Karena selama ini kamu terlalu nyaman bersembunyi.
***
Saat membuka matanya, yang Maisha lihat adalah ruangan bernuansa putih. Sejenak ia hampir melupakan apa yang terjadi jika tidak merasakan sakit di dahi dan seluruh badannya yang terasa ngilu.
"Kamu udah sadar, sayang?" tanya wanita muda yang langsung menghampirinya. "Kamu mau Minum?"
Maisha menggeleng
"Ada yang sakit? Biar tante panggil dokter dulu ya?" Tanpa menunggu jawabannya Sonya keluar. Maisha tersenyum kecut, ia pikir yang akan ia lihat pertama kali adalah raut khawatir kedua orang tuanya. Tak lama kemudian dokter masuk diikuti om kesayangannya yang menampakan raut lega. Pria berjas putih itu mengatakan bahwa tidak ada luka serius yang harus dikhawatirkan. Maisha hanya butuh istirahat untuk beberapa waktu.
"Mereka mana?" tanyanya lirih setelah kepergian dokter. Keduanya saling pandang sejenak sebelum Saka mengusap lembut kepalanya, "Papa sama mama kamu baru bisa ke sini besok, tapi gak usah khawatir, ada om sama tante yang bakal jagain kamu di sini."
Maisha mengalihakan pandangan, menatap langit-langit ruangan. Seharusnya ia tak pernah bangun lagikan jika hanya dengan itu mereka akan datang?
"Mereka khawatir banget pas denger kamu kecelakaan, tapi mereka ada pekerjaan yang gak bisa ditinggal gitu aja. Kamu harus maklum ya sayang?" Bahkan Maisha sudah memaklumi semuanya semenjak dulu.
"Dean, dia gimana?" tanyanya mengalihkan pembicaraan.
"Tadi dia sempat datang dan minta maaf karena udah bikin kamu celaka. Tapi lukanya gak terlalu parah, cuma lecet-lecet." Saka mencoba menenangkan.
"Terus om marahin?" tanya Maisha, takut dilarang berdekatan lagi dengan cowok itu. Saka dapat menangkap raut kekhawatiran di wajah keponakannya. Tentu ia tahu kalau akhir-akhir ini Maisha lebih dekat dengan Dean dibanding sahabat kecilnya. "Om cuma bilang, lain kali kalau kejadian ini terulang lagi, om gak akan pernah ijinin dia bonceng kamu."
Maisha menghela nafasnya kemudian melirik ke arah pintu, Rega sudah berdiri di sana dengan tersenyum sopan. Kedua orang dewasa itu keluar dengan alasan mencari makan.
"Udah mendingan?"
Cewek itu mengangguk setelah mendudukan badannya dengan hati-hati. Rega terdiam sejenak, terlihat menimang-nimang sesuatu, "Apa bener yang gue denger kalau lo sengaja gak nyampein surat dari Tari?"
Apa Rega tak melihat keadaannya sekarang? Maisha tertawa hambar. Sedang Rega hanya mendesah, "Lo kecewain gue."
Sebenarnya Maisha hendak mengatakan sesuatu, tapi kembali mengatupkan bibirnya kembali, ia tak bertenaga untuk berdebat dengan cowok itu, "Gue pikir lo udah berubah setelah dulu curangin Ken sama Wulan diam-diam, bahkan sampai celakain diri sendiri."
"Gak gitu Rega. Lo bisa gak sih dengerin gue ngomong dulu?" Bahkan suaranya masih saja terdengar pelan meski mencoba berteriak. Harusnya cowok itu bisa bersabar menunggunya pulih. Mengabaikan rasa pusing di kepalanya, ia menatap Rega dengan nanar, "Gue ... emang pernah jahat. Buang buku Wulan, nyiram dia, nyembunyiin makalah Ken dan sengaja jatuhin diri sendiri, tapi kali in-"
Brak
Suara benda jatuh membuat Maisha menoleh. Di sana, Ken sudah berdiri dengan buah-buahan yang berhamburan di dekat kakinya. Wajahnya berubah pasi.
"Gue gak nyangka lo lakuin ini, Cha." Ken tersenyum kecut, dirinya bahkan merasa mimpi mendengar bahwa sahabat kesayangannya yang lugu bisa melakukan hal serendah itu.
