Aku tak ingin membenci takdir, meski rasanya hanya ketidakadilan yang menyapa. Maka ajarkan aku untuk menerima meski itu terasa menyiksa.
***
Suasana sekolah di pagi hari belum terlalu ramai karena masih dua puluh menit menuju bel masuk. Namun, kedua orang berseragam itu sudah sampai tempat mereka menuntut ilmu. Hal tersebut mungkin biasa untuk seorang Maisha, tapi lain lagi bagi Dean yang notabennya selalu datang terlambat.
"Langsung ke kelas?" Maisha memutar bola matanya, "Ya, iyalah."
Dean mendengus dengan ucapan jutek cewek di sebelahnya. Pasti berpikir dirinya menanyakan itu karena ingin nongkrong dulu, padahal Dean hanya bertanya, barangkali Maisha mau ke kantin dulu untuk membeli makanan. Akhirnya ia menggenggam tangan mungil itu menuntunnya ke kelas. Maisha tampak sedikit terkejut, padahal dulu mereka juga biasa melakukan itu. Dean hanya menampakkan senyum lebarnya membuat cewek itu ikut tersenyum meski malu-malu.
"Ekhem." Sebuah deheman menghentikan langkah mereka. Maisha langsung terbelalak mendapati sahabat kecilnya yang menatap sinis. Begitupun Dean yang langsung melepaskan genggamannya.
"Jadi sekarang lo udah dapet apa yang lo mau?" Pertanyaan itu membuat Dean menggertakkan giginya. Pasti Ken sengaja mengatakan itu di depan cewek di sampingnya. Ia menoleh pada Maisha yang mengernyitkan dahi dan menatapnya dan Ken bergantian.
"Cha, lo ke kelas duluan aja," suruhnya. Namun, Ken malah menahannya, "Lo juga gak perlu pergi. Ada banyak yang harus kita selesain di sini." Maisha menatap nelangsa cowok itu, Ken begitu dingin. Dean yang melihat raut sedih tersebut mendorong pelan bahunya, "Pergi aja, gak pa-pa. Ini masalah gue sama Ken."
"Kalian ada masalah apa emang?" Cicit Maisha bingung. Harusnya masalah Ken itu hanya dengan dirinya. "Ini gak ada hubungannya sama lo kok."
"Uh, pasangan serasai." ujar Ken lagi. Cowok itu seperti bukan yang Maisha kenal. Kenar nya tak pernah memberikan tatapan benci seperti itu. Ia memang pernah melakukan kesalahan, namun mengapa cowok itu tak bisa memakluminya? Setidaknya mengingat bahwa mereka pernah tumbuh bersama.
"Maksudnya apa, Ken?" Akhirnya pertanyaan tersebut keluar dari mulutnya. Ia hanya bingung apa yang menyebabkan cowok itu seperti memusuhi Dean.
Ken malah tertawa, "Jadi cowok di samping lo belum ngasih tau apapun? Ah, sayang sekali. Gue pikir kalian udah jadian. Cocok sih, sama-sama berhati busuk."
Dean dapat melihat cewek yang di sayanginya terluka karena ucapan Ken. Ia terima saja dirinya yang dikatakan seperti itu, tapi tidak jika Maisha. "Cukup, Ken! Lo gak pantes ngomong gitu ke sahabat yang udah nemenin lo sejak kecil!"
Maisha berusaha menahan tangisnya, tidak menyangka kalau orang yang ia sayangi sepenuh hati mengatakan hal itu. Sedang Dean kini menatap tajam cowok yang tertawa remeh itu, "Dia sahabat gue?" tunjuknya pada Maisha yang menatap pedih, "seorang sahabat gak akan berusaha menghancurkan kebahagiaannya sahabatnya."
Cukup, Maisha tak tahan mendengar kebenaran yang diucapakan cowok itu. Ia ingin mengelak tapi semua adalah kenyataannya yang sebenarnya.
"Dan seorang sahabat gak akan ninggalin sahabatnya cuma demi orang baru," ucapan Dean membuat Maisha mengalihkan tatapan. Wajah Dean tampak memerah, "Lo, gak akan susah-susah nyari orang buat urusin Chacha kalau emang bener-bener ingin jaga dia. Lo gak akan abain dia bahkan saat dia terpuruk cuma karena ingin gapai kebahagiaan."
Ken malah memutar bola matanya malas. Seolah apa yang dikatakan Dean bukan hal penting. "Terus aja lo berlagak belain dia, biar dia simpati sama lo kan? Dan balas perasaan terpendam lo selama ini."
Rahang Dean mengeras seketika. Ia dapat merasakan tatapan kaget cewek di sampingnya, tapi Dean tak berani melirik cewek itu.
"Maksudnya apa Ken?"
"Jangan berlagak polos lagi deh, Cha. Lo udah taukan sebenernya kalau selama ini cowok di sebelah lo itu suka sama lo? Dia deketin gue cuma biar bisa deket sama lo." Maisha memundurkan langkahnya, menatap lirih Dean yang kini hanya menunduk dengan kedua tangan dimasukan ke saku celana. Keterdiamannya sudah cukup menjelaskan.
"Kalian emang cocok. Sama-sama munafik."
