalau dibilangin gak pernah mau denger!"

"Maaf deh, abis takut kesiangan."
Melihat sahabatnya yang memperlihatkan pupy eyes nya, ia hanya mendesah, "Ya udah yuk naik. Nanti kesiangan beneran."

Maisha menerima helm yang di sodorkan cowok itu. Penutup kepala yang di belikan khusus untuknya yang katanya sebagai bukti kasih sayangnya. Setelah merasa siap, ia menyimpan tangannya di pinggang kurus itu, "Yuk jalan kang ojeg."

"Aws," Maisha mengusap kepalanya yang tertutupi helm lalu menatap tajam si pelaku lewat kaca spion, "kejam banget sih?"

Dumelan tersebut hanya di balas dengusan, "Sekali lagi bilang tukang ojeg, gue turunin nih!"

"Ck, sensi amat sih mas?" dumelnya, "Ya udah jalan Ken kesayangannya Chacha." Barulah setelah mendengar itu Ken melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi untuk mengejar waktu yang sempat terbuang. Mengabaikan teriakan si mungil di belakangnya yang ketakutan, ""Ken gila, jangan ngebut! Gue belum mau mati!"

Tak membutuhkan waktu lama untuk mereka sampai di sekolah. Maisha turun dari motor sambil mencak-mencak. Sedangkan Ken sendiri malah bersenandung berpura-pura tak mendengar ocehan sahabatnya.

"Dasar, Ken nyebelin!" 

Ken hanya tersenyum memperhatikan punggung mungil yang berjalan di depannya dengan sesekali menghentakan kakinya kesal. Begitulah Maisha, sosok mungil menggemaskan yang membuat Ken tak bisa melepaskannya begitu saja. Cewek yang sudah ia janjikan untuk selalu dilindunginya. Maisha sudah seperti adiknya sendiri padahal mereka seumuran. Mungkin karena sifat kekanak-kanakan cewek itu.

Sedangkan Ken sendiri merupakan cowok biasa seperti murid kebanyakan. Ia tidak termasuk ke jajaran cowok most wanted di sekolahnya meski wajah manisnya membuat beberapa cewek tertarik untuk kembali melirik ke arahnya. Ken bukan anak basket yang sering diteriaki cewek-cewek ketika mampu mencetak tri poin, dia hanya anggota tim futsal yang selalu berhasil menciptakan top score karena kemampuannya menjadi striker.

Keduanya ditakdirkan untuk saling terikat satu sama lain. Persahabatan mereka sejak duduk di bangku sekolah dasar membuat tahu kehidupan masing-masing. Dan itu yang menjadi alasan Kenar tak bisa melepas Maisha seenaknya. Harus ada jaminan untuk itu.
***

"Eh, si adek. Pagi-pagi udah ngomel-ngomel aja?"

"Gara-gara sohib lo tuh!" Maisha melengos menuju bangkunya. Sedang cowok yang tadi bertanya malah menaikan sebelah alis, mengingatkan diri bahwa yang dikatakan sohibnya itu adalah sahabat sehidup semati dari cewek itu sendiri.

"Mana tuh anak?"

Pertanyaan tersebut membuat Maisha mendengus, "Ya gak tau. Lo pikir gue ibunya?"

"Ya kali, kalian kan biasanya nempel terus."

"Au ah, kesel." Maisha kemudian memalingkan wajah pada cewek di sampingnya yang sedari tadi diam. Bukan fokus pada buku bacaan atau novel sejenisnya melainkan tengah berusaha menaikan level game di handphone. Maisha hanya menggelengkan kepala, sahabatnya kalau sudah seperti itu tidak ada yang bisa mengganggunya, gempa sekalipun.

Pas sekali ketika bel berbunyi Ken memasuki kelas beriringan dengan cowok bertubuh tegap. Mereka cekikikan berdua sambil memandangi handphone di genggaman Ken. Entah melihat apa. Cowok itu kemudian membisikan sesuatu dan menuju tempat duduknya yang berada di depan Maisha.

Kebetulan memang guru sengaja mengatur tempat duduk untuk muridnya. Khusus siswa laki-laki semuanya berada di depan sedang perempuan di belakang. Tentu alasannya karena anak lelaki selalu berisik.

"Abis liatin apa sih kalian?" cowok yang tadi menanyakan keberadaan Ken  kini menjentikkan jarinya, "Ah, gue tau nih, pasti liat yang enggak-enggak kan?"