"K-ken, aku bisa jel-"
"Cukup, semua udah jelas. Gue kecewa," Ken berbalik dengan menggebrakkan pintu. mengabaikan panggilannya. Air matanya luruh, Maisha menatap Rega yang tak merasa bersalah sama sekali, "Sekarang lo puas?"
"Dia juga perlu tau, gimana sikap buruk sahabatnya. Biar lo sadar sama sikap buruk lo itu." ucap Rega sambil berlalu, membuat dadanya terasa ditusuk ribuan jarum.
"Lo bilang lo sahabat gue," lirih Maisha menatap punggung Rega yang kini menghentikan pergerakannya untuk membuka knop pintu, "tapi ternyata gue salah. Lo gak pernah ngerti dan paham mengenai gue."
Tubuh cowok itu terlihat menegang mendengar perkataannya, akan tetapi Rega berusaha tak peduli dan memilih pergi.
***
Setelah Maisha menceritakan apa yang terjadi, Rana berusaha menenangkan sahabatnya yang setiap kali menjenguk selalu nampak murung. Ia merasa menjadi sahabat yang buruk karena tak bisa melakukan apapun. Rana tahu sahabatnya telah melakukan kesalahan, tapi bukankah tidak akan ada asap kalau tidak ada api? Ken terlalu menutup mata atas kesalahannya, sedang Rega yang selalu bersikap sok bijaksana itu seharusnya tahu situasi dan kondisi. Semuanya benar-benar terasa kacau setelah itu.
"Hai," Rana mendongkak mendapati cewek mungil berbalut kardigan coklatnya mendudukan badan. Ia tahu wajah pucat cewek itu bukan efek kecelakaan kemarin lusa, "Hai juga. Lo udah baikkan?"
Maisha menyunggingkan senyumnya, "Seenggaknya gue udah punya nyali buat berhadapan sama mereka," gumamnya pelan. Maisha menoleh mendapati dua cowok memasuki kelas. Ken yang berjalan menjauh membuatnya mengernyit.
"Udah dua hari ini Ken tukeran tempat duduk sama Rega." Jelas Rana tanpa ia pinta, "Gue juga udah gak saling bicara sama mereka."
Maisha hanya menatap lemah. Ken benar-benar marah padanya. Semenjak kejadian itu, Ken tak pernah datang untuk menjenguknya, bahkan mengabaikan chat dan panggilan darinya. Sekarang cowok itu sengaja pindah tempat duduk. Sama dengan Rega yang kini duduk di kursi Kenar, sengaja mengabaikannya. Pintu kembali terbuka, cowok dengan perban di tangannya itu sempat menatap bingung Rega yang duduk di kursi sebelahnya.
"Dean juga baru masuk hari ini," ujar Rana lagi. Maisha hanya mengangguk tanpa mengalihkan tatapan dari Dean yang kini mengarahkan tatapan padanya. Untuk beberapa detik mereka saling bersitatap sebelum Dean langsung membuang pandangannya.
Melihat itu, Maisha menghela nafasnya. Padahal dirinya sudah berusaha melupakan perbuatan cowok itu yang membuatnya berakhir di rumah sakit. Namun, ternyata Dean masih belum melupakan kemarahannya. Tiba-tiba, matanya terasa memanas, Maisha spontan berdiri hingga kursi yang didudukinya berdecit.
"Cha, lo gak-" Maisha mengangkat telapak tangan hingga Rana yang terlihat cemas tak melanjutkan ucapannya, "Gue ... mau ke toilet." ucapnya sedikit berlari ke luar kelas.
Sampai di sana, Maisha memasuki bilik yang kosong dan menumpahkan air matanya. Sungguh, sejak kapan dirinya menjadi cewek cengeng? Maisha membasuh wajahnya setelah merasa sedikit tenang. Nyalinya jadi menciut melihat reaksi ketiga cowok itu. Rasanya ia ingin lari saja karena tak siap dipandang penuh kebencian.
Bunyi bel membuyarkan lamunannya, Maisha menatap wajah sayunya lewat pantulan cermin. Ia tersenyum miris, tak menyangka semua akan terjadi dalam sekejap mata. Harusnya ketika Tari menitipkan surat itu, ia tak perlu merasa cemburu. Seharusnya Maisha memang sadar diri bahwa Dean hanya menganggapnya sebagai sahabat yang pesakitan.