"Gue gak munafik!" Sangkal Maisha dengan mata berkaca-kaca. Dean masih tak bereaksi sama sekali. Ia merasakan sebagian hatinya sakit mendengar ucapan kasar Kenar yang bahkan sudah ber'gue-elo' padanya.
"Terus apa? Gue gak nyangka ternyata selama ini punya sahabat yang mun-"
Bug
Maisha merasa jantungnya copot seketika saat menyaksikan Ken sudah terbaring sambil memegangi wajahnya yang memar. Cowok itu berusaha bangkit dan membalas si pelaku utama hingga gilirannya terpelanting. Hal tersebut membuat beberapa siswa langsung berlarian menuju tempat kegaduhan. Maisha menutup mulutnya melihat keduanya hendak kembali saling menyerang. Bersyukur tak lama kemudian Rega datang memegangi Ken, pun entah datang dari mana teman-teman Dean yang langsung ikut memisahkan.
"Lepas Syad, gue mau ngasih pelajaran sama cowok gak tau diri itu!" Berontak Dean yang kini dipegangi Irsyad dan Bagus.
"Yan, sadar woi! Dia sahabat lo."
"Gue gak punya sahabat kayak dia." sinis Ken. Mereka saling melemparkan tatapan membunuh, "Lo pikir gue mau jadi sahabat lo? Kalau bukan karena Chacha gue gak sudi ngotorin tangan gue." Dean tak mau mengalah, meladeni cowok itu dengan ucapannya.
"Bela aja terus cewek munafik itu!"
"Sialan lo," Dean hendak menerjangnya lagi kalau saja kedua temannya tak langsung memegangi erat, pun Aryo yang sejak tadi menjadi penonton kini ikut memisahkan. Maisha yang menyaksikan hanya bisa menangis. Takut dan sakit bercampur menjadi satu. Ia dapat melihat Wulan yang dating tergesa-gesa dan menghampiri Ken, menanyakan keadaannya.
"Bela aja dia terus," ujarnya. Cowok itu kemudian menatap Maisha sinis, "pantes kedua orang tua lo ninggalin, karena di-"
Bug
"Dean!" Dean yang berhasil meloloskan diri dari cengkraman kedua temannya kembali memberikan boheman mentah, hingga bibir Ken berdarah. Suasana koridor semakin rusuh melihat pertengkaran tak biasa sepasang sahabat itu.
"Harusnya lo mikir, siapa yang munafik di sini! Chacha gak bakal ngelakuin apapun kalau bukan kalian bertiga yang memulai." Dean menunjuk wajah Ken dengan susah payah karena tangannya terkunci, sedang Rega dan Wulan hanya mampu terdiam, "Lo yang dulu dengan sombongnya bilang bakal lindungin Chacha, lo yang over protektif semua orang juga tau, dan sekarang lo sendiri yang hancurin dia. Lo pikir Chacha mau hidup kayak gitu? Selalu berada di bawah bayang-bayang lo?"
"Yan, udah." lirih Maisha. Dengan wajah kuyunya menatap penuh permohonan. Kini semua orang tahu bahwa hidup seorang Maisha tak sesempurna itu. Wajahnya yang ceria hanyalah topeng, dan sekarang Maisha tak mampu lagi menyembunyikan kerapuhannya. Deansejak tadi mengabaikannya tersadar ketika merasakan sesuatu yang jatuh ke lengannya. Air mata cewek itu membuatnya semakin ingin menghajar seorang Kenar. "Lo beruntung kali ini," ujarnya kemudian.
Plak
Dean terbelalak, pun semua yang ada di sana. Sedang Ken memegangi pipinya yang terasa panas, "Lo ... bukan sahabat gue, Ken." Sambil terisak, Maisha menghapus cairan yang terus mengalir di wajahnya, "Andai aja gue bisa mutar waktu, kenal sama lo, baik dulu ataupun sekarang, gue gak akan pernah sudi."
Maisha lalu melirik cowok berambut keriting yang memegangi lengannya. Aryo berusaha membawanya pergi. Diiringi Dean yang kini masih di bawah kendali Irsyad dan Bagus. Dengan langkah lesu ia berbalik, menjauh dari pusat rasa sakitnya selama ini.
Satu tetes kembali membasahi wajahnya untuk Kenarya Alby Bimanatara yang sejak beberapa bulan lalu sebenarnya sudah mati.
***
Maisha hanya menatap nanar sosok di seberangnya yang sesekali meringis karena memar di wajahnya. Dean sejak tadi terus mengeluh karena Bagus menekan lukannya terlalu keras. Sedang Irsyad sejak tadi belum berhenti memberikan petuahnya. Mereka tidak pergi ke ruang kesehatan karena takut bertemu dengan Kenar. Akhirnya memilih belakang sekolah sebagai tempat persembunyian.
"Nih minum dulu!" Maisha mendongkak, Aryo menyodorkan sebotol air mineral padanya setelah membagikan pada yang lain. Maisha hanya memandangi minuman tersebut dengan tatapan kosong. Memikirkan bagaimana kondisi kelas saat ini setelah kejadian tadi. Bahkan Rana berkali-kali berusaha menghubunginya, tapi ia abaikan. Maisha sedang tidak ingin berbicara atau melakukan apapun, ia ingin marah serta melampiaskan kesakitannya tapi rasanya tak mampu.