Tak suka dituduh yang tidak-tidak, Ken mendorong kepala teman sebangkunya, "Sembarang lo kalau ngomong."

"Ye emang salah ya tebakan gue?"

"Jelaslah, gini-gini gue alim." Ken yang sudah duduk di bangkunya membalikan badan, "Cha, marah ya?"

Maisha yang masih kesal hanya mengangkat bahu lalu berpura-pura membuka buku paket di atas mejanya membuat Ken menatap aneh. Sejak kapan sahabatnya rajin membaca buku? 

"Cha, marah boleh tapi nyuekin gue juga gak gini caranya," Maisha mengernyit bingung, memperhatikan Ken yang kini menyentuh bukunya, "Ketahuan banget sih lagi hindarin gue nya?"

Maisha cemberut sedang temannya yang lain malah tertawa ketika Ken membenarkan letak bukunya yang terbalik.

"Haha lo lucu amat sih, dek."

Dean, cowok itu malah tertawa ngakak memegangi perutnya. Padahal perasaan Maisha tingkahnya tidak cukup konyol. Begitupun Ken yang sangat puas melihatnya di dera malu. 

"Rana," Maisha menggoyangkan lengan teman sebangku nya yang sejak tadi seolah tak terganggu sama sekali. Terdengar helaan nafas sebelum cewek itu menoleh, "itu, mereka ketawain gue. Masa lo mau diem aja sih?"

Melihat cewek tomboy yang mulai menampakan raut seramnya sontak kedua cowok di depannya menutup mulut, lalu secara berbarengan mengatupkan kedua tangan dan menempelkan berkali-kali ke dahi masing-masing.

"Ampun nyai, gak lagi-lagi nyai. Ampun," ucap mereka ketika Rana mengangkat buku paket milik Maisha. Memang tidak terlalu tebal hanya saja kalau cewek itu yang melemparkannya, berharaplah tidak terkena geger otak karena lemparan pemegang sabuk hitam tidak bisa diragukan kemampuannya.

"Sana balik!" Perkataan Rana bak ultimatum yang tak terbantahkan. Keduanya langsung berbalik guna menghindari kemungkinan yang akan merugikan mereka. Giliran Maisha kini yang tertawa. Cewek itu menepuk bahu sahabatnya mengucapkan terima kasih yang di balas anggukan. Rana kembali menekuni game di depannya.
***

Bel istirahat telah berbunyi. Maisha beserta para sahabatnya beriringan menuju kantin. Seperti biasa mereka akan memilih duduk di pojokan dengan alasan lebih nyaman karena tidak banyak dilewati orang.

"Gue kayak biasa ya, Yan." 

"Gue juga."

Dean hanya mengangguk patuh, sudah biasa dirinya menjadi pesuruh dadakan. Kalau saja tidak ada cewek berambut bob di dekatnya ia ingin sekali menolak namun keberadaan Rana berpengaruh besar terhadap kelangsungan hidup nya.

"Anter dong Ken! Masa gue sendirian sih?" cowok yang tengah menarik-narik rambut panjang Maisha menengok, "Lah gue lagi pewe ini. Noh sama Rega."

Cowok yang dimaksud berjalan dengan gaya cool. Rega, cowok yang tadi pagi beriringan memasuki kelas dengan Ken. Jabatannya yang tidak main-main di SMA Cendrawasih menuntutnya untuk menjaga image. Rega hanya menampakan sikap aslinya di depan orang terdekatnya.

"Apaan?" Merasa diperhatikan Regapun bersuara.

"Anterin Dean pesen makanan!" Sikap bossy Ken muncul seketika dan Rega yang biasanya main menyuruh kini mau-mau saja disuruh. Keduanya berlalu dengan langkah terburu-buru setelah melihat antrian yang begitu banyak.

"Masih aja marah sih, Cha?" Risih, Maisha menepis tangan Ken yang masih memainkan rambutnya, "Apaan sih, Ken? Lepas ih."

"Ken!"

Mendengar suara itu Ken langsung melepas tangannya, "Ampun nyai. Tuh muka bisa kali biasa aja. Nanti cowok-cowok pada takut."

Rana terkekeh sinis, "Kalau cowok nya cemen kayak lo ya gak masalah."