Cewek itu merogoh handphone dari saku seragamnya, mengetikkan sesuatu dan mengirimkan pada Rana. Ia berjalan ke arah berlainan dari kelasnya. Maisha membuka pintu dan bernafas lega mendapati keadaan ruangan yang kosong. Cewek itu menidurkan badannya, menutup matanya yang beberapa malam ini tak bisa tertidur nyenyak. Ia harap ketika bangun nanti, semua kembali seperti sedia kala. Maisha tak salah untuk berharap kan?
***
"Maisha Biantari?"
"Sakit pak, dia lagi istirahat di UKS." Rana sengaja mengeraskan suara agar ketiga cowok tak berperasaan itu mendengarnya. Maisha yang sudah banyak terluka tak seharusnya diperlakukan seperti itu. Rana menatap Dean yang langsung menengok ke bangku kosong di sebelahnya. Ada kesenduan di mata itu sebelum Dean kembali ke posisi semula.
Cewek itu bermaksud menemui sahabatnya saat istirahat nanti. Namun, ketika waktu yang ditunggu tiba, Rana diminta Pak Bram merekap nilai adik kelasnya. Hingga lima belas menit kemudian ia bisa bernafas lega. Rana yang sedang berjalan langsung menyembunyikan diri mendapati siapa yang keluar dari ruangan di mana sahabatnya berada. Sosok itu berjalan sambil menunduk seperti memikul beban berat di pundaknya.
Setelah sosok itu berlalu, barulah Rana memasuki ruangan tersebut. Ia menyipitkan mata saat menangkap dua buah yogurt serta roti keju di meja dekat tempat sahabatnya tertidur nyenyak. Rana terkekeh, bahkan ia lupa apa yang disukai Maisha.
"Ran," lirihan tersebut membuatnya menoleh. Rana menyunggingkan senyumnya, "Lo udah bangun?"
Maisha menggukan dan mendudukan badan, "Ini buat gue?" tunjuknya pada sesuatu di meja. Sontak Rana menyembunyikan kresek di tangannya dan tersenyum. Biarlah Maisga menganggap itu pemberiannya.
"Yogurt ini, ngingetin gue sama Dean." Maisha tersenyum pedih, menyeruput minuman tersebut sambil menghapus sesuatu dari yang mengalir dari ujung matanya. "Ran, gue gak bermaksud buat Mentari sakit. Gue emang sempet kepikiran buat buang surat itu, tapi saat Rega sama Dean dateng gue kaget dan refleks lempar. Abis itu gue berusaha cari tapi suratnya udah gak ada. Gue juga gak tau isinya apaan. Lo percaya sama gue kan Ran?"
Rana mengangguk, "Kenapa lo sempet kepikiran lakuin itu?"
Cewek itu langsung bungkam. Haruskan dirinya mengatakan perasaannya terhadap Dean?
"Lo cemburu?" Maisha mendongkak sambil menggigit bibir bawahnya. Rana menatapnya dengan mata memicing, menebak-nebak sesuatu, "lo anggap Dean apa? Pengganti Kenar? Atau kayak gue sama Rega?"
Lagi-lagi Maisha tak menjawab, malah menundukkan wajahnya yang memerah malu, Rana menyentuh dagu cewek itu, "Sejak kapan?"
"A-apa?" tanya Maisha dengan tatapan polosnya.
"Lo suka sama Dean."ungkapnya yang disambut dengan raut gugup cewek itu, "Kenapa gak bilang kalau orang itu bukan Denis?"
"Dan bilang Dean yang gue cin-" Menyadari sesuatu, Maisha menghentikan ucapannya. Dirinya termakan oleh pertanyaan menjebak Rana. Bahkan sekarang sahabatnya itu tersenyum geli, "Harusnya lo bilang langsung kalau gak suka liat dia sama Mentari."
Cewek itu mendesah, "Dia cuma nganggap gue sahabat. Gue juga berapa kali pergokin mereka barengan. Pantes ajakan kalau Dean marah karena gue buat cewek yang dia sayang sakit." Rana tak menjawab, malah memperhatikan Maisha yang membuka bungkusan roti di tangannya sambil melanjutkan ucapannya, "Wajar mereka gak mau sahabatan lagi sama gue. Cewek egois yang gak pernah mau relain sahabatnya bahagia."