"Katanya lo dipanggil Pak Bram ke ruang BK." ucap Bagus setelah mendapat chat dari temannya yang lain.
"Udah gue duga," Irsyad berdecak.
Dean tak menanggapi, malah menatap Maisha yang sejak tadi memperhatikannya dalam diam. "Gue udah minta Rana buat jemput lo."
Cewek itu masih bungkam dengan tatapan yang sama, membuat Dean salah tingkah hingga memalingkan wajah.
"Cha!" Bener saja tak lama Rana datang dengan raut khawatir. Sampai menanyakan keadaannya. Gelengannya membuat cewek itu bernafas lega, lalu mengajaknya kembali ke kelas selagi pergantian jam. Beruntung di jam pertama tadi guru bahasa Inggrisnya tidak masuk. Sehingga Rana tidak perlu memberikan alasan atas ketidakhadiran sahabatnya.
"Tenang aja, anak-anak gak bakal nanya yang macem-macem kok," ucap Rana di sela langkahnya. Sebelumnya ia memang sudah memperingatkan teman-teman sekelasnya untuk bersikap biasa ketika Maisha masuk, "Ken gak tau di UKS gak tau pulang, gue gak peduli. Kalau Rega sih baru masuk kelas tapi udah gue marahin, dia gak bakal berani ganggu lo."
Maisha hanya tersenyum singkat, mengeluarkan handphone-nya untuk mengirimkan sesuatu pada cowok yang ia diamkan sejak kejadian pagi.
To: Dean
Thanks.
Maisha menghela nafasnya berat, melirik Rana yang sudah mendudukam badan di sampingnya, "Ran, libur UAS biasanya dua minggu ya?" tanyanya yang langsung mendapat anggukan, "Kenapa? Lo udah nanyain liburan aja, UASnya juga baru dimulai lusa."
Cewek itu hanya menggeleng sambil tersenyum pedih, "Besok kayak biasakan bersih-bersih kelas dan pembagian kartu ujian?"
"Biasanya sih gitu." jawab Rana dengan sedikit bingung atas pertanyaan tersebut.
Maisha mengalihkan pandangan mendapati chat yang masuk ke handphone nya.
From: Dean
Ya, semua bakal baik-baik aja. Jangan mikirin Kenar lagi. Pulang sekolah gue anter.
Terdiam, Maisha memijat kepalanya yang terasa ingin meledak. Ia tidak bisa berpikir jernih saat ini.
To: Dean
Gak usah. Gue mau pulang sendiri. Yan, jangan hubungin gue dulu ya? Kita gak usah ketemu dulu.
From: Dean
Kenapa? Lo marah? Sorry, tapi kayaknya gue gak bisa.
To: Dean
Gpp. Tolong, Yan. Sampai berjumpa lagi di semester depan.
From: Dean
Lo cuma gak mau liat gue lagikan? Cha, jangan kayak gini atau gue ke kelas sekarang
Cewek itu mengepalkan tangannya. Ia pikir ini yang terbaik. Maisha ingin konsentrasi pada ujiannya, melupakan sejenak masalahnya dengan para cowok itu.
To: Dean
Please, Yan.
From: Dean
Hh, Ok. Ambil sebanyak apapun waktu yang lo mau. Lo tau ke mana tempat lo pulangkan?
Maisha menahan nafasnya membaca sederet kalimat terakhir dari cowok itu. Dean seperti memberinya harapan, menyadarkannya bahwa selama ini Kenar bukanlah tempatnya untuk kembali.
***
Rega menpuk bahu sahabatnya yang masih terlihat emosi. Dirinya bahkan tak pernah menyangka persahabatannya akan berakhir seperti ini. Ia mengerti cowok itu merasa tak terima dengan apa yang dilakukan Maisha terhadapnya yang memang sedikit keterlaluan. Baginya, wajar Ken marah, tapi Ken juga tak sepantasnya memperlakukan Maisha seperti tadi. Ia masih ingat jelas wajah terluka cewek itu. Juga tentang Dean yang ia kira tak sepenuhnya berpura-pura untuk menjadi sahabatnya.
Ia melirik Wulan yang memberikan minuman pada sahabatnya, cewek itu dengan sabar menasihatinya sikap keterlaluannya. Bahkan setelah dijahati, Wulan dengan mudahnya memaafkan, tapi Kenar yang notabennya sahabat semenjak kecil malah terlihat begitu enggan.
"Aku marah karena dia sahabat aku sejak kecil. Kita udah jalanin susah senang bersama. Makanya saat denger dia ngelakuin hal serendah itu, aku bener-bener kecewa. Dia yang udah aku anggap sebagai saudara sendiri tega nyakitin kita. Dean juga, mereka sama aja."
Diam-diam Rega menghela nafas, bayangan Maisha yang mengeluarkan air matanya seketika membuat hatinya teriris. Tiba-tiba saja Rega menyesal telah mengungkit kesalahan cewek itu meski ia tidak tahu kalau Ken akan datang dan mendengarnya.