Ken hendak mengatakan sesuatu ketika kesana datang. Cowok itu akhirnya mengurungkan niat membalas ucapan Rana. Memilih mengisi perut keroncongannya.

"Nih, buat adek Maisha." Rega menyerahkan semangkuk bakso pada cewek mungil di sampingnya. Panggilan adek memang selalu di gunakan oleh kedua cowok itu, Rega dan Dean. Melihat Maisha yang imut membuat mereka terbiasa memanggil seperti itu.

Maisha menerimanya dengan antusias, "Makasih bang Reganteng."

"Sama-sama dedek Maisha yang imut."

Ketiga orang yang ada di sana sontak bersikap mau muntah dengan interaksi keduanya. 

***

"Tante lagi masak apa?" Maisha menghampiri wanita berusia kurang dari tiga puluhan yang tengah menekuni sesuatu di hadapannya. 

Yang ditanyai hanya melirik sejenak dan melanjutkan aktivitasnya, "Tante lagi masak Opor ayam kesukaan kamu nih."

Mata cewek itu berbinar seketika lalu memeluk sang tante yang kini terkekeh menepuk lengan yang berada di perutnya, "Makasih, tante the best deh."

"Iya, sekarang lepasin dulu dong tangan kamu. Kalau di peluk terus nanti gak selesai-selesai dan kamu gak bisa makan." Dengan berat cewek itu melepas pelukannya, melirik penjuru ruangan, "Oh ya Keyla ke mana tan?"

"Biasa, dia lagi ngewarnain kertas bergambar yang kemarin kamu beliin."  Maisha terkekeh, "Kalau gitu aku mau gangguin Key aja tan."

Wanita itu hanya mengangguk. Helaan nafas lolos dari bibirnya setiap merasakan pelukan Maisha. Ia tahu ada kerinduan di sana yang selalu di sembunyikan anak dari kakak iparnya itu. Maisha nya yang rapuh setelah perceraian itu memilih ikut dengan omnya yang merupakan suami Sonya. Gadis itu tak sanggup tinggal dengan kedua orang tua yang sudah memiliki keluarga masing-masing. Sonya tahu, Maisha hanya menggunakan topengnya. Ia tak pernah risih dengan sikap manja keponakannya,  gadis itu hanya tak pernah mendapatkan kasih sayang semenjak kecil. Makanya ia ingin memberikan yang terbaik untuk Maisha yang sudah ia anggap seperti anak kandungnya sendiri.

Selesai memasak, Sonya keluar dari dapur. Mendapati kedua gadis yang tengah serius memegangi pensil warna di tangannya. Ia tersenyum dan mendekat. 

"Key yang ini daunnya jangan warna merah!" ucap Maisha membuat gadis kecil di sampingnya menatap polos lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. Maisha berdecak, meski akhirnya tetap mewarnai gambar di hadapannya. 

"Cha." Panggilan tersebut membuatnya menoleh, "Iya tan?"

"Tadi pagi mama kamu nelpon. Katanya kamu gak pernah angkat teleponnya. Kamu juga gak bales pesannya ya?"

Gerakan tangan Maisha terhenti, ada senyum getir di sana, "Nanti ... akan aku bales."

Sonya mengangguk. Mengusap pucuk kepala gadis itu dengan penuh sayang, "Tante sayang kamu, jadi jangan pernah merasa sendiri."

"Aku tau tan, aku tahu. Makanya aku milih tinggal di sini karena aku punya kalian."

***

Kedua cowok itu berjalan beriringan di koridor.  Sesekali tertawa tanpa mempedulikan beberapa orang yang merasa terganggu dengan suara mereka. Karena tak memperhatikan jalan yang tabrakanpun terjadi. 

"Eh, maaf," cowok itu meringis lalu melirik temannya, "lo sih, Yan!"

"Lah kok nyalahin gue sih?"

Mengabaikan kebingungan cowok di sebelahnya, ia mengalihkan tatapan pada sosok yang tak sengaja ia tabrak sampai tersungkur, "Lo gak papa kan?" tanyanya hati-hati. Matanya membola mengetahui wajah cewek yang kini mendongkak, "Wulan?"

"Ah, Ken?" 

Ken langsung membantu mengambil buku yang berserakan karena ulahnya, membantu cewek itu berdiri. Gadus itu mengusap tangannya yang terasa sakit. Hal tersebut membuat Ken semakin merasa bersalah, "Sakit banget ya?"