***
Maisha terpaksa harus masuk pada pelajaran selanjutnya atas paksaan Rana. Dengan cemas ia memasuki ruangan yang terasa menyesakkan itu. Ken yang sedang berdiri tak jauh darinya langsung melengos, melanjutkan obrolan dengan teman sekelasnya. Pun Dean yang langsung bangkit, melenggang begitu saja padahal sebentar lagi kelas akan berlangsung. Cewek itu langsung melepas kaitan di lengan sahabatnya untuk mengejar Dean.
"Yan," panggilnya menghentikan langkah cowok itu. Maisha berlari kecil menghampiri Dean yang tak mau menatapnya sama sekali, "lo masih marah sama gue?"
Dean tak menjawab.
"Maaf," lirihnya kemudian. Barulah Dean mau menatapnya, itupun dengan sorot datar, "jangan kayak gini, Yan. Please!"
Dean berdecih, "Harusnya gue yang bilang kayak gitu. Elo yang jangan kayak gini. Elo gak mau ditinggalin, tapi elo sendiri yang buat mereka pergi."
Cowok itu sudah mendengar bahwa Ken mengetahui apa yang Maisha perbuat dulu, dan kini persahabatan mereka sepertinya diambang kehancuran. Ia juga sudah jarang menyapa kedua cowok itu, entahlah rasanya terlalu malas. Dean hendak melangkah ketika Maisha menghalangi jalannya, "Don't go. I need you."
Dean tertegun, memandangi cewek yang sudah berkaca-kaca di hadapannya. Akhirnya hanya desahan pelan yang keluar dari mulut cowok itu, "Lo cuma butuh Denis."
"Yan," ucapnya menatap penuh permohonan.
"Minggir!" Maisha menggeleng, "Dengerin gue dulu!"
"Gue atau lo yang pergi?"
Terhenyak, Maisha merasakan sesuatu yang menghantam dadanya dengan keras. Bahkan Ken tak pernah mengusirnya secara langsung seperti ini. Maisha hanya menatap sendu lalu menggeser badannya, memberikan cowok itu jalan. Benar saja, Dean langsung berjalan tanpa menoleh lagi.
"Cha, lo gak papa?" Maisha mengangkat wajahnya yang sudah basah. Dan bukannya menjawab malah mengatakan hal lain, "Ran, apa gue terima aja tawaran papa buat ikut dia? Biar gue bisa lupain semua kesakitan ini."
"Cha, lo ngomong apa sih? Gak nyambung banget tau gak?"
"Mereka pasti seneng kalau gue pergi," lirihnya dengan pandangan kosong. Rana menganga tak percaya, "Dan lo mau ninggalin gue? Mau lari gitu aja?"
Maisha menyunggingkan senyum lirihnya, "Kalau itu bisa ngebuat mereka seneng kenapa enggak?"
Saat itulah Rana ingin memberi pelajaran pada tiga cowok yang dulu mengaku sebagai pelindung Maisha. Namun, keinginan paling kuatnya adalah memaki-maki Dean, tapi karena bel masuk sudah berbunyi Rana harus menahan keinginannya. Ia hanya perlu menunggu jam pulang sekolah karena cowok itu pasti akan kembali untuk mengambil tasnya.
***
"Dean!"
"Aws!" Cowok itu meringis, mengusap perutnya yang terkena tonjokan tiba-tiba. Sedang sang pelaku malah tersenyum puas sambil menepuk-nepuk tangannya.
"Lo gila ya?" Dean menatap garang pada Rana yang kini bersedekap dada, "Terus, apa sebutan buat cowok yang udah buat sahabat gue nangis?"
Dean berusaha menyembunyikan keterkejutannya, "Apa sih? Gue gak ngapai-ngapain dia."
"Terus dengan lo marah-marah, ngebuat celaka dan nyuekin, itu yang lo bilang gak ngapa-ngapain?" Kesal Rana bertolak pinggang, cewek itu mati-matian menahan diri agar tidak mengeluarkan jurus andalannya lagi. "Sebenernya mau lo apa sih?"
"Gue gak mau berhubungan sama dia lagi," Rana tertawa. Kalimat yang terlontar dari mulut cowok di depannya terdengar kurang meyakinkan. Lihat saja keraguan di wajahnya. Dean mendengus, "kenapa? Ada yang lucu?"