"Ken,” lirihnya membuat cowok di sampingnya menoleh, "gue rasa Maisha gak selayaknya lo perlakuin kayak gitu di depan umum, terlebih beberin aib keluarganya."
Ken mendelik tajam, "Lo, sekarang belain dia?"
“Gue gak bela siapapun. Cuma ucapan Dean ada benarnya. Chacha gak bakal ngelakuin itu kalau bukan kita yang memulai. Lo yang diem-diem jadian dibelakangnya seolah dia gak berhak tau, sedangkan lo sendiri selalu memaksanya buat gak nyembunyiin apapun.” Rega berhenti sejenak, menatap Ken yang kini termenung, "Lo yang sejak dulu batasi pergaulannya, gak boleh deket dengan siapapun kecuali atas persetujuan lo. Sadar gak? Lo sendiri yang udah buat dia ketergantungan, lo yang gak pernah kasih dia pilihan dan harus selalu ikutin mau lo."
"Dia cuma pingin mempertahankan apa yang dia punya setelah kehilangan keluarganya. Gue masih inget jelas saat dia rela jatuhin diri ditangga cuma biar lo gak pergi sama Wulan. Jujur aja, gue nyesel harus buat lo tahu semuanya. Andai aja bisa muter waktu, gue gak bakal mengungkitnya lagi dan ngebiarin lo gak tau apapun." tambah Dean panjang lebar disertai perasaan menyesalnya.
Lo bilang lo sahabat gue, tapi ternyata gue salah. Lo gak pernah ngerti dan paham mengenai gue.
Ucapan Maisha saat di rumah sakit terus terngiang di benaknya. Seharusnya Rega mau mendengarkan penjelasannya. Cewek itu benar, dirinya tak bisa mengerti keadaannya. Ken sendiri merasa mendapat tamparan keras mendengar ucapan Rega. Ia yang tadi sedang tersulut emosi mengabaikan begitu saja perkataan Dean yang ia anggap telah mempermainkan persahabatan mereka.
Bayangan kebersamaannya dengan Maisha ketika masa kanak-kanak sampai tumbuh seperti sekarang membuat nyeri di bagian lain tubuhnya. Maisha yang selalu berusaha tersenyum atas permintaannya setelah menangis karena masalah keluarganya, Maisha yang manja hanya agar mendapat perhatiannya, dan masih banyak lagi. Ken menggeram dalam hati, kekecewaan membuat matanya tertutup kabut amarah, terlebih saat tahu bahwa Maisha menyakiti pacarnya, membuatnya lupa dengan persahabatan yang terjalin selama ini.
Lo ... bukan sahabat gue, Ken. Andai aja gue bisa mutar waktu, kenal sama lo, baik dulu ataupun sekarang, gue gak akan pernah sudi.
Ia sadar bahwa ucapannya benar-benar melukai cewek itu. Sekarang Ken harus bagaimana? Ia menyesal, namun di sisi lain rasa kecewanya masih begitu besar.
"Gue pikir, Dean gak sepenuhnya salah deketin kita, jika akhirnya dia menjadi orang pertama yang bela Maisha mati-matian. Mungkin persahabatan kita gak bakal sama lagi, mungkin juga Maisha akan kehilangan sahabat kecilnya, tapi sekarang dia punya seseorang yang gak akan pernah membiarkannya sendiri dan terluka kayak yang lo lakuin." Rega melirik Ken yang kini bungkam, "Kita Cuma perlu berusaha perbaikin semuanya meski gue sendiri ngerasa ragu. Tapi gak salahkan buat mencoba?"
***
Setelah permintaannya itu, Maisha tak pernah lagi mendapati keberadaan Dean. Cowok itu seolah menghilang. Mereka tidak satu ruangan saat ujian meski Maisha harus pura-pura tak melihat Rega yang duduk di seberangnya. Ia bahkan beberapa kali sempat melihat cowok itu memperhatikannya, tapi ia abaikan. Sewaktu pembagian raport malah dirinya yang tak hadir karena harus mengurusi sesuatu hingga meminta tante nya yang mewakili.
Selama tiga minggu ini Maisha benar-benar rehat dari rutinitasnya di media sosial, dan satu-satunya orang yang masih berhubungan dengannya hanya Rana. Beberapa kali Wulan dan Rega mengirimkan chat, tapi hanya ia baca tanpa berniat membalasnya. Sampai suatu pagi air matanya kembali tumpah. Ken, untuk pertama kali kembali menghubunginya. Entah karena mulai menyadari bahwa dirinya ikut andil atas perbuatannya atau karena paksaan pacarnya, Maisha tidak ingin peduli. Hatinya sudah terlanjur terluka.
Ia pikir cowok itu tidak akan terlalu mempermasalahkan kepergiannya, karena satahunya dari Rana kalau Ken beberapa kali memposting kegiatan liburannya dengan Wulan. Mengehela nafas, Maisha memainkan pasir putih dengan kakinya yang telanjang. Menengok ke arah keluarga kecil yang tengah asik mengobrol. Salah satu dari mereka tersenyum ke arahnya yang berusaha ia balas dengan hal sama. Maisha hanya perlu menyampingkan egonya kan?