Cewek itu tersenyum. Jenis senyuman yang paling Ken suka sejak dua tahun yang lalu, "Enggak kok cuma sedikit."

"Beneran?" 

Wulan mengangguk. Ken hendak mengatakan sesuatu ketika merasakan ada yang menyenggol bahunya.

"Apaan sih lo? Ganggu aja deh!" protesnya tentu dengan sangat pelan. 

"Ayok dong kata mau anter gue ke koperasi?"

Ken berdecak, "Lo pergi aja sendiri ya? Gue ada misi."

"Apaan?"

"Udah deh gak usah kepo. Sana!"

Dean mengernyitkan dahi lalu beranjak pergi dengan sesekali melirik sahabatnya. Ken sendiri kembali melirik cewek yang masih berdiri di hadapannya meme        luk setumpuk buku.

"Gue bantu bawain ya?"

"Ah gak usah, gue bisa sendiri kok." tolaknya malu-malu. Namun, tanpa aba ia langsung mengambil alih buku itu ke pelukannya, mengabaikan gelengan kepala cewek kalem itu. "Santai aja kali. Ke perpus kan?" tanyanya yang dibalas anggukan. 

Akhirnya mereka berjalan beriringan ke tempat yang dituju. Sesekali saling melempar tanya, juga senyuman penuh penuh arti. Faktanya di dekat mereka cupid tengah melemparkan panah asmara nya.

***

"Yan, Kenar mana?"

Dean yang baru memasuki kelas sambil mengunyah permen karet menghentikan langkah. Cowok itu melirik sekitar kelas dan tidak mendapati keberadaan sahabatnya. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali mengatupkan mulutnya, "Em,tadi katanya mau ke toilet dulu."

Maisha mengangguk. Tak lama lalu yang dicari muncul dengan seuntas senyum tersungging di bibirnya. Suara cowok itu bersenandung pelan menuju bangkunya membuat Maisha menaikan sebelah alisnya. Dean sendiri hanya menggeleng.

"Ken? Seneng banget sih?" Yang ditanya hanya cengengesan lalu melanjutkan lirik lagu yang terputus. 

"Ken." Cowok itu menoleh, "Apa?"

"Nanti siang jadikan anterin ke gramed dulu?"

Ken langsung mengangguk, "Iya dong tentu."

Cewek yang suka tersenyum membuat perasaan Ken menghangat. Lihat saja binar di mata Maisha yang selalu menampilkan kebahagiaan tersendiri. Entah cowok mana yang akan menggantikannya nanti yang pasti Ken akan jamin cowok itu lebih baik dari dirinya. Maisha harus bahagia, makanya Ken akan melakukan apapun untuk cewek yang sudah ia anggap seperti saudaranya sendiri. Sudah cukup sahabatnya selalu dilanda kesedihan. Lalu setelah itu baru Ken akan mencari kebahagiaannya yang nyata sudah nampak di depan mata.

Ah, Wulan. Nama itu lagi-lagi melintas di benaknya. Cewek pintar, anggun, juga ramah yang membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan. Selama ini dia hanya bisa memperhatikan gerak-geraknya dari jauh, tapi mengingat masa SMA yang akan segera berakhir, Ken tak ingin tetap diam dan menyesalinya suatu saat. Dulu mereka sempat dekat karena cewek itu sekelas dengan Maisha saat kelas sepuluh. Namun, setelah itu kembali jauh. Meski sesekali sering bertemu Wulan di ruang OSIS saat Ken mengunjungi Rega.

"Ken, ih! Ngelamun ya?" Tergagap, cowok itu manatap Maisha yang memamerkan wajah sebalnya, "Kenapa, Cha?"

"Mau ke kantin gak? Udah bel dari tadi."

Ken melirik sekitarnya. Benar sekali kelas sudah kosong, menyisakan dirinya dan cewek imut itu. "Oh iya, yuk."

"Ngelamunin apa sih?" Maisha memiringkan wajah. Menatap polos padanya yang kini malah menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Tidak mungkin ia jujur tengah memikirkan Wulan kan?

"Ah enggak kok, kepo banget sih." Maisha cemberut, "Hm, mulai rahasia-rahasiaan utama ceritanya."

"Enggak kok, nanti juga tau," Ken tersenyum dan menarik lengannya, "dan gue yakin hal itu bakal bikin lo tersenyum."

"Apasih emang?"

"Nanti juga tau sendiri."