Tawa Rana terhenti, ia meninju pelan bahu Dean, mengabaikan tatapan tajam sang empunya yang merasa diperlakukan seenaknya. Rana menatap intens tepat ke retina cowok itu, "Terus, maksud lo apa diem-diem masuk ke ruang kesehatan dan bawain dia makanan?"
Dean tampak kaget, terbukti dari matanya yang kini terbelalak. Namun, kemudian mengalihkan pandangan, "Gak usah sok tau!"
Dan dengan bersikap seperti itu, Dean malah semakin jelas memperlihatkan kegugupannya, "Gue emang tau semuanya, termasuk lo yang dulu sempet suka sama Maisha dan ... atau mau gue sebut kalau persahabatan lo sama Ken cuma topeng biar bisa deket sama sahabat kesayangannya uh?"
Rahang cowok itu mengeras, tangannya dengan spontan menunjuk wajahnya, "Lo-"
"Santai, gak ada yang denger kok." Rana menangkap tangan itu, menurunkannya dengan santai, "Gue kagum, lo bisa bertahan sampai detik ini."
"Dari mana lo tau semua ini?" tanyanya. Selama ini Dean berusaha menutupinya. Menerima bahwa Maisha hanya menganggapnya sebagai sahabat, terpenting dapat tetap berada di dekat cewek itu. Namun, kenapa Rana dapat mengetahui itu semuanya dengan mudah?
"Ah, lo penasaran banget ternyata," ujarnya menyebalkan. Cewek itu mencoba bermain-main dengan emosinya. "Dulu, setelah beberapa pekan masa orientasi, gue pernah pergokin elo nyimpen sesuatu di loker Maisha. Em cokelat kalau gak salah?"
Tentu Dean masih ingat masa itu, di mana Ken membuang coklat yang ia tujukan untuk sosok pujaannya yang berhasil membuat seorang Dean jatuh pada pandangan pertama. Namun, sifat protektif Ken membuatnya sulit untuk mendekati Maisha. Maka jalan satu-satunya adalah mengakrabkan diri dengan cowok itu. Ia akui niat awalnya memang jelek, hingga akhirnya ia sadar bahwa bersahabat dengan Ken dan Rega bukanlah hal yang buruk.
"Gue gak ngerti sama jalan pikiran lo. Udah marahin dia sampai buat celaka, terus bukannya minta maaf malah jauhin dia. Lo tuh punya perasaan gak sih? Kalau emang lo suka sama adik kelas lo itu ya udah tinggal rawat dia, tapi gak usah nyakitin sahabat gue juga. Udah cukup dia dijauhin sama kedua sahabat lo itu."
"Gue gak maksud kayak gitu! Gue cuma, ah lo gak bakal ngerti." Dean mengusap wajahnya kasar, menampakkan kebingungannya.
"Iya kalau lo gak cerita, sampe kiamatpun gue gak akan ngerti, bego!" Dean mengepalkan kedua tangannya mendengar bentakkan Rana. Cowok itu memejamkan matanya sejenak, mengatur emosinya yang memuncak, "Gue ... marahin dia bukan karena Tari yang sakit, tapi gue gak suka dia kembali bersikap kayak dulu."
"Tapi apa lo pernah berpikir, kenapa dia ngelakuin itu?" Dean tak mampu menjawab. "Apa lo pikir dulu juga dia nyakitin dirinya cuma buat main-main? Enggak, Yan! Itu karena dia takut kehilangan. Dia gak mau kehilangan lo karena tau lo sama Mentari deket."
"Kita gak sedeket itu," elaknya, tapi Rana tak peduli, "tapi dia pernah beberapa kali liat kalian bareng."
"Gue sama dia cuma-,"
"Udah lah gue rasa gak perlu jelasin itu ke gue. Terpenting sekarang adalah gue mau peringatin lo, kalau sampai dia pergi lo orang pertama yang gue cari."
Mendengar perkataan Rana, cowok itu langsung merespon, "Dia mau pergi ke mana?"
"Apa penting buat lo tau? Bukannya tadi lo bilang gak mau berhubungan lagi sama dia?" tanyanya tersenyum kemenangan. Ia dapat melihat Dean yang kelabakan seketika.
"Gue cuma ngerasa gak pantes buat ada di dekat dia." lirihnya. Rana menghela nafas, "Kenapa lo berpikir kayak gitu?"