Deburan ombak dan cuaca yang mendukung membuat perasaannya sedikit membaik, meski tak dapat dipungkiri bahwa sebagian hatinya terasa hampa. Maisha memejamkan mata, menikmati udara sejuk di sekitarnya. Ia tak pernah merasa sedamai ini. Tanpa perasaan takut, iri, dan egonya yang tinggi. Namun, ketika kelopak matanya terbuka, Maisha dibuat terkejut oleh kehadiran sosok yang tak pernah ia duga sebelumnya.
Cewek itu memundurkan langkah dengan raut tak percaya. Mengucek matanya, menganggap bahwa dirinya sedang berhalusinasi. Barulah ketika mendengar suara itu, ia sadar kalau sosok di depannya nyata.
"Pembohong," lirihan itu membuat Maisha menggigit bibir bawahnya. Ia akui telah melakukan kesalahan lagi. Maisha menghentikan langkahnya karena ia tahu akan percuma. Cowok itu takan membiarkannya pergi setelah datang sampai sejauh ini.
"Gue emang bilang kalau lo boleh ngambil sebanyak apapun waktu yang lo mau, tapi bukan berarti lo bisa seenaknya pergi kayak gini." geramnya dengan tatapan dingin yang menusuk. Maisha dapat merasakan badannya yang menggigil seketika. Ia menengok ke tempat tadi, tapi ayah serta keluarga barunya sudah tidak ada di sana. Ah, ke mana mereka pergi?
"Gue tau lo gak bisu." Cowok itu memang wajar marah. Setelah membelanya mati-matian, ia malah dengan tak tahu malu pergi begitu saja.
"Lo kenapa bisa ke sini? Bukannya lusa udah mulai masuk sekolah?" tanyanya mengalihkan pembicaraan. Cowok di depannya mendengus, "Gue ke sini buat nemuin cewek yang pergi tanpa pamit."
"Gak gitu, gue cuma-"
"Cuma apa? Seberapa banyak lagi waktu yang lo butuhin? Apa di samping gue ngebuat lo begitu terbebani?" Cecarnya. Maisha menggeleng, tapi masih tak mampu membuat cowok itu mempercayainya, "ah, apa karena perasaan gue lo ngerasa gak nyaman?"
"Bu-bukan, gue-" ucapannya kembali terpotong, "Lo berubah sejak itu, setelah Ken ngasih tau kebenarannya sama lo. Kalau lo gak nyaman, lo bisa ngomong langsung, gue gak pernah maksain biar lo bisa bales perasaan gue. Kita bisa berpura-pura gak tau apapun dan bersahabat kayak dulu. Bagi gue ... mungkin itu gak masalah."
Maisha dapat melihat kesungguhan di mata itu. Dean berusaha menekan egonya agar dirinya tetap merasa nyaman. Cowok itu memilih tersiksa dengan perasaannya. "Lo sama siapa ke sini? Bunda lo tau?"
Dean memutar bola matanya, lagi-lagi Maisha mengalihkan topik. Namun, ia juga tak mau terlalu memaksakan cewek di depannya. Akhirnya Dean mengarahkan dagunya ke arah tiga cowok yang sedang bermain pasir layaknya anak kecil yang pertama kali diajak ke pantai. Mereka yang menyadari tatapanya langsung melambaikan tangan, Maisha membalasnya dengan senyuman sebelum kembali menatap cowok itu, "Bunda lo tau?"
Decakkan keluar dari mulut cowok itu, "Gue bukan anak kecil yang apa-apa harus ijin sama bunda."
Maisha bersedekap dada, "Lo gak bilang mau ke sini kan?"
"Gue bilang mau main sama Bagus. Emang kenyataannya gue ke sini sama dia kan?"
"Dan buat bunda lo panik karena anak kesayangannya gak pulang-pulang?" Dean jadi bingung karena sekarang malah dirinya yang dicecar berbagai pertanyaan, "kenapa jadi lo yang nanya-nanya gue?"
Mulut cewek itu terbuka, ia pikir Dean tak menyadarinya. Maisha memandangi cowok berwajah lelah di hadapannya, masih terlihat tampan seperti saat pertama kali melihatnya dulu.
"Kenapa gue harus jatuh cinta sama cewek egois kayak lo?" Maisha menundukkan wajah. Tak tahu harus bersikap bagaimana dengan ucapan Dean yang terlalu jujur itu hingga membuat aliran darahnya terasa terhenti. Dean sendiri sudah kehabisan cara untuk menjelaskan tentang perasaannya. Andai saja kemarin dirinya tak mengunjungi tempat tinggal Maisha, mungkin ia takan pernah mengetahui kenyataan bahwa cewek itu telah memutuskan pergi, tinggal bersama sang papa di Jogja. Memulai hidup baru tanpanya dan orang-orang yang melukainya.
Hingga di sinilah Dean dengan dibantu ketiga temannya mencari alamat yang cukup sulit ditemukan. Ia hampir putus asa ketika tak kunjung ada yang membukakan pintu dari rumah yang dituju, hingga Rana kemudian memberitahunya bahwa Maisha dan keluarganya sedang berlibur. "Kenapa lo selalu diam kalau gue bahas ini?" tanya Dean geram. "Gue harus gimana biar lo ngerti?"