***

"Kalian ngomongin apa sih."

Sedari kemarin Dean menemukan kedua sahabatnya berbisik tak jelas sambil sesekali memperhatikan handphone-nya yang membuat cowok itu merasa terasingkan. Sedang Maisha dan Rana tengah sibuk mengerjakan tugas karena guru yang mengajar tidak masuk. Rega menatap cowok kurus di sampingnya meminta persetujuan, yang ditatap malah mengernyitkan dahi pertanda tengah berpikir keras. Sepertinya sesuatu yang mereka sembunyikan sangat penting. Tak lama kemudian cowok itu mengangguk.

Akhirnya Rega membisikan sesuatu membuat matanya melebar seketika, "Lo ... gak bercanda kan?"

Tatapannya kini terarah pada Ken yang hanya tersenyum, menandakan bahwa apa yang dikatakan sahabatnya itu benar. "Maisha tau?" bisik Dean melirik cewek itu dengan ekor matanya dan dibalas gelengan. Dean terdiam sejenak, "Dia gak bakal kenapa-napa?" 

Ken malah tertawa, "Ya enggak lah, gue bahagia kalau dia bahagia begitupun sebaliknya."

Mengangguk, Dean kembali melirik Maisha dengan tatapan khawatir. Ia tidak ingin ikut campur dengan perasaan seseorang. Berharap tidak ada yang terluka, "Ya udah kalau gitu, terserah kalian aja. Gue gak ngikut," ujarnya, "gue cuma mau ingetin jangan sampe apa yang lo lakuin malah buat lo nyesel."

Ken tertawa, menepuk pundaknya, "Gak usah khawatir, semua bakal baik-baik aja."

Semoga, batin Dean.

***

#twm18

 

How do you feel about this chapter?

1 0 2 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Letter hopes
1137      626     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
About love
1283      598     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
I'll Be There For You
1293      619     2     
Romance
Memang benar, tidak mudah untuk menyatukan kembali kaca yang telah pecah. Tapi, aku yakin bisa melakukannya. Walau harus melukai diriku sendiri. Ini demi kita, demi sejarah persahabatan yang pernah kita buat bersama.
Ręver
7290      1980     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Dessert
1052      555     2     
Romance
Bagi Daisy perselingkuhan adalah kesalahan mutlak tak termaafkan. Dia mengutuk siapapun yang melakukannya. Termasuk jika kekasihnya Rama melakukan penghianatan. Namun dia tidak pernah menyadari bahwa sang editor yang lugas dan pandai berteman justru berpotensi merusak hubungannya. Bagaimana jika sebuah penghianatan tanpa Daisy sadari sedang dia lakukan. Apakah hubungannya dengan Rama akan terus b...
Phased
6243      1827     8     
Romance
Belva adalah gadis lugu yang mudah jatuh cinta, bukan, bukan karena ia gadis yang bodoh dan baperan. Dia adalah gadis yang menyimpan banyak luka, rahasia, dan tangisan. Dia jatuh cinta bukan juga karena perasaan, tetapi karena ia rindu terhadap sosok Arga, abangnya yang sudah meninggal, hingga berusaha mencari-cari sosok Arga pada laki-laki lain. Obsesi dan trauma telah menutup hatinya, dan mengu...
ENAM MATA, TAPI DELAPAN
611      383     2     
Romance
Ini adalah kisah cinta sekolah, pacar-pacaran, dan cemburu-cemburuan
Dear You
15685      2706     14     
Romance
Ini hanyalah sedikit kisah tentangku. Tentangku yang dipertemukan dengan dia. Pertemuan yang sebelumnya tak pernah terpikirkan olehku. Aku tahu, ini mungkin kisah yang begitu klise. Namun, berkat pertemuanku dengannya, aku belajar banyak hal yang belum pernah aku pelajari sebelumnya. Tentang bagaimana mensyukuri hidup. Tentang bagaimana mencintai dan menyayangi. Dan, tentang bagai...
NI-NA-NO
1496      696     1     
Romance
Semua orang pasti punya cinta pertama yang susah dilupakan. Pun Gunawan Wibisono alias Nano, yang merasakan kerumitan hati pada Nina yang susah dia lupakan di akhir masa sekolah dasar. Akankah cinta pertama itu ikut tumbuh dewasa? Bisakah Nano menghentikan perasaan yang rumit itu?
Special
1625      858     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.