Dean menatapnya sendu, "Apa yang bakal lo rasain saat liat orang yang lo sayang bersimbah darah, bahkan hampir kehilangan nyawanya akibat ulah lo sendiri? Padahal saat itu dia udah teriak-teriak ketakutan, tapi lo malah mengabaikannya."Mata cowok itu memerah, ada banyak penyesalan di sana, "Sakit di badan gue bahkan gak sebanding ketika liat dia terluka. Gue hancur saat itu, gue bener-bener takut dia gak tertolong. Gue ngerasa gagal buat jagain dia dan gak berani lagi buat sekedar natap dia langsung karena itu selalu ngingetin sama kebodohan gue."
Rana dapat melihat Dean menghapus sesuatu dari ujung matanya. Sebenarnya ia tak pernah berencana mengatakan apa yang ia tahu. Namun, melihat Maisha yang memperihatinkan membuatnya tak biasa berdiam diri.
"Lo masih cinta sama dia?" Dean tak perlu menjawabnya karena dari perkataannya saja sudah cukup menjelaskan.
"Lo tau, selama ini gue terlalu maksain diri bersikap layaknya seorang kakak. Hingga akhirnya terbiasa nganggap dia kayak adek sekaligus sahabat gue sendiri. Gue pikir perasaan itu udah lama hilang, tapi ketika dia selalu nyari gue, bersikap seolah gue adalah sosok yang paling dia butuhin, gue sadar kalau ternyata rasa itu masih ada. Gue gak suka liat dia deket sama cowok lain, juga Ken yang selalu jodoh-jodohin dia sama Denis cuma karena cowok itu sempurna."
Rana terenyuh mendengar apa yang keluar dari mulut Dean. Cowok itu memang badung, Rana akui. Namun, ia tahu bahwa di dalam hatinya Dean memiliki perasaan yang tulus, "Kalau gitu, minta maaf sana! Maisha bilang tadi mau ikut sama papanya aja ke Jogja daripada di sini dicuekin terus sama kalian."
Bayangan kepergian cewek itu membuatnya hatinya terasa sesak.
"Kalau lo lebih mentingin perasaan bersalah lo, maka jangan nyesel karena kehilangan dia." cecar Rana pada Dean yang menatapnya nelangsa, "Tapi dia gak cinta sama gue."
Rana berdecak, "Sejak kapan lo mentingin perasaan cinta lo itu? Apa sulit buat lo jadi sahabatnya kayak biasa?"
"Kalau dia deket sama Den-"
"Ardean! Ini bukan saatnya mikirin itu. Lo cuma tinggal cari dia dan minta maaf. Terserah nantinya lo mau ngapain lagi, mau nembak juga terserah kalau lo yakin dia mau nerima."
Akhirnya Dean mengangguk lemah. Sebelum melangkah, cowok itu menatapnya seperti mengingat-ngingat sesuatu hingga sebuah senyuman terbit di bibirnya. "Gue baru ingat sesuatu." Rana tampak bingung dengan gelagat aneh cowok di depannya, "gue tau lo pernah jatuh cinta sama salah satu diantara kita."
Kekagetan Rana membuat Dean tersenyum kemenangan, tapi tak bertahan lama ketika matanya menangkap dua sosok yang berdiri tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sial, kenapa bisa dirinya tak menyadari itu? Rana yang kebingungan melihat wajah Dean yang kini pucat pasi akhirnya berbalik dan ..., "Mati." lirih mereka bersamaan.
"Gara-gara lo Ran, kalau mereka denger semuanya." bisik Dean, berusaha bersikap tenang dengan tatapan yang menyorotnya tajam. Terdengar dengusan dari cewek di sebelahnya, "lo yang mancing emosi gue. Gue juga mati kali ini."
Melihat raut kaget keduanya, Ken dengan tampang sinisnya bersuara. "Gue gak tau kalau lo deketin kita karena ada maunya."
Dean menegang seketika. Dirinya tak bisa mengelak lagi. Namun, sekarang bukan saatnya menjelaskan itu, ada yang lebih penting dibanding menghadapi kedua cowok yang sepertinya siap mengeluarkan api amarahnya, "Gue bakal jelasin nanti, okay?" ujarnya mengangkat kedua telapak tangan, mengisyaratkan agar mereka tenang meski malah mendapat dengusan. "Sekarang ada yang harus gue selesain dulu," Dean mendekatkan wajahnya ke telinga Rana, "Sorry, kali ini gue umpanin elo."