"Pulang, Yan. Lo cuma perlu pulang!" suruh Maisha berlawanan dengan jawaban yang ia harapkan. "Gimana gue bisa pulang kalau tempat gue pulang ada di sini?"
Maisha menggeleng, "Keluarga lo adalah tempat lo pulang saat ini."
Melihat Dean lagi, sebenarnya membuat ia ingin kembali, Maisha rindu orang-orang di sana. Tatapan penuh permohonan cowok itu membuatnya merasa sangat dibutuhkan. Namun, ia tidak bisa seenaknya. Ayahnya sudah mengurusi surat kepindahan dan mendaftarkannya ke sekolah baru. Maisha tahu di tempat barunya juga semua tidak akan mudah, terlebih hidup dengan ibu dan adik tirinya. Akan tetapi ia berusaha untuk tidak bersikap egois lagi, bagaimanapun Maisha harus menerima kenyataan bahwa kedua orang tuanya tak akan pernah bisa bersatu, mereka sudah menemukan kebahagiaan masing-masing.
"Cha," lirihnya menatap sendu, "apa ini yang gue dapet setelah datang ke sini? Penolakan lo? Bahkan buat sekedar kembali bersahabat kayak dulu lagi lo gak mau?"
"Enggak, Yan. Lo salah kalau berpikir bergitu." elak Maisha.
"Terus apa?" tanya Dean menatap frustasi, "bahkan lo gak ngasih penjelasan apapun. Lo gak taukan gimana paniknya gue saat om Saka bilang lo gak tinggal lagi di sana? Gue takut kalau lo gak mau kenal gue lagi. Sebenernya apasih yang lo mau, Cha?"
Maisha menghapus sesuatu dari sudut matanya, kemudian memalingkan wajah ke arah lain. Ia juga bingung harus memulai menjelaskan dari mana. Semua terlalu rumit, "Rana bilang lo dapet peringkat terakhir," ucapnya membuat cowok itu refleks mengumpati Rana yang ember, "Sial."
"Jangan ngumpat di depan gue. Rana gak salah," belanya. Sontak Dean menutup mulutnya, bagaimana dirinya tidak kesal ketika apa yang berusaha ia tutupi dengan mudahnya dibocorkan dan lagi-lagi oleh orang yang sama. "Pulang sana! Belajar yang rajin, jangan bolos, jangan keseringan nongkrong gak jelas, jangan ngerokok lagi. Juga, perbaikin hubungan lo sama mereka."
"Gak bisa!" protesnya membuat Maisha langsung membalas, "Kenapa gak bisa? Gue gak mau deket-deket sama cowok nakal yang gak punya masa depan. Dan coba minta maaf sama mereka. Jelasin semuanya karena gue tau lo gak sepicik itu. Lo tulus bersahabat meski awalnya cuma berniat buat ... deketin gue," ucapan Maisha berubah pelan diakhir kalimat. Wajah cewek itu terlihat memerah dan itu tak luput dari perhatian cowok di depannya. Membuat Dean yakin bahwa ia masih memiliki kesempatan.
"Lo suka sama gue?"
"Ardean!" tegasnya. Dean mendengus, Maisha masih tak mau mengakuinya. Padahal ia dapat melihat kegugupan di wajah imut yang memerah itu. "Gue akan pulang kalau lo mau jawab pertanyaan gue. Lo suk- ah enggak, lo cinta sama gue?" Maisha kembali bungkam, tatapannya yang terlihat gelisah itu tertuju ke berbagai arah.
"Lo cinta sama Aryo?" tanya Dean tiba-tiba, Maisha ikut menoleh pada cowok kriting yang kini asik bermain air.
"Enggak, lo apaan sih?" tegasnya tak mengerti. Dean kembali mengajukan pertanyaan, "Jadi, bener. Lo suka sama Denis?"
"Dan lo percaya omongan Rega?" Maisha tak habis pikir. Apakah terlihat aneh kalau dirinya dekat dengan cowok lain? Denis memang pernah mengungkapkan perasaannya di hari pertama libur semester, tapi ia tolak karena memang hanya menganggap sebatas teman.
"Karena kalian keliatan deket banget." Cewek itu mulai terlihat kesal, berkali-kali menetralkan nafanya, "Apa temen gak boleh deket?"
Dean mengangguk mendengar ucapan sinis tersebut, "Jadi, apa lo cinta sama gue?"
Maisha hampir mengucapkan sesuatu, namun kembali menutup mulutnya. Dean mengulum bibirnya, menahan senyum mendapati Maisha yang terlihat salah tingkah. Sebenarnya itu sudah cukup menjawab semuanya. Namun, ego cewek itu yang tinggilah yang membuatnya gemas sendiri. "Lo emang cinta sama gue."
Maisha sontak mendongkak dengan kesimpulan yang Dean ambil. Cowok itu terkekeh, mengusap pucuk kepalanya dengan tatapan sayang, "Apa susahnya sih lo jujur, Cha?"
Ada kesenduan di mata itu. Masih dengan tangan yang bertengger di sana, Dean berusaha meyakinkan, "gue bukan Kenar yang bakal ninggalin lo. Kita adalah orang yang berbeda. Mungkin akan ada saatnya lo ngerasa sakit hati, tapi percayalah kalau gue akan berusaha gak ngelakuin itu. Cukup kasih gue kesempatan."
Cowok yang selalu membuat beberapa perempuan terpesona dengan tingkah selengeannya itu, entah mengapa mampu mematikan saraf-saraf tubuhnya. Dean yang berbicara serius seperti itu terlihat berkali lipat mempesona. Seketika dirinya dilemparkan pada kenangan masa orientasi dulu.
Saat itu badannya tanpa sengaja tersenggol, berakhir dengan satu buah roti miliknya jatuh dan terinjak siswa lain. Beberapa dari mereka hanya menatapnya prihatin, ada juga yang diam-diam mentertawakan nasib buruknya. Sedang sang pelaku entah pergi ke mana karena fokusnya hanya pada roti di tangannya yang sudah kotor dan tak berbentuk. Rasanya ia ingin menangis seketika membayangkan hukuman yang seniornya berikan. Hingga tiba-tiba seseorang ikut berjongkok di depannya. Menyodorkan makanan yang sama diiringi senyuman yang menampakkan lesung pipinya.
"Buat lo," ucapnya menyadarkan Maisha dari keterpanaannya. Ia terlihat menimang-nimang untuk menerima pemberian dari orang asing tersebut. Seolah mengerti keraguannya, sosok itu kembali berbicara, "Tenang aja, bunda gue beliin ini lebih. Nih, ambil!"
Dengan ragu Maisha mengambil roti tersebut, membuat senyum cowok di depannya semakin lebar. Ia pikir semuanya akan selesai begitu saja, tapi dugaannya salah karena berikutnya cowok itu menyodorkan telapak tangannya, "Kenalin Ardean."
Mengabaikan perasaan groginya yang tiba-tiba datang, Maisha membalasnya dengan tangan yang sedikit bergetar, "Maisha."
Cowok itu mengangguk, menggumamkan namanya dengan pelan, seolah tengah memasukan dalam memorinya. Mendengar suara senior yang berteriak menyuruh berkumpul dengan kelompok masing-masing, keduanya saling melempar pandangan. Cowok itu kembali memulai berbicara, "Lo serius anak baru juga?"
"Kenapa emang?" tanyanya dengan raut bingung. Maisha pikir Dean akan mengatakan kalau wajahnya terlihat tua, ternyata dugaannya salah.
"Lo lebih cocok jadi anak SMP. Imut, lucu." Senyumnya, bukan jenis meremehkan melainkan hal lain yang membuat sesuatu dalam dadanya berdetak cepat, "gue pergi deh, lo cepet kembali ke kelompok lo sebelum ketahuan mereka. See you, Maisha." ucapnya. Namun sebelum beranjak cowok itu sempat menepuk kepalanya pelan.
Ardean, sosok yang pertama kali membuat wajahnya merona dengan detakan di dadanya. Cowok yang awalnya ia pikir merupakan siswa teladan karena seragamnya yang terlihat begitu rapi, juga cowok berhati malaikat yang menyelamatkannya dari cercaan kejam para senior.
Dan Ardean yang dilihatnya di dua bulan pertama masa SMA nya merubah pandangan Maisha seketika. Ketika tanpa sengaja ia melihat cowok itu duduk diantara para seniornya yang brandalan, dengan tangan memegangi sepuntung rokok yang mengepul. Saat itulah Maisha merasakan telah salah mengagumi seorang Ardean, berujung dengan perlahan melupakan kekagumannya.
"Cha?" Maisha tersentak saat kesadarannya ditarik paksa. Cewek itu menatap Dean yang tak sedikitpun mengalihkan pandangan darinya, "Pulang, ya?"
"Lo bener-bener usir gue?" Dean terlihat tak terima. Maisha menggeleng cepat, "Lo cinta sama gue kan?"
Cowok itu mengangguk. Maisha tersenyum simpul, "Makanya pulang, sekolah dan belajar yang rajin biar lo bisa lulus." Kernyitan tercipta di dahi Dean, "Maksudnya?"
"Kita masih muda, masih banyak yang harus kita gapai. Kalau lo tetap kayak gini, gimana masa depan lo? Gimana perasaan bunda?" Dean terdiam, mencerna apa yang diucapkannya. Maisha memandangi ketiga teman Dean yang kini berkejaran dengan baju yang sudah setengah basah, lalu kembali menatap Dean, "Gue pergi bukan semata buat lari dari kalian. Di sini gue cuma lagi berusaha untuk nerima apa yang menjadi takdir gue. Menjadi anak yang baik buat papa dan ngasih dia kesempatan. Ini gak mudah asal lo tau, Yan. Sulit buat gue nerima mereka yang gue anggap udah renggut kebahagiaan dari keluarga kecil gue."
Tak ada pembicaraan untuk sejenak diantara mereka.