Rana yang tak mengerti baru akan menoleh ketika Dean sudah berjalan cepat meninggalkannya, "Ardean!" teriaknya, tapi cowok itu keburu menghilang. Akhirnya Rana hanya mampu meringis mendapati tatapan penuh acaman itu, "Ck, hari yang sial."
***
Dean melewati beberapa siswa yang berjalan menuju gerbang sekolah. Obrolannya dengan Rana yang terlalu lama membuatnya kehilangan jejak Maisha. Kemungkinan cewek itu sudah pulang ke rumahnya. Dean mengedarkan pandangan, senyuman lega terbit di bibirnya saat mendapati sosok yang ia cari baru keluar dari perpustakaan. Maisha terlihat kesusahan memasukan beberapa buku ke tasnya.
Cewek itu mendongkak setelah menyelesaikan kegiatannya dan langsung tertegun mendapati keberadaannya. Dean hendak menghampiri cewek itu ketika sebuah suara terlebih dahulu memanggilnya, dan tanpa diduga sosok cewek cantik sudah berdiri di depannya dengan senyuman ceria. Ia meringis dalam hati, sungguh bukan waktu yang tepat. Dean kembali mengarahkan tatapan ke arah Maisha berada, tapi cewek itu sudah tidak ada.
"Kak Dean? Nyari siapa sih?" tanyanya bingung karena sejak tadi Dean terus menerus melihat sekelilingnya. Cowok itu tersenyum ramah dan menggeleng, berharap ia masih dapat mengejar Maisha mengingat letak pepustakaan dengan gerbang sekolah lumayan jauh. "Em, lo udah sehat sekarang?"
Mentari mengangguk sambil tersenyum lebar. Cewek itu terlihat senang sekali dan Dean merasa tak nyaman dibuatnya, "Oh ya, kak. Masalah surat kemarin apa kak Mais-"
"Maaf, kemarin gue udah nerima surat itu cuma belum sempet baca. Gue gak tau kalau lo ngajak ketemuan, Tar." bohong Dean. Ia memang marah pada Maisha yang tak jujur, tapi ia tak suka mendengar hal buruk tentang cewek itu dari orang lain.
Cewek di depannya tampak kecewa, namun berusaha menampakkan senyumnya, "Oh ya kak, sebenernya aku mau ngaj-"
"Tar sorry kayaknya gue harus pergi sekarang, gue lagi buru-buru," potong Dean. Sejak tadi sudah menahan diri untuk tidak meninggalkan cewek itu begitu saja. Tari tersenyum getir, terlihat ingin menahan. Akhirnya yang dilakukannya hanya mengangguk.
Cowok itu berlari kecil, berharap dapat menemukan Maisha. Namun, sepanjang koridor jejaknya tak terlihat. Dengan tak patah semangat Dean menuju halte, di mana biasanya cewek itu menunggu bis. Benar saja, di sana Maisha tengah mendudukan badan sambil menatap ke arah sepatunya. Bertepatan dengan bis yang berhenti, Maisha langsung berdiri hendak menaiki kendaraan besar itu ketika lengannya di tahan seseorang. Ia berontak karena takut tertinggal.
"Apaan sih? Lep-" Matanya terbelalak mengetahui siapa yang memegangi lengannya. Untuk apa Dean menghampirinya setelah seharian penuh menghindarinya? Jujur saja, saat ini Maisha merasa kecewa atas sikap Dean. Lagian harusnya cowok itu sedang bersama Mentari.
Maisha tak berontak lagi, malah memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak tahu tujuan Dean menghampirinya, untuk kembali memarahinya atau-
"Maaf," Maisha terpengkur. Dirinya tak salah dengar kan kalau cowok itu minta maaf?
"Maaf, Cha." ulangnya lagi. Kali ini menyebutnya dengan nama panggilan. Seketika ia merasa aneh mendengar Dean memanggilnya seperti itu, tidak ada kata 'dek' lagi. Mungkin cowok itu ingat larangannya tempo hari.
"Gue mau pulang," ucapnya mengabaikan permintaan maaf itu. Maisha hanya kebingungan dengan perubahan cowok itu. Dean menghela nafasnya, "Ok, gue anterin."