"Jujur aja, perlakuan Kenar, sakitnya masih kerasa dan dengan gue pergi, gue berharap bisa lupain kesakitan itu dan maafin dia dengan tulus. Gimanapun gue emang salah, dan setelah gue pikirin lagi, apa yang dia bilang ada benarnya. Mungkin suatu saat mama dan papa bakal bener-bener ninggalin gue karena sikap gue yang selalu memberontak dan memusuhi mereka."
Maisha merasakan tangannya digenggam seseorang. Ia berusaha menampakkan senyum tegarnya, "Gue di sini gak lama. Cuma sampe masa SMA berakhir, abis itu gue bakal balik lagi ke Bandung. Kita bisa ketemu sepuasnya, jalan-jalan ke manapun yang kita mau."
Cewek itu memang sudah merencanakan semuanya dengan baik. Jogja hanyalah tempatnya untuk merenungkan segala kesalahannya. Lagian dirinya sudah berjanji pada Saka dan Sonya akan kembali. Mengingat keduanya terlihat begitu tak rela ia pergi. Bagaimanapun mereka yang selama ini menjaganya.
"Sebagai sahabat?" pertanyaan Dean yang terdengar sarat keputus asaan itu membuat Maisha menatap penuh, "lo maunya gimana?"
Cowok itu terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi kembali menutup mulutnya seolah takut salah bicara. Maisha melirik tangannya yang masih dalam genggaman Dean, "Jawaban yang lo mau bakal gue kabulin setelah lo lulus nanti dan tentunya dengan hasil yang baik."
Perkataan Maisha membuat mulut cowok itu terbuka seketika, "Apa ini sebuah syarat?"
"Bukan," Maisha menggeleng, "Ini adalah kesepakatan. Gue harap saat pulang nanti keadaannya udah lebih baik. Gimana?"
Dean mengangguk pasrah, "Oke, tapi gimana kalau tiba-tiba di tengah perjalanan pikiran lo berubah? Lo ketemu cowok la-"
"Apa lo juga bermaksud buat jatuh cinta lagi sama cewek lain?" Serang Maisha yang mendapat gelengan, "ya udah, kenapa lo harus takut sama hal yang belum tentu terjadi?"
Cowok itu hanya perlu memperjuangkan Maisha dengan baik meski jarak memisahkan mereka. Dean tidak akan menyerah seperti dulu dan berakhir dengan status sahabat lagi. Kali ini tak ada Kenar yang over protektif, atau Denis yang pantang menyerah, tapi ada jarak yang sewaktu-waktu dapat mengikis perasaannya maupun Maisha. Ia hanya perlu terus memupuknya agar tak rasa itu tak mati setelah ia melewati dua tahun dengan pasrah pada keadaan.
"Jadi, lo mau pulang kapan?" Pertanyaan Maisha membuyarkan suasana romantis mereka. Dean mendesah pelan. Rasa rindunya saja belum terbayar, dan kini Maisha malah mengingatkan kepulangannya. Ia tak bisa membayangkan hari-harinya tanpa cewek itu. Pasti akan terasa membosankan.
"Gue akan pulang nanti malem." Dean melirik jam dipergelangan tangannya, "Sekarang gue cuma mau habisin sisa waktu hari ini sama lo, bolehkan?"
Senyuman malu Maisha diiringi rona merah di wajahnya membuat buncahan di dada Dean semakin hebat, ia mengeratkan genggaman tangannya, mengajak cewek itu menyusuri pantai sambil menceritakan banyak hal yang terlewati.
"Rana dulu sempet suka sama Rega."
"Oh ya?" Mata Maisha membola. Dean merekam raut itu yang terlihat lucu. Sebagai pengingat saat nanti ia merindukannya. "Iya, tapi itu dulu banget waktu kita kelas sepuluh, kan gue sekelas sama dia. Gue gak sengaja baca diary nya."
"Kok gue gak tau sih? Dia tuh gitu, selalu main rahasia-rahasiaan." keluhnya.
Tak ada yang lebih membahagiakan selain menunggu detik-detik matahari terbenam bersama orang yang dicintai. Dean menatap kakinya yang basah terkena air asin itu, lalu melirik Maisha yang sama-sama menikmati momen kebersamaan mereka yang sebentar lagi berakhir, "Mau tau satu rahasia lagi?"
Cewek itu mengernyit, mengucapkan 'apa" tanpa suara.
"Orang yang dulu pernah ngasih mawar putih dan coklat itu ... gue."
Dan Maisha kembali dibuat terkejut. Tak menyangka bahwa Dean menyukainya sampai sedalam itu sejak dulu. Dengan wajah haru ia menatap cowok itu yang sama menatapnya dengan hangat, "Makasih, Yan. Buat semuanya. Buat perjuangan lo selama ini."
"Sama-sama, gadis manis gue."
Mereka saling melemparkan senyuman kemudian mengalihkan tatapan pada matahari yang perlahan tenggelam. Bukan berarti ikut menenggelamkan harapan mereka, tapi menyadarkan bahwa esok hari harapan yang pernah hancur itu harus kembali tumbuh dan bersinar menerangi dunia mereka.
Deburan ombak, desauan angin, senja, dan pantai menjadi saksi bagaimana dua insan saling menguatkan tekad untuk meraih mimpi dan cinta mereka. Tekad yang erat, seperti genggaman tangan keduanya.
End