Menggeleng, Maisha masih tak mau melihat ke arahnya, "Gue bisa sendiri."
"Bis baru akan dateng setengah jam lagi."
"Kalau gitu gue bisa minta ant-"
"Gak ada yang bisa nganterin lo, mau itu bis atau Denis sekalipun." Dean sudah bisa menebak apa yang akan Maisha ucapkan setelahnya dan ia tak mau mendengar itu. Akhirnya Dean menarik lengan itu dengan pelan, kembali memasuki sekolah untuk menuju parkiran. Maisha hanya mengikuti dengan pasrah.
Setelah melajukan kendaraannya. Dean beberapa kali melirik cewek itu dari kaca spion. Maisha yang hanya diam, tapi yang membuat Dean sadar adalah cengkraman kuat di seragamnya. Bodoh! Rutuk cowok itu. Harusnya ia tidak lupa bahwa Maisha pernah hampir kehilangan nyawa karenanya. Dean memelankan lajunya. Sebenarnya ia memaksakan diri membawa motor ayahnya karena miliknya masih di bengkel. Setelah sampai tujuan, Maisha turun dari boncengan dan hendak berlalu ketika Dean lagi-lagi menahannya.
"Apalagi?" tanyanya dengan nada tinggi, "lo udah maksa anterin dan gue turutin. Sekarang mau apa?"
Dean tersentak mendapati mata cewek itu yang memerah. Segera ia turun dari kendaraannya, memandangi Maisha yang memilih mengabaikan tatapannya. "Cha, lo nangis?"
Cewek itu tak menjawab, malah menarik-narik tali ranselnya. Andai saja keadaannya tidak seperti sekarang, mungkin ia sudah mencubit pipi Maisha dengan gemas. Dean menghembuskan nafasnya, "Maaf udah marahin lo dan buat lo ketakutan."
Barulah Maisha mendongkak, "Lo tau gak? Gue benci sama lo!" kesalnya memukul bahu cowok itu. Dean hanya meringis dan membiarkan Maisha meluapkan kekesalannya, "lo tuh kenapa sih? Tadi siang aja marah-marah dan sekarang maksa buat maaf."
"Cha," Dean menangkap tangan yang hendak kembali memukul bahunya, "gue tau gue salah udah marahin lo, tapi semua itu karena gue gak mau cewek yang gue sayang berbuat buruk."
Mata Maisha tampak membola mendengarnya.
"Gue jauhin lo bukan juga karena benci, gue cuma ngerasa gak pantes deketin lo lagi setelah gue gagal jagain lo." ujarnya menatap intens wajah yang sama tengah menatapnya itu. "Lo mau maafin gue kan?"
Maisha tampak berpikir beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Dean tersenyum lega masih dengan menggenggam tangannya. "Thanks, gue sayang sama lo."
"Ah, em y-ya." balasnya dengan pikiran yang melayang. Maisha hanya perlu meyakinkan dirinya kan kalau kata 'gue sayang sama lo' itu maksudnya karena mereka bersahabat kan? Namun, tak bisa dipungkiri kalau sesuatu dalam dirinya mengharapkan lebih. Tapi mengingat siapa sosok yang Dean temui sebelum menghampirinya membuat Maisha kembali menelan harapannya bulat-bulat.
"Mau mampir?" tawarnya berusaha tak terbawa perasaan. Dean yang kali ini terlihat lebih tampan ketika tersenyumpun menggeleng, "Gue langsung pulang aja, lo juga masih harus istirahat kayaknya."
Maisha mengiyakan, memperhatikan Dean yang masih bergeming di tempatnya.
"Kok masih di sini? Udah sana masuk!" Suruh cowok itu yang kini menaiki kendaraan roda duanya. Maisha tergagu, "Em lo aja pergi duluan."
"Cha?"
Ah, panggilan itu. Kenapa jika Dean yang menggunakannya ia merasa sesuatu dalam dadanya berdetak? Maisha akhirnya mengangguk, memasuki halaman rumahnya dengan sesekali melirik Dean yang masih memperhatikannya lewat celah-celah gerbang. Maisha memegangi wajahnya yang memanas dengan buncahan bahagia di dadanya. Dan ia sepertinya lupa dengan kebencian Kenar padanya.